Sejuta pesona obyek wisata di Garut Jawa Barat

Jarak tempuh dari Jakarta sekitar 5 sampai 6 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat atau lebih, kita sudah sampai di kota Garut yang sejuk nan indah. Lebih dari 20 obyek wisata yang dapat memanjakan kita menjadi betah berlama-lama disana. Laut, pegunungan, pemandian air panas, perkebunan sampai wisata kuliner ada disana. Sebagai contoh bila kita mengunjungi obyek wisata pemandian air panas di daerah cipanas sekitar 3 km dari kota Garut. Penginapan dengan harga yang sangat beragam dapat kita jumpai dan sesuaikan dengan kantong kita, mulai dari 250 ribu sampai 2 jutaan dengan berbagai fasilitas beragam. Seluruh penginapan menyediakan bak mandi air panas alam yang bersumber dari gunung Papandayan. BIla kita ingin mencoba sumber air panas yang lebih asli langsung dari gunung, kita dapat berjalan sekitar 2 km melewati perkampungan sekitar kaki gunung dengan perjalanan yang menyenangkan. Untuk lebih lengkapnya ada apa saja di kota Garut silahkan klik http://www.hoteldigarut.net/ maka anda dapat mengisi liburan alternative dengan biaya yang tidak teralu mahal dan menyenangkan.




Subyek Hukum, Obyek Hukum?

Perihal subyek dan obyek hukum di dalam hukum merupakan suatu hal yang penting karena berkaitan dengan kewenangan bertindak di dalam hukum, dan yang utama adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban.

Pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum hanyalah subyek hukum, dan yang termasuk kategori subyek hukum adalah:
1. manusia (orang/persoon);
2. badan usaha yang berbadan hukum (rechtpersoon); dan
3. jika keperluannya menghendaki maka janin yang masih didalam kandunganpun dapat dikategorikan sebagai subyek hukum.

Sedangkan obyek hukum dapat dikatakan sebagai lawan dari subyek hukum, karena obyek hukum merupakan segala sesuatu yang dapat di hak-i oleh subyek hukum. Dengan demikian jelas kategorinya bahwa yang memiliki hak dan kewajiban mestilah itu subyek hukum dan yang dapat dikenai hak atasnya pastilah obyek hukum.

Di dalam kehidupan nyata keseharian perihal subyek hukum menjadi seolah tak berbatas tegas dengan obyek hukum. Subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban dalam satu kesatuan, yang artinya dimana ada hak maka disana ada kewajiban demikian sebaliknya, namun kenyataannya seringkali terlihat dan terdengar bahwa ada orang-orang yang dengan sengaja mengubah status manusia yang semula subyek hukum menjadi obyek hukum, misalnya orang yang dipekerjakan dengan tidak memperoleh gaji bahkan disekap tanpa memperoleh hak-hak dasar seperti beribadah, makan dan minum (berada dibawah kekuasaan orang lain tanpa memiliki hak yang semestinya dimiliki).

Demikian juga halnya dengan aktivitas menjual manusia dengan segala cara, bentuk dan motivasi (ini termasuk menurunkan derajat manusia yang semula subyek hukum menjadi obyek hukum). Lebih memprihatinkan lagi adalah jika ada orang-orang yang secara sadar memperdagangkan atau menawarkan dirinya sendiri. Bukankah ini semua berarti telah mengubah kedudukan makhluk yang semula diangkat dan dimuliakan oleh Tuhan Penguasa semesta menjadi makhluk yang sangat rendah dan hina yaitu sederajat dengan obyek hukum lain seperti benda pada umumnya dan binatang.

Orang-orang yang secara sadar telah mengambil alih kewenangan Tuhan yaitu memuliakan manusia sebagai subyek hukum dengan melekatkan padanya hak dan kewajiban menjadi tidak memiliki salah satunya, maka tentulah konsekuensinya adalah siap “berperang” dengan Tuhan Yang maha Rahman dan Rahim. Wallahu a’lam




Do You Practice Your English?

