pemberian kesaksian

Di dalam proses penyelesaian sengketa perdata (bisnis), salah satu hal penting adalah proses pembuktian. Pembuktian berarti suatu proses memberikan keyakinan kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa. Pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi suatu peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau sebagai suatu peristiwa yang diyakini kebenarannya. Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1866 disebutkan beberapa bentuk alat bukti yang dapat dipergunakan. Salah satu yang menarik adalah pembuktian dengan keterangan saksi.

Sebagai salah satu bentuk alat bukti maka saksi memiliki kedudukan yang penting karena seorang saksi memiliki syarat-syarat tertentu untuk bisa memberikan kesaksiannya. Syarat tersebut antara lain, saksi haruslah pihak ketiga yang berada ditempat peristiwa terjadi atau benar-benar mengetahui peristiwa yang menjadi pokok sengketa, selain itu saksi juga harus menyampaikan kesaksiannya secara langsung dan secara lisan. Syarat-syarat ini mengisyaratkan bahwa pemberian keterangan saksi bukan suatu perkara yang sederhana karena seorang saksi harus berkata benar (didahului kewajiban saksi untuk sumpah) dan diyakini oleh hakim bahwa saksi tidak sebagai orang yang berada dalam tekanan atau terpaksa.

Ada satu istilah di dalam Hukum yang disebut testimonium de auditu yaitu istilah yang dipakai bagi suatu keterangan yang diberikan saksi bukan karena saksi mengetahui sendiri atau mengalami sendiri peristiwa/kejadian yang dipersaksikannya, tetapi saksi mendapat keterangan dari orang lain. Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan testimonium de auditu adalah keterangan saksi di depan hakim berdasarkan keterangan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Dengan kata lain, keterangan yang diberikan saksi di depan persidangan merupakan hal-hal yang didengar atau dilihat atau dialami oleh orang lain. Keterangan semacam ini bukanlah merupakan kesaksian (lihat Pasal 1907 KUHPerdata: tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus yang diperoleh dengan memakai pikiran bukanlah suatu kesaksian), namun testimonium de auditu tetap dapat dipergunakan sebagai persangkaan (yang juga merupakan alat bukti) dan ini merupakan kewenangan hakim.

Sebagai pembanding mengenai keterangan saksi, ternyata di dalam Hukum Islam, keterangan saksi sudah dipergunakan sebagai alat bukti sejak masa Khalifah Umar Bin Khatab, sedangkan di dalam Al Qur’an perihal saksi atau memberikan persaksian ditemukan sekitar 75 ayat. Salah satu ayat yang populer tentang saksi terdapat di dalam QS 5: 8 yang berbunyi…hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil… Ayat ini menarik karena perintah memberikan kesaksian secara adil disandingkan dengan perintah menegakkan kebenaran. Dapatkah kemudian dikatakan bahwa proses pemberian keterangan dari seorang saksi secara adil sebenarnya juga dalam rangka menegakkan kebenaran?. Jika hal ini benar demikian, maka menjadi penting untuk tidak memberikan kesaksian apabila tidak dalam kerangka menegakkan kebenaran (atau memberikan kesaksian hanya semata-mata untuk kepentingan tertentu dengan cara memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak diketahui kebenarannya, atau karena kebencian terhadap suatu golongan). wallahu a’lam




Digital Creative

Bapak/ Ibu dosen, dan mahasiswa/i..berikut adalah materi Kuliah Umum “Creative Digital” yang diberikan oleh Bpk. Fauzy Ishak,S.Kom pada hari Jumat, 20 Maret 2015 di Auditorium…Ekosistem Kreatif Digital Indonesia




Public Transportation in Jakarta (Part 1)

The choices of public transportation when you are in Jakarta can be chosen from the cheapest like bus and train, to the most expensive ones, for example taxi and motorcycle taxi or Indonesian people usually call it ‘Ojek/Ojeg’.

