Jurnal Internasional Edisi Khusus

Ketentuan tentang publikasi pada jurnal internasional edisi khusus yang memuat artikel yang disajikan dalam sebuah seminar

Contoh:

call-paperr-serials-p

Dalam seminar ini dikatakan bahwa all accepted papers will be published in Scopus index journal & JEL Index, salah satunya adalah Jurnal “International Journal of Applied Business and Economic Research“.
Jurnal ini terindex Scopus, tapi terindikasi meragukan sebagaimana dinyatakan di laman Jeffrey Beall.

Bagaimana menyikapinya?

Butir 12 halaman 26 Petunjuk Operasional 2014 (di laman pak.dikti.go.id diunggah pada 27-1-2015) tercantum:
12. Publikasi pada jurnal internasional edisi khusus atau jurnal ilmiah nasional terakreditasi edisi khusus yang memuat artikel yang disajikan dalam sebuah seminar/simposium/lokakarya dapat dinilai sama dengan jurnal edisi normal (bukan edisi khusus) namun tidak dapat digunakan untuk memenuhi syarat khusus publikasi ilmiah kenaikan jabatan akademik. Perlu ditekankan, edisi khusus ini harus diproses seperti pada penerbitan non edisi khusus (terbitan normal) dan memenuhi syarat-syarat karya ilmiah.

Perlu diketahui beberapa jurnal terindikasi sebagai jurnal meragukan di laman Jeffrey Beall. Sepanjang jurnal tersebut belum pernah ditemukan bermasalah dalam penilaian Angka Kredit kenaikan jabatan/pangkat di Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (termasuk di Era Ditjen Dikti) atau dikelola dengan profesional dan artikel ditulis dengan baik maka karya ilmiahnya akan dinilai sesuai ketentuan.

Informasi terbaru (5 Desember 2016):

• Serials Publications Pvt. Ltd, termasuk dalam ‘predatory publisher’
• Berdasarkan temuan lain di jurnal yang juga berasal dari Serial Publications direkomendasikan para dosen yang akan publikasi untuk mencari jurnal yang dikelola dengan baik dan tidak publikasi di jurnal dalam lingkungan Serial Publications

Rujukan:

PAK Dikti. 24 Mei 2016. Kerjasama antara Panitia Seminar dengan Penerbit Jurnal

PAK Kemristekdikti. 5 Desember 2016. [4] Informasi Seputar PAK

(temuan_jurnal_int (22-11-2016)jurnal_man_india (22-11-2016).

 




5 Tujuan Pengutipan dalam Karya Ilmiah

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan secara komunal. Karena ilmu dibangun atas dasar pengetahuan sebelumya, maka diperlukan mekanisme untuk memelihara dan menyebarkan pengetahuan dalam komunitas ilmiah, dan hal ini dilakukan melalui publikasi.

Publikasi diletakkan dalm konteks kumpulan pengetahuan secara komunal melalui pengutipan yang diartikan sebagai rujukan sumber informasi atau data. Pengutipan dalam publikasi makalah ilmiah memiliki tujuan pokok sebagai berikut.

  1. Menyediakan konteks yang memadai dari suatu karya ilmiah sehingga pihak lain dapat melakukan analisis kritis,  pembacapun bisa menilai apakah kesimpulan penulis dapat diterima atau tidak.
  2. Memberikan sumber serta bahan-bahan terkait sehingga karya ilmiah dapat dipahami oleh audiens.
  3. Membangun kredibilitas sang penulis di mata audiens, serta menyampaikan kepada para pembaca posisi penulis makalah dalam mazhab pemikiran yang dikajinya.
  4. Menyampaikan contoh-contoh alternatif gagasan, data atau kesimpulan untuk diperbandingkan atau dikontraskan satu sama lain.
  5. Mengakui dan menghargai sumber karya ilmiah baik itu berupa ide maupun data, sehingga menjaga martabat penulis karena kejujuran intelektualnya.