Do You Practice Your English?
It’s the Ultimate Question
By Dwi Panggah Wiji Harjo

     Years ago, Diller (1971) has already stated that the history of foreign language teaching often appears to have been a history of failure. Not many students of foreign languages ever achieve full bilingual proficiency. They could only get to the level of “minimum professional proficiency” in speaking and reading. We also have known that there have been several different methods of foreign language teaching which have been carried out: Audio-lingual Method, Rationalist Approach, Direct Method, and Communicative Approach. They have created stories of successes and failures. But in spite of the widespread failure of foreign language learning and teaching, there have been language learners who have spectacular success at becoming bilingual. Not mentioning which method has been the best for them in their foreign language learning, they must have worked hard for achieving their level of English.
Can you imagine entering an English class with more than 30 students who most of them are there not willingly to study? It would be such a sorrowful moment. I just do not understand they have spent their time in the classroom not for studying; their parents have given their trust for them, yet they come to college not for school work. Instead, some students will not pay attention to the lesson as they are busy with their own daydream, deliberating over their false impression, and even one of them try to “update status” with his mobile phone. When they are asked to do an exercise, they just want to find or cheat it from their friends. Why does this situation happen? It all depends on their motives.
Morgan mentioned that motive is the driving force in the organism to do something and it deals with some factors, which can influence it, called motivation. Moreover, the basic motivational cycle is a driving force, the readiness to move because of the need, environment and mind; instrumental behavior; and goal. In addition, there is also an important factor which supports the cycle that is a cognitive factor.
So, how could the students be motivated to learn English if they are not aware of the use (reward) of mastering it? Don’t they realize that many companies now are looking for employees who active in English? Furthermore, don’t they agree that in this Information Technology (Internet) era English is the main language used? No wonder, in a classroom we often hear, “I am sorry Sir. I don’t know the word. I could not write my ideas.” These were some students’ complaints when they are asked to write. Then, when they are required to speak or perform a presentation, they would say, “Excuse me, I can’t say this in English. Poor me, I can’t memorize those vocabularies.” And on a grammar quiz,” I think I am not able to understand the complicated grammar. Tenses?, Passive Voice? or Conditional Sentence? Come on. Don’t mention them. They make me crazy.” These accusations, which have been observed thousand times, show us that these students are really unhappy in their learning. It also reflects the failure of their studying English. And you know the worst? When the students are required to write and it is taken home then they will do it by Google translate. They write their essay in Bahasa Indonesia then translate it into English by using the tool. Do these sentences make sense? No. Of course not. They are not grammatical.
Moreover, it has been supported clearly by the condition that most classrooms do not give students opportunities to perform their English. The big number of students (usually more than 30) is one of the reasons for teachers not wanting to arrange this performance. They consider about the limited time they have. Most of the students’ activities will only be there for their teachers’ explanation and again, I am afraid the students won’t listen. Thus, whether the students have been in English classes for years they are still in big problems. They will be nervous speaking in front of the class, and afraid of doing written tests; moreover, they will be scared of giving English presentation. Even, in an oral test, when they are asked simple questions, they will be confused of what to say.
In addition this worrying situation is worsened by the reality that English is a foreign language. Consequently, it is almost impossible for the students to expose their English anytime unless they create a condition that enables them to practice their English. Not all of the students are lucky having parents and relatives, who are bilingual; Indonesian and in this case English, so that they can practice English at home. Some of them also do not have friends to practice. Realistically, they only listen and speak (hopefully) in the classroom. Outside the class, it sounds like they are dreaming to have a chance to use English.
If the students realize living in a country which doesn’t provide them chances to use English, they have to create their own ways to practice it. They just can’t grumble that they have no possibility to utilize it but the students should try to find ways to learn. There are some ways to create students’ behavior in learning English. They can make it through conditioning or habit formation. They may create such a condition that they use their English and get the experiences of making mistakes. There is an old proverb “Practice Makes Perfect”. It has also been mentioned that the changing in behavior is a result if practice and experience. So to practice and to experience are the best ways in learning English. Then, the question is, “Do you practice your English?”
When can the students practice? Actually, they can make use of the technology products and other facilities in improving their English. It all depends on the students’ own efforts, though. Are they listening to English songs from their smart phones? Are they watching English movies in XXI? Are they reading English magazines, newspapers or websites? Are they chatting in English? In short, there are some ways that the students can carry out. Firstly, find English TV channels or watch English movies. Secondly, write messages in English. Next, chat or “update status” in English. Hopefully, there will be somebody who may give response. These could lead them into more and more in elaborating their vocabularies. Rather than they only write small words in English such as, BTW (by the way) or CU (see you), why don’t they try to use all the words in English?

