Learning Organization dan Abad Kemanusiaan

Learning Organization: Penanda Abad Kemanusiaan

Konsep dan praktek learing organization (LO) telah menandai suatu perubahan radikal atas haluan berpikir tentang bagaimana organisasi sebagai kreasi manusia harus ditempatkan dalam kerangka peradaban umat manusia. Pemahaman seperti ini relevan bagi kita untuk memahami mengapa perkembangan adopsi konsep LO dan penerapannya yang menyeluruh nampak masih berjalan lambat dan sporadis. Sebagaimana diketahui, konsep LO telah populer selama seperempat abad, yaitu sejak dipopulerkan oleh Peter M. Senge melalui karya The Fifth Discipline: The Art and Practice of Learning Organization.

LO merupakan nama bagi segala konsep dan praktek organisasi yang menempatkan manusia dan kemanusiaan yang utuh sebagai puncak dari segala ikhtiar penciptaan nilai tambah melalui kerjasama di antara orang-orang yang berhimpun dalam suatu komunitas. Revolusi ini diperlukan untuk mengobati “luka-luka” terhadap manusia dan kemanusiaan yang diwarisi oleh umat manusia dari masa lalu sebagai akibat dari keterbatasan-keterbatasan dalam pendekatan-pendekatan pengorganisasian.

Era nomaden telah mewariskan perasaan sakit dan semangat permusuhan di antara kelompok-kelompok kesukuan akibat perebutan-perebutan wilayah dan sumber daya alam. Berbagai perang di antara suku-suku yang mengembara mewariskan ketakutan terhadap semua pihak “yang bukan bagian dari kelompok kita.” Alam yang ganas, seperti ditunjukkan melalui wabah dan bencana alam yang mengancam eksistensi spesies manusia bahkan telah membuat leluhur kita menyembah alam sebagai yang mahakuasa. Dari hal terakhir ini, kita mewarisi dalam DNA kita semangat permusuhan dan penaklukan alam tanpa ampun. Maka, krisis lingkungan hidup terjadi sampai hari di mana-mana.

Era ketika umat manusia mulai menetap dan bertani menunjukkan posisi manusia yang mulai mendominasi alam. Tanah yang tandus dapat dikulitivasi, artinya dapat diintervensi dan tunduk pada kemampuan manusia. Binatang-binatang yang dahulu diburu kini didomestikasi, bahkan dikuasai oleh manusia. Kuda, unta, dan kerbau, misalnya, dijinakkan dan dipekerjakan sebagai faktor produksi. Dari sinilah kita mewarisi istilah manajer dan “stick and carrot.”

Manusia menjadi tuan atas alam. Pada masa ini umat manusia mulai melalukan pembagian tugas (division of labor), seperti wanita bekerja di dalam dan sekitar wilayah rumah (domestik), sedangkan kaum pria mengurusi ladang. Alam masih dipandang keras dan lebih tepat diadapi oleh kaum pria. Sedangkan wanita diyakinkan untuk menerima bahwa mereka pada dasarnya lemah dan lebih cocok berada di tugas-tugas dalam lingkup seputar rumah. Kaum tuan tanah menjadi majikan dan buruh tani menjadi penggarap yang diawasi oleh para supervisor. Seluruh kondisi ini dapat dirumuskan sebagai fase dimana ada pihak yang lebih cerdas-hebat-tangguh dan ada fihak yang terbatas secara mental-marjinal -lemah. Dalam semangat ini dapat dipahami mengapa perbudakan dan penjajahan menjadi sesuatu yang masuk akal pada masa lampau.

Situasi hubungan-hubungan yang tidak seimbang ini diperparah oleh pengorganisasian pada era industrialisasi di abad keduapuluh, yaitu birokrasi. Dari sini kita mewarisi kebiasaan-kebiasaan pembagian tugas yang kaku dan hirarki yang dipatenkan sebagai kunci sukses pengorganisasian.

Seluruh situasi masa lalu hingga abad keduapuluh mewariskan suatu cara pandang yang tidak seimbang. Dunia selalu dihadapi dengan pola pikir bipolar dengan pertarungan abadi di antara dua kutub dengan hasil akhir salah satu menjadi pemenang dan berkuasa sedangkan yang lain menjadi pihak yang kalah dan dikuasasi; situasi posisi menang-kalah dipandang sebagai kebenaran. Warisan terburuk yang dialami adalah terjadi Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Selain itu, diwarisi juga pola pikir yang selalu mempertentangkan Barat versus Timur, badan versus jiwa, pria versus wanita, kita versus mereka, dunia versus akhirat, kepentingan kantor versus kepentingan keluarga, kepentingan umum versus kepentingan pribadi.

Di penghujung akhir abad keduapuluh, umat manusia menyadari pentingnya revolusi berpikir untuk mengarus-utamakan kemanusiaan sebagai puncak dari segala ikhtiar manusia. Pengorganisasian yang berporos bipolar perlu dipuntir ke arah pendekatan yang holistik, seimbang, selaras, dan serasi. Karena kehidupan manusia pada dasarnya utuh dan satu. Maka segala sisi yang tampak bertentangan, bahkan seolah bermusuhan, perlu dikelola dalam suatu harmonisasi melalui pengelola keberagaman (diversity management); menghadapi dan mengelola paradoks-paradoks. Sejarah dunia pada fase ini ditandai oleh dekolonialisasi yang disengaja dan dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dari sinilah LO dimunculkan sebagai “antidote” atas kelemahan-kelemahan pengorganisasian di masa lalu dan akibat-akibat negatifnya. Organisasi-organisasi yang cerdas atau memiliki kemampuan pembelajaran yang lebih tinggi mampu menyatukan semua perbedaan dan melakukan sinergi guna memajukan kehidupan yang lebih luhur, adil, dan sungguh-sungguh menghargai harkat dan martabat manusia. Paling kurang, hal ini telah menjadi sebuah kesadaran universal.

Dengan demikian, penerapan LO yang ideal menuntut perubahan mendasar dalam dua arah. Pertama, perlu dilakukan “unlearning the past.” Kedua, perlu ada kecerdasan lebih tinggi untuk “inventing the future.” Hal ini hanya bisa dilakukan jika systems thinking menjadi pola dasar di dalam memahami organisasi dan pendayagunaannya.




Dukungan Teknologi Informasi Pada Tujuan Bisnis Perusahaan (Bagian 2)

Seperti yang telah disampaikan pada tulisan bagian 1, dimana penulis selanjutnya akan menjelaskan angka yang ada pada tujuan TI yang terkait dengan tujuan bisnis. Semua angka yang ada tersebut memiliki penjelasan yang dapat menggambarkan berbagai proses yang dilakukan dan harus dikelola dengan baik, agar tujuan bisnis yang diharapkan dapat tercapai sesuai harapan.  Berikut adalah penjelasan penomoran tujuan TI