Chris A. Mack. 2016. The problem (?) with self-citations. https://spie.org/membership/spie-professional-magazine/spie-professional-archives-and-special-content/2016_january_archive/when-do-self-citations-become-a-problem-in-research

 

 

 




Women in the Workplace 2016

Hasil kajian yang dilakukan oleh LeanIn.Org and McKinsey berkaitan dengan peran wanita di organisasi (gender inequality atau gender equality ?).

Silahkan baca ringkasannya di: http://www.mckinsey.com/business-functions/organization/our-insights/women-in-the-workplace-2016

dan baca laporan lengkapnya di: https://womenintheworkplace.com/

Apakah di Indonesia berlaku kondisi yang sama?




Transforming Operations Management for A Digital World

Peran technology invention dan operations management competitive priorities di dalam mengakselerasi kinerja organisasi.

http://www.mckinsey.com/business-functions/digital-mckinsey/our-insights/transforming-operations-management-for-a-digital-world




Where, how much, and how: Answering the hardest questions of resource allocation

Bacaan untuk Alokasi Sumber Daya.
http://www.mckinsey.com/business-functions/strategy-and-corporate-finance/our-insights/where-how-much-and-how-answering-the-hardest-questions-of-resource-allocation?cid=other-eml-alt-mip-mck-oth-1610




Uji Normalitas

Uji Normalitas? Sebenarnya apa sih uji normalitas itu? Istilah ini (uji normalitas) biasa digunakan pada pengolahan data statistik. Ada yang menganggap uji normalitas sebagai suatu bentuk normal atau tidaknya data yang digunakan, bahkan ada pula yang menganggap ini adalah “uji kenormalan” suatu model.

Sebenarnya istilah “normalitas” dalam statistik itu biasa digunakan untuk menjelaskan jenis distribusi dari sebuah data. Suatu data memiliki kecenderungan terhadap suatu jenis distribusi, seperti : distribusi binomial, hypergeometri, poisson, normal, weilbul, dll. Jenis distribusi data dapat ditentukan dari karakteristik data itu sendiri, dapat pula dilakukan pengujian apakah data tersebut memiliki kecenderungan terhadap suatu distribusi (salah satunya distribusi normal).

Guna menguji sebuah data terdistribusi normal atau tidak dapat menggunakan beberapa cara (uji). Ada Uji Kolmogorov Smirnov (KS test), Jaque Berra Test, Anderson Darling Test, dll. Uji normalitas  (sebutan untuk menguji apakah sebuah data terdistribusi normal atau tidak) biasanya dilakukan sebagai persyaratan atas sebuah metode tertentu, misalnya dalam regresi linier sebagai salah satu persyaratan asumsi klasik, penentuan apakah menggunakan statistik parametrik nonparametrik, dll.

Bagaimana jika sebuah data tidak terdistribusi normal? Apakah data tersebut perlu dibuat (sedemikian rupa sehingga) menjadi terdistribusi normal? Pada beberapa metode, penggunaan distribusi normal bagi sebuah data merupakan suatu keharusan, tapi bagi metode lainnya tidak. Salah satu yg menjadi keharusan sebuah data (residualnya, bukan variabelnya) terdistribusi normal adalah dalam Regresi Linier (dengan OLS), dimana salah satu asumsi klasik (dalam Regresi Linier) mengharuskan residual model terdistribusi normal.




Inklusi Keuangan untuk Pengembangan UMKM

Inklusi Keuangan untuk Pengembangan UMKM

Inklusi Keuangan merupakan strategi pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan. Strategi yang berpusat pada masyarakat ini perlu menyasar kelompok yang mengalami hambatan untuk mengakses layanan keuangan. Strategi keuangan inklusif secara eksplisit menyasar kelompok dengan kebutuhan terbesar atau belum   dipenuhi atas layanan keuangan yaitu tiga kategori penduduk (orang miskin berpendapatan rendah, orang miskin bekerja/miskin produktif, dan orang hampir miskin) dan tiga lintas kategori (pekerja migran, perempuan, dan penduduk daerah tertinggal).