Motorcycle taxi or Ojek/Ojeg has become one of the favorites because of the bad traffic jam Jakarta usually has. Though it’s expensive and uncomfortable, people keep choosing it to help them manage their time when they want to go anywhere, even to a very far place like the airport (Soekarno-Hatta Airport in Cengkareng, Tangerang), whose distance is about 30 km from central Jakarta. Well, I have never tried it, taking the motorcycle taxi to the airport, but I know there are some people use the service to go there because many times I am offered to use the service to go to the airport. My favorite transportation to go to the airport is Damri Bus, but sometimes I also take taxi, especially when I need to catch a very early flight, or when I arrive at Soetta Airport very late at night and Damri Bus is no longer available.

For my daily transportation, I like taking bus, one of the choices is the TransJakarta bus, the one that I usually take for going home from the office. This bus is more comfortable than the regular buses available in Jakarta. When you get seat you can sit comfortably and do like what I usually do, browsing the internet, reading, even texting people. Well, I will write you more about this Trans Jakarta bus and other transportation later. See you around!!
ojek to bandara




Namaku Adelina. Namamu siapa?

Well, sebetulnya ini adalah sebuah tulisan lama yang sudah pernah ditaruh di blog pribadi maupun di notes FB, tapi rasanya senang saja berbagi dan kali ini cerita saya dedikasikan untuk seorang bos di kantor yang membuat nama kecil ‘Adel’ menjadi nama panggilan populer untuk saya, bahkan jauh sebelum penyanyi Adele muncul ^_^ Sila dibaca.

—-
Nama seseorang adalah sesuatu yang selalu menarik untuk dibahas. Sebelumnya pun masalah nama ini sudah pernah aku bahas di blog multiplyku (akan kulampirkan di bawah catatan ini). Sebenarnya, ada sesuatu yang menggelitik yang membuatku ingin menulis tentang nama pagi ini. Tiba-tiba seorang teman SMA yang baru ketemu lagi di FB menyapaku dengan nama Lina. Pagi ini yang kedua kalinya seingatku.
Padahal seumur hidupku, hanya segelintir orang saja yang biasa memenaggilku Lina, salah satunya seorang teman di kantor yang untungnya jarang kutemui. Aku tidak bisa membayangkan seandainya harus ketemu dirinya setiap hari dan memanggilku dengan nama Lina, wah, pastinya akan aku koreksi dan kuminta dia memanggilku Ade atau Adel saja.

Sungguh, aku pun tak paham, dulu sekali, saat Ibu dan Ayah memiliki aku sebagai anak kedua mereka, nama kecil apa yang mereka berikan kepadaku. Yang aku tahu, aku kemudian biasa dipanggil Ade oleh saudara-saudaraku, teman-temanku, namun orang tuaku sendiri kerap memanggilku dengan panggilan Adelin juga. Bahkan sampai sekarang pun kakakku satu-satunya selalu memanggilku Adelin. Satu lagi yang mengesankanku adalah ketika seorang Mba Nai (red:Djenar Maesa Ayu) di acara diskusi filmnya mamanggilku dengan panggilan Adelin (Membaca ‘de-nya seperti membaca kata “depan”, tidak seperti kata “desa”) . Untuk adik-adikku sih, namaku tak pernah menjadi masalah karena mereka cukup memanggilku dengan sebutan Teteh. Walaupun sampai sekarang aku juga kerap bertanya-tanya, mengapa juga mereka memangilku teteh, bahkan ayahku alm pun selalu mentetehkan aku saat beliau sedang berbicara pada adik-adikku, padahal ayahku sendiri bukan berasal dari tanah Pasundan, melainkan dari OKU (Ogan Komering Ulu) Sumsel.