Tabel definisi tujuan TI
No Tujuan TI
1 Respon terhadap kebutuhan bisnis yang selaras dengan strategi bisnis
2 Respon terhadap kebutuhan tata kelola yang sesuai dengan arahan direksi
3 Kepastian akan kepuasan pengguna akhir dengan penawaran dan tingkatan layanan
4 Pengoptimasian dari pengguna informasi
5 Penciptaan TI yang tangkas (IT agility)
6 Pendefinisian bagaimana kebutuhan fungsional bisnis dan kontrol diterjemahkan dalam solusi otomatis yang efektif dan efisies
7 Perolehan dan pemeliharaan sistem aplikasi yang standar dan terintegrasi
8 Perolehan dan pemeliharaan infrastuktur TI yang standar dan terintegrasi
9 Perolehan dan pemeliharaan kemampuan TI sebagai respon terhadap strategi TI
10 Jaminan akan kepuasan yang saling meguntungkan dengan pihak ketiga
11 Jaminan akan konsistensi terhadap integrasi aplikasi ke dalam proses bisnis
12 Jaminan transparansi dan pemahaman terhadap biaya TI, keuntungan, strategi, kebijakan dan tingkat layanan
13 Jaminan akan penggunaan dan kinerja dari aplikasi serta solusi teknologi yang sesuai
14 Kemampuan memberikan penjelasan dan perlindungan terhadap aset-aset TI
15 Pengoptimasian infrastruktur, sumberdaya dan kemampuan TI
16 Pengurangan terhadap ketidaklengkapan dan pengolahan kembali dari solusi dan penyampaian layanan
17 Perlindungan terhadap pencapaian sasaran TI
18 Penentuan kejelasan mengenai resiko dari dampak bisnis terhadap sasaran dan sumber daya TI
19 Jaminan bahwa informasi yang kritis dan rahasia disembunyikan dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan
20 Kepastian bahwa transaksi bisnis secara otomatis dan pertukaran informasi dapat dipercaya
21 Jaminan bahwa layanan dan infrastruktur TI dapat sepatutnya mengatasi dan memulihkan kegagalan karena error, serangan yang disengaja maupun bencana alam
22 Kepastian akan minimnya dampak bisnis dalam kejadian gangguan layanan atau perubahan TI
23 Jaminan bahwa layanan TI yang tersedia sesuai dengan yang dibutuhkan
24 Peningkatan terhadap efisiensi biaya TI dan kontribusinya terhadap keuntungan bisnis
25 Penyampaian rancangan tepat waktu dan sesuai dengan kualitas standar maupun anggaran biaya
26 Pemeliharaan terhadap integritas informasi dan pemrosesan infrastruktur
27 kepastian bahwa TI selaras dengan regulasi dan hukum yang berlaku
28 Jaminan bahwa TI dapat menunjukan kualitas layanan yang efisien dalam hal biaya, perbaikan yang berkelanjutan dan kesiapan terhadap perubahan di masa mendatang

 

Untuk mengetahui sejauh mana peranan teknologi informasi telah dapat merepresentasikan tujuan bisnis organisasinya, perlu dilakukan evaluasi pengelolaan teknologi informasi melalui kegiatan audit teknologi informasi yang tentunya terkait langsung dengan tujuan TI.

Dalam kaitannya dengan tabel sebelumnya yang ada pada penulisan di bagian 1, sebagai contoh dijelaskan bahwa tujuan bisnis pada persfektif keuangan disampaikan “Penyediaan pengembalian investasi yang baik dari bisnis yang dibangkitkan TI” dan berelasi dengan tujuan TI pada nomor 24, yaitu “Peningkatan terhadap efisiensi biaya TI dan kontribusinya terhadap keuntungan bisnis”, pernyataan ini menyampaikan bahwa penerapan keselarasan antara investasi yang dilakukan untuk pengadaan infrastruktur TI tentunya penggunaannya harus berdampak signifikan terhadap peningkatan keuntungan perusahaan. Untuk contoh lainnya misal pada perspektif pelanggan dengan tujuan bisnis “Peningkatan layanan dan orientasi terhadap pelanggan” dan selaran dengan tujuan TI pada nomor 3 dan 23, dengan deskripsi tersebut pada table di atas, pernyataan ini meingisyaratkan bahwa Kepastian akan kepuasan pengguna akhir (end user) harus ada Jaminan bahwa layanan TI yang tersedia sesuai dengan yang dibutuhkan. Untuk pernyataan keselarasan lainnya pembaca dapat membandingakan dua table yang ada, yaitu pada tulisan yang pertama (bagian 1) dan tulisan yang kedua ini (bagian 2). Ini semua dapat terjadi tentunya penerapan IT yang ada harus benar-benar diawasi, dikendalikan dan diaudit.

Dalam melakukan audit, diperlukan sebuah standar yang bisa membantu agar terjadi pengukuran yang valid dan realable. Dalam tulisan ini, standar yang digunakan adalah COBIT 4.1 dengan mengacu pada Balanced Scorecard. Standar COBIT (Control Objectives for Information and related Technology) dipilih karena kerangka kerja COBIT memberikan gambaran paling detil mengenai strategi dan kontrol dalam pengaturan proses teknologi informasi yang mendukung keselarasan strategi bisnis dan tujuan teknologi informasi (Sarno, 2009). Dalam standar COBIT juga terdapat perhitungan nilai Maturity Level yang merepresentasikan tingkat keselarasan tujuan teknologi informasi dan tujuan bisnis organisasi.

Sedangkan Balanced Scorecard yang sudah diterangkan pada tulisan pertama (ke-1), merupakan kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara faktor keuangan dan non-keuangan baik jangka pendek maupun jangka panjang serta kondisi internal maupun eksternal (Sarno, 2009).

Aktivitas audit tentunya perlu dilakukan untuk mengukur dan memastikan kesesuaian pengelolaan baik sistem maupun teknologi informasi dengan ketetapan dan standar yang berlaku pada suatu organisasi, sehingga perbaikan dan peningkatan pelayanan berbasis TIK dapat dilakukan dengan lebih terarah dalam kerangka perbaikan berkelanjutan (Sarno, 2009: 27). Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan audit adalah :

  1. Perencanaan audit dengan merumuskan langkah-langkah yang sistematis.
  2. Pengumpulan bukti-bukti dan menilainya.
  3. Analisis dan evaluasi temuan terhadap aturan yang sudah ditetapkan.
  4. Penyusunan laporan akhir hasil dari pemeriksaan.

 

Penjelasan lainnya yag terkait dengan tujuan bisnis adalah menurut McLeod (2004), yaitu tujuan bisnis dapat tercapai apabila dijalankan dengan menggunakan strategi bisnis yang tepat, sedangkan Strategi (Edwards, 1995) dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang terintegrasi dan ditujukan untuk meningkatkan faktor-faktor yang menentukan tujuan dan kemampuan organisasi.

framework cobitCOBIT (Sarno, 2009: 19) mendefinisikan tujuan bisnis terkait dengan aktivitas teknologi informasi yang umumnya ada di perusahaan. Pada kerangka kerja COBIT hanya menjelaskan tujuan-tujuan bisnis yang berkaitan dengan proses teknologi informasi. Demi memudahkan proses kontrol, COBIT mengelompokkan tujuan tersebut ke dalam perspektif kinerja Balanced Scorecard seperti terlihat dalam tabel F.1 (ITGI, COBIT 4.1, 2007). Perusahaan/organisasi mungkin tidak memiliki semua tujuan bisnis seperti yang dikelompokkan dalam tabel tersebut. Dalam penyusunan tujuan bisnis, perusahaan dapat memilih yang sesuai dengan karakteristik organisasinya masing-masing. Pemilihan tujuan bisnis dapat dilakukan dengan mendefinisikan proses bisnis utama maupun bisnis pendukung organisasi terlebih dahulu.