References:
Bimo Walgito. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta. Andi Offset
Diller, K.C. 1971. The Language Teaching Controversy. Massachusets. Newbury House Publihsers, Inc.

#abridged from the writer’s article published in Gocara Edisi 20/III/Mei 2010




The Best Final Assignment for Students: Essay or Report ?

“Bu, apa beda Makalah (Essay) dan Laporan (Report)?” Pertanyaan ini mungkin salah satu pertanyaan klasik yang sering terlontar dari mulut mahasiswa kita. Kita pun kerap kali merespon pertanyaan ini dengan jawaban yang sangat ‘minimalis’, seperti “Sebenarnya keduanya sama, hanya beda di format penulisan saja.” Bagi kita yang notabene adalah para ‘bangsawan pikiran’ (meminjam istilah ‘guru/kaum intelektual’ di jaman Hindia Belanda pada abad ke-19), jawaban seperti contoh diatas sudah sangat memuaskan rasa ingin tahu mahasiswa kita tentang perbedaan dua genre tulisan akademik : Makalah (Essay) dan Laporan (Report). Namun, ketika mahasiswa mengumpulkan tugas akhir mereka yang berupa Makalah (Essay) dan Laporan (Report), kita sering merasa tidak puas dengan karya tulis mereka tersebut. Hal ini tentu akan menjadi persoalan serius bila kita (dosen) memberikan nilai yang lebih besar untuk penilaian tugas akhir berbentuk Makalah dan Laporan. Untuk itu sebelum kita mendesain dan menetapkan Makalah atau Laporan sebagai tugas akhir perkuliahan ada baiknya kita perlu mencermati perbedaan mendasar antara Makalah dan Laporan, sehingga tugas akhir mahasiswa sesuai dengan standar mutu hasil pembelajaran yang kita inginkan. Adapun perbedaan mendasar kedua genre tulisan akademik tersebut terletak pada perbedaan topik bahasan, tujuan penulisan, keluaran, pembaca, format, isi, dan manfaat bagi penulis.

Pertama, Makalah dan Laporan dapat dibedakan dari pilihan topik atau isu yang dibahas. Pada Makalah (Essay) topik atau isu yang diangkat untuk dibahas lebih banyak berdasar pada sumber bacaan si penulis atau buah pemikiran kritis penulis terhadap sesuatu hal yang menarik. Contoh: Peranan Koperasi dalam Pembangunan Sosial dan Ekonomi Indonesia. Sebaliknya, topik atau isu yang dibahas dalam Laporan (Report) berfokus pada sumber bacaan penulis atau hal-hal yang terkait dengan aktivitas kerja atau bisnis yang dilakukan oleh penulis, misalnya: Kesesuaian spesifikasi hardware untuk kebutuhan kerja staf IT BAPPEDA DKI Jakarta. Adanya perbedaan topik atau isu yang diangkat pada Makalah atau Laporan mengindikasikan bahwa topik pada makalah dapat berupa pertanyaan dan proposisi/argumen. Sedangkan topik pada Laporan berawal dari rumusan masalah, studi kasus, dan percobaan (experiment).

Kedua, Makalah dan Laporan berbeda dari tujuan penulisan. Pada penulisan Makalah, penulis lebih berorientasi untuk mengelaborasi proposisi/argumen terbaik tentang suatu isu. Sedangkan penulisan Laporan (Report) lebih bertujuan untuk menginvestigasi, mendeskripsikan serta menganalisa suatu informasi atau kegiatan. Pada bagian akhir laporan, penulis diharapkan mampu merekomendasikan suatu solusi terhadap persoalan, kasus, dan percobaan yang telah dilakukan.