Sekitar 52 persen penduduk Indonesia hidup di daerah perdesaan dan sekitar 60 persennya tidak memiliki akses ke jasa keuangan formal. Ada sekitar 12,49 persen penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, sekitar 64 persen tinggal di daerah perdesaan. Angka-angka ini, ditambah dengan kondisi sebaran geografis dari kepulauan Indonesia, menunjukkan pentingnya bagi strategi nasional keuangan inklusif untuk memberi perhatian khusus kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil. Kesenjangan akses ke jasa keuangan untuk kategori ini sebagian dapat diatasi dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya, mobile money untuk memfasilitasi transfer dan transaksi pembayaran antar pulau, serta antar perdesaan dan perkotaan).

World Bank (2010) mengungkapkan setidaknya terdapat empat jenis layanan jasa keuangan yang dianggap vital bagi kehidupan masyarakat yakni layanan penyimpanan dana, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi termasuk di dalamnya dana pensiun. Keempat aspek inilah yang menjadi persyaratan mendasar yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Peningkatkan akses masyarakat kepada lembaga keuangan tersebut tentunya merupakan masalah kompleksitas yang memerlukan koordinasi lintas sektoral yang melibatkan otoritas perbankan, jasa keuangan non bank dan kementerian atau lembaga lain yang menaruh perhatian pada upaya pengentasan kemiskinan, sehingga diperlukan kebijakan komprehensif serta menyeluruh dalam suatu Strategi Nasional keuangan Inklusif.

Kerangka kerja umum keuangan inklusif dibangun di atas enam pilar sebagai berikut:

Pilar 1 Edukasi Keuangan.

Bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat luas tentang produk-produk dan jasa-jasa keuangan yang ada dalam pasar keuangan formal, aspek perlindungan konsumen dan pemahaman manajemen risiko. Ruang lingkup edukasi keuangan ini meliputi: a) pengetahuan dan kesadaran tentang ragam produk dan jasa keuangan, b) pengetahuan dan kesadaran tentang risiko terkait dengan produk keuangan, c) perlindungan nasabah, d) ketrampilan mengelola keuangan.

Pilar 2 Fasilitas Keuangan Publik.

Strategi pada pilar ini mengacu pada kemampuan dan peran pemerintah dalam penyediaan pembiayaan keuangan publik baik secara langsung maupun bersyarat guna mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Beberapa inisiatif dalam pilar ini meliputi: a) subsidi dan bantuan sosial, b) pemberdayaan masyarakat, c) pemberdayaan UMKM.

Pilar 3 Pemetaan Informasi Keuangan.

Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat terutama yang sebenarnya dikategorikan tidak layak untuk menjadi layak atau dari unbankable menjadi bankable oleh institusi keuangan normal, terutama kaum miskin produktif serta usaha mikro kecil. Inisiatif yang dilakukan di pilar ini meliputi: a) peningkatan kapasitas (melalui penyediaan pelatihan dan bantuan teknis), b) sistem jaminan alternatif (lebih sederhana namun tetap memperhatikan risiko terkait), c) penyediaan layanan kredit yang lebih sederhana, d) identifikasi nasabah potensial.

 Pilar 4: Kebijakan/Peraturan yang mendukung.

Pelaksanaan program keuangan inklusif membutuhkan dukungan kebijakan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia guna meningkatkan akses akan layanan jasa keuangan. Inisiatif untuk mendukung pilar ini antara lain meliputi: a) Kebijakan mendorong sosialisasi produk jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, b) menyusun skema produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, c) mendorong perubahan ketentuan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian secara proporsional, d) menyusun peraturan mekanisme penyaluran dana bantuan melalui perbankan, e) memperkuat landasan hukum untuk meningkatkan perlindungan konsumen jasa keuangan, f) menyusun kajian yang berkaitan dengan keuangan inklusif untuk menentukan arah kebijakan secara berkelanjutan.

 Pilar 5 Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi.

Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran lembaga keuangan akan keberadaan segmen potensional di masyarakat dan memperluas jangkauan layanan jasa keuangan dengan memanfaatkan metode distribusi alternatif. Beberapa aspek pada pilar ini meliputi: a) fasilitasi forum intermediasi dengan mempertemukan lembaga keuangan dengan kelompok masyarakat produktif (layak dan unbanked) untuk mengatasi masalah informasi yang asimetris, b) peningkatan kerjasama antar lembaga keuangan untuk meningkatkan skala usaha, c) eksplorasi berbagai kemungkinan produk, layanan, jasa dan saluran distribusi inovatif dengan tetap memberikan perhatian pada prinsip kehati-hatian.

 Pilar 6 Perlindungan Konsumen.

Bertujuan agar masyarakat memiliki jaminan rasa aman dalam berinteraksi dengan institusi keuangan dalam memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Komponen yang berada pada pilar ini meliputi: a) transparansi produk, b) penanganan keluhan nasabah, c) mediasi, d) edukasi konsumen.

Keenam pilar tersebut selanjutnya dijabarkan kedalam program-program yang telah disesuaikan dengan kategori penduduk yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan Kementerian terkait. Beberapa contoh program yang tengah dilakukan adalah sebagai berikut:

Kesimpulan

Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kegiatan inklusi keuangan  diperlukan suatu ukuran kinerja. Dari beberapa referensi, Indikator yang dapat dijadikan ukuran sebuah negara dalam mengembangkan keuangan inklusif adalah:

  1. Ketersediaan/akses: mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan formal dalam hal keterjangkauan fisik dan harga.
  2. Penggunaan: mengukur kemampuan penggunaan aktual produk dan jasa keuangan (antara lain keteraturan, frekuensi dan lama penggunaan).
  3. Kualitas: mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah memenuhi kebutan pelanggan.
  4. Kesejahteraan: mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat kehidupan pengguna jasa.

Sumber:

Bank Indonesia. (2014). Booklet Keuangan Inklusif. Jakarta. Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM.

 




Apa yang dimaksud Inklusi Keuangan (Money Inclusion)?

Apa yang dimaksud Inklusi Keuangan (Money Inclusion)?

Inklusi keuangan merupakan perubahan pola pikir para agen ekonomi terhadap cara melihat uang dan keuntungan. Pada pola pikir yang lama saat orang melihat uang, hal yang ada di benak mereka adalah bagaimana cara mendapatkan keuntungan sebesar besarnya. Hal ini membuat jurang perbedaan antara si miskin dan si kaya menjadi semakin lebar. Dengan pola pikir inklusi keuangan hal yang diharapkan berubah adalah para pelaku ekonomi menjadi lebih tanggap bahwa keuntungan adalah saat para pelaku ekonomi di sekitar menjadi ikut sejahtera dan jurang kemiskinan semakin menyempit.

Oleh karena itu pemerintah juga saat ini sering mempromosikan kegiatan mikro ekonomi menjadi lebih aktif, pasar persaingan sempurna, usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai pemerintah.  Agar tiap orang dapat mencapai kesejahteraan dengan lebih cepat dan merata. Pada dasarnya, kebijakan keuangan inklusif adalah suatu bentuk pendalaman layanan keuangan (financial service deepening) yang ditujukan kepada masyarakat in the bottom of the pyramid untuk memanfaatkan produk dan jasa keuangan formal seperti sarana menyimpan uang yang aman (keeping), transfer, menabung maupun pinjaman dan asuransi. Hal ini dilakukan tidak saja menyediakan produk dengan cara yang sesuai tapi dikombinasikan dengan berbagai aspek.

Keberhasilan pembangunan ditandai dengan terciptanya suatu sistem keuangan yang stabil dan memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, institusi keuangan memainkan peran penting melalui fungsi intermediasinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta pencapaian stabilitas sistem keuangan.

Hanya saja industri keuangan yang berkembang sangat pesat belum tentu disertai dengan akses ke keuangan yang memadai. Padahal, akses layanan jasa keuangan merupakan syarat penting keterlibatan masyarakat luas dalam sistem perekonomian.