Pada penulisan berikutnya atau pada bagian 3, akan diberikan penjelasan rinci terkait dengan cobit dan cara menggunakannya untuk melaksanakan audit, agar dapat terlihat bagaimana korelasi antara tujuan bisnis dan tujuan TI, serta mengetahui seberapa jauh tingkat hubungannya (maturity level) yang ada pada perusahaan pada saat audit dilaksanakan. Penulis akan memberikan contoh bagaimana melaksanakan audit, mulai dari tahapan sampai pada hasil yang didapat untuk kasus tertentu.

oleh : Deden prayitno, dosen perbanas institute

Referensi :

Casarino, Richard.(2007), Information Systems Auditing, , WILEY

Sarno, Riyanarto. 2009. Audit Systems & Information Technology. ITS Press : Surabaya.

http://www.isaca.org/Knowledge-Center/cobit/Pages/COBIT-Case-Study-Integrating-COBIT-4-1-Into-the-Internal-Audit-Function.aspx

PENGUKURAN KESELARASAN TUJUAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN TUJUAN BISNIS UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF PROSES BISNIS/INTERNAL MENGGUNAKAN STANDAR COBIT 4.1.

 




LEGALITAS KONVERSI PIUTANG MENJADI PENYERTAAN MODAL PERSEROAN TERBATAS

 

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Ada masalah dalam konversi piutang menjadi penyertaan modal dalam Perseroan Terbatas. Masalah tersebut dapat berupa ketidaksetaraan kedudukan para pihak, rekayasa untuk penguasaan perusahaan, penghindaran dari gugatan pailit dan manipulasi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Konversi piutang adalah salah satu penyelesaian pemberesan utang-piutang dari kreditor terhadap debitornya, walau pun tidak lepas kemungkinan inisiatif dari debitor. Penyelesaian piutang dapat dilakukan dengan cara litigasi maupun non-litigasi.

Penyelesaian piutang melalui litigasi dapat dilakukan melalui proses pengadilan, dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan niaga, berupa gugatan pailit. Tujuannya adalah mendapat pelunasan dari penjualan harta pailit. Tentu saja cara ini tidak smart, kecuali punya niatan untuk menghancurkan bisnis debitor, pertimbangan utamanya adalah apakah kreditor akan mendapat pelunasan sementara debitor memiliki banyak kreditor. Sikap smart kreditor di sini adalah mampu mempertimbangkan secara baik potensi dan prospek dari usaha debitor. Jika debitor masih mempunyai potensi dan prospek, maka  tunas-tunas yang masih dapat berkembang diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Dengan demikian kemitraan tetap dapat dilanjutkan, oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remidium.

Utang-piutang yang bermasalah ini mempunyai dampak yang sangat luas terhadap seluruh aspek perekonomian. Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat dari adanya utang-piutang ini, pemerintah Indonesia memberikan atau memprioritaskan untuk melakukan restrukturisasi utang atas piutang bank pada sektor perbankan dengan pertimbangan bahwa sektor perbankan diumpamakan sebagai jantungnya perekonomian Indonesia, yang dimana apabila perbankan tersebut sehat maka perekonomian negara pun juga mengarah ke arah yang positif dan akan berdampak ke semua sektor perekonomian.

Restrukturisasi, sering disebut sebagai downsizing atau delayering, melibatkan pengurangan perusahaan di bidang tenaga kerja, unit kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan dalam struktur oganisasi perusahaan. Pengurangan skala perusahaan ini diperlukan untuk memperbaiki efisiensi dan efektifitas.

Restrukturisasi utang merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan utang piutang yang terjadi. Program Restrukturisasi utang biasanya diberikan kepada debitor yang pelunasan utangnya tidak lancar atau macet,  bukan karena debitornya tersebut nakal atau sengaja tidak mau membayar. Biasanya ada 2 (dua) syarat yang dilihat oleh kreditor untuk merestrukturisasi utang debitor. Pertama, debitor tersebut bonafide artinya debitor  adalah orang yang dikenal dalam dunia usaha dan kredibilitasnya dapat dipercaya. Kedua,  adanya penilaian dari kreditor bahwa usaha debitor termasuk usaha yang “Going Concern” atau usaha tersebut masih dianggap berprospek dan menguntungkan untuk tetap dilanjutkan.

Restrukturisasi perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Padahal setiap kali perusahaan melakukan perbaikan, entah dalam skala kecil, atau skala besar, tujuannya adalah untuk memperbaiki kinerja. Tentu saja perusahaan tak perlu menunggu terjadi penurunan baru dilakukan perbaikan, karena bisa terlambat, sehingga perbaikan perlu dilakukan secara terus menerus. Pada umumnya istilah restrukturisasi digunakan jika perusahaan ingin melakukan perbaikan secara menyeluruh, dan tujuannya adalah untuk memperbaiki dan memaksimalkan kinerja perusahaan.

Restrukturisasi utang biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dalam perjanjian restrukturisasi itulah akan diatur pola-pola restrukturisi hutang Debitur, beserta tata cara pembayarannya. Dalam perjanjian restrukturisasi biasanya akan dicantumkan klausula pengaman yang bertujuan untuk mencegah debitur kembali wansprestasi atas perjanjian restrukturisasi. Klausula pengaman tersebut dinamakan “Recapture Clause”. Klausula ini berisi pernyataan bahwa konsesi-konsesei yang telah diberikan oleh Kreditur kepada Debitur akan dicabut jika ternyata Debitur melakukan Wanprestasi lagi atas Perjanjian Restrukturisasi tersebut, dan terhadap Debitur akan diberlakukan kembali klausula-klausula seperti yang tertera pada perjanjian kredit awal sebelum restrukturisasi.

Dalam hal setelah dilakukan restrukturisasi utang, debitor tetap tidak mampu membayar utangnya, dan ketidak mampuan tersebut bukan karena i’tikad yang buruk, maka biasanya utang tersebut akan dikonversikan menjadi asset tertentu seperti saham ataupun asset berupa barang lainnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut dikenal tiga pola penukaran asset yaitu :

  1. Debt to Asset Swap (hutang ditukar dengan asset), pola ini berupa pembayaran hutang dengan cara debitur menyerahkan asset-aset yang dimilikinya, diluar asset jaminan kepada kreditur. Dimana nantinya saet-saet tersebut biasanya akan di lelang oleh Kreditur untuk mendapat pelunasan;
  2. Debt to Equity Swap (hutang ditukar dengan saham milik perusahaan yang berhutang). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham debitur; dan
  3. Debt to Quasy Equity Swap (hutang ditukar dengan saham perusahaan lain yang dipunyai oleh Debitur). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham-saham di anak perusahaan atau perusahaan terafiliasi Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham di anak perusahaan atau perusahaan afiliasi debitur.

Restrukturisasi dan perbaikan Corporate Governance merupakan bagian penting dari program reformasi ekonomi. Restrukturisasi perusahaan korporasi melibatkan restrukturisasi assets dan liabilities perusahaan, termasuk struktur perbandingan hutang dan modal sendiri perusahaan tersebut, yang sejalan dengan kebutuhan cash flow untuk meningkatkan efisiensi, memperbaiki pertumbuhan dan meminimalkan biaya pajak.

Dalam konteks legalitas konversi piutang menjadi penyertaan modal perseroan terbatas ini, ketidakmampuan debitor membayar utangnya harus ditebus dengan cara mengkonversikan utangnya ke dalam penyertaan modal perusahaannya. Suka tidak suka, senang tidak senang debitor harus menghadapi kenyataan. Walau pun pada kenyataannya, konversi ini dilakukan oleh debitor atas dasar itikad tidak baik kreditornya. Baik atau tidak baiknya motivasi konversi piutang menjadi penyertaan modal, motivasi tidak dilihat oleh hukum perdata. Ini menjadi isu hukum yang menarik.

Menurut Peter Mahmud (2014 : 103), isu hukum dalam ruang lingkup dogmatig hukum timbul apabila: (1) para pihak yang berperkara atau yang terlibat dalam perdebatan mengemukakan penafsiran yang berbeda atau bahkan saling bertentangan terhadap teks peraturan karena ketidakjelasan peraturan itu sendiri; (2) terjadi kekosongan hukum; dan (3) terdapat perbedaan penafsiran atas fakta.