Yang kemudian mengherankan adalah, ketika aku punya akun FB ini. Lucu sebenarnya, bikin aku geleng-geleng kepala, karena tiba-tiba teman lama yang ketemu lagi di FB dengan santainya menyapa dan memanggilku Adel. Dulu waktu di SMA aku memang pernah dipanggil Adel oleh beberapa kawan karena kebetulan ada seorang kawan lain bernama Ade berada dalam satu kelas yang sama, tapi jujur, aku tidak terlalu suka dipanggil Adel. Sampai akhirnya aku bekerja dan tahu-tahu Bosku, entah atas dasar apa, mungkin supaya tidak terkesan seperti memanggil anak kecil, kemudian menobatkan Adel sebagai nama kecilku. Jadilah semua orang di kantor selalu dan tidak pernah tidak, memanggilku Adel. Padahal untuk teman-teman ketahui, di CV aku juga mencantumkan informasi bahwa nama kecilku adalah Ade.

Ada lagi yang menarik tentang namaku ini. Aku sering memperhatikan kalau ternyata ada seorang uwak (bibi/bude) dalam bahasa Sumsel, yang kalau memanggilku Ade selalu tanpa ada stres/tekanan pada bagian De. Memang terdengar berbeda. Pastinya berbeda, coba bayangkan kalau ada seorang teman yang bernama Iko tahu-tahu harus dipakaikan stres/tekanan pada bagian Ko-nya, aku yakin Iko juga tidak akan suka^_^. Tapi kalau nama Ade dipanggil tanpa stres yah ga masalah sih sebenarnya, hanya terkesan aneh dan menggantung:) Jadi tetap lah memanggilku Ade dengan tekanan pada bagian De.

Untuk teman-teman yang sudah terlanjur memanggil Adel atau Adelin juga silahkan saja, hanya, please… Jangan panggil aku Lina. Terima kasih:)


Tulisan di bawah ini dikutip dari http://namakuadelina.multiply.com/journal/item/88/aDeLiNa_tea yang ditulis pada May 6, ’09 4:08 PM

Nama saya Adelina. Di rumah, adik-adik, bahkan almarhum ayah memanggil saya teteh, karena Ibu saya adalah seseorang bersuku Sunda. Kalau kakak saya satu-satunya selalu memanggil saya Adelin. Sementara saudara-saudara ada yang memanggil saya Ade atau Adelin. Kalau teman, kebanyakan mereka memanggil Ade. Hanya di kelas 1 SMA saya dipanggil Adel karena kebetulan di kelas itu ada seorang siswa lain bernama Ade. Saya tidak masalah, hanya karena belum biasa akibatnya ketika sahabat saya, Ratih, yang kemudian akrab dengan saya setelah lulus SMA, ingin memanggil saya Adel, saya menolaknya. Please call me Ade, kata saya saat itu. Namun cerita tentang Adel tidak berhenti di situ, karena ketika saya mulai bekerja, bos saya memutuskan untuk memanggil saya Adel, padahal seingat saya di CV saya pun saya sudah menuliskan kalau nama kecil saya itu Ade. Akhirnya, sampai sekarang, saya lebih dikenal sebagai seorang Adel di tempat saya bekerja, dan Ratih sempat mengomel karena dulu saya tidak mau dipanggil Adel, tapi kenapa sekarang saya mau. Saya bilang kepada Ratih, “Kan bos gw yang mau, masa gw nolak. Kalo elo mah gpp gw tolak, hehehe.”




Apa beda foto bagus dan foto indah?

Sydney Opera House

Sydney Opera House

 

Sebagai seorang fotografer amatir yang sedikit semi profesional, kami mendirikan Indonesia Australia Photography Association (IAPA). Kami sering berdiskusi, mengadakan workshop dan juga pameran foto.  Saya jadi teringat diskusi dengan seorang kawan yg sudah lama malang-melintang di dunia fotografi. Menurutnya ada perbedaan yang mendasar antara foto bagus dan foto indah. Sementara dalam satu lomba foto, juri selalu mengutamakan foto bagus yang sekaligus indah. Kalau begitu apakah perbedaan antara keduanya?