Ketiga, luaran (outcome) dari penulisan makalah dan laporan juga tidak sama atau berbeda. Luaran untuk Makalah umumnya berbentuk Kesimpulan yang ditarik dari evaluasi atau argumen terhadap isu yang didiskusikan. Sementara luaran untuk Laporan umumnya berupa Presentasi hasil temuan. Satu hal yang sama antar kedua jenis produk tulisan ini adalah keduanya boleh memberikan Rekomendasi terhadap tindakan atau perubahan terkait topik yang ditulis.

Keempat, pembaca untuk kedua genre tulisan ini juga tidak sama. Untuk Makalah tugas akhir perkuliahan, pembaca dan komentator makalah sudah dapat dipastikan adalah para dosen/guru atau ‘bangsawan pikiran’. Sementara untuk Laporan, pembaca bisa dosen/guru, klien (user), dan pimpinan, misalnya manager.

Kelima, Makalah dan Laporan juga memiliki karateristik format penulisan yang beda. Makalah memiliki format yang lebih ‘simple’ dimana setiap bagian atau bab dapat diberi ‘Headings’ (judul ) di bagian atas halaman. Headings pada makalah tidak perlu dinomerin. Sebaliknya, Laporan memiliki format bahwa setiap halaman atau bab harus memiliki ‘Headings’ yang sudah dinomerin. Lebih lanjut, format penulisan pada Makalah dan Laporan terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Pendahuluan (Introduction), Isi (content), Kesimpulan (Conclusion), Rekomendasi (khusus Laporan) serta mencantumkan Referensi buku bacaan serta dokumen/bukti tertulis lainnya, seperti Angket.

Keenam adalah perbedaan Isi (content) Makalah dan Laporan. Pada Makalah penambahan isi atau bab sangat tergantung pada struktur argumen yang dibuat dengan memperhatikan sistimatika pembahasan topik/isu yang diangkat dalam Makalah. Sementara pada Laporan, bila ingin menambahkan bab sangat bergantung pada tujuan dari laporan tersebut. Secara umum isi Laporan dapat dibuat dengan menjawab tiga pertanyaan sederhana sebagai berikut:
1. Mengapa aktivitas/kegiatan tersebut dilakukan?
2. Bagaimana merealisasikan kegiatan/aktivitas tersebut?
3. Manfaat apa yang didapat/dirasakan dari pelaksanaan kegiatan tersebut?
Oleh karena itu Laporan dikategorikan salah satu bentuk Technical Writing. Disebut tulisan teknis dikarenakan Laporan lebih berfokus pada pemaparan tindakan nyata di lapangan. Sangat berbeda dengan makalah yang lebih detail membahas pendapat atau ide.

Terakhir perbedaan Makalah dan Laporan ditinjau dari aspek kebermanfaatannya bagi mahasiswa. Makalah maupun laporan sama-sama bermanfaat guna mengembangkan dan meningkatkan ketrampilan menulis dan berpikir kritis. Makalah misalnya, merupakan metode standar yang bagus untuk melatih intelektualitas dan pengetahuan mahasiswa terhadap isu-isu hangat terkait materi ajar. Lebih lanjut Makalah dapat mengoptimalkan kemampuan merespon dan mengorganisir pendapat secara selektif, jelas, berurutan, serta logic. Dilain pihak, Laporan membantu mahasiswa untuk berlatih fokus terhadap apa yang sedang atau telah dilakukan (praktek) dan mengembangkan kemampuan berpikir analitis. Untuk itu penulisan Laporan sangat bermanfaat bagi mahasiswa di dunia kerja dan bisnis.

Pada akhirnya pilihan tugas akhir: Makalah atau Laporan menjadi tanggung jawab para dosen, kaum ‘bangsawan pikiran’ dengan segala pertimbangan. Satu hal yang perlu disadari bahwa apapun bentuk tugas akhir mahasiswa; Makalah atau Laporan, keduanya berguna bagi dunia pendidikan dan dunia kerja. SELAMAT MEMILIH BENTUK TUGAS AKHIR YANG TEPAT BAGI MAHASISWA.