Atas dasar pemaparan tersebut di atas, peneliti ingin melakukan penelitian hukum atas Legalitas Konversi Piutang Menjadi Penyertaan Modal Perseroan Terbatas

Berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang akan dirumuskan berkaitan dengan Legalitas Konversi Piutang Menjadi Penyertaan Modal Perseroan  sebagai berikut :

Bagaimana Legalitas Konversi Piutang Menjadi Penyertaan Modal di Perseroan Terbatas




Buku matematika

matematika keuangan




The Effect Of Banking Company Performance Toward Good Corperate Govannance Listed In Indonesia Stock Exchange

Markonaha Yohanes Ferry Cahayab Hedwigis Esti Riwayatic

a,b,cLecture Perbanas Institute, Jakarta, 12940, Indonesia

Abstract

The purpose of this study was to measure performance of banking sector toward Good Corporate Governance (GCG). Independent variables used in this study is the Return on Equity (ROE), Return on Assets (ROA), Composition and Size of the Company’s Corporate Assets. The dependent variable that is of GCG. The sample used in this study is banking company listed in Indonesia Stock Exchange 2010-2014 and CGPI with Purposive sampling of 10 commercial banks . The analysis used linear regression. The analysis showed that ROE and Size significantly and negatively related to GCG. ROA and Composition significantly and positively effect on GCG.

 

Keywords: GCG, ROA, ROE, Fixed Assets Ratio, Performance Size

 

© 2016 The Authors.Published by Elsevier Ltd.

Peer-review under responsibility of the Organizing Committee of the 3rd GCBSS-2015.

 

  1. Introduction

GCG started started to emerge in 1998 when in Indonesia experienced a prolonged crisis. There were two trigger GCG issues, namely, the rapid environmental changes which had an impact on changing the map of global market competition. Second, the increasing number of interested parties (constituents) including complex ownership structures that affect the management of stakeholders (Syakhroza, 2000). Many say that the lengthy restoration process in Indonesia was due to the weak corporate governance applied within the company in Indonesia. Since then, both the government and investors began to give significant attention in the practice of GCG. GCG implementation in the business industry, especially in Indonesia, is the demands of the times so the companies can compete on international level. GCG is an effort to improve and provide progress upon company performance. Several studies have been conducted to prove that GCG implementation affect company’s performance, Berghe and Ridder states that companies with poor performance are caused by poor governance. This statement is also supported by a research, Gompers et al. (2003) in Darmawati (2004), which indicates that there is a positive relationship between corporate governance and corporate performance as measured by Return on Assets (ROA). Milton (2000) in Darmawati (2004) also showed that the variables associated with GCG have a strong impact on company performance. But on the other hand, another research shows that GCG has no effect on the company’s performance, Khomsiah et al (2003).

 

  1. Theoritical Review

Good Corporate Governance (GCG)

Two main theories associated with GCG, namely Stewardship Theory and Agency Theory. Stewardship Theory is built on philosophical assumptions about human nature, namely that men are essentially trustworthy, able to act with full responsibility, integrity and honesty towards others. In other words, stewardship theory views management as something that can be trusted to act in the best possible way for the benefit of the public and stakeholders. Meanwhile, the Agency Theory, developed by Michael Johnson, believes that the company’s management as “agents” for shareholders, which will act with full awareness of its own interests. GCG is defined as structures, systems and processes used by a company in order to provide more value sustainable in the long term. Meanwhile, according to Jensen and Meckling (1976), agency theory is a contract between the manager (agent) with the owner (principal). Klapper (2002) states that GCG is associated with means or mechanism to convince the owners of capital in obtaining the return on investment that has been invested. Syakhroza (2002) defines corporate governance as a system that uses the leadership of an organization to direct, control, and supervise the organization’s resources management in an efficient, effective, economical and productive with the principles of transparency, accountable, responsible, independent and fairness to achieve organizational goals. Theoretically, corporate governance practices can improve the performance of a company, reduce the risks that might be done by the board with a decision which only benefits themselves. Generally, GCG can increase the investors’ confidence to invest which happens to affect performance (Darmawati et al, 2004).  The research, conducted by Pranata (2007), aims to determine the effect of applying GCG on ROE, Net Profit Margin (NPM). The samples are 35 companies taken by purposive sampling at publicly traded company listed on the Indonesia Stock Exchange during 2001-2005 and big 10 in the group based on the index of GCG. Results from this study indicate that the application of GCG positively affect return on equity (ROE), Net Profit Margin (NPM) as well as changes in the scores of GCG implementation caused by other factors which are not included in the regression model.

 

  1. Previous Studies

Aggarwal, Priyanka (2013) find that governance  ratings have  positive and significant impact on  corporate  financial performance, Companies that follow the CGPI survey showed a willingness to become a trusted and open. This effort should be perceived positively by stakeholders (Juniarti and The Lia Natalia, 2012). The results of McKinsey & Co. (2002) survey have shown that investors tend to avoid companies with poor corporate governance. Investors’ attention given to GCG is as big as the attention to the company’s financial performance. Investors believe that companies implementing good corporate governance practices has sought to minimize the risk of making mistakes, thus improving the company’s performance, which in turn maximize the value of the company. Therefore, the purpose of corporate governance is not only implementing good corporate governance practices but also improving the company’s performance. Darmawati et al. (2004) found that statistically, GCG significantly affects the company’s operating performance that is proxied by ROE. This may be due to the market response towards the implementation of corporate governance which takes time. Samples taken as many as 53 companies listed on the Jakarta Stock Exchange in 2001 and 2002, included in the ranking of GCG implementation done by IICG. This study provides additional evidence on another research, Gompers et al. (2003), who found a positive relationship between corporate governance indexes with a long-term company performance. Another study conducted by the Pranata (2004) who also found results that ROA positively affect company’s performance. However, a different result, disclosed by Kaaro (2002) in Suranta and Institution (2004), states that ROA negatively affect the company’s performance. Klapper and Love (2002) found a positive relationship between corporate governance and corporate performance as measured with Return on Assets (ROA). Another important discovery is that the application of corporate governance at enterprise level is more meaningful in developing countries than in developed countries. It shows that companies implementing good corporate governance would gain greater benefit in countries with poor legal environment. Lastanti (2004) examined the relationship between corporate governance structure with performance and market reaction. In that study, the structure of corporate governance is used in the form of the composition of the independent board, concentrated ownership structures and institutional ownership while corporate performance is proxied by financial performance (ROA and ROE). The study states that there is a significant positive relationship between the independence of the board of commissioners. Other variables do not significantly affect both on ROA and ROE, nevertheless, we want to conduct a different research is The Effect Of Banking Company Performance Toward Good Corperate Govannance Listed In Indonesia Stock Exchange.

  1. Hypothesis

Our hypothesis are consists of hypothesis 1 until 4:

H1:  Return on Equity positively affect Good Corporate Governance.

H2:  Return on Assets positively affect Good Corporate Governance

H3:  Composition of Assets positively affect the Company’s Good Corporate Governance

H4:  Company Size positively affect on the Company’s Good Corporate Governance

  1. Research Methodology
    • Population and Sample

The objects of this research are companies listed on the Indonesian Stock Exchange (BEI) that implement GCG with the observation samples period starting from 2010 to 2014, which is the big 10 of GCG implementation done by the Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) in 2010, 2012, 2013, 2014 and reported in the Indonesian Capital Market Directory (ICMD). Sampling was done by using purposive sampling, namely the determining the sample with a target or specific considerations (Sekaran, 2003). The considerations used in selecting samples are: 10 Companies that belong to the group of the best banking company in the implementation of GCG in 2010 until 2014, listed on the Stock Exchange and that have outstanding stock price data starting in late December 2010 until the end of December 2014. This stock data are used to calculate Tobin’s Q (the company’s performance).