Foto indah itu enak dilihat, sedangkan foto bagus (belum tentu indah) itu sesuai targetnya. Sebagai contoh foto Opera House, Sydney yang saya ambil dari Circular Quay itu indah, tapi sudah tidak bagus lagi karena jutaan orang sudah memotret yang sama persis. Saya yakin foto saya tersebut bila saya masukkan ke salah satu lomba foto tidak akan menang untuk alasan diatas.

Pertanyaannya kemudian apakah harus dengan skill yang tinggi dan gear yang mahal untuk dapat menghasilkan karya yang bagus sekaligus indah? Jawabannya tidak. Kalau menurut saya, dibutuhkan juga “wow effect” supaya karya kita diingat orang. Untuk menghasilkan foto bagus dan indah, wow effect dibutuhkan untuk membuat foto bagus lebih berbicara.

Menurut saya wow effect bisa didapat dengan setidaknya dua cara. Pertama, dengan sedikit keberuntungan. Contohnya ketika kita sedang menjepret kembang api, tiba-tiba ada halilintar yang menyambar. Jadilah karya kita  mendapat “bonus” halilintar .

Kedua, wow effect juga bisa kita dapatkan dengan sedikit kreativitas atau bahkan rekayasa. Mungkin kita sering melihat foto gedung luluh-lantak akibat bencana alam atau perang. Di reruntuhan itu hampir selalu kita melihat ada boneka teddy bear yang mengesankan anak menjadi korban. Kalau kita jeli melihatnya, semua teddy bear itu punya kesamaan: Terlihat baru. Mengapa demikian? Karena membawa boneka teddy bear adalah salah satu trik fotografer perang/bencana alam untuk mendapatkan hasil foto yang lebih berbicara.

Selamat menjepret kamera anda untuk menghasilkan foto bagus yang sekaligus indah!




RAW FILES IN PHOTOGRAPHY

RAW Digital Images
RAW is an image file format used by many high-end and professional digital cameras. RAW files are considered to be the best form of image file, since it does not process the picture, leaving total control of the editing to the user. RAW file size is much larger that .JPEG files, but is slightly smaller than .TIF files. RAW image files can be edited by Adobe Photoshop and Corel Paintshop Pro. RAW image files can be converted to .JPEG or .TIF by using ReaConverter.
Raw image files are sometimes called digital negatives, as they fulfill the same role as negatives in film photography: that is, the negative is not directly usable as an image, but has all of the information needed to create an image. Likewise, the process of converting a raw image file into a viewable format is sometimes called developing a raw image, by analogy with the film development process used to convert photographic film into viewable prints. The selection of the final choice of image rendering is part of the process of white balancing and color grading.
Like a photographic negative, a raw digital image may have a wider dynamic range or color gamut than the eventual final image format, and it preserves most of the information of the captured image. The purpose of raw image formats is to save, with minimum loss of information, data obtained from the sensor, and the conditions surrounding the capturing of the image (the metadata).
Raw image formats are intended to capture as closely as possible (i.e. at the best of the specific sensor’s performance) the radiometric characteristics of the scene, that is, physical information about the light intensity and color of the scene.
Shooting in RAW
If you do shoot in Raw, your computer rather than the camera will process the data and generate an image file form it. Guess which has more processing power: your digital camera or your computer? Shooting in Raw will give you much more control over how your image looks and even be able to correct several sins you may have committed when you took the photograph, such as the exposure.
To take advantage of this you will certainly need to use some software on your computer to process the files and produce JPEGs (or TIFFs). I have found the Camera Raw that comes with Adobe Photoshop CS2 to be very good at processing Raw files (even batch processing them), though everybody has their favorite (RawShooter has a lot of fans). When you load a Raw file using Adobe Photoshop CS2 the Camera Raw dialog will automatically pop up. Most of the time the automatic settings are fairly decent, but you have the chance to change the white balance, exposure, contrast, saturation, and even calibration of the red, green, and blue guns or correct for lens abberation – all lossless.
If the white balance is off I have found that it is much easier to fix using the Camera Raw screen than loading the JPEG and manipulating that – the end result is much better as well. The richness, detail (sharpness), color range and ability to adjust these settings end up being so much greater with a Raw file, even though what a Raw file looks like before processing is anything but rich and sharp. As a side note, all of my work that uses creative coloring was colored using the white balance settings in the Camera Raw dialog.
Part of the conversion to JPEG are sharpening algorithms and as a result, the unprocessed Raw file is less sharp. Two things can affect this, one is the brand of camera (Nikon cameras are generally considered sharper, but this is not true across all models) and the other factor is the user settings for sharpening in the camera. Loading a Raw file in a program such as Adobe Photoshop CS2 will automatically apply white balance, sharpening, contrast, brightness, etc… and can even batch process Raw files. I often use this feature as a first pass and then go back and adjust the settings if needed. This is especially helpful because even if I did everything correct in camera when I took the photo and my conversion software was able to use the full processing power of my desktop computer, the conversion to JPEG could still trick the camera or my computer and only my eye can produce the correct while balance, contrast, brightness, etc…
What software is good to use with RAW?
• Microsoft RAW Image Thumbnailer and Viewer for Windows XP (essential for Windows based photographers)
• Picasa (Free!)
• Adobe Photoshop CS or CS2
• RawShooter Premium (recently bought by Adobe)
• ACD See (for Digital Asset Management)
• Portfolio Extensis 8 (for Digital Asset Management)
• iView Media Pro (DAM, recently bought by Microsoft)
• BreezeBrowser Pro (DAM, I also love their Downloader Pro for use with my card readers)
• Adobe Lightroom (beta)
• Capture One
• IrfanView
• DXO Optics Pro
• Picture Window Pro
• the software that came with your camera
• more software comes out all the time…