Survei Bank Dunia (2010) menunjukkan hanya 49 persen rumah tangga Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Hal serupa ditemukan Bank Indonesia dalam Survei Neraca Rumah Tangga (2011) yang menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang menabung di lembaga keuangan formal dan non lembaga keuangan sebesar 48 persen. Dengan demikian masyarakat yang tidak memiliki tabungan sama sekali baik di bank maupun di lembaga keuangan non bank masih relatif sangat tinggi yaitu 52 persen. Kedua survei tersebut saling menguatkan dan mendukung bahwa akses keuangan masyarakat Indonesia ke lembaga keuangan formal dan non formal masih relatif rendah sehingga penduduk Indonesia yang memiliki akses yang terbatas terhadap sistem jasa keuangan masih perlu ditingkatkan.

Namun demikian dengan segala permasalahan tersebut di atas, diantara negara berkembang lainnya, akses masyarakat kepada layanan keuangan di Indonesia tergolong moderat. Tingkat akses penduduk Indonesia pada layanan keuangan lebih besar dari dua emerging giants India dan Cina, dan hanya sedikit di bawah Thailand, Malaysia, bahkan Korea Selatan. Artinya, masih ada ruang untuk membuat sistem keuangan lebih inklusif dan meraih keuntungan sosial yang lebih besar. Akses terhadap layanan jasa keuangan tersebut merupakan permasalahan kompleks yang menyangkut sisi masyarakat sebagai konsumen dan sisi lembaga keuangan sebagai produsen. Hal ini memerlukan perumusan pendekatan multi dimensional dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan.

Kegiatan inklusi keuangan  menjadi salah satu agenda penting dalam dunia internasional. Forum internasional seperti G20, APEC, AFI, OECD dan ASEAN secara intensif melakukan pembahasan mengenai keuangan inklusif. Selain itu, keuangan inklusif juga telah masuk dalam prioritas pemerintah Indonesia. Pada bulan Juni 2012, Bank Indonesia bekerjasama dengan Sekretariat Wakil Presiden – Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Badan Kebijakan Fiskal – Kementerian Keuangan mengeluarkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Strategi ini berisi kerangka kerja, implementasi dan langkah kedepan pelaksanaan keuangan inklusif.

Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, perbankan berperan besar untuk menjadi motor penggerak kegiatan keuangan inklusif mengingat perbankan Indonesia memiliki share kegiatan keuangan sampai dengan 80 persen. Namun demikian keterlibatan dalam keuangan inklusif tidak hanya terkait dengan tugas Bank Indonesia, namun juga Pemerintah dalam upaya pelayanan keuangan kepada masyarakat luas. Keuangan inklusif ini merupakan strategi pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan. Melalui strategi nasional keuangan inklusif diharapkan kolaborasi antar lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan tercipta secara baik dan terstruktur.

Definsi Inklusi Keuangan

Dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif, inklusi keuangan didefinisikan sebagai: Hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migrant, dan penduduk di daerah terpencil.

Visi dan Misi Keuangan Inklusif

Menurut Bank Indonesia (2014), visi nasional keuangan inklusif dirumuskan sebagai berikut: “Mewujudkan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan terciptanya stabilitas sistem keuangan di Indonesia”.

Visi keuangan inklusif tersebut dijabarkan dalam beberapa tujuan sebagai berikut:

Tujuan 1: Menjadikan strategi keuangan inklusif sebagai bagian dari strategi besar pembangunan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem keuangan.

Keuangan inklusif adalah strategi untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang lebih luas, yaitu penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta bagian dari strategi untuk mencapai stabilitas sistem keuangan. Kelompok miskin dan marjinal merupakan kelompok yang memiliki keterbatasan akses ke layanan keuangan. Tujuan keuangan inklusif adalah memberikan akses ke jasa keuangan yang lebih luas bagi setiap penduduk, namun terdapat kebutuhan untuk memberikan fokus lebih besar kepada penduduk miskin.

Tujuan 2: Menyediakan jasa dan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Konsep keuangan inklusif harus dapat memenuhi semua kebutuhan yang berbeda dari segmen penduduk yang berbeda melalui serangkaian layanan holistik yang menyeluruh.

Tujuan 3: Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai layanan keuangan. Hambatan utama dalam keuangan inklusif adalah tingkat pengetahuan keuangan yang rendah. Pengetahuan ini penting agar masyarakat merasa lebih aman berinteraksi dengan lembaga keuangan.

Tujuan 4: Meningkatkan akses masyarakat ke layanan keuangan.

Hambatan bagi orang miskin untuk mengakses layanan keuangan umumnya berupa masalah geografis dan kendala administrasi. Menyelesaikan permasalahan tersebut akan menjadi terobosan mendasar dalam menyederhanakan akses ke jasa keuangan.

Tujuan 5: Memperkuat sinergi antara bank, lembaga keuangan mikro, dan lembaga keuangan non bank.

Pemerintah harus menjamin tidak hanya pemberdayaan kantor cabang, tetapi juga peraturan yang memungkinkan perluasan layanan keuangan formal. Oleh karena itu, sinergi antara Bank, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi penting khususnya dalam mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan.

Tujuan 6: Mengoptimalkan peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk memperluas cakupan layanan keuangan.

Teknologi dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas sistem keuangan formal melampaui sekedar layanan tabungan dan kredit. Namun, pedoman dan peraturan yang jelas perlu ditetapkan untuk menyeimbangkan perluasan jangkauan dan resikonya.

 

Sumber:

Bank Indonesia. (2014). Booklet Keuangan Inklusif. Jakarta. Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM.




pailit dan sisa hutang akibat pailit

Peraturan kepailitan sudah ada sejak lama bahkan sebelum adanya undang Undang No 37 Tahun 2004 yang merupakan penyempurnaan dari Undang Undang sebelumnya yaitu UU No 4 Tahun 1998, peraturan kepailitan sebelumnya merupakan peraturan tua yang diatur dalam faillissements verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. sejarah mencatat terjadinya peristiwa tahun 1998 merupakan puncak krisis multidimensi dan secara umum dianggap Negara dalam keadaan darurat yang membuat keamanan tidak kondusif, hal ini menjadi salah satu pemicu keluarnya Perpu tentang kepailitan yang merupakan awal dari pembaharuan hukum kepailitan di Negara kita.

Terlepas dari sejarah lahirnya UU Kepailitan, penting mengetahui perbedaan antara pailit dengan kepailitan. Pengertian Pailit menurut ensiklopedia ekonomi keuangan dan perdagangan adalah suatu keadaan dimana seseorang yang oleh suatu pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Niaga) dinyatakan bangkrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan kepailitan menurut UU kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang Undang.

Suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit menurut Pasal 2 ayat (1) adalah terdapatnya minimal dua orang kreditur dan debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang serta utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Syarat ini harus diperhatikan secara jelas karena tidak menyebut jumlah minimal hutang atau sejenisnya, yang penting ada dua kreditur dimana debitur tidak membayar lunas. Serta tidak ada menyebutkan syarat berapa jumlah asset debitur ataupun kondisi-kondisi lain yang dapat menjadi dasar agar pernyataan pailit tidak terjadi.

Beberapa pihak yang dapat mengajukan pailit antara lain seorang kreditr atau beberapa kreditur, debitur sendiri, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia, badan pengawas pasar modal dan menteri keuangan. Pihak-pihak ini dapat mengajukan pailit dengan memperhatikan syarat diatas, namun yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah kemungkinan debitur sendiri secara sadar mengajukan permohonan pernyataan pailit dan hal ini bisa diproses tentu dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu (didalam praktek yang harus diwaspadai jika ini terjadi adalah adanya “perbuatan curang” dengan melakukan pengalihan asset terlebih dahulu sebelum permohonan pailit diajukan dan hal ini dapat dideteksi yang akhirnya akan dilakukan pengembalian kedalam boedel atas asset yang telah dialihkan..jika terbukti).

Didalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan bahwa semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang terbuka untuk umum, debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, yaitu sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Namun secara tegas perlu disebutkan bahwa kepailitan hanya menyangkut harta kekayaan debitor dan bukan pada hak-hak perorangan debitor misalnya debitor tetap dapat melaksanakan perbuatan hukum yang menyangkut dirinya termasuk tidak adanya upaya pengurungan dan yang semacamnya. Akibat lain karena dilakukannya penyitaan atas seluruh harta debitor adalah akan dilakukannya pelelangan dan pemberesan berupa pembagian/pelunasan kepada para kreditor atas harta tersebut dan jika hasil pelelangan ternyata masih didapati kekurangan untuk mencukupi pelunasan maka hal inilah yang di dalam hukum perdata masuk kedalam kategori naturlijke verbintennis yaitu sebagai sisa hutang orang yang pailit dimana pihak kreditor tidak memiliki hak lagi untuk pelunasannya. Oleh karena itu hakim pengawas dalam hal ini akan berhati-hati dan cermat untuk mendata dan “mengejar” semua harta kekayaan debitor agar tidak ada kreditor yang dirugikan, namun jika pada akhirnya tetap masih ada kekurangan maka demi hukum debitor tidak memiliki kewajiban lagi untuk memenuhi kewajibannya.

Secara umum demikian aturan main didalam hukum kepailitan dan hukum perdata mengenai naturlijke verbintennis tetapi menurut Hukum Islam. hutang seseorang merupakan kewajiban yang tidak akan pernah gugur kecuali dilunasi baik oleh orang yang berhutang ataupun ahli waris orang yang berhutang (jika orang yang berhutang telah meningal dunia) sebagaimana hadis riwayat (HR) Tirmidzi No. 1078: jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya. Bahkan secara tegas disebutkan didalam HR Ibnu Majah No. 2410 tentang orang yang tidak mau membayar hutangnya: Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya maka dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam status sebagai pencuri. Hadis senada dalam HR Bukhari No. 18 dan Ibnu Majah No. 2411: barangsiapa mengambil harta manusia dengan niat ingin menghancurkannya maka Allah juga akan menghancurkan dirinya. Termasuk HR Muslim No. 1886: semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutangnya. Luar biasa persoalan hutang ini karena dapat menjadi menghalang perjalanan seorang hamba yang telah meninggal dunia. Hal ini karena persolaan hutang merupakan hak manusia yang Allah berlepas diri sebelum manusia yang dihutangi meridhoinya. Lalu bagaimana kedudukan orang yang sengaja mengajukan pailit dimana sebelumnya asset berharganya dialihkan terlebih dahulu dengan tujuan jika dilakukan penyitaan tidak akan ada asset lagi yang dapat dipergunakan untuk melunasi hutangnya sehingga ia akan masuk kedalam kategori orang yang tergolong naturlijke verbintennis,,maka tentu hal ini bisa masuk kedalam golongan orang-orang yang sengaja tidak mau membayar hutang. Di dunia bisa jadi terlepas dari kewajiban membayar hutang tetapi apakah terbebas pula diakherat kelak? Wallohu a’lam.




Review Jurnal2

SUMBER DAYA MANUSIA PEREMPUAN INDONESIA
Endang Ediastuti Mustar

Populasi 18 (2) 2007

Pembahasan yang dilakukan penulis sangat menarik, penulis memberikan desripsi dengan data yang sangat komprehensif serta membandingkan SDM perempuan bekerja dan tidak bekerja. Penulis juga membahas bagaimana peran ganda SDM perempuan bagi dunia kerja dan kesejahteraan kehidupan keluarga.

Pembahasan lain yang juga menarik adalah bahwa SDM perempuan melaksanakan fungsi reproduksi, kodrati, dan nonkodratinya, melaksanakan juga memberikan sumbangan pada pembangunan dengan tenaga, keahlian, dan keterampilannya

Pembahasan

Sebagai SDM Perempuan Indonesia saya merasa bersyukur turut memberi kontribusi pada pembangunan, khususnya memberikan bekal kepada generasi penerus (tidak ingin menggunakan istilah “turut mencerdaskan bangsa”). Semoga