FORWARD TRADING

 

FORWARD TRADING

Transaksi Forward kontrak adalah transaksi untuk membeli atau menjual mata uang asing untuk penyerahan kemudian , misalnya penyerahan satu, dua atau tiga bulan kemudian. Jadi jika Bank Baru membeli USD. 1,000,000 forward 1 month eqivalant IDR dari Bank Merbabu, maka saat terjadi kontrak (beli) forward oleh Bank Baru sudah ditetapkan kursnya pada hari itu, untuk penyerahan USD. 1,000,000 sebulan yang akan datang.

Transaksi ini digunakan untuk menghindari risiko perubahan kurs yang akan dating, pihak-pihak yang aktif dalam perdagangan internasional dapat melakukan transaksi forward (berjangka). Contohnya jika Importir melakukan pembelian barang dari Luar Negeri, dimana pembayarannya dapat dilkukan secara berjangka (usance) beberapa bulan kemudian, misalnya 3 bulan setelah barang dikapalkan/ dikirimkan maka untuk menghindari risiko kurs yang mungkin timbul pada saat jatuh tempo pembayaran ke Luar Negeri yang bersangkutan dapat melakukan transaksi pembelian forward mata uang negara Eksportir.

MEKANISME PASAR FORWARD

Forward adalah kontrak untuk penyerahan sejumlah valas di kemudian hari, yang nilai tukar dan waktu penyerahannya ditentukan pada saat kontrak tersebut ditandatangani. Mata uang yang diperdagangkan biasanya mata-mata uang utama seperti GBP, CAD, JPY, dan SGD terhadap USD.

 

Partisipan Utama

  1. Arbitrageurs (pialang): mencari risk-free profit dari perbedaan tingkat bunga di beberapa negara.
  2. Pedagang: untuk menghindari risiko dari fluktuasi valas dalam kegiatan ekspor/impornya.
  3. Hedgers (biasanya MNC): untuk melindungi nilai assets/liabilities-nya yang dinyatakan dalam berbagai mata uang dalam balance sheet-nya, agar nilai tersebut (dalam home currency-nya) tetap aman.
  4. Spekulator: menghadapkan dirinya ke risiko-risiko fluktuasi mata uang dengan membeli/menjual kontrak forward. Dasar pemikiran: ekspektasi nilai spot yang akan datang dan forward
  5. Bank: risikonya besar, yaitu risiko karena fluktuasi mata uang dan risiko tidak dieksekusinya kontrak forward oleh konsumennya. Di lain pihak, bank harus mengesekusi kontrak tersebut. Untuk itu, bank biasanya menerapkan jaminan ± 5% -10% dari nilai kontrak.

 

Perusahaan-perusahaan dapat mengurangi risiko fluktuasi valas dengan menggunakan kontrak forward.

Contoh:

Pengusaha Indonesia mengimpor barang dari Inggris senilai GBP 1 juta yang jatuh tempo 3 bulan lagi (ia short GBP, hutang GBP). Spot rate : GBP 1 = IDR 16.300,-, forward rate (90 hari): GBP 1 = IDR 16.700,-

Berdasatkan transaksi  tersebut maka saat jatuh tempo Importir dapat membeli GBP. 1,000,000 dengan harga IDR. 16.700, dengan demikian harus menyediakan IDR. sebesar 16.700.000.000 dan ini sudah diketahui sejak awal terjadinya transaksi (3 bulan sebelumnya).
Perlu digarisbawahi bahwa forward tidak sama dengan option. Kontrak forward harus dieksekusi, sedangkan option merupakan hak untuk menjual/membeli yang tidak harus dieksekusi.

Keuntungan/kerugian kontrak forward tidak tergantung pada spot rate sekarang, melainkan spot rate yang akan datang (pada saat kontrak jatuh tempo).

Suatu valas dijual pada forward discount jika nilai forward lebih rendah dari nilai spot-nya. Hal yang sebaliknya disebut forward premium. Untuk menghitung forward discount/premium, pencamtuman nilai tukar harus menggunakan direct quote.

 




Kekuasaan, Politik, dan Konflik di dalam Organisasi

Manusia yang dikenal sebagai Homo Homini Socius memiliki kebutuhan dan keinginan untuk berkumpul serta berinteraksi dengan sesamanya. Dalam tataran formal, aktifitas berkumpul dan berinteraksi ini dapat disebut dengan berorganisasi. Hal ini sejalan dengan buah pikiran Mc. Shane dan Von Glnow (2010:4) yang mengemukakan bahwa “Organizations are groups of people who work interdependently toward some purposes… Throughout history, organizations have consisted of people who communicate, coordinate, and collaborate with each other to achieve common objectives”. Dalam organisasi, individu-individu yang unik berkumpul, berkolaborasi, dan berkoordinasi untuk mencapai tujuan tertentu. Keunikan individu yang beragam inilah yang kemudian memunculkan hal-hal penting di dalam organisasi, seperti kekuasaan, politik, dan konflik.

 

Kekuasaan dalam Organisasi

Kekuasaan adalah kapasitas seseorang, tim, atau organisasi untuk mempengaruhi yang lain. Kekuasaan tidak dimaksudkan untuk mengubah perilaku seseorang, melainkan potensi untuk mengubah seseorang (Mc. Shane & Von Glnow, 2010: 300). Lebih jauh lagi, kedua ahli ini menjelaskan bahwa kekuasaan mensyaratkan kebergantungan. Dengan kata lain, pihak yang berkuasa memiliki hal yang dianggap penting oleh pihak lainnya sehingga pihak tersebut merasa berada di bawah kendali pihak yang memiliki kekuasaan.

 

Seseorang dapat dikatakan memiliki kekuasaan terhadap orang lain jika ia dapat mengontrol perilaku orang lain. Kekuasaan adalah hubungan nonresiprokal antara dua orang atau lebih. Nonresiprokal di dalam konteks ini dapat diartikan sebagai ketidakseimbangan kuasa yang dimiliki oleh individu yang satu dan individu yang lain. Dengan kata lain, dua pihak yang memiliki hubungan nonresiprokal mungkin saja tidak memiliki kekuasaan yang sama di dalam wilayah yang sama (Brown dan Gilman, 2003: 158).