JPG file
Lbng2

RAW file
Lbng1

JPG file
Jog1

RAW file
Jog2




Two-Stage Graph-Clustering Algorithm and Localized Classification Model to Identify Apt Business Locale

Poster Stranas 2014

Poster Stranas 2014

Previous studies conducted in the economy, finance and business management fields have found that there exists a collection of business agglomerations, which contain various numbers of firms that are spread on a specific region. Based on this realness, the selection of apt business locale for a new establishment should then be considered as a trial to identify the prospective business agglomeration in which the new establishment would be able to compete with existing firms. Consequently, a pertinent method that works by characterizing the business agglomerations from a collection of business firms data and subsequently computes the projection of business performance level of a new establishment in each identified agglomeration is developed in this study. A two-stage graph-clustering algorithm that purposively designed to unravel the task of business agglomerations identification is introduced, whereas the localized classification models perform the prediction of business performance level in each known agglomerations. Decisively, results from conducted experiment suggest that the proposed method is beneficial to distinguish the apt business locale for new establishments in a particular region with a collection of business agglomerations.

http://www.inderscience.com/info/ingeneral/forthcoming.php?jcode=ijbis




Jumlah Guru Besar Akuntan di PTN dan PTS

Majalah Akuntan terbitan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)  edisi Desember 2014 merilis artikel yang menurut saya sangat menarik yaitu “Guru Besar di ‘Kawah Candradimuka’ Akuntansi” karena membahas mengenai kelangkaan Guru Besar Akuntan (GBA) baik di PTN dan PTS.  Saya tidak mengerti arti istilah candradimuka. Kemudian setelah saya browsing di Internet ternyata artinya adalah tempat penggemblengan diri supaya kuat, terlatih, dan tangkas.

Artikel itu menyatakan bahwa sejak tahun 1953, baru ada 100 orang Guru Besar Akuntan di Indonesia. Dari jumlah itu, 9 orang diantaranya sudah tutup usia, dan 26 orang sudah berusia di atas 65 tahun.  Dinyatakan juga bahwa jika batas usia produktif dirata-ratakan di usia 65 tahun, maka saat ini di Indonesia hanya 65 GBA yang masih aktif.