 

 

 

 

 




Hukum + Ekonomi = Hukum Ekonomi?

Prof. DR. Abdul Manan mengatakan bahwa globalisasi ekonomi dewasa ini telah melahirkan banyak hal baru dalam perkembangan ekonomi dunia, antara lain terjadinya era pasar bebas internasional, interdepedensi sistem, baik dalam bidang politik maupun ekonomi serta budaya dan tekhnologi, lahirnya berbagai lembaga ekonomi internasional, dan lain sebagainya. Dalam kaitan dengan ini diperlukan kaidah-kaidah hukum yang dapat mengatur mekanisme hubungan agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Hukum disamping untuk menjaga ketertiban, juga diperlukan sebagai rambu-rambu dalam pembangunan ekonomi, sehingga terdapat kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pelaku ekonomi.

Sampai saat ini belum ada satupun definisi hukum yang disepakati dipergunakan oleh semua kalangan karena setiap ahli hukum memberikan definisi hukum berdasarkan sudut pandangnya masing-masing, misalnya hakim akan memandang hukum dari sudut profesi yang diembannya, demikian juga ilmuwan akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuannya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Emmanuel Kant bahwa tidak ada seorang yuris-pun yang mampu membuat satu definisi hukum yang tepat.

Sebagaimana ilmu hukum, ilmu ekonomi juga demikian yaitu tidak adanya kesamaan dari para ahli ekonomi dalam memberikan definisi yang kongkret. Menurut M. Manulang bahwa ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran adalah suatu keadaan dimana manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum ekonomi menurut Rachmad Soemitro adalah sebagian dari keseluruhan norma yang dibuat oleh Pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan ekonomi masyarakat yang saling berhadapan.

Hukum ekonomi lahir karena semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional maupun internasional. Hukum dipergunakan bukan hanya untuk mengatur kegiatan ekonomi tetapi juga agar perkembangan ekonomi tidak merugikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, hukum bukan hanya mengatur aktivitas ekonomi tetapi bagaimana pengaruh ekonomi terhadap hukum.

Selanjutnya, Prof. DR. Abdul Manan mengatakan bahwa hubungan hukum dengan ekonomi bukan hubungan satu arah tapi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Bahkan sering disebutkan bahwa hubungan hukum dengan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi. Kegiatan ekonomi yang didukung oleh hukum akan menyebabkan terjadinya kekacauan sebab apabila pelaku ekonomi dalam mengejar keuntungan tidak dilandasi dengan norma hukum maka akan menimbulkan kerugian salah satu pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi. sementara itu, era globalisasi membuat pergaulan masyarakat dunia semakin terbuka. Batas-batas Negara dalam pengertian ekonomi dan hukum semakin erat. Kedua hal ini selalu berjalan bersamaan. Oleh karena itu, segala hal yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yang telah dibahas di dalam GATT, WTO dan lembaga-lembaga ekonomi internasional lainnya harus menjadi pertimbangan serius di dalam membangun hukum ekonomi Indonesia.

Istilah dan kajian hukum ekonomi memang masih menjadi perbincangan, namun istilah hukum ekonomi (economic law, wirthafrecht) kenyataannya telah dikenal di Inggris sejak Tahun 1760-an dan hukum ekonomi telah berkembang di negara-negara Eropa lainnya. Di Perancis telah dilakukan unifikasi dan kodifikasi hukum dagang Perancis kedalam code civil dan code du commerce serta pengkodifikasian hukum pidana kedalam code penal. Demikian juga yang terjadi di Belanda mengambl alih code Napoleon dan paham-paham yang didasarinya ke dalam Burgerlijke Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (1838), dan ketika Belanda menjajah Indonesia maka BW dan WvK diberlakukan di Indonesia sejak 1848.  Meskipun hukum Ekonomi telah dikenal dalam BW dan WvK namun Hukum Ekonomi masih merupakan bidang kajian hukum yang relatif masih baru. Pada Tahun 1978, para ahli hukum telah mengkonstatir laporan simposium Pembinaan Hukum Ekonomi Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman RI dengan suatu kesimpulan bahwa mengenai pengertian dan ruang lingkup hukum ekonomi Indonesia masih terdapat perbedaan kecuali penggunaan istilah hukum ekonomi sebagai wadah pengelompokkan cabang Ilmu Hukum yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi.