Ada banyak hal yang menjadi dasar terbentuknya faktor kekuasaan, seperti kekuatan, kekayaan, umur, jender, serta jabatan atau posisi. Brown dan Gilman (ibid) menggunakan contoh kata ganti tu (T) dan vos (V) untuk menggambarkan faktor kuasa. Kata ganti T dan V yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin banyak diadopsi oleh bahasa-bahasa eropa seperti Perancis, Spanyol, dan Italia. Kata ganti V pada awalnya merupakan kata ganti jamak yang ditujukan kepada para kaisar, sedangkan T merupakan kata ganti tunggal yang ditujukan kepada rakyat jelata. Pada perkembangan selanjutnya V dan T digunakan sebagai kata ganti yang menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Orang yang memiliki kekuasaan dipanggil dengan V dan orang yang tidak memiliki kekuasaan dipanggil dengan T. Contoh yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman adalah kata ganti T yang digunakan oleh Paus Gregori I di dalam surat yang ditujukan pada bawahannya dan kata ganti V yang digunakan oleh bawahan Paus Gregori I untuk menyapa sang Paus. Pada jaman Eropa pertengahan, kata ganti V dan T digunakan di dalam skala yang lebih luas, misalnya para pembantu rumah tangga memanggil tuannya dengan V dan tuannya memanggil pembantunya dengan T, pekerja memanggil pengusaha dengan V dan pengusaha memanggil pekerja dengan T. Di dalam hubungan keluarga, anak memanggil orang tuanya V dan orang tuanya memanggil anaknya T.

Ketidakmerataan distribusi kekuasaan sebenarnya dialami oleh setiap individu. Pertama kali individu mengenal adanya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan di dalam keluarga. Seorang anak harus menyapa orang tuanya dengan sapaan yang dianggap santun. Seperti yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman di atas, anak pertama kali mengenal kata ganti V pada saat ia berinteraksi dengan orang tuanya. Seiring dengan berkembangnya individu, subordinasi dalam hal kekuasaan merambah ke hal-hal lain, seperti dalam hubungan kerja.

Thomas (1995: 124-130) dan Mc Shane & Van Glnow (2010: 301 – 304) mengemukakan lima sumber kekuasaan di dalam organisasi, yaitu legitimate power, reward power, coercive power, expert power, dan referent power.

Legitimate power merupakan kesepakatan anggota organisasi bahwa individu dalam peran-peran tertentu dapat menentukan prilaku tertentu dari orang lain. Legitimate power biasanya ditentukan oleh deskripsi pekerjaan dalam suatu jabatan, misalnya seorang atasan memiliki kekuasaan untuk meminta bawahannya melaksanakan tugas-tugas organisasi sesuai dengan kapasitasnya.

Reward power adalah kekuasaan untuk mengontrol atau memberikan penghargaan kepada pihak lain. Seorang manajer dapat mempromosikan bawahannya ke level yang lebih tinggi, member bonus, atau member hak berlibur sebagai imbalan yang diberikan kepada karyawan yang mencapai target kerja tertentu. Sebaliknya, seorang bawahan dapat memberikan umpan balik atas kinerja atasannya.

Coercive power adalah kekuasaan untuk member sanksi atau hukuman. Contoh coercive power adalah seorang atasan memiliki kekuasaan untuk memberikan sanksi kepada bawahannya yang terbukti memiliki kesalahan fatal yang merugikan organisasi.

Expert power adalah kekuasaan yang berhubungan dengan kemampuan, keahlian, atau pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Misalnya, tim peneliti yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan memiliki kekuasaan apakah sebuah projek dapat dilanjutkan atau tidak.

Referent power adalah kekuasaan yang diasosiasikan dengan charisma seseorang. Secara ilmiah, definisi referent power memunculkan perdebatan di kalangan para ahli karena ukuran kharisma yang sulit untuk distandarkan. Namun, secara factual referent power memang ada di dalam kehidupan berorganisasi. Di banyak perkampungan di Indonesia ada tokoh-tokoh masyarakat yang disegani karena memiliki kharisma. Hal itu merupakan contoh yang nyata dari referent power.

Dalam kenyataannya, kekuasaan memberikan beberapa keleluasaan bagi pihak yang memiliki posisi superior. Keleluasaan tersebut dapat menentukan optimal atau tidaknya kinerja sebuah organisasi.

 

Politik dalam Organisasi

Politik organisasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu dalam organisasi untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri (Colquitt, J.A., Lepine, J.A., & Wesson, M.J. 2011: 460). Sedangkan menurut Mc Shane & Van Glnow (2010: 315-316) politik organisasi terkait erat dengan taktik organisasi. Menurut kedua pakar ini, politik organisasi adalah prilaku yang dianggap oleh orang lain sebagai taktik yang menguntungkan diri sendiri dengan mengatasnamakan organisasi. Taktik tersebut sering kali bertentangan dengan kepentingan organisasi.

Politik organisasi tumbuh subur dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya pada saat kurangnya sumber daya manusia, sangat mungkin ada individu-individu yang mempertahankan satu posisi atau jabatan di organisasi.

Secara faktual, politik organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang tabu bagi orang-orang tertentu. Hal ini merupakan imbas dari berkumpulnya banyak individu di dalam organisasi. Semakin banyak individu di dalam organisasi, semakin banyak pula tarik menarik kepentingan di dalam organisasi tersebut.

Hal tersebut berimplikasi pada maraknya politik organisasi. Setiap pihak akan melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan untuk mendukung kepentingannya serta untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan politicking atau berpolitik dalam organisasi.

Dalam jangka panjang, tarik menarik kepentingan ini akan memberikan dampak tidak baik terhadap eksistensi organisasi. Semakin banyak individu yang mengedepankan kepentingannya, semakin terabaikan pula tujuan organisasi. Karenanya, seorang pemimpin yang baik harus dapat meminimalkan politik organisasi atau berupaya semaksimal mungkin agar politik organisasi tidak memicu timbulnya konflik yang dapat mengancam keberadaan organisasi.

 

Konflik dalam Organisasi

Semakin banyaknya individu yang melakukan politik organisasi, semakin besar pula potensi terjadinya konflik. Mc Shane dan Von Glnow (2010: 328) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses di mana salah satu pihak menganggap bahwa kepentingannya bertentangan dengan pihak lain. Pandangan ini didasari oleh fakta bahwa setiap individu adalah unik. Mereka memiliki persepsi yang berbeda atas suatu realita. Perbedaan ini berpengaruh kepada heterogenitas individu dalam berinteraksi di lingkungannya. Di sisi lain, organisasi juga harus menetapkan visi dan misi, yang tak jarang tidak searah dengan persepsi individu.

Perbedaan-perbedaan atau benturan-benturan yang terjadi di dalam interaksi social telah menempatkan konflik sebagai hal yang dianggap negatif. Konflik menciptakan ketidak sepahaman di antara berbagai pihak. Dampaknya, konflik banyak menciptakan ketidak efisienan dalam berbagai sendi organisasi (conflict is bad perspective). Ketidak sepahaman ini juga sering memicu timbulnya berbagai politik organisasi yang pada akhirnya berpengaruh negatif kepada kinerja individu dan organisasi.