  • Variables and Variables Measurement

In this study, there is a dependent variable, Good Corporate Governance (GCG), and five independent variables; return on equity (ROE), return on assets (ROA), the composition of the assets (KAP) and the size of the company (SIZE). The measurement of each variable is as follows:

Table 1.

VARIABLES MEASUREMENT

No Variabel Notasi Pengukuran
1 Good Corporate Governance GCG FCGI Indexes
2 Return on equity ROE Net Profit
3 Return on assets ROA Total Assets
4 Komposisi Aktiva Perush KAP Fixed Assets
5 Ukuran Perusahaan SIZE FCGI Indexes
  1. The Data Analysis

To answer the hypothesis proposed in this study requires accurate analysis tools. This study uses linear regression model to measure company performance towards corporate governance variables and SPSS 22.0 as a proponent. The multiple regression model is as follows:

GCG = α + β1ROE + β1ROA + β1KAP + β1SIZE

 

  1. Research Result

 

7.1. Descriptive Statistics

 

This section will explain each variable that has been processed based upon the Minimum Value, Maximum Value, Value Average (Mean), Standard Deviation and  its Variants. The results of the descriptive statistics of each variable used in the present study are:

 

Tabel 2.

DESCRIPTIVE STATISTICS

  N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation Variance
GCG 30 40,00 13,00 53,00 23,2333 9,26128 85,771
ROE 30 ,29 ,01 ,30 ,1751 ,06748 ,005
ROA 30 ,02 ,01 ,03 ,0200 ,00871 ,000
KAP 30 ,99 ,05 1,04 ,2970 ,24654 ,061
SIZE 30 6,17 14,56 20,73 16,3627 1,63721 2,680

 

It is known from table 2 above that the banking industry has GCG with a minimum value at 13.00 a maximum value 53.00 and the average value (mean) that is equal to 23.2333 while the standard deviation and variance at 9.26128 and 85.771.  ROE known minimum value is at 0.01, the maximum value 0.30 and average value (mean) 0.1751, while the standard deviation and variants are at 0.06748 and 0.005. KAP has a minimum value at 0.05 where the maximum value is at 1.04 and average value (mean)  0.2970, while the value of standard deviation and variance are at 0.24654 and 0.061. SIZE notes on a minimum amount at 14.56, the maximum value  20.73 and the average value (mean) 16.3627 while the standard deviation and variants are at 1.63721 and 2.680.

 

7.2. Hypothesis Test Results

 

To test the hypothesis of linear regression model, SPSS 22.0 calculation is  used where  Good Corporate Governance (GCG) is a measurement of financial performance which happens to be dependent variable. And for Independent variables there are; return on Equity (ROE), Return on Assets (ROA), Assets Composition of The Company (KAP) and the size of the company (SIZE).

 

Table 3.

HYPOTHESIS TEST RESULTS (T TEST)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients    
B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) 11,748 14,535   0,611 0,425
ROE -104,168 29,115 0,56 3,36 0,002
ROA 598,447 228,305 0,363 2,42 0,015
KAP -19,049 6,87 0,312 2,523 0,012
SIZE 1,224 0,79 0,052 1,239 0,016
  1.                            Dependent Variable: GCG

 

 

The results of T test in table 4.7 shows that the significance level of ROE to GCG is at 0.002; smaller than the required significance level (<0.05), so, ROE has a positive and significant impact on GCG. T test results shows that the significance level ROA to GCG is at 0.015; smaller than the required significance level (<0.05), so, ROA has a positive and significant impact on GCG. T test shows that the significance level of KAP to GCG is at 0,012; smaller than required significance level (<0.05). KAP has a positive and significant impact on GCG. T test shows that the significance level of SIZE to GCG is at 0.016; the required significance level (<0.05). SIZE has a positive and significant impact on GCG.

 

  1. DISCUSSION

 

8.1. ROE influence on GCG

 

Darmawati et al. (2005) found that statistically, GCG significantly affects the company’s operating performance that is proxied by ROE. This may be due to the market response towards the implementation of corporate governance which takes time. Samples taken as many as 53 companies listed on the Jakarta Stock Exchange in 2001 and 2002, included in the ranking of GCG implementation done by IICG. This study provides additional evidence on another research, Gompers et al. (2003), who found a positive relationship between corporate governance indexes with a long-term company performance. Oktapiyani (2009) also examined the effect of corporate governance on ROE. It is found that corporate governance has a significant negative effect on ROE. Similarly, Pramono (2011), found that corporate governance is negatively related to company performance. Indifference towards corporate governance can reduce company achievement of competitive which leads to a negative impact on performance.

 

8.2. ROA influence on GCG

 

As described above, the results of t test done by the researcher found that the significance level ROA to GCG is at 0.015; smaller than the required significance level (<0.05). ROA has a positive and significant impact on corporate governance. And also has a standard error of 226.505. Klapper and Love (2002) found a positive connection between corporate governance and corporate performance as measured by Return on Assets (ROA).

 

8.3. KAP influence on GCG

 

T test done by the researcher found that the significance level of KAP to GCG is at -0.012; smaller than the required significance level (<0.05). KAP has a significant negative effect on corporate governance. And also has a standard error of 7.07. Companies that have intangible and current assets are large tend to apply more stringent corporate governance for it is difficult to monitor and protect intangible and current assets, Thus, the negative correlation between the proportion of the company assets with corporate (Klapper and Love, 2002). The composition of assets is measured using the ratio of fixed assets on total sales (Klapper and Love, 2002).

 

8.4. SIZE influence on GCG

 

As described above, the results of t test done by the researcher, found that the significance level of SIZE to GCG is at 0.016; smaller than the required significance level (<0.05). SIZE has a positive and significant impact on GCG. And also has a very small error standard of 0.99. The results support the research Darmawati (2004) which states that basically large companies have greater financial strength to support their performance, on the other hand, the company faces a larger agency problem.

 

  1. CONCLUSION

 

Based on the analysis of 10 banking companies taken from 2011-2013, it can be concluded as follows: ROE has a positive and significant impact on company’s financial performance and it has also been proven true. This is indicated by the results of regression calculation by linear regression analysis test that has the t value of -3.560 with a significance level of 0.002 (<0.05). This receives hypothesis 1 in a study that states “ROE has a positive and significant impact on financial performance of the company”.It is also true that ROA disclosure has a positive effect on financial performance. This is indicated by the results of the regression calculation by linear regression analysis test that has the t value of 2.420 with a significance level of 0.015 (<0.05). This accepts hypothesis research 2 which states “ROA positive effect on financial performance”. The Company assets composition significant positive effect on a company financial performance has also been proven true. This is indicated by the results of regression calculation by linear regression analysis test that has the t value of -2.523 with a significance level of 0.012 (<0.05). This receives hypothesis 3 in the study that states “The composition of the assets of the Company and significant positive effect on the financial performance of the company”. Company size significant positive effect on company financial performance has also been proven true. This is indicated by the results of the regression calculation by linear regression analysis test that has the t value of 1.239 with a significance level of 0.016 (<0.05). This receives hypothesis 4 in a study that states “Company Size positive and significant impact on the financial performance of the company”.

 

  1. SUGGESTION

 

Corporate Governance, Return on Equity, Return on Assets, Company Assets Composition and Company Size can be used as a benchmark to face business competition. The higher the corporate governance, Company Assets Composition as well as the size of the company show that a company has strength in the market competition against competitors. In addition, the company should improve corporate governance, Company Assets Composition and the size of company, such as making positive issues, improving management of the company, so investors would be interested in investing and ultimately it leads to the increase in ROE and ROI and create good corporate governance. For investors; return on equity and return on assets can be used as a basis for making decisions whether to invest or not because this ratio measures the company’s ability to produce a return rate on the investment made within the company. For further research; for scholars who are interested in researching the problem of return on equity and return on assets, this research could be proceeded by investigating the influence of Debt Equity Ratio on both ROE and ROA with longer time span, so it will produce more valid conclusions. This study examines only the companies that implement good corporate governance, further research is recommended to investigate companies that are on LQ45 (corporate banking and financial institutions of profitability, high company performance). The length of research also needs to be extended so that the estimation and the results can be more representative and not biased.

 

Reference

Aggarwal, Priyanka, 2013, Impact of Corporate Governance on Corporate Financial Performance IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) e-ISSN: 2278-487X, pISSN: 2319-7668. Volume 13, Issue 3 (Sep. – Oct. 2013), PP 01-05

Daily, C., Dalton, D.1992.“The relationship between governance structure and corporate performance inentrepreneurship firms”,Journal of BusinessVenturing,Vol.­7, 1992, pp. 375-386.

Darmawati, Deni, Khomsiyah dan Rahayu. 2004. “Hubungan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi VII. Bali.

Gompers, P., Ishii, L. and Metrick, A.2003. “Corporate Governance and Equity Prices”. Quarterly Journal of Economics. Vol. 118. pp: 107-155

Hastuti, Theresia, 2005. Hubungan Antara GCG dan Struktur Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi VII.

Jensen, M.C. and Meckling, W.H. 1976. “Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure”.

Juniarti and The Lia Natalia, 2012, Corporate Governance Perception Index (CGPI) and Cost of Debt International Journal of Business and Social Science Vol. 3 No. 18

Khomsiyah. 2003. “Hubungan Corporate Governance dan Pengungkapan Informasi”. Makalah SNA VI.

Kieso,  Donald  E  and  Jerry  J  Weygandt.  1995.  “Intermediate  Accounting”.  FourthEdition. John Willey and Sons : New York.

Klapper, L.F. and Love, I. 2002. Corporate Governance, Investor Protection and Performance in Emerging Markets”. Journal of Corporate Finance. Vol. 195

Lastanti,  S,  Hexana,  2004,  “Hubungan Struktur  Corporate  Governance  denganKinerja Perusahaan danReaksiPasar”. Prosiding Konvensi Nasional Akuntansi IV, Jakarta.

McKinsey & Co. 2002. “Global Investor Opinion Survey : Key Findings”.

Oktapiyani, Desi. 2009. “Pengaruh Penerapan Corporate Governance Terhadap Likuiditas Perbankan Nasional”. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. (Tidak Dipublikasikan).

Pramono, Ferry Andriawan.  2011.  “Analisis Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Kualitas Pengungkapan Corporate Governance Pada Laporan Tahunan (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Dalam LQ45)”.Skripsi. Universitas Diponegoro.

Pranata, Yudha, 2007. “Pengaruh Penerapan Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan”. Skripsi Sarjana (tidak dipublikasikan). Yogyakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Suranta, Eddy dan Merdistusi, Pranata Puspita. 2004. “Income Smoothing, Tobin’s Q, Agency Problems dan Kinerja Perusahaan. Makalah Disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi VII. Bali, 2 – 3 Desember.

Syakhroza, Ahmad. 2000. “Teori Corporate Governance”, Usahawan, No. 08. Tahun XXXII, Agustus.

Wardani, Diah Kusuma. 2008. “Pengaruh Penerapan Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan”. Skripsi Sarjana (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

WD Kearney, HA Kruger, 2013, A framework for good corporate governance and organisational learning – an empirical study International Journal of Cyber-Security and Digital Forensics (IJCSDF) 2(1): 36-47 36 The Society of Digital Information and Wireless Communications, 2013 (ISSN: 2305-0012)




Efektivitas Tax Amnesty Policy

Tax amnesty merupakan pengampunan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak selama periode tertentu untuk memperbaiki laporan dan kewajiban pajaknya di masa lalu dan masa yang berjalan dengan jaminan bebas dari tuntutan pidana (Suryani & Anwar, 2010). Dapat pula dijelaskan dengan pembebasan penghindar pajak dari tuntutan hukum namun tetap harus membayar kewajiban pajaknya (Agbonika, 2015). Tax amnesty dapat juga diterangkan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek dengan risiko dapat mengurangi kepatuhan wajib pajak di masa yang akan datang (Alm, 1998). Tax amnesty juga disebut sebagai faktor penting yang mempengaruhi ketaatan perpajakan, beberapa hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan negative antara tax amnesty dengan kepatuhan perpajakan (Ipek, Oksuz, & Ozkaya, 2012). Tax amnesty memiliki aspek positif dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang mengandung aspek negatif,(Wardiyanto, 2010). Dalam jangka panjang perlakuan khusus kepada pengelak pajak berupa pengurangan (penghapusan) denda atau pajak yang tidak (kurang) dibayar dapat melukai wajib pajak yang secara teratur melakukan kewajibannya secara benar dan jujur. Mereka akan mencoba untuk menjadi pengelak pajak, karena pada masa yang akan datang mereka berfikir pemerintah akan memberikan fasilitas pengampunan (Alm & Beck, 1993). Dari penjelasan tersebut dapat diidentifikasikan tax amnesty merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan kepatuhan penghindar pajak dalam jangka pendek namun mengandung resiko menurunkan ketaatan wajib pajak yang telah patuh mengikuti ketentuan-ketentuan perpajakan.

Irlandia merupakan salah satu contoh negara yang berhasil menerapkan tax amnesty dalam jangka pendek. Kebijakan tax amnesty yang diterapkan pemerintah Irlandia pada tahun 1988 ditarget dapat meningkatkan penerimaan 50 million dolar, realisasinya 750 million dolar. Namun dalam jangka panjang kegiatan ini gagal meningkatkan penerimaan pajak (Agbonika, 2015). Contoh lain adalah India, pada tahun 1981 pemerintah India memperkenalkan kebijkan tax amnesty yang cukup spesifik. Formatnya adalah menerbitkan obligasi 10 tahun dengan tingkat bunga 2%. Obligasi ini disusun untuk dapat menangkap pengelak pajak yang memegang dana di black market. Dana yang yang diinvestasikan dalam obligasi ini bebas dari pajak kekayaan dan pajak penghasilan. Hasilnya dalam 3 bulan terkumpul dana yang cukup besar, di atas satu milliar. Meskipun berhasil dalam pengumpulan dana dalam jangka pendek, namun kebijakan ini dinyatakan tidak berhasil dalam memperluas basis perpajakan secara keseluruhan (Agbonika, 2015). Di Indonesia pelaksanaan tax policy 2008 yang bernama sunset policy, dalam jangka pendek juga telah berhasil meningkatkan penerimaan negara 7,46 trilliun rupiah dan tambahan 5.635.128 wajib pajak baru. Namun penelitian ini belum mampu menunjukkan tingkat kepatuhan wajib pajak pasca berakhirnya periode sunset policy 2008 (Rakhmindyarto, 2011).

Tax amnesty tidak selalu menjadi cara yang efektif untuk mengidentifikasi pengelak pajak dan mengubah mereka menjadi wajib pajak yang patuh terhadap ketentuan perpajakan (Fisher, Goddeeris, & Young, 1989). Kepatuhan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam kebijakan tax amnesty, meskipun seringkali berhubungan negative dengan pengampunan. Artinya semakin besar pengampunan yang diberikan maka akan membuat wajib pajak semakin tidak patuh. Selanjutnya dalam jangka panjang kebijakan ini dapat memunculkan risiko wajib pajak yang patuh menjadi pengelak pajak.




My First Unaccompanied Minor Experience

Pagi itu, jam 8 aku berangkat dari Magelang ke Yogyakarta bersama budeku naik bus Damri, angkutan khusus ke bandara. Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam, membuatku mengantuk dan tidur. Menjelang bandara, bude membangunkanku untuk bersiap-siap turun.

di bis

Memasuki bandara Adi Sucipto, aku agak deg-degan sebenarnya, karena baru pernah naik pesawat sendiri tanpa orang tuaku. Aku juga takut pesawatnya jatuh, ih sereeem…. bisa mati aku. Bude meyakinkanku bahwa perjalanan hanya 1 jam 20 menit, aman, dan ibuku sudah menungguku di bandara Soeta Jakarta.

siap berangkat

Bude mengantarkanku untuk check in dan menungguiku sampai ada petugas dari Batik Air menemuiku dan siap mengantarkanku ke ruang tunggu. Mba Monik namanya. Dia memintaku memakai kalung tanda UM.Setelah mendapat banyak pesan dari bude, akupun berpisah dengan bude, “dadah bude….. makasih ya liburannya, besok aku ke sini lagi ya..”

kalung UM

Aku mengikuti mbak Monik ke ruang tunggu, dan duduk menunggu sampai kemudian ada petugas lain yang mengantarkanku ke pesawat. Aku duduk sendiri, dan selama perjalanan aku hanya menonton tv “just for laugh gags” dan makan snack. Sampai akhirnya aku mendarat di Soeta. Aku menunggu semua penumpang turun, seperti pesan bude dan pramugarinya. Karena paling akhir, membuat banyak orang bertanya-tanya padaku apakah benar aku sendiri, dimana ibuku, rumahku, sekolahku dan lain-lain. Ada juga orang yang mengatakan aku anak ilang. “uh aku cuek aja”. Ada juga bule yang bertanya “are you alone?” dan aku hanya jawab “yes ”. keluar terakhir juga membuatku bertemu dengan pilot pesawat. Dia menyapaku dengan ramah. Lalu seorang petugas mengantarkanku turun pesawat.

tiba di soeta

Yeay….. ketemu ibuku…..Tapi aku rindu liburan di Magelang. Aku janji kapan-kapan akan ke sana lagi tanpa menunggu ibuku libur, karena aku sudah berani naik pesawat sendiri.

baca juga : http://dosen.perbanas.id/unaccompanied-minor/




Unaccompanied Minor

foto

Anak-anak libur, sementara kita sibuk dengan kejar tayang kerjaan tiada ujungnya. Gimana yaaaa….. Mau maksa anak untuk tinggal di rumah, kasian juga ya…. Rasanya ga adil saat dia habis ujian dan belajar terus-terusan saat sekolah, dan liburan hanya di rumah saja. Belum lagi yang bikin khawatir adalah karena kita sibuk, dia akan berhari-hari hanya sibuk dengan gadgetnya. Hadeeeeehhhhh….   Tapi mau cuti nemenin anak liburan kok ga mungkin banget ya… kebayang wajah si bos kalo kita pamit cuti hihihi seraaaam hahahah.

Pernah dengar Unaccompanied Minor (UM)? Ini adalah layanan penerbangan anak tanpa didampingi orang tua. Beberapa maskapai domestic menyediakan fasilitas ini, seperti garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, Batik Air, Air Asia. Maskapai internasional juga banyak yang menyediakan fasilitas tersebut.

Saya ingin berbagi pengalaman dengan UM ini. Ketika anak saya, laki-laki 10 tahun libur panjang, dan menghabiskan liburannya di rumah kakak saya di Magelang, Jawa Tengah. Awalnya saya berpikir harus menjemputnya, lalu kami bersama-sama ke Jakarta. Namun karena satu lain hal, saya tidak bisa menjemputnya.

Saya tawarkan UM ini pada anak saya, lalu dia menyetujuinya meskipun sempat ragu pada awalnya. Alhamdulillah, dia berhasil melewati kecemasannya dan menjadi mandiri untuk pulang ke Jakarta sendiri.

Jika anda mengalami hal yang sama dengan saya, apa yang harus anda persiapkan?

1. Pastikan anak anda mampu secara fisik dan psikologis untuk melakukan perjalanan sendiri.

Sebagai orang tua anda pasti lebih paham kondisi anak anda. Apakah anak anda sangat bergantung pada anda? Apakah anak anda tergolong mandiri? Apakah anak anda mudah beradaptasi dengan lingkungan baru? Apakah anak anda bisa berkomunikasi baik dengan orang lain? Apakah anak anda kuat membawa perbekalannya? Apakah anak anda sehat? Dan banyak lagi yang bisa menjadi indicator anak anda mampu melakukan perkalanan sendiri.

2. Carilah informasi yang lengkap mengenai maskapai-maskapai yang menyediakan fasilitas UM.

Anda dapat browsing internet atau menelepon customer service masing-masing maskapai untuk memastikan bagaimana prosedur dan aturan UM di maskapai tersebut. Pilihlah maskapai yang membuat anda nyaman.

3. Tanyakan kesediaan anak anda.

Tidak semua anak akan langsung menyatakan bersedia untuk terbang sendiri. Rasa takut, bingung, cemas, adalah hal yang wajar. Anda bisa menjelaskan mengapa dia harus melakukan itu, pengalaman apa yang akan diperolehnya. Anda mungkin bisa memberi tantangan pada dia, bahwa dia hebat jika bisa terbang sendiri atau dia akan mendapatkan hadiah jika berani. Anda juga bisa mencari beberapa kisah pengalaman UM di internet, agar anak anda mempunyai gambaran yang jelas.

4.  Reservasi tiket pesawat.

Untuk pembelian tiket UM, tidak dapat dilakukan melalui internet, namun harus melali customer service dari maskapai tersebut. Anda harus menginformasikan nama lengkap dan no telepon orang yang akan mengantar dan menjemput anak anda di bandara. Maskapai akan mengembalikan anak anda ke posisi keberangkatan jika tidak menemukan orang yang menjemput sesuai informasi awal.

5.  Jelaskan kepada anak anda prosedur dan apa saja yang harus dilakukan dan jangan dilakukan.

Anda bisa mengingatkan bahwa anak anda hanya boleh mengikuti petugas yang telah ditunjuk oleh maskapai tersebut, tidak boleh dengan orang asing. Anda juga bisa mengingatkan untuk tidak menggunakan gadget saat take off dan landing, mengingat barang bawaannya, tata cara di pesawat, dll.

6. Temani anak anda check in

Informasikan kepada petugas bahwa anak anda harus terbang sendiri (UM), bantu anak untuk mengisi form UM.

7.  Titipkan anak anda kepada petugas yang ditunjuk oleh maskapai untuk menemani anak anda.

 

Lanjutkan membaca pada http://dosen.perbanas.id/my-first-unaccompanied-minor-experience/




Introduction Portfolio Investment

images

 

Apa yang Anda pikirkan jika akan berinvestasi?

Anda akan melepaskan dana tunai yang ada dalam genggaman  menjadi  asset dalam bentuk lain, yang anda perkirakan akan menghasilkan lebih dari yang anda miliki sekarang?