Prof. Sunaryati Hartono, menjelaskan bahwa hukum ekonomi Indonesia adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia. Bahkan Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat lintas sektoral dan interdisipliner karena ia tidak hanya bersifat hukum perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum administrasi Negara, hukum antar wewenang, hukum pidana dan juga tidak dapat mengabaikan hukum publik internasional dan hukum perdata internasional. Hukum ekonomi Indonesia juga memerlukan landasan pemikiran dari bidang non hukum seperti filsafat, sosiologi, administrasi pembangunan dan dari ilmu ekonomi itu sendiri.

Pembangunan Hukum dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri, serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakkan dan perlindungan Hukum. Di dalam RPJP ini tersirat eratnya hubungan antara hukum dan ekonomi.

Sebagai bagian dari pembangunan hukum, maka berbagai bentuk aktivitas ekonomi yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan jangka panjang menjadi perhatian dan kajian penting. Sebagai salah satu contoh, salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang tengah berkembang adalah ekonomi syariah. Kajian ekonomi syariah dibahas dalam dua disiplin ilmu yaitu Ilmu Ekonomi Islam/syariah dan ilmu Hukum Ekonomi Islam/syariah. Bicara mengenai Hukum Ekonomi Syariah maka tidak mungkin terlepas dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang lahir berdasarkan Perma No 2 Tahun 2008. Namun, dalam kerangka pembangunan Hukum Ekonomi maka pembangunan Hukum Ekonomi Syariah masih memerlukan upaya yang panjang. Wallahu a’lam.




Tentang Kabar Baik

Senang banget rasanya mendengar kabar baik, apapun itu, bisa bikin tertawa girang atau sekedar senyum senyum saja.

Kabar baik tentang apapun walau sekedar bahwa hujan akan turun hari ini, itu pun adalah sebuah kabar baik, karena matahari yang terik dan udara yang panas akan didinginkan dengan turunnya hujan yang mungkin sebenarnya ujung ujungnya akan membuat jalanan macet dan becek, tidak masalah buatku, karena pada setiap hal kita bisa menganggapnya baik kalau kita mau, atau pun tidak menyenangkan, itu pun kalau kita yang berpikir seperti itu.

Lalu bagaimana kita bisa memberi kabar baik untuk orang lain? Mungkin dengan mencoba berpikir dan menempatkan diri kita pada orang tersebut sehingga kita bisa melihat dan mencoba merasakan yang seseorang harapkan dan inginkan sehingga kita bisa menjadi orang yang memberi kabar baik dengan terpenuhinya harapan dan keinginan orang tsb. Walau tidak sempurna, minimal kita berusaha, bukankah tangan di atas itu selalu lebih baik dibanding tangan di bawah? Jadi akan lebih baik kalau kita mampu membahagiakan dan menyenangkan hati orang lain, apalagi kita tahu apa yang diharapkannya itu bisa diperolehnya lewat kita. Namun, ya namanya manusia, ada saja kurangnya, kadang manusia kurang peka, kadang manusia lebih peduli pada dirinya, akibatnya manusia juga kerap mengecewakan.
Semoga sih kita bukan termasuk yang hanya peduli pada diri sendiri sehingga kita cukup peka akan apa yang orang harapkan dari kita dan akhirnya kita pun bisa menjadi penyenang hati, bukan malah membuat galau orang orang yang di dekat kita sendiri.

