Parafrasa

Tindakan plagiat (penjiplakan) dalam penulisan karya ilmiah merupakan sesuatu yang harus dihindari. “It is a big no-no”. Untuk itu perlu dilakukan paraphrasing (tindakan memparafrasa).

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), parafrasa adalah (1) pengungkapan kembali suatu tuturan dr sebuah tingkatan atau macam bahasa menjadi yg lain tanpa mengubah pengertian; (2) penguraian kembali suatu teks (karangan) dalam bentuk (susunan kata-kata) yang lain, dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yg tersembunyi. Di Youtube banyak dijelaskan mengenai hal ini dengan kata kunci: paraphrase.

Prof. Wasmen Manalu mengemukakan parafrasa yang merupakan penjiplakan dan yang bukan, sebagai berikut:

Teks ASLI dari halaman 1 Lizzie Borden: A Case Book of Family and Crime in the 1890s, karya Joyce Williams dan kawan-kawan:

The rise of industry, the growth of cities, and the expansion of the population were the three great developments of late nineteenth century American history. As new, larger, steam-powered factories became a feature of the American landscape in the East, they transformed farm hands into industrial laborers, and provided jobs for a rising tide of immigrants. With industry came urbanization the growth of large cities (like Fall River, Massachusetts, where the Bordens lived) which became the centers of production as well as of commerce and trade.

1. Parafrasa yang termasuk penjiplakan

The increase of industry, the growth of cities, and the explosion of the population were three large factors of nineteenth century America. As steam-driven companies became more visible in the eastern part of the country, they changed farm hands into factory workers and provided jobs for the large wave of immigrants. With industry came the growth of large cities like Fall River where the Bordens lived which turned into centers of commerce and trade as well as production.

Parafrasa tersebut termasuk penjiplakan karena dua hal. Pertama, penulis sekedar melakukan perubahan atas beberapa kata atau frasa, atau hanya mengubah urutan kalimat aslinya saja. Kedua, penulis tidak menyebutkan sumber dari gagasan atau fakta yang dia kemukakan itu. Contoh tersebut juga bermasalah karena penulis mengubah arti atau nuansa beberapa kalimat (misalnya, kata “steam-driven companies” pada kalimat ke-2 telah menghilangkan penekanan teks aslinya tentang “factories”).

2. Parafrasa yang bukan penjiplakan

Fall River, where the Borden Family lived, was typical of northeastern industrial cities of the nineteenth century. Steam-powered production had shifted labor from agriculture to manufacturing, and as immigrants arrived in the US, they found work in these new factories. As a result, populations grew, and large urban areas arose. Fall River was one of these manufacturing and commercial centers (Williams 1).

Parafrasa tersebut bukan penjilakan karena penulis menayangkan informasi dari teks aslinya dengan menggunakan kata-katanya sendiri.

Contoh lain:

Fall River, where Bordens family lived, was typical of northeastern industrial cities of the nineteenth century. As steam-powered production shifted labor from agriculture to manufacturing, the demand for workers “transformed farm hands into industrial laborers,” and created jobs for immigrants. In turn, growing populations increased the size of urban areas. Fall River was one of these hubs “which became the centers of production as well as of commerce and trade” (Williams 1).

Paragraf di atas bukan penjiplakan karena penulis merekam informasi dalam teks aslinya secara akurat, dan memberikan kredit terhadap gagasan-gagasan dalam teks itu. Disamping itu penulis menunjukkan bahwa sebagian frasa diambil langsung dari sumbernya, dengan cara menempatkan frasa tersebut di antara tanda kutip dan menyebutkan nomor halamannya.

Jika penulis menggunakan (atau memasukkan) frasa atau kalimat kutipan itu ke dalam tulisan dia sendiri tanpa membubuhkan tanda kutip, berarti dia telah melakukan penjiplakan.

Semoga bermanfaat.