Jika akan menjadi calon investor  harus sudah siap berinvestasi dengan sejumlah dana tunai dimana  dalam dunia investasi  dipenuhi dengan ketidakpastian. Perlu diketahui  dan disadari setiap investor  akan lumrah melakukan kesalahan dalam mengambil langkah keputusan sehingga mengalami kerugian.  Yang perlu kita pahami adalah kita harus belajar dari kesalahan yang pernah kita lakukan.

Dalam investasi dikenal : Don’t put your eggs on one basket. Jangan letakkan semua telur dalam satu keranjang. Jika Anda meletakkan semua telur anda di dalam satu keranjang dan keranjangnya jatuh, kemungkinan besar telur dialamnya akan pecah semua. Tetapi jika telurnya disimpan dalam beberapa keranjang, jika satu keranjang jatuh, mungkin keranjang yang lain tidak terjatuh. Inilah konsep diversifikasi  dalam dunia investasi. Jadi dengan membagi  alokasi dana pada berbagai instrument investasi atau pada instrument yang sama tetapi pada berbagai sektor akan mengurangi risiko kegagalan dalam berinvestasi. Hal ini biasa dideskripsikan jika nilai suatu investasi mengalami kerugian, investasi yang lain bisa saja mengalami keuntungan, sehingga bisa mengurangi kerugian investasi yang lebih jauh..

 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika membeli instrumen investasi :

  1. Beli instrument investasi yang anda mengerti.

Biasanya sales atau broker suatu perusahaan investasi akan menyampaikan   hasil investasi yang menggiurkan,  iming-iming hasil keuntungan yang  penuh pesona, tetapi  sebetulnya belum tentu cocok untuk anda.  Kenali seluk beluk investasi yang ditawarkan, harus dikenali track record perusahaan atau kinerja perusahaan atau sifat dari instrument itu sendiri.

  1. Perhitungkan risiko dalam instrumen investasi

Kenali instrument investasi yang akan dipilih. Semua investasi selain menawarkan potensi keuntungan akan ada potensi risiko yang terselubung. “there is no free lunch in this life”.  Besarnya risiko sangat bervariasi, risiko di bursa saham sangat variatif,lain lagi jika investasi di obligasi atau pada reksadana. Harus diketahui seberapa besar volatilitas atau potensi fluktuasi nilai investasi yang akan  dipertimbangkan atau ditoleransi. Sangat penting mengetahui seberapa besar toleransi  terhadap risiko. Dalam investasi dikenal “high risk-high return

  1. Kenali investasi yang membebankan komisi dan biaya manajemen yang tinggi.

Ada beberapa investasi yang dilakukan pialang /broker yang mengenakan biaya komisi cukup tinggi. Belum tentu investasi yang komisinya tinggi memberikan hasil lebih tinggi jika dibandingkan dengan investasi sejenis dengan komisi yang lebih rendah.

  1. Keputusan melakukan investasi pada saat yang tepat.

Melakukan pembelian atau penjualan instrumen harus dilakukan dengan pikiran yang jernih dan tenang, untuk menghindari kekalutan karena kondisi volatilitas bursa yang begitu cepat berubah, dibutuhkan konsentrasi yang cukup tenang, supaya tidak terjadi kerugian yang seharusnya tidak perlu terjadi.

  1. Analis dan Para Pakar dapat melakukan kesalahan prediksi

Tidak satupun tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan ng. Pelajari  data masa kini dan juga masa yang lalu.

  1. Dana Investasi bukan dana untuk berjaga jaga

Pisahkan dana investasi dari dana yang sebetulnya akan digunakan / dibutuhkan  dalam keadaaan darurat. Akan berisiko jika dana darurat digunakan untuk investasi, apalagi investasinya ternyata mengalami kerugian.

 

 




Faktor Penentu Penerimaan Pajak 2016

Realisasi penerimaan pajak dalam APBN 2015 meskipun menembus angka 1.000 trilliun namun capaiannya hanya sekitar 80-82% dari yang ditargetkan sebesar 1.201,7 Trilliun. Dalam APBN 2016 pemerintah tetap mengandalkan penerimaan dari hasil pungutan pajak yang jumlahnya mencapai 1.360 trilliun. Target ini naik sekitar 36% dari realiasi penerimaan pajak 2015. Di tengah perekonomian global yang masih melemah dan belum kondusif sementara perekonomian nasional tidak dapat lepas dari pengaruh perekonomian global, menjadi pertanyaannya mungkinkah pemerintah melalui direktorat jendral pajak dapat mencapai penerimaan pajak sesuai dengan target yang ditetapkan?

Dengan mengabaikan kondisi ekonmi makro bail global ataupun nasional, terdapat tiga cara yang dilakukan oleh ditjen pajak untuk mencapai target penerimaan pajaka tahun 2016. Tiga cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan meminmumkan biaya kepatuhan pajak (cost of compliance tax), menegakkan fungsi pemeriksaan, sebagai konsekuensi self assessment dalam sistem perpajakan yang dianut oleh Indonesia, dan dalam bentuk kebijakan.

Saat ini tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi masih sekitar 56-60% sementara kepatuhan wajib pajak badan belum mencapai 50%. Kondisi ini masih memiliki peluang untuk ditingkatkan, sehingga kepatuhan wajib pajak dapat menjadi salah satu faktor penentu pencapaian target penerimaan pajak 2016. Beberapa kualitas pelayanan terus dijalankan oleh pemerintah, diantaranya penerapan e-Filling, e-billing dan e-Faktur merupakan upaya yang dilakukan ditjen pajak untuk menurunkan biaya kepatuhan pajak. e-filling telah dilaksanakan sejak tahun 2011 sedangkan e-Faktur baru akan dilakukan pada pertengahan tahun ini. Pemerintah masih perlu melakukan edukasi penggunaan sistem pelaporan berbasis digital kepada masyarakat, dan masalah jaringan juga perlu mendapat perhatian terutama pada tanggal-tanggal terakhir penyerahan laporan.

Meningkatkan fungsi pemeriksaan pajak melalui peningkatkan sistem adminstrasi pemeriksaan yang lebih baik. Dalam menjalankan fungsi pemeriksaan ditjen pajak masih belum sistematis, merata, dan kontinyu, sehingga wajib pajak tidak merasa takut akan ada pemeriksaan atas dirinya. Hal ini menunjukkan fungsi pemeriksaan belum mempengaruhi wajib pajak untuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan perpajakan. Keadaan ini dapat dipahami karena ratio antara wajib pajak dan pemeriksa pajak masih rendah. Ditjen pajak masih perlu untuk meningkatkan ratio antara jumalah wajib pajak dan pemeriksa pajak.

Kebijakan pajak yang akan dilakukan pemerintah tahun ini adalah pemberlakukan tax amnesty. Dari kebijakan ini pemerintah berharap dapat menerima dana sampai dengan 100 trilliun. Dana ini diperkirakan berasal dari rupiah yang tersimpan di luar negeri. Selain itu dana yang bedar dari underground economy akan masuk dalam transaksi ekonomi yang normal, sehingga transaksinya dapat tersentuh dengan ketentuan-ketentuan perpajakan. Permasalahannya tax amnesty sampai saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR.

Dengan fokus pertama, meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui optimalisasi dan sosialisasi penggunaan teknologi informasi yang berdampak pada cost of compliance tax yang minimal. Kedua melakukan reformasi administrasi , yang membuat wajib pajak merasa terawasi dalam menjalankan ketentuan perpajakan, mulai dari penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Ketiga, mendesakkan DPR untuk mengesahkan UU pelaksanaan tax amnesty. Maka target penerimaan pajak sebesar 1.360 trilliun tidak mustahil dapat tercapai.