Artikel itu juga menyoroti bahwa salah satu penyebabnya adalah banyak akuntan yang sudah nyaman dengan posisi empuk yang didapatnya di Kantor Akuntan Publik, menjadi CEO atau CFO di perusahaan swasta serta posisi penting di pemerintahan sehingga enggan untuk melanjutkan studi atau nyaris tidak memiliki waktu untuk melakukan penelitian, menulis buku, atau membuat tulisan yang dimuat di jurnal nasional atau internasional.

Saya baru menyadari bahwa ternyata kelangkaan akuntan tidak hanya pada Profesi sebagai Akuntan Publik, ternyata juga pada jenjang karir tertinggi sebagai Dosen seperti jabatan fungsional Guru Besar.  Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan akuntansi itu sendiri karena lulusan terbaik akuntansi lebih banyak ingin bekerja sebagai praktisi dari pada sebagai pendidik di perguruan tinggi. Apalagi, kenyataan bahwa kompensasi sebagai akuntan diperusahaan lebih menjanjikan dibandingkan berprofesi sebagai dosen di Perguruan Tinggi dengan beban kerja dan sangsi terhadap pelanggaran nilai-nilai akademik yang semakin berat.

Hal yang menarik lagi dari artikel itu adalah STIE Perbanas Jakarta berada pada rangking kelima dengan 2 (dua) Guru Besar Akuntan dibanding se PTS Indonesia dan setara dengan PTN seperti Universitas Andalas dan Universitas Riau serta berada  diatas Universitas Hasanudin, Makasar.  Tentunya data ini adalah data yang belum update karena STIE Perbanas Jakarta sekarang telah berubah menjadi Institut Perbanas.

 




Terus Bergerak

Di Jakarta, perbedaan 5 menit saja akan bisa berbeda hasilnya. Biasanya gue dan keluarga berangkat dari rumah pukul 06.00. Tapi hari ini “sedikit” telat, yaitu berangkat pukul 06.05. Akibatnya anak-anak yang gue drop di dua sekolah berbeda lokasi — Kebayoran Lama dan Kebayoran Baru — harus menghadapi telat hampir 15-20 menit dari biasanya yang tidak telat.

Termasuk gue dan istri yang biasanya harus sudah “masuk” daerah Sudirman sebelum pukul 06.45 untuk menghindari 3in1, hari ini pukul 07.00 masih di luar kawasan pembatasan jumlah penumpang tersebut. Mau tidak mau, gue harus menggunakan jasa joki 3in1.

Namun tidak seperti biasanya gue dan istri menggunakan jasa joki 3in1 seorang ibu yang sedang menggendong anak balita, pagi ini gue menggunakan jasa seorang laki-laki yang sudah berumur. Sampai-sampai bapak joki ini untuk naik ke mobil sedikit kesulitan, mungkin punya masalah dengan kesehatan tulang belakang.

“Selamat pagi, pak…” sapa gue berbasa-basi ke bapak joki tersebut. Setelah pintu tertutup rapat, langsung pedal gas mobil gue bejek untuk memasuki kawasan 3in1. Basa-basi kedua pun berlanjut, “… tinggal di mana, pak….”

Bapak joki itu ternyata tinggal cukup jauh dari Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tempat gue mengajak dia naik mobil barusan. Dia tinggal di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Kesimpulan kilat langsung gue buat dan semoga tepat: berarti bapak ini pergi ke Kebayoran Baru hanya untuk mencari uang sebagai joki 3in1, karena daerah Pasar Rebo bukanlah daerah “pintu masuk” kawasan 3in1. Iya, joki lebih banyak berkumpul pada jalan-jalan dekat menuju kawasan tersebut. Ternyata kesimpulan kilat gue tadi tidak tepat.

Kejutan lain ikut berkelanjutan. Bapak joki tadi bercerita bahwa selesai pembatasan 3in1 jam 10 nanti, dia sudah ada janji dengan beberapa sopir pribadi di daerah GBK Senayan, Jakarta Selatan, untuk memberi pelatihan bahasa Inggris ke mereka yang memiliki majikan expatriat. Juga besok di jam yang sama di lokasi berbeda yaitu pada parkiran perkantoran Sudirman, pelatihan yang sama sesuai permintaan sebuah perusahan asing untuk sopir-sopir perusahaan. Honor mengajar setiap murid sekali pertemuan selama satu jam, sama dengan honor dia sebagai joki 3in1, yaitu 20 ribu rupiah.

Kejutan pun belum berhenti. Bapak joki tadi mengeluarkan sebuah cover buku dummy-print tentang kisah hidup Nabi Muhammad SAW — nabi agama Islam yang gue yakini. Karena gue hanya melirik cover buku tersebut lewat spion tengah mobil, sambil fokus menyetir gue langsung menebak sebuah buku yang pernah gue baca,

“Itu buku karangan Karen Amstrong..?” Ternyata gue salah, buku Karen Amstrong yang benar berjudul Muhammad: The Biography of the Prophet (1991). Kemudian gue mencoba lagi dengan tebakan-tebakan buah manggis ketika teringat sebuah buku lain yang pernah gue baca,

“…atau buku karangan Husein Haikal..?” Seorang penulis, juga jurnalis, sekaligus politisi, dan pernah menjadi Menteri Pendidikan Mesir, Dr. Muhammad Husein Haekal, pernah menerbitkan buku berbahasa Arab berjudul Hayat Muhammad (1935) yang terbit di Indonesia dengan judul Sejarah Hidup Muhammad.

Ternyata gue salah juga. Bapak tadi bercerita bahwa dia sendiri yang menulis buku berjudul The History of Prophet Muhammad untuk siswa usia SMP dan SMA dengan tujuan belajar sejarah agama sambil belajar bahasa Inggris. Iya, layout dari content buku tersebut 2 kolom dimana kolom kiri versi bahasa Inggris dan kolom kanan versi bahasa Indonesia. Menariknya, setiap akhir bab, terdapat daftar vocabulary agar mempermudah siswa dalam memperkaya kosa kata bahasa Inggris. Sumber penulisan dia adalah dari 8 jilid buku biografi Nabi Muhammad SAW yang dimiliki seorang ulama ahlul sunnah wal jama’ah.

Karena tengsin dua kali salah tebak, gue coba menutupi malu dengan bilang ke bapak joki bahwa banyak ulama ahlul sunnah mengingatkan kalau Karen Amstrong cenderung orientalis dan Husein Haekal cenderung liberalis. Jadi harus sedikit berhati-hati kalau membaca buku tulisan mereka.

Belum selesai, kejutan terus bertambah. Ternyata seorang pengusaha pernah menjadi donatur dengan menerbitkan 5.000 buku bapak joki tadi, termasuk pengurusan ISBN, serta distribusi ke perpustakaan sekolah-sekolah di sekitar Jakarta. Kejutan tambahan, dia sekarang sedang membangun mesin cetak manual non-digital dari komponen-komponen mesin cetak bekas, yang menurutnya sudah mencapai 70% selesai. Apabila selesai dia akan menjalankan usaha percetakan di rumahnya di Pasar Rebo.

Kejutan terakhir adalah profile dari bapak joki itu sendiri. Anak-anaknya 3 orang sudah mentas semua, sudah berkeluarga dan memberikan 6 cucu. Dia sendiri sudah ditinggalkan istri yang mendahului menghadap Tuhan. Dan sebagai kejutan pamungkas bapak joki tersebut adalah: usia dia sekarang sudah 71 tahun. What..?! Seumur segitu masih cari nafkah sebagai joki 3in1, mengajar bahasa Inggris, menulis buku sejarah agama dan pelajaran bahasa Inggris, serta masih berusaha untuk menjalankan usaha percetakan sendiri..???! Wow…!

Ada benang merah yang gue tarik dari runutan kejutan yang gue terima pagi ini:
Bahwa sebagai mahluk hidup tidak selayaknya hanya berdiam diri….
Bahwa sebagai ciptaan Tuhan sudah selayaknya berguna bagi mahluk hidup lain….
Bahwa sebagai mahluk hidup ciptaan Tuhan sudah seharusnya terus bergerak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat ke banyak orang….

Terus bergerak, dan jangan jadikan hidup kita sekedar rutinitas hanya makan dan, maaf, berak.

HM Ihsan Kusasi
March 12, 2015

activate javascript




Cinta dan kematian

Menyebut kata “kematian” seperti mengingatkan sesuatu yang rasanya tidak ingin diingat-ingat, atau belum ingin menjumpainya, atau merasa ngeri, atau merasa belum siap dan lain-lain. Padahal kematian adalah suatu keniscayaan. Semua sadar bahwa suatu ketika akan sampai pada peristiwa itu, dalam kondisi siap ataupun tidak siap karena semua makhluk yang bernyawa pasti mati (QS 3:188), tetapi sebagaimana lagu bimbo….jangan pernah mengharapkan mati apalagi mencari kematian.

Menyikapi kematian, yang paling tepat adalah sebagaimana diungkapkan oleh “Hatim” dalam salah satu syairnya: ..aku tau rizkiku tidak mungkin tertukar dengan rizki orang lain karenanya aku tak pernah gelisah, dan aku sadar kematian bisa datang kapan saja menemuiku, karenanya aku senantiasa mempersiapkan kedatangannya ..

Jadi, tugas kita adalah mempersiapkan kedatangan tamu tersebut….dialah malaikat maut. Salah satu persiapan yang dapat dilakukan adalah menjaga kebeningan hati, karena hanya dengan beningnya hati bisa tumbuh kecintaan kepada Tuhan semesta alam, dan jika Cinta sudah bersemayam di dalam hati seorang hamba maka ketahuilah bahwa Tuhan juga sudah mencintainya karena tidak mungkin suara tepukan berasal dari sebelah tangan….demikian ungkapan indah Jalaludin Rumi.

Apa pentingnya mencintai Tuhan semesta alam?. Cinta merupakan kekuatan penggerak untuk orientasi pada kehidupan setelah kematian karena ada hasrat untuk bertemu dengan yang dicintainya (QS 18:110), dan jika orientasi itu sudah jelas maka akhirnya seluruh aktivitas ditujukan dan dijalani dengan konsep “apa yang disukai oleh yang dicintai”.

Bahkan jika gejolak Cinta itu telah begitu kuat maka akan sampai pada satu titik yang tercermin dalam kalimat yang diungkapkan oleh Rabithah Al Adawiyah. Di dalam riwayat dikisahkan suatu ketika Rabithah Al Adawiyah berlari dengan membawa obor ditangan kiri dan membawa kendi berisi air ditangan kanan, ia mengatakan, barangsiapa yang beribadah karena takut neraka maka akan aku siram neraka dengan air kendi ini dan barangsiapa beribadah karena mengharapkan surga maka akan aku bakar surga dengan api obor ini. Tidakkah patut Tuhan disembah meskipun IA tidak menciptakan surga dan neraka? Kalimat ini mengisyaratkan bahwa ketika Cinta dan rindu sudah bersemayam maka tidak diperlukan lagi hal lain bahkan “hadiah dan hukuman” pun tidak diperdulikan lagi karena yang diharapkan hanya perjumpaan dengan yang Maha dicintai.

Persoalan yang penting adalah bagaimana caranya menumbuh kembangkan rasa Cinta itu sehingga semua aktivitas dalam kehidupan yang singkat ini orientasinya jelas, dan kematian menjadi suatu peristiwa yang bukan hanya tidak ditakuti tetapi menjadi suatu hal yang tidak penting karena dianggap hanya pintu gerbang menuju perjumpaan dengan yang dicintai yaitu Al Haq.