Tips melakukan parafrasa

Contoh




Flazz Card vs Indomaret Card…asyiknya belajar kontekstual

Lagi belabor writing skill menemukan video pembelajaran yang asyik

http://www.youtube.com/results?search_query=flazz+bca

 




Daftar Klaster Penelitian Perguruan Tinggi Terbaru Periode Pemetaan Tahun 2010-2012

Panduan-Penilaian-Kinerja-Penelitian-2013

Rakor-PR2_September-2014

Hasil-Kinerja-Penelitian PT

 

 




ALIGNMENT: New BPR=Bank Perekonomian Rakyat*

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang fokus pada usaha kecil dapat diibaratkan berperan sebagai penjaga rumah ketika Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 tiba. Peran sebagai penjaga rumah perekonomian nasional ini memerlukan koordinasi dan kolaborasi dengan pemilik rumah, yaitu bank umum dan bank pembangunan daerah. Untuk itu koordinasi dan kolaborasi BPR dan bank umum melalui linkage program kiranya tidak lagi memadai. Lalu apa yang bisa diusahakan?

Pemahaman dunia nyata (worldviews) keuangan perbankan dari semua aktor yang terlibat (bankir, pemilik, nasabah BPR dan regulator) perlu holistik (menyeluruh) dan holonik (keutuhan sistemik) bukan sekedar formal. Secara holistik terasa bahwa keberagaman kepemilikan (pemda dan swasta) dan situasi kompleks (fuzzy problem) kepemilikan di tingkat kabupaten (pribadi atau lembaga swadaya masyarakat) perlu lebih dipertimbangkan. Sudah tentu karakter pemiliknya memengaruhi pula sepak terjang bankir BPR. Hal ini jelas memengaruhi kebijakan pengembangan sumber daya manusia (human capital atau modal insani) yang terkait dengan peran profesionalisme BPR dan profesionalitas bankirnya: efisiensi, efektifitas, dan efikasi.

Pemda yang secara periodik berganti pemimpin (bupati) menjadi masalah bagi bankir BPR. Misalnya, masalah peningkatan permodalan salah satunya. Meskipun di sisi lain, ada juga bupati yang berkomitmen tinggi dan sungguh-sungguh berpihak pada usaha kecil menengah (UKM) dengan menambah modal dan memberikan bunga pinjaman yang lebih rendah dari bank umum. BPR yang bermula dari lembaga swadaya masyarakat dengan idealismenya patut ditopang dengan kebijakan permodalan berbeda oleh regulator. Perorangan tentu memerlukan kebijakan lain pula karena kebijakan permodalan yang lebih berorientasi profit.

Kondisi permodalan tidak menjadi permasalahan tunggal yang berdiri sendiri. Situasi masyarakat daerah yang unik dan sangat spesifik perlu diserap aspirasinya. Masuknya kepemilikan asing pada bank umum bisa mengancam peran BPR sebagai penjaga rumah perekonomian nasional dan bisa memburuk jika suatu saat terjadi gejolak. Sedangkan regulator mempunyai kecenderungan membuat perlakuan sama kepada semua BPR.

Menghadapi situasi problematik yang dinamis dan cenderung kacau (fuzzy problem) dunia usaha 2014, dengan aroma situasi politik dan ekonomi pemilu legislatif dan presiden, BPR dan perbankan umum dituntut berbenah. Regulator dan pengawasan perbankan mempunyai tugas penting, mendesak, dan strategis pada 2014. Tugas tersebut di antaranya menjaga agar bank asing tak berombongan masuk merebut pasar Indonesia. Fenomena tersebut, telah banyak terjadi di banyak perusahaan perbankan umum. Harapan agar BPR memperkuat ekonomi dan pasar domestik untuk dapat bersaing pada pasar terbuka tersebut, sudah semestinya perlu kerja keras meningkatkan profesionalitas. Kolaborasi bankir dan politisi perlu dibangun untuk merekonstruksi peraturan.

Para bankir BPR selama ini merasa dianaktirikan oleh sejumlah kebijakan perbankan di Indonesia. BPR menjadi ujung tombak pengembangan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tetapi pada saat yang sama, keran lebar juga dibuka untuk perbankan umum mengucurkan alokasi khusus sebesar 20% untuk UMKM. BPR diminta menggerakkan UMKM, sementera bank umum diharuskan 20% persen untuk alokasi UMKM. Kebijakan ini membuat BPR berhadap-hadapan langsung dengan ekspansi bank umum.

Untungnya sinergi BPR dengan perbankan umum selama ini sudah berjalan. Sinergi ini bisa membuat BPR maupun bank umum sama-sama bertumbuh menjadi lebih baik. Dengan sinergi, kedua usaha perbankan ini bisa linked. Sinergi ini menjadi tidak mudah ketika upaya koordinasi dan kolaborasi hanya didasari kepentingan kepatuhan, teknis keuangan, dan operasional semata. Harus ada alignment yang merupakan komponen soft business. Penyejajaran (alignment) antara bank umum, BPR, dan regulator hendaknya didasari oleh purposeful activity (tujuan mendasar) yang sama sehingga menghasilkan perubahan yang secara sistemik diinginkan (systemically desirable) dan layak secara budaya (culturally feasible) organisasi dan situasi setempat.

Agar BPR bisa berperan dengan baik sebagai penjaga rumah, kiranya perlakuan BPR sebagai BANK PEREKONOMIAN RAKYAT (BPR new paradigm) perlu dikukuhkan dalam perundang-undangan. Untuk tumbuh berkelanjutan diperlukan rekonstruksi sejumlah aturan yang memberikan dukungan lebih baik kepada BPR. Dukungan Pemerintah seyogianya tidak dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan bantuan-bantuan yang berlaku umum. Namun membangun komunikasi yang lebih baik pada tingkat kabupaten atau provinsi agar bisa memberikan pinjaman dengan bunga layak sesuai karakteristik masing-masing.

Hingga kini tercatat ada ribuan BPR yang memerlukan dukungan konkret. Memang benar, jumlah ribuan BPR ini masih tak seberapa jika dibanding perbankan umum jika dilihat dari sisi aset. Namun yang pasti, dari sisi pengembangan modal insani (human capital development) sinergi dan penyejajaran membangun komunikasi yang menghasilkan tindakan konkret. Action speak more than words!

*Tulisan ini pernah dimuat di Economic Review, Edisi 03 tahun 01 Januari 2014




Entrepreneurship

  1. Micropreneur, entrepreneur dan intrapreneur
  2. Business plan
  3. http://www.bizmove.com/other/quiz.htm



KOMPETENSI

KOMPETENSI = SIKAP + KETERAMPILAN + PENGETAHUAN

Tim Belmawa Dikti 2014

KOMPETENSI Tim Belmawa Dikti 2014




Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 92 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen

permendikbud_tahun2014_nomor092

permendikbud_tahun2014_nomor092_lampiran

Ada beberapa hal yang harus diantisipasi oleh dosen dalam menyikapi  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Nomor   92    Tahun 2014 Tentang  Petunjuk Teknis  Elaksanaan Penilaian Angka  Kredit Jabatan Fungsional Dosen.

  1. Pemimpin fakultas/unit atau yang setara wajib secara periodik melakukan pemeriksaan dan penilaian kegiatan, kinerja, integritas, etika dan tata krama, serta tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas dosen untuk kelayakan kenaikan jabatan akademik /pangkat;
  2. Penilaian kenaikan jabatan akademik Asisten Ahli dan Lektor untuk dosen perguruan tinggi swasta dilakukan oleh Tim Penilai Jabatan Akademik Dosen Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh Kepala/Ketua Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi.
    1. Untuk menjadi asisten ahli maupun lektor antara lain harus:  Memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal nasional sebagai penulis pertama.
    2. Sementara untuk menjadi  lektor kepala:

i.    Memiliki karya  ilmiah yang dipublikasikan di jurnal nasional terakreditasi atau internasional sebagai penulis pertama bagi yang berijazah Doktor .

ii.   Memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional atau internasional bereputasi sebagai penulis pertama bagi yang berijazah Magister.

  1. Adapun untuk profesor: Memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama.
  1. Penilaian kenaikan jabatan akademik Lektor Kepala dan Profesor dilakukan  oleh Tim Penilai Pusat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

 




Pemotongan sapi & kambing Perbanas 16 Oktober 2014

 

Cara/langkah-langkah memotong sapi

Klik Pemotongan sapi




Konsep CSR dan berbagai sudut pandangnya

Konsep CSR didiskusikan pada berbagai forum secara amat dinamis. Makna, pendekatan dan bahkan terminologi yang digunakan senantiasa diperdebatkan. Ada berbagai istilah yang dipergunakan secara bergantian untuk menjelaskan tentang tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu: Corporate Citizenship, Sustainable Entrepreneurship, Triple Bottom Line, Business Ethics and Sustainability, Corporate Environmental Management, Business and Society, Business and Governance, Business and Globalization serta Stakeholder Management, (Panwar dkk., 2006; Matten dan Moon, 2004)

Ada berbagai definisi tentang CSR, tetapi tidak ada definisi yang diterima secara umum. Namun demikian dapat dikemukakan sebuah definisi yang dianggap mencakup semua unsur sesuai mainstream saat ini tentang CSR yang diajukan oleh World Bank Group (Kiroyan, 2006), yaitu: “CSR adalah komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara-cara yang bermanfaat baik bagi dunia usaha maupun untuk pembangunan”.

Menurut Carroll (dalam Maignan dan Ferrell, 2004) topik CSR telah ditulis sejak tahun 1930an antara lain oleh Chester Barnard pada tahun 1938 dengan judul The Functions of the Executive, J.M. Clark pada tahun 1939 dengan judul Social Control of Business serta Theodore Krep pada tahun 1940 dengan judul Measurement of the Social Performance of Business. Majalah Fortune pernah membuat polling tentang tanggung jawab sosial pada tahun 1946.

Buku Howard R. Bowen yang diterbitkan tahun 1953 berjudul Social Responsibilities of the Businessman merupakan awal periode penulisan ilmiah tentang CSR (Carroll, 1999; Panwar et. al, 2006; Ostas dan Loeb, 2002; Harribey, 2006; Balabanis, 1998, Maignan dan Ferrell, 2004). Buku Bowen tersebut dinilai telah menjelaskan tentang doktrin dari tanggung jawab sosial yang menandai awal dari diskusi yang serius tentang CSR pada era modern, yang menyebabkan Bowen diakui sebagai “Father of Corporate Social Responsibility” (Maignan dan Ferrell, 2004).

Berikut ini disajikan berbagai sudut pandang konseptual terhadap CSR (Maignan dan Ferrell, 2004):

1. CSR sebagai kewajiban sosial
Perspektif ini dikemukakan pertama kali oleh Bowen yang mendefinisikan CSR sebagai kewajiban bagi pengusaha untuk menjalankan kebijakan, membuat keputusan atau mengikuti segala aturan yang sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki oleh masyarakat. Menurut Carroll (dalam Maignan dan Ferrell, 2004) kewajiban sosial itu dapat dibedakan menjadi: (a) kewajiban ekonomi (agar menjadi produktif dan secara ekonomis dapat terus berlangsung), (b) kewajiban hukum dan etika (patuh terhadap hukum serta terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku), (c) kewajiban filantropis (secara proaktif menyumbang kepada masyarakat).

2. CSR sebagai kewajiban terhadap pemangku kepentingan
Sejak pertengahan 1990an sejumlah pakar berpendapat bahwa istilah kewajiban sosial itu terlalu luas. Mereka berpandangan bahwa dunia usaha bukan bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan namun bertanggungjawab terhadap pihak-pihak yang secara langusung maupun tidak langsung terkena dampak dari kegiatan perusahaan. Pihak-pihak tersebut disebut dengan pemangku kepentingan (stakeholder), yang dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok: (a) kelompok yang bersifat organisasional (misalnya pegawai, pelanggan, pemegang saham dan pemasok), (b) masyarakat (misalnya penduduk lokal, kelompok kepentingan), (c) kelompok yang berhubungan dengan peraturan (misalnya pemerintah daerah, kekuasaan kehakiman) dan (d) media massa (Maignan dan Ferrell, 2004).

3. CSR sebagai dorongan etika (ethics-driven)
Pandangan bahwa CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial maupun tanggung jawab terhadap para pemangku kepentingan menunjukkan bahwa praktek CSR dimotivasi oleh kepentingan pribadi agar dunia usaha mendapatkan legitimasi diantara konstituen-konstituennya. Pendekatan seperti itu menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki komitmen yang positif dan tanpa pamrih. Dengan memberikan sumbangan yang bersifat filantropis semata maka perusahaan dinilai hanya menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dan hal ini dapat dipandang sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan perusahaan secara paternalistik. Oleh karena itu beberapa pakar mengusulkan pandangan yang berlandaskan etika (ethics-driven view) terhadap CSR yang menilai baik-buruknya kegiatan perusahaan bukan berdasarkan kewajiban sosial maupun kewajiban terhadap pemangku kepentingan. Misalnya dalam proses pengambilan keputusan dan prosedur, perusahaan harus memberikan peluang kepada semua pihak yang ada hubungannya dengan perusahaan dengan didasarkan atas nilai-nilai persamaan, kebebasan dan keadilan.

4. CSR sebagai proses manajerial
Ketiga perspektif tersebut menjelaskan faktor-faktor yang mendorong dunia usaha untuk melaksanakan CSR. Disisi lain, sejumlah pakar menjelaskan CSR dengan menggunakan proses organisasi yang konkrit dan seringkali diistilahkan sebagai corporate social responsiveness. Misalnya, Ackerman (Maignan dan Ferrell, 2004) menerangkan tiga aktivitas utama dalam corporate social responsiveness: (a) memonitor dan menilai keadaan lingkungan, (b) memahami permintaan para pemangku kepentingan, dan (c) membuat rancangan dan kebijakan untuk meningkatkan dampak positif terhadap perusahaan.

Maignan dan Ferrell (2004) mengemukakan kesulitan membandingkan dan memadukan berbagai sudut pandang karena masing-masing pakar mempertimbangkan tanggung jawab sosial dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda, yang meliputi (a) dunia usaha secara umum, (b) perusahaan secara individual serta (c) pengambil keputusan. Berbagai penelitian tentang CSR menggunakan berbagai sudut pandang seperti sudut pandang normatif (dengan memperhatikan kewajiban dunia usaha terhadap masyarakat secara keseluruhan), pendekatan manajerial (bagaimana perusahaan bisa berhasil dalam mengelola CSR?) ataupun perspektif instrumental (bagaimana CSR dapat bermanfaat bagi perusahaan?).

Namun Gardiner dan Lacy (2005) berpandangan bahwa perhatian dunia usaha terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan memang mulanya dipicu oleh berbagai skandal serta bermacam-macam tekanan dari lembaga swadaya masyarakat, para pengambil kebijakan, konsumen dan media. Belakangan tanggung jawab dunia usaha terhadap masyarakat telah dipandang sebagai peluang bagi dunia usaha tidak hanya untuk melindungi diri dari berbagai risiko maupun untuk mempertahankan reputasi, tetapi juga memperkuat hubungan dengan para pemangku kepentingan, memperbaiki strategi perusahaan serta manajemen internal.

Daftar pustaka

Balabanis, George, Hugh C Phillips,. & Jonathan Lyall. (1998). Corporate social responsibility and economic performance in the top British companies: are they linked? European Business Review. Bradford. Vol.98, Iss. 1; pg. 25

Gardiner, Louise, & Peter Lacy. (2005). Lead, respond, partner or ignore: the role of business schools on corporate responsibility. Corporate Governance. Bradford. Vol. 5, Iss. 2; pg. 174, 12 pgs

Kiroyan, Noke. (September-Desember 2006). Good corporate governance dan corporate social responsibility. adakah kaitan diantara keduanya? eBAR (economics Business Accounting Review). Edisi 3.

Maignan, Isabelle, & O C Ferrell. (2004). Corporate social responsibility and marketing: An integrative framework. academy of marketing science. Journal. Greenvale. Winter .Vol.32, Iss. 1; pg. 3.

Matten, Dirk & Jeremy Moon. (2004). Corporate social responsibility education in europe. Journal of Business Ethics 54: 323–337, _ 2 004 Kluwer Academic Publishers.

Ostas, Daniel T, & Stephen E Loeb. (2002). Teaching corporate social responsibility in business law and business ethics classrooms. Journal of Legal Studies Education. Bloomington: Winter .Vol.20, Iss. 1; pg. 61, 28 pgs

Panwar, Rajat, Tomi Rinne, Eric Hansen, & Heikki Juslin. (Feb 2006).Corporate Responsibility. Forest Products Journal. Madison. Vol.56, Iss. 2; pg. 4, 9 pgs




ISIS

Saya berangan-angan bikin artikel berjudul “Pengaruh arus kas terhadap laba perusahaan”, isu tsb hemat saya penting karena kas merupakan salah satu komponen modal kerja yang senantiasa diputar dalam operasi normal untuk meraup laba sehingga eksistensi entitas bisa berkelanjutan – istilah bekennya going concern. Secara konseptual dari perspektif Akuntansi Keuangan maupun Manajemen Keuangan, arus kas diakibatkan oleh tiga aktivitas, yaitu aktivitas operasi, investasi dan pendanaan. Ketiganya saya analisis dengan cara membandingkan antar laporan keuangan selama 5 tahun berturut-turut. Alhasil, kedapatan ada “side streaming” alias penyimpangan penggunaan dana secara signifikan di aktivitas operasi yang berdampak rugi secara material. Aktivitas tsb diklasifikasikan sbg kerugian operasi lain-lain (pos yg menampung kerugian sbg akibat pencurian uang dari orang dalam – misal bobolnya Citibank oleh seorang Melinda Dee). Data yang saya dapatkan untuk menulis artikel ini sangat lengkap dan akurat sehingga teman yang saya minta untuk mereview artikel tsb kesengsem mesam-mesem. Dia nyeletuk: “aneh yaa Citibank sebesar itu kok Internal Controlnya lemah”! saya jawab: “Aah,bener yang kamu anggap aneh sebatas itu, bukan keanehan yang lain, seperti kesexyan Melinda yang bersilikon dan affair-affairnya yang mencuat yang membuat kita lupa daratan bila ikut merasakan ! ” Diapun teringat artikel serupa yang ditulis koleganya. Sama-sama membahas arus kas tapi teknik analisisnya hanya mengkorelasikan angka-angka yang bersumber dari laporan keuangan yang dibumbui hipotesis secara statistic. Dan hasilnya terdapat pengaruh yang signifikan antara arus kas dan laba entitas. Lantas saya tanya pada dia, eksplorasinya membuahkan kandungan informasi macam apa? Karena menurutku itu statement yang belum rampung, baru sebatas “isu common sense”, Arus kas yang mana yang paling dominan sebagai pemicu laba, dari penjualan produk utama atau menang lotere? Dia hanya bilang nggak ada info itu, tapi keren lho karena semua sudah melalui uji normalitas dan validitas. Akhirnya saya nyeletuk: “Ooh kerennya karena pake SPSS yaa, jadi intinya kamu terpikat karena ada angka yang diolah dengan statistic tanpa menangkap esensinya bahwa aliran uang berpotensi melahirkan kejahatan dan kejahatan menggiring kita ke rumah tahanan. Diapun sontak sadar dan bergumam bak orang ayan “ISIS – ISIS…Ingat Statistik Imbuhan saja. Sayapun ketularan ngomyang ISIS-ISIS tegese adhem alias dingin…