Pada era 1970an – 1990an muncul persepsi lain yang memandang konflik dengan kaca mata yang lebih positif (optimal – conflict – perspective). Pada titik tertentu, ada kemungkinan bahwa pihak-pihak yang mengalami konflik  berbicara satu sama lain. Pada saat seperti inilah konflik dapat menjadi hal positif. Dalam kondisi ini, keterbukaan antara pihak-pihak yang berkonflik akan memunculkan alternatif pemecahan masalah.

Selepas tahun 1990an, muncul pandangan yang berbeda mengenai konflik. Di era ini konflik dibagi menjadi dua, yakni constructive conflict dan relationship conflict. Constructive conflict dianggap dapat mendorong lahirnya ide-ide dan rekomendasi baru untuk memecahkan masalah. Di sisi lain, relationship conflict hanya terfokus pada manusia sebagai pihak yang mencetuskan konflik.

Setiap hal yang terjadi di dunia ini pasti memiliki efek positif dan negatif, begitu pula dengan konflik. Di dalam konteks organiosasi, konflik dapat menyebabkan beberapa hal positif sebagai seperti memperkuat hubungan antar individu (jika semua pihak yang berkonflik dapat saling bicara dengan baik); menumbuhkan kepercayaan terhadap orang lain (konflik yang diselesaikan dengan baik akan menumbuhkan rasa kepercayaan terhadap pihak lain); Meningkatkan harga diri (pihak-pihak yang berkonflik akan memiliki harga diri tinggi, dan secara positif mereka akan memperbaiki argument-argumen untuk ,membela dirinya). Pengaruh positif tersebuat akan berdampak pula pada organisasi. Salah satu dampaknya yaitu organisasi memiliki atternatif pemecahan masalah karena adanya keinginan dari pihak-pihak yang berkonflik untuk duduk bersama. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktifitas organisasi yang semakin membaik.

Di samping pengaruh positif, konflik juga memiliki beberapa pengaruh negatif seperti mengakibatkan ketidaknyamanan antar individu karena adanya perasaan saling curiga dan hilangnya kepercayaan. Dalam jangka panjang, hal tersebut akan berdampak pada menurunnya kinerja organisasi.

 

Manajemen Konflik

Dalam satu organisasi, konflik kadang-kadang merupakan hal yang sangat sulit untuk dihindari. Karenanya perlu ada strategi yang dapat mengarahkan konflik menjadi hal yang lebih positif. Para ahli menjelaskan beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik, yaitu avoiding, collaborating, compromising, avoiding, dan accommodating, dan forcing.

Avoiding adalah menghadapi konflik dengan cara menghindarinya. Cara ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar jika konflik sudah terjadi. Collaborating biasanya digunakan jika pihak-pihak yang berkonflik memiliki kekuasaan yang relative seimbang. Dalam collaborating pemecahan masalah diusahakan memenuhi kepentingan semua pihak. Compromising adalah mengelola konflik melalui konsensus. Dalam compromising, setiap pihak mendapatkan setengah dari total kepentingannya. Compromising dinilai efektif untuk menyelesaikan masalah secara cepat. Berbeda dengan tiga cara pengelolaan konflik yang sudah sisebutkan di atas, accommodating merupakan strategi mengelola konflik dengan mengorbankan kepentingan salah satu pihak dengan memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memenuhi kepentingannya. Selain itu, ada pula strategi mengelola konflik yang dilakukan dengan sistem pemaksaan atau forcing. Forcing dinilai efektif jika keputusan yang diambil oleh pihak yang memaksa adalah keputusan yang benar. Sebaliknya, jika keputusan yang diambil oleh pihak yang melakukan pemaksaan tidak benar, maka akan menimbulkan permusuhan di dalam organisasi.

 

Mensinergikan Kekuasaan, Politik, dan Konflik di Dalam Organisasi

Kekuasaan memungkinkan seseorang memaksakan kehendaknya untuk mencapai tujuan yang ia inginkan. Perbedaan tujuan berbagai pihak yang terhimpun di dalam organisasi akan mendorong pihak-pihak tersebut melakukan politik organisasi. Politik organisasi inilah yang selanjutnya menimbulkan benturan-benturan atau konflik di dalam organisasi. Namun, konflik tidak selalu membawa dampak buruk bagi organisasi, tetapi juga dapat membawa dampak positif jika dikelola dengan benar..

 

 

 

 

 

 

Referensi

Brown, R. & A. Gilman. 2003. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam C. B. Paulston &  G.R. Tucker (ed). Sociolinguistics: The Essential Readings.  Oxford: Blackwell.

 

Colquitt, J.A., Jefferey A.L. & Michael J. W. 2011. Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. Second Edition. New York: Mc Graw Hill.

 

Mc Shane, S.L. & Von Glnow, M.A.Y. 2010. Organizational Behavior: Emerging Knowledge and Practice for the Real Word. New York: Mc Graw Hill.

Thomas, J. 1995.  Meaning  in  Interaction:  an  Introduction  to Pragmatics. New York: Longman.




Organisasi Belajar: Analisis Garuda Indonesia

“organizations where people continually expand their capacity to create the result they truly desire, where new and expansive pattern of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”. Senge
I. Pendahuluan
Gelombang globalisasi yang tak terbendung menuntut berbagai elemen masyarakat untuk berubah. Perubahan ini adalah satu keniscayaan karena elemen yang tidak berubah dan tidak mampu beradaptasi dengan gelombang globalisasi akan terpinggirkan dan musnah dengan sendirinya. Begitu pula dengan organisasi. Sebagai wadah penggerak manusia, organisasi harus benar-benar dinamis di dalam menghadapi perubahan yang semakin cepat. Untuk menjadi dinamis, organisasi harus terus-menerus belajar meningkatkan kualitasnya, sehingga ia mampu mengoptimalkan semua unsur di dalamnya.Selain itu, organisasi dituntut terus menerus belajar agar ia mampu bertahan di sela-sela ketatnya persaingan dengan organisasi sejenis.

Makalah ini akan membahas apakah PT. Garuda Indonesia merupakan organisasi yang belajar atau tidak dilihat dari perspektif Senge. Adapun alasan pengambilan PT Garuda Indonesia sebagai contoh untuk dianalisa dalam makalah ini dikarenakan beberapa sebab, di antaranya adalah kemampuan Garuda Indonesia untuk bertahan dan tetap digandrungi banyak orang walaupun beberapa kali diterpa isu kekalutan di kalangan internal perusahaan. Selain itu, menjamurnya perusahaan-perusahaan penerbangan, baik luar maupun dalam negeri , tidak mampu menggilas keberadaan PT Garuda Indonesia.