Kalau sudah pernah ada kejadian yang mengecewakan, ya dijadikan pelajaran saja dan seperti istilah anak jamn sekarang bilang, CT aja deh, Cukup Tahu aja deh… Ternyata segitu doang. Kita sudah berusaha baik, tapi ternyata orang yang kita baik kepadanya tidak cukup peduli akan kita, yaaa cukup tahu lah, segitu saja ternyata. Lagi pula kita ini kan baik tidak perlu menunggu orang baik ke kita, atau kita juga baik bukan karena berharap orang baik juga kepada kita, tapi kita baik karena kita tahu bahwa menjadi baik itu adalah yang seharusnya dilakukan sehingga kita baik ya cukupkan dengan mengharap ridho Allah 🙂 itu pernah saya dengar juga di ceramahnya Aa Gym (walaupun Aa Gym poligami, kalau ceramahnya mah saya masih suka dengar kok, favorit malah hehehhe).

Mari jadi orang baik yang senang memberi kabar baik ^_^

Bersikap baik




Tutorial Menulis Esai Pendek

Kegiatan tulis-menulis bukanlah hal mudah untuk dilakukan, baik yang formal maupun informal. Namun siapa saja pastinya dapat menulis dengan baik apabila dia dapat menguraikan idenya dengan teratur dan terarah. Tutorial yang saya ingin sampaikan di sini adalah ide mengenai tahap-tahap menulis esai yang baik yang pernah saya pelajari, terutama jika tulisan yang ingin dibuat adalah tulisan esai formal. Walau begitu menurut saya pribadi tahap menulis yang akan saya paparkan berikut tetap akan bermanfaat untuk bentuk tulisan apapun sehingga tulisan kita dapat lebih dipahami oleh pembaca.

Esai yang baik biasanya terdiri dari 3 bagian tulisan, 1. Pendahuluan (introduction) 2. Isi (body) 3. Penutup/kesimpulan (conclusion).

Menulis Paragraf Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan biasanya dapat ditulis hanya dalam satu paragraf mengenai ide/topik yang ingin kita tulis untuk esai tersebut, dilanjutkan dengan kalimat-kalimat yang berisi tentang ide pendukung dari topik tersebut sebagai kerangka menuju bagian paragraf isi sehingga pembaca dapat mengetahui topik yang akan mereka baca dan apa saja ide pendukung yang akan mereka baca di paragraf-paragraf selanjutnya sehingga akhirnya mereka merasa tertarik untuk terus membaca esai tersebut sampai habis.

Menulis Paragraf- Paragraf Isi
Paragraf-paragraf isi jumlahnya bergantung pada ide pendukung yang sudah disampaikan oleh penulis di paragraf pendahuluan. Misalnya topik esai adalah tentang tipe mahasiswa pada saat ujian dan paragraf isi dapat berupa tipe-tipe mahasiswa tesebut, yang kemudian tiap tipenya saya tuliskan dalan setiap paragraf dengan detil. Seandainya tipe mahasiswa tersebut ada 3, maka paragraf isi pun akan ada minimal 3 paragraf. Di paragraf isi itulah penulis akan mengembangkan ide pendukung yang sebelumnya sudah disampaikan berupa kerangka pada pargraf pendahuluan.

Menulis Paragraf Penutup/Kesimpulan
Paragraf penutup cukup ditulis dalam satu paragraf berisi kesimpulan dari hal-hal yang telah ditulis. Biasanya pada paragraf penutup akan ada pengulangan kerangka paragraf isi yang singkat, sehingga pembaca diingatkan mengenai apa saja yang telah dibacanya pada paragraf-paragraf sebelumya dan ini sangat penting bagi penulis, karena pastinya seorang penulis berharap para pembacanya dapat mengingat tulisannya dengan baik.
Demikian tutorial menulis esai yang dapat saya sampaikan. Berikut ini link ke tulisan saya yang kurang lebih mengikuti tahapan penulisan yang sudah saya jelaskan tadi (http://adelinguist.blogspot.com/2015/02/iseng-nulis-tipe-mahasiswa-saat-ujian.html), namun karena tulisannya informal, paragraf-paragraf yang saya tulis lebih bebas, panjang, dan tidak mengikuti persis aturan atau tahapan yang baku yang saya telah jelaskan. Walau begitu jika tulisannya lebih formal biasanya aturannya lebih ketat sehingga kita diharapkan dapat mematuhi tahapan yang sudah baku. Contoh lain untuk esai yang benar-benar mengikuti tahapan yang ada dapat dilihat di bawah ini
“The Hazards of Movie going”
Source: John Langan “College Writing Skills with Readings”

I am a movie fanatic. When friends want to know what picture won the Oscar in 1980 or who played the police chief in Jaws, they ask me. My friends, though, have stopped asking me if I want to go out to the movies. The problems in getting to the theater, the theater itself, and the behavior of some movie-goers are all reasons why I often wait for a movie to show up on TV.

First of all, just getting to the theater presents difficulties. Leaving a home equipped with a TV and a DVD-player isn’t an attractive idea on a humid, cold, or rainy night. Even if the weather cooperates, there is still a thirty-minute drive to the theater down a highway, followed by the hassle of looking for a parking space. And then there are the lines. After hooking yourself to the end of a human chain, you worry about whether there will be enough tickets, whether you will get seats together, and whether many people will sneak into the line ahead of you.

Secondly, once you have made it to the box office and bought your tickets, you are confronted with the problems of the theater itself. If you are in one of the run-down older theaters, you must adjust to the dusty smell of seldom-cleaned carpets. Broken springs hide in the cracked leather seats, and half the seats you sit in seem loose or tilted so that you sit at a strange angle. The newer theaters with small rooms next to each other offer their own problems.
Sitting in an area only one-quarter the size of a regular theater, movie-goers often have to put up with the sound of the movie next door. This is especially upsetting when the other movie involves racing cars or a karate war and you are trying to enjoy a quiet love story. And whether the theater is old or new, it will have floors that seem to be coated with rubber cement. By the end of a movie, shoes almost have to be ripped off the floor because they have become sealed to a deadly mix of spilled soda, hardening bubble gum, and crushed candy.

Thirdly, some of the movie-goers are even more of a problem than the theater itself. Little kids race up and down the aisles, usually in giggling gangs. Teenagers try to impress their friends by talking back to the screen, whistling, and making what they consider to be hilarious noises. Adults act as if they were at home in their own living rooms and comment loudly on the ages of the stars or why movies aren’t as good anymore. And people of all ages crinkle candy wrappers, stick gum on their seats, and drop popcorn tubs or cups of crushed ice and soda on the floor. They also cough and burp, squirm endlessly in their seats, file out for repeated trips to the rest rooms or kiosk, and elbow you out of the armrest on either side of your seat.

In conclusion, after arriving home from the movies one night, I decided that I was not going to be a movie-goer anymore. I was tired of the problems involved in getting to the movies and dealing with the theater itself and some of the patrons. The next day I arranged to have cable TV service installed in my home. I may now see movies a bit later than other people, but I’ll be more relaxed watching box office hits in the comfort of my own living room.

Semoga bermanfaat. Saya berharap apabila berkenan teman-teman dapat memberikan saran yang membangun. Terima kasih.

Jakarta, 25 Januari 2011

Adelina




Mengapa Kurikulum Harus Direvisi?

MENYELARASKAN KURIKULUM DENGAN KKNI

Sumber : Materi Pelatihan PEKERTI (Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional) 2014




PTS Sehat

Penghentian Layanan

 

Edaran-Nisbah-Dosen-Mahasiswa

0. Sosialisasi Program Kopertis 2015

0. Knowledge Sharing @ kopertis

 




Tourism vs drugs

Travel&Tourism Contribution to GDP

Foreign Affairs Minister Julie Bishop said, executing Bali Nine pair might hurt Australian tourism to Indonesia.

The direct contribution of Travel & Tourism to GDP in 2013 was IDR281,632.0bn (3.1% of GDP). Tourism activity is based on people to people, not government to government, thus, it is predicted that Australian visitor would not significantly influenced by this case. In our view, the most important thing for us  is to save our future generation.

Go ahead Mr. President, don’t afraid of their pressures or threats.

 

http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=110&id=1416

http://www.wttc.org/-/media/files/reports/economic%20impact%20research/regional%20reports/world2014.pdf.