II. Pembahasan
Organisasi Belajar
Konsep organisasi belajar mulai diperkenalkan pada tahun 1990an. Munculnya ide organisasi belajar merupakan jawaban atas perubahan jaman yang teramat pesat. Suatu organisasi harus memiliki daya tahan dan daya saing yang tinggi untuk dapat mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah gelombang perubahan yang teramat cepat. Daya tahan dan daya saing tinggi akan tercapai jika dan hanya jika organisasi belajar terus menerus. Belajar di dalam konteks ini adalah belajar untuk menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar organisasi; belajar mengoptimalkan potensi yang ada; belajar memperbaiki kualitas diri; serta belajar beradaptasi dengan berbagai perubahan. Proses belajar yang tanpa henti inilah akan membentuk organisasi yang inovatif.
Alasan lain perlunya organisasi belajar yaitu untuk mamacu anggotanya agar menjadi pembelajar yang baik. Individu-individu yang belajar terus menerus tentu akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih daripada orang-orang yang tidak mau belajar. Karenanya, organisasi belajar akan mendorong anggotanya untuk belajar agar setiap anggota dapat mencapai kinerja optimal. Dengan demikian, diharapkan organisasi juga memiliki kinerja yang optimal.
Di sisi lain, ada beberapa faktor dari luar yang menuntut suatu organisasi menjadi organisasi belajar. Faktor-faktor yang menjelaskan kepada kita bahwa organisasi harus bersinergi dengan faktor di luar organisasi agar mencapai hasil yang optimal adalah sebagai berikut.
Pertama, organisasi harus terus menerus belajar karena adanya kemajuan di bidang informasi, komunikasi, dan teknologi yang teramat cepat. Kemajuan ini harus disertai dengan kemauan dan keinginan untuk belajar agar organisasi tidak tenggelam di dalamnya. Hal yang dapat kita jadikan contoh adalah masalah telekomunikasi. Pada era tahun 1990an, perusahaan yang memiliki kantor pusat di Jakarta harus mengadakan pertemuan secara langsung untuk membicarakan suatu hal dengan cabang-cabangnya atau anak perusahaannya di daerah-daerah untuk sesuatu yang sifatnya sangat penting. Namun, saat ini pembicaraan dengan kantor-kantor cabang dapat dilakukan melalui teleconference dengan memanfaatkan jasa internet berkecepatan tinggi. Perusahaan yang belum mau mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi akan menghabiskan biaya jauh lebih besar untuk keperluan tersebut. Selain dari segi biaya, timbul pula ketidakefisienan dari segi waktu dan energy yang dikeluarkan.
Kedua, masyarakat modern selalu mengutamakan hal-hal yang praktis dan efisien. Transaksi dalam dunia perbankan dapat dijadikan contoh menarik yang dapat menjelaskan istilah praktis dan efisien. Masyarakat modern, terutama yang tinggal di kota-kota besar saat ini lebih menyukai melakukan transaksi e-banking daripada transaksi yang dilakukan secara tradisional, yakni pergi (secara fisik) ke bank. Mereka dapat melakukan transaksi perbankan kapan pun dan di mana pun dengan menggunakan telepon pintar yang mereka miliki. Aktifitas transaksi e-banking ini dapat dilakukan saat mereka melakukan pekerjaan lain yang perlu penanganan secara langsung. Jadi, dari segi waktu, biaya, dan energy yang di keluarkan, transaksi menggunakan e-banking lebih mudah dan cepat daripada transaksi tradisional. Industri perbankan pun mulai berlomba-lomba memberikan kemudahan akses bagi nasabah untuk melakukan e-banking. Bank-bank yang hanya diam dan menonton akan segera ditinggalkan nasabahnya.
Ketiga, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menuntut organisasi mengadopsi perkembangan tersebut. Jika organisasi resistant terhadap perkembangan ilmu dan pengetahuan, maka ia tidak akan dapat memelihara keberlanjutannya.
Senge (1990) mendefinisikan organisasi belajar sebagai “organizations where people continually expand their capacity to create the result they truly desire, where new and expansive pattern of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”. Dari definisi tersebut dapat kita lihat bahwa organisasi belajar adalah organisasi yang dapat mendorong individu dalam mengoptimalkan potensinya untuk mencapai hal yang dicita-citakan. Di dalam organisasi belajar, semua individu bebas mengungkapkan aspirasinya serta mengembangkan ide-idenya sehingga individu akan belajar berkesinambungan.
Menurut Senge ada 5 karakter organisasi belajar, yakni:
1. Penguasaan Pribadi atau Personal Mastery
Organisasi belajar mendorong anggotanya untuk berkembang secara optimal dan mengembangkan kapasitas individu untuk mencapai hasil kerja terbaik. Penguasaan pribadi ditujukan agar individu mampu melihat suatu hal secara obyektif. Hal ini akan berdampak pada kemampuan individu dalam memahami dan mendalami visinya, sehingga ia dapat memfokuskan energy yang dimilikinya untuk mengembangkan hal-hal yang lebih bermanfaat. Penguasaan pribadi yang baik sangat mempengaruhi keberadaan organisasi karena kinerja organisasi bergantung kepada dinamika individu yang ada di dalamnya.

2. Pola Mental atau Mental Model.
Pola mental merupakan hal yang mendasari seseorang dalam melihat dunia di sekitarnya. Pola mental akan membentuk asumsi terhadap setiap hal yang dilihat. Karenanya, setiap individu harus terus menerus memperbaiki pola mentalnya dalam melihat dunia sekitar sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat dan baik dalam mengambil keputusan.

3. Visi Bersama atau Shared Vision.
Individu yang tergabung dalam suatu organisasi biasanya memiliki satu atau beberapa kesamaan. Alangkah baiknya jika kesamaan ini dijabarkan ke dalam visi bersama yang mengikat setiap individu di dalam organisasi untuk selalu memegang teguh komitmen dalam mencapai tujuan bersama.

4. Belajar Beregu atau Team Learning.
Sebagaimana layaknya lidi, ia akan kuat dan bermanfaat jika diikat dalam jumlah yang cukup banyak, demikian pula organisasi. Pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok (bersama) biasanya akan membuahkan hasil yang optimal daripada pekerjaan yang dilakukan oleh individu secara terpisah-pisah. Belajar beregu juga menjadi aspek yang penting untuk mengasah sense of belonging. Selain itu, belajar beregu akan melatih individu untuk memainkan peran dalam kelompoknya secara bersungguh-sungguh karena berhasil atau tidaknya kelompok sangat bergantung pada kesungguhan seluruh anggotanya.

5. Berpikir Sistem atau System Thinking
Organisasi harus mampu melihat semua hal, termasuk pola perubahan sebagai suatu sistem. Ini berarti bahwa perubahan itu sendiri dipengaruhi dan mempengaruhi banyak faktor. Keterkaitan atau jalinan banyak faktor inilah yang membentuk sebuah sistem, yang jika salah satunya diubah akan berpengaruh terhadap faktor-faktor lainnya. Oleh karenanya, organisasi harus mampu melihat perubahan sebagai suatu sistem menyeluruh agar penilaiannya tidak timpang.
Sekilas Tentang Garuda Indonesia
Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional yang didirikan pada tahun 1949, saat Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja direbut dari tangan penjajah. Seiring dengan perubahan jaman, banyak sekali perkembangan yang terjadi di tubuh Garuda Indonesia, di antaranya adalah perubahan manajemen dan logo pesawat. Selain itu, perombakan di tataran manajemen juga dilakukan agar organisasi ini tetap dinamis dan dapat bertahan dalam persaingan yang semakin ketat.
Saat ini, Garuda Indonesia memiliki konsep sebagai maskapai dengan pelayanan penuh (full service airline). Berbagai rute penerbangan dioperasikan oleh Garuda Indonesia, mencakup rute domestic, regional, dan internasional. Selain mendapatkan berbagai penghargaan berskala nasional dan internasional, maskapai ini memiliki berbagai unit bisnis (Strategic Business Unit) seperti Garuda Cargo dan Garuda Medical Center. Beberapa anak perusahaan Garuda Indonesia juga sedang berkembang dengan sangat pesat, diantaranyaPT Citilink Indonesia (maskapai tarif rendah), PT Aerowisata (hotel, transportasi darat, agen perjalanan, dan catering), PT Abacus Distribution System Indonesia (penyedia layanan sistem pemesanan tiket), PT Aero System Indonesia/Asyst (penyedia layanan teknologi informasi untuk industry pariwisatadan transportasi), serta PT Garuda Maintenance Facility/GMF AeroAsia, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang perawatan pesawat, perbaikan, dan overhaul (www.garuda-indonesia.com).
Namun, Garuda Indonesia bukanlah organisasi yang tumbuh tanpa masalah. Beberapa tahun terakhir ini Garuda Indonesia dihadapkan pada masalah protes karyawan dan kerugian keuangan. Protes karyawan berupa aksi mogok para pilot dan aksi mogok karyawan PT Aerofood Catering Service. Para pilot Garuda Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Garuda (APG) melakukan mogok kerja menuntut kenaikan gaji. Hal tersebut didasari oleh kesenjangan penghasilan yang diterima oleh pilot orang Indonesia dengan penghasilan yang diterima pihak asing. Aksi mogok lainnya dilakukan oleh karyawa PT Aerofood service. Akibat unjuk rasa ini, beberapa rute penerbangan domestic Garuda Indonesia tidak disertai dengan fasilitas makan (www.finance.detik.com).
Garuda Indonesia: Organisasi Belajarkah?
Saat kita mencoba mengevaluasi apaka satu organisasi dapat dikatakan belajar atau tidak, maka harus ada standar baku yang bisa membuat satu acuan penilaian yang objektif. Dalam pembahasan di makalah ini, saya akan mencoba membuat penilaian apakah Garuda Indonesia termasuk organisasi belajar atau tidak berdasarkan paparan sebelumnya mengenai karakteristik organisasi belajar, yakni penguasaan pribadi, pola mental, visi bersama, belajar beregu, dan berpikir sistem.
Dari segi penguasaan pribadi, Garuda Indonesia memfasilitasi karyawannya dengan berbagai macam bentuk pelatihan. Untuk keperluan ini, Garuda Indonesia menyediakan Pusat Pendidikan dan Pelatihan yang sangat lengkap. Secara fisik pusat pendidikan dan pelatihan ini berupa ruan kelas, asrama, ruang serba guna, fasilitas olah raga, fasilitas praktik, dan fasilitas-fasilitas lain yang menunjang terselenggaranya pelatihan dengan optimal. Semua karyawan didorong untuk mengembangkan potensinya melalui pelatihan-pelatihan yang sangat terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Dengan mengoptimalkan potensi karyawan, maka diharapkan akan optimal pula kinerja karyawan Garuda Indonesia. Hal itu akan berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi.
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Garuda Indonesia juga berdampak pada pola mental karyawannya. Bagaimanapun juga, pelatihan-pelatihan yang dilakukan secara terus menerus akan direkam baik secara sadar ataupun tidak sadar. Hal tersebut akan digunakan oleh karyawan Garuda Indonesia dalam memberikan penilaian atau evaluasi terhadap suatu hal, sehingga ia akan perilaku yang dilakukan juga sangat dipengaruhi oleh pola mental yang sudah dibentuk. Misalnya, seorang awak kabin selalu dilatih untuk berlaku tenang, dan mendahulukan keselamatan penumpang. Maka, saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam suatu penerbangan ia akan bersikap tenang dan menenangkan penumpang. Selain itu, ia akan mendahulukan keselamatan penumpang dibandingkan dengan keselamatan dirinya sendiri. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan pelanggan kepada Garuda Indonesia.
Visi Garuda Indonesia menjadi perusahaan penerbangan yang handal dengan menawarkan layanan yang berkualitas kepada masyarakat dunia menggunakan keramahan Indonesia telah diketahui dan benar-benar dipahami oleh seluruh karyawannya. Dalam setiap pelatihan, organisasi ini selalu mematrikan visinya sehingga seluruh karyawan memiliki visi yang sama. Shared vision ini pun dijabarkan lagi ke tata nilai yangdisebut sebagai FLY-HI sejak 30 Oktober 2007. FLY-HI merupakan akronim dari nilai-nilai eFficient & effective; Loyalty; customer centricitY; Honesty & openness dan Integrity. Organisasi ini mencoba menanamkan paham bahwa ada nilai-nilai positif yang harus selalu melekat pada karyawan. Nilai-nilai inilah yang menjadi competitive advantages, baik bagi karyawan, maupun bagi organisasi secara keseluruhan.
Sebagai maskapai penerbangan nasional yang dinilai memiliki repuitasi baik oleh berbagai kalangan, Garuda Indonesia harus dapat mengaplikasikan konsep team learning bagi semua unsur di dalamnya, baik di tataran manajemen maupundi kalangan karyawan. Terlebih lagi bagi kru penerbangan, sistem penerbangan dengan durasi waktu terbang berjam-jam, mengharuskan seluruh awak kabin menjalankan perannya dengan sungguh-sungguh agar terbentuk tim yang baik. Selain itu, di tataran manajemen, Garuda Indonesia menerapkan sistem komunikasi lintas bagian. Ini berarti bahwa, bagian yang satu dapat secara langsung berkomunikasi dengan bagian lain. Dengan demikian, celah komunikasi antar bagian ini membuka peluang bagi mereka untuk menerima kritik dan masukan serta membangun budaya belajar bersama.
Berfikir sistem metupakan salah satu ciri organisasi belajar. Untuk menilai apakah Garuda Indonesia berfikir sistem atau tidak, makalah ini akan menggarisbawahi salah satu konflik yang sempat mengguncang perusahaan ini, bahkan memberikan efek tidak baik untuk penerbangan nasional, yaitu kasus mogok yang dilakukan oleh APG (asosiasi Pilot Garuda). Konflik antara Garuda Indonesia dan APG dikarenakan adanya kesenjangan penghasilan yang diterima oleh pilot-pilot asing dan pilot-pilot lokal. Aksi mogok ini, berdampak pada kacaunya jadwal penerbangan. Sehingga banyak pihak yang dirugikan oleh kekacauan ini, terutama penumpang yang telah memberikan kepercayaannya kepada Garuda Indonesia. Dalam jangka pendek, pihak manajemen garuda mencoba mengatasi kekacauan ini dengan menurunkan instruktur-instruktur penerbangan garuda sebagai ‘pilot tembak’. Hal ini dilakukan untuk memperkecil pembatalan jadwal penerbangan. Selain itu, pihak manajemen juga menyewa hotel di sekitar bandara sebagai tempat peristirahatan para pilot yang disiapkan sebagai pilot pengganti. Namun demikian, secara esesnsi penyelesaian konflik antara pihak manajemen garuda dengan APG selalu menemui kata tidak sepakat sampai saat ini.
Hal lain yang dapat diambil sebagai cara berfikir sistem dari Garuda Indonesia yaitu dengan dibukanya unit-unit bisnis lain yang terkait dengan penerbangan. Unit-unit bisnis yang dibuka oleh Garuda Indonesia seperti PT Aerowisata (hotel, transportasi darat, agen perjalanan, dan catering), PT Abacus Distribution System Indonesia (penyedia layanan sistem pemesanan tiket), PT Aero System Indonesia/Asyst (penyedia layanan teknologi informasi untuk industry pariwisatadan transportasi), serta PT Garuda Maintenance Facility/GMF AeroAsia, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang perawatan pesawat, perbaikan, dan overhaul sangat mendukung bisnis penerbangan Garuda Indonesia. Unit-unit bisnis tersebut mempermudah masyarakat yang membutuhkan jasa-jasa lain selain penerbangan. Dalam hal ini, cara berfikir Sistem dari Garuda Indonesia justeru membuka peluang-peluang bisnis lain dengan memanfaatkan nama besarnya.

Simpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Garuda Indonesia termasuk ke dalam kategori organisasi belajar. Hal ini terbukti dengan Garuda Indonesia memiliki ciri-ciri organisasi belajar yang dibuktikan dengan ketahanannya bersaing dengan maskapai lokal, regional, maupun internasional. Namun demikian, konflik antara pihak manajemen dengan karyawan harus mendapat perhatian khusus dari organisasi ini, karena organisasi belajar akan mempertimbangkan hal-hal esensi yang diperlukan oleh karyawannya.

Referensi
Senge, Peter M.(1990) The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. New York: Doubleday
www.garuda-indonesia.com
www.finance.detik.com




Fungsi Penawaran (Supply) oleh L. Listijowati Hadinugroho

Fungsi Penawaran (Supply  = S)

Fungsi Penawaran S: p = f (Q) —> S : p = a Q + b

p = variabel harga

Q = variabel kwantitas

a,b = bilangan konstanta

Contoh: S : p = 3 + Q

 

 




Fungsi Permintaan (Demand) oleh L. Listijowati Hadinugroho

Fungsi Permintaan: (Demand = D)

Fungsi permintaan D: p = f (Q) —> D : p = aQ + b

p = variabel harga

Q = variabel kwantitas

a, b = bilangan konstanta

Contoh: 1.  D : p = 12 – 2 Q




PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI

Pendahuluan

SUBJEK PAJAK
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif wajib mendaftarkan diri pada kantor Ditjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Subyek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Subyek Pajak (UU No.36 thn 2008 ttg PPh Psl 2 ayat 1) adalah :
1. a. orang pribadi
b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan
3. Bentuk Usaha Tetap

Subyek Pajak Dalam Negeri
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Dalam Negeri (Ps 2 ayat 3 jo PER-43/PJ/2011) adalah :
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi (sebagai satu kesatuan), menggantikan yang berhak.

Subyek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Luar Negeri (Pasal 2 ayat 4) adalah :
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah :
1. Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Bukan Subyek Pajak Penghasilan
Yang tidak termasuk Subyek Pajak (Pasal 3) adalah :
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
– Bukan warga negara Indonesia,
– Mereka tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut di Indonesia, dan
– negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi-organisasi international yang ditetapkan dengan Kepmen Keuangan, dengan syarat :
– Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan
– tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
– Bukan warga negara Indonesia,
– tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh peng- hasilan dari Indonesia.
OBJEK PAJAK PENGHASILAN

OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, yang termasuk didalam pengertian Objek Pajak Penghasilan:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha;
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan ; dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
m. Premi asuransi;
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
n. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
o. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Penghasilan yang dikenakan Pajak bersifat Final antara lain :
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannnya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan atau bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya.

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan, terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak Orang Pribadi tidak dikenakan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek Pajak), yaitu :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh para penerima zakat yang berhak, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat atau pengusaha kecil yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Warisan.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan asuransi bea siswa;
f. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Penghasilan yang diterima Wajib Pajak dapat berupa penghasilan yang diperoleh dari hubungan kerja atau penghasilan yang diperoleh dari usaha bebas. Pajak Penghasilan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Penghasilan dengan Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, di samping kompensasi kerugian, Penghasilan Netto-nya dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-undang Pajak Penghasilan, cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua macam cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu :
1. Perhitungan dengan cara biasa;
2. Perhitungan dengan menggunakan norma perhitungan, termasuk cara perhitungan dengan mempergunakan Norma Perhitungan Khusus yang diperuntukan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.
Sedangkan, Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara :
1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
2) Wajib Pajak luar negeri lainnya (yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia).

DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
1. Pegawai Tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
4. Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp8.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu rupiah);
c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
(2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.

PENGURANG PENGHASILAN BRUTO
Penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak, sebelum dikalikan tarif pajak dikurangi lebih dulu penghasilan brutonya dengan pengurang yang dibolehkan, kompensasi kerugian, biaya jabatan, dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

PENGURANG YANG DIPERBOLEHKAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta terwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat labih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan 11 A Undang-undang Pajak Penghasilan.
c. Iuran kepada dan pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia;
g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan Daftar Piutang Tidak Dapat Ditagih Kepada Direktorat Jenderal Pajak,
i. Sumbangan dalam rangka penanggulanagan bencana nasional yang ketentuannya diatur Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendirikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

KOMPENSASI KERUGIAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, apabila penghasilan bruto dari Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap setelah dilakukan pengurangan dengan pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan, didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut (Kompensasi Vertikal).

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.: 101/PMK.010/2016 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2013, sebagai berikut:
a. Rp.54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak pribadi;
b. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp.54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap anggota keluarga.

BIAYA JABATAN
Khusus untuk pegawai tetap, di samping biaya-biaya yang disebutkan di atas, dalam menghitung besarnya penghasilan neto, penghasilan brutonya dikurangi juga dengan biaya jabatan. Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya jabatan tersebut ditentukan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.

PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi;
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
c. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;
e. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
f. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
g. Pajak Penghasilan.
Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
h. Biaya dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
i. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

TARIF PAJAK PENGHASILAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5 %
Diatas Rp 50.000.000,00 s/d
Rp.250.000.000,00 15 %
Di atas Rp.250.000.000,00 s/d Rp.500.000.000,00 25%
Di atas Rp.500.000.000,00 30%

Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak Orang Pribadi :
Jumlah Penghasilan kena Pajak Rp 550.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp. 250.000.000,00 = Rp. 62.500.000,00
30% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
Rp 109.500.000,00

CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI.

1. Wajib Pajak Dalam Negeri Yang Menyelenggarakan Pembukuan
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, dengan pengurangan-pengurangan sebagai berikut :
1. biaya-biaya yang diperkenankan termasuk kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan;
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan
3. Pengurangan-pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d dan huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu:
a. Premi asuransi kesehatan, asuransi kesehatan, jiwa, dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan berupa :
– pemberian makanan dan minuman bagi seluruh pegawai;
– penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Contoh penghitungan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan :
– Peredaran bruto Rp 600.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan Rp 255.000.000,00
– Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 345.000.000,00
– Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut Rp 3.000.000,00 (-)
Rp 2.000.000,00 (+)
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 347.000.000,00
– Kompensasi kerugian Rp 2.000.000,00 (-)
– Penghasilan kena pajak
(bagi Wajib Pajak Badan) Rp 345.000.000,00
– Pengurangan berupa Penghasilan Tidak
Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang
Pribadi Rp 54.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 291.000.000,00

Contoh Penghitungan dengan Menggunakan Norma Penghitungan
Dalam hal penghasilan neto yang sebenarnya tidak dapat diketahui, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan. Khusus bagi Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Contoh :
– Peredaran bruto Rp 600.000.000,00
– Penghasilan neto (menurut
Norma Penghitungan) misalnya 20% Rp 120.000.000,00
– Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00 (+)
– Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 125.000.000,00
– Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 54.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak Rp 71.000.000,00

Contoh Penghitungan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Yang Terutang Pajak Dalam Bagian Tahun Pajak.
Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subyek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subyek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Contoh :
Orang pribadi kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp. 36.000.000,00 maka perhitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah :
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp. 36.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar :
360 x Rp. 36.000.000,00 Rp. 144.000.000,00
3 x 30
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 54.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 90.000.000,00

Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak tersebut dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) kemudian dikalikan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan tersebut, tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
Dari contoh penghitungan diatas diketahui bahwa penghasilan kena pajaknya adalah sebesar Rp 90.000.000,00. Penghitungan pajak penghasilan yang terutang dilakukan sebagai berikut :
Pajak Penghasilan setahun :
5% X Rp 90.000.000,00 = Rp 4.500.000,00

Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan) adalah :
(3 X 30) X Rp 4.500.000,00 = Rp. 1.125.000,00
360

CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
Cara menghitung Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak luar negeri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Contoh penghitungan Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan penghasilan kena pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri. Pelaksanaan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak luar negeri tersebut dilaksanakan oleh Bentuk Usaha Tetapnya di Indonesia. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan penghasilan kena pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa, yaitu dihitung dengan cara :
”Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh dan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dikurangi dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf d dan huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan”.

Contoh :
– Peredaran bruto Rp. 400.000.000,00
– Biaya untuk menambahkan, menagih
Dan memelihara penghasilan Rp. 275.000.000,00
– Penghasilan bunga Rp. 5.000.000,00
– Penjualan langsung barang oleh kantor
pusat yang sejenis dengan barang yang
dijual bentuk usaha tetap Rp. 200.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan Rp. 150.000.000,00 (-)
Rp. 50.000.000,00
– Penghasilan yang diterima atau diperoleh
kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp. 2.000.000,00 (+)
Rp. 182.000.000,00
– Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp. 7.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak Rp. 175.000.000,00

Contoh penghitungan pajak Wajib Pajak Luar Negeri Lainnya.
Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan bahwa bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan tidak melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, kewajiban perpajakannya dilaksanakan dengan cara pemotongan oleh pihak yang wajib melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Contoh 1:
Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.

Contoh 2 :
Seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 dan dikalikan dengan pajak yang terutang untuk satu tahun pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak, tiap bulan yang penuh dihitung 30 hari. Contoh :
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp.54.816.000,00.
Pajak Penghasilan setahun :
5% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 4.816.000,00 = Rp. 722.400,00
= Rp. 3.222.400,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
(3 x 30) x Rp.3.222.400,00. = Rp.805.600,00
360




Pusaka Yang Hilang

Pusaka yang Hilang

 

Pada 11 September 2013 empat artefak purbakala berlapis emas raib dari tempat penyimpanannya di Museum Nasional. Keempatnya yang terdiri: Lempeng Naga Mendekam Berinskipsi, Lempeng Bulan Sabit Beraskara, Wadah Bertutup (Cepuk)  dan Lempeng Harihara merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno abad ke-10.[1] Sayangnya hingga kini keempat artefak tersebut masih belum berhasil ditemukan.

Pencurian artefak semacam itu bukan yang pertama kali terjadi. Peristiwa serupa pernah terjadi di Museum Radya Pustaka, Surakarta, di tahun 2007 dimana koleksi arca batu dilaporkan hilang dan sebagian lagi dipalsukan. Tapi berbeda dengan pencurian di Museum Nasional, di kasus ini kepala museum dan dua pegawainya dijadikan tersangka dan divonis penjara. Bukan hanya itu, lima arca yang hilang kemudian ditemukan di rumah seorang pengusaha sekaligus kolektor barang antik, Hasyim Djojohadikusumo yang mengaku membeli arca-arca itu secara legal dari Hugo E.Kreijger, mantan konsultan Christie’s – sebuah tempat lelang di London. Hasyim memang akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Surakarta.[2]

Pada Agustus 2010, 75 koleksi museum Sonobudoyo di Yogyakarta berupa topeng emas dan perhiasan hibah Sultan Hamengkubuwono VIII lenyap dan bernasib sama dengan keempat artefak Museum Nasional yang hingga kini tidak ketahuan rimbanya.[3]

Ini hanya sebagian dari sekian banyak kasus pencurian, perusakan dan penyelundupan di Museum dan cagar-cagar budaya di Indonesia yang kerap menjadi target empuk para mafia barang antik dan purbakala. Masa depan dan kelestarian artefak dan benda-benda bersejarah semakin terancam. Bahkan tahun 2008, di Yogyakarta, Lambang B. Purnomo, seorang arkeolog yang ketika itu getol menyelidiki jaringan pencurian benda-benda purbakala ditemukan tewas secara misterius. Memang penyebab kematiannya masih berupa misteri yang belum terpecahkan namun ini menguatkan bahwa kejahatan terkait warisan leluhur harus segera diakhiri.[4]

 

[1] http://tekno.kompas.com/read/2013/09/13/2006390/Pencurian.Artefak.Polisi.Selidiki.Sindikat.Internasional.

[2] National Geographic, Juni 2016. Rahadian Rundjan. Menjarah Masa Depan. Hal: 46

[3] National Geographic, Juni 2016. Rahadian Rundjan. Menjarah Masa Depan. Hal: 46

[4] National Geographic, Juni 2016. Rahadian Rundjan. Menjarah Masa Depan. Hal: 46

 




Studi S3 di Luar Negeri (Proses Pendaftaran)

aut1

Beberapa kali saya pernah mendapat pertanyaan tentang bagaimana proses yang harus dilakukan pada saat seseorang ingin melanjutkan studi ke tingkat doktoral (S3), khususnya dari teman-teman yang ingin lanjut studi di luar negeri. Karena itu, saya pikir mungkin ada baiknya kalau pengalaman saya mulai dari awal, perjalanan hingga tahap akhir studi doktoral saya share secara umum.

Proses studi doktoral saya mungkin bisa dikatakan sangat berbeda dengan proses studi doktoral teman-teman lain, khususnya yang melanjutkan studi di dalam negeri. Saya sering ditanya harus belajar apa saja untuk persiapan tes masuk, padahal dalam proses awal studi lanjut saya tidak pernah menjalani tes tertulis untuk diterima di program doktoral pada School of Computing and Mathematical Sciences, Auckland University of Technology (AUT), New Zealand. Selain itu, sering juga saya mendapat pertanyaan bagaimana caranya memilih perguruan tinggi yang bagus untuk studi dan kenapa saya memilih AUT di New Zealand sebagai tempat studi lanjut.

Saya pernah mendengar seorang teman berkata, “Kalau mau kuliah S1 carilah nama perguruan tingginya, kalau mau kuliah S2 carilah kekhususan atau specialties dari perguruan tinggi tersebut, tapi kalau mau ambil S3 carilah dimana professor yang ditargetkan untuk menjadi pembimbing (disebut promoter dalam sistem pendidikan Indonesia) berada.” . Rupanya, bagi saya kondisi inilah yang terjadi. Saya pada kahirnya melanjutkan studi ke New Zealand di akhir tahun 2007 karena professor yang saya inginkan menjadi pembimbing saya memang berada di AUT, New Zealand lebih tepatnya di sebuah lab yang bernama Knowledge Engineering and Discovery Research Institute (KEDRI). Berbeda juga dengan pengalaman teman-teman yang lain, saya telah mengenal professor saya ini jauh sebelum bahkan saya bertatapan langsung dengannya, bahkan sebelum secara resmi mendaftar sebagai calon mahasiswa di AUT, New Zealand.

auckland

Hal ini jugalah yang membedakan proses pembuatan proposal penelitian doktoral yang seringkali menjadi momok yang cukup signifikan bagi teman-teman yang sedang studi lanjut. Di tahun 2005 hingga 2006, saya telah banyak membaca artikel-artikel ilmiah yang dipublikasikan olef Prof. Nikola Kasabov (yang pada akhirnya menjadi pembimbing saya). Dari artikel-artikel yang saya baca, muncul beberapa ide penelitian yang tentunya didasarkan pada hasil kerja Prof. Nikola Kasabov dan merupakan pengembangannya. Akhirnya di awal 2007 saya memberanikan diri untuk mengirimkan sebuah email ke Prof. Nikola Kasabov yang isinya menyatakan ketertarikan saya terhadap penelitiannya dan juga saya sampaikan bahwa saya memiliki beberapa ide yang berupa pengembangan dari penelitiannya.

Alhamdulillah, gayung bersambut. Prof. Nikola Kasabov merespon dengan cepat dan tertarik dengan ide-ide saya. Selanjutnya selama 6 bulan ke depan kami bekerja via email untuk membangun proposal penelitian doktoral saya. Hingga pada bulan Agustus 2007, Prof. Nikola Kasabov mengatakan bahwa sudah saatnya saya mendaftar secara resmi sebagai PhD student di AUT dan segera datang ke New Zealand. Maka di titik inilah baru proses pendaftaran saya sebagai mahasiswa doktoral dimulai. Tidak ada tes yang harus saya ikuti, yang utama adalah proposal penelitian dan rekomendasi dari calon pembimbing. Pada akhirnya di bulan Oktober 2007 saya mendapat kepastian bahwa saya diterima sebagai PhD student di AUT, New Zealand dan akan berada di bawah bimbingan Prof. Nikola Kasabov.

Jadi begitulah bagian awal perjalanan studi doktoral saya di Negeri Kiwi, New Zealand yang mana menurut saya prosesnya cukup berbeda dibandingkan dengan proses studi lanjut di dalam negeri. Mungkin cerita ini dapat bermanfaat bagi teman-teman yang ingin studi lanjut ke luar negeri, karena mungkin prosesnya mirip dengan pengalaman saya.

Pada intinya, adalah merupakan sebuah keuntungan apabila kita sudah punya rencana yang baik terkait proposal penelitian bahkan sebelum studi doktoral itu dimulai. Sehingga dengan demikian mudah-mudahan tidak akan ada perubahan terhadap ide penelitian yang kita ajukan. Selain itu, studi doktoral  seringkali bersifat cukup personal, karena dibutuhkan kerja sama yang baik dan juga saling paham antara mahasiswa dan pembimbingnya. Oleh karena itu, menurut saya mengenal lebih dulu orang yang kita inginkan menjadi pembimbing dapat merupakan nilai tambah lainnya.

Sementara ini dulu yang bisa saya share, di cerita selanjutnya saya akan bercerita tentang bagaimana saya bisa mendapat beasiswa dari AUT, New Zealand, proses penelitian doktoral dan juga penulisan doktoral thesis (disertasi) yang saya alami selama studi di KEDRI, AUT, New Zealand.




10 Kecerobohan Terbesar Perilaku Security Karyawan (bagian #4-habis)

sebelumnya……

10 Kecerobohan terbesar bidang Security ini merupakan catatan dan survey yang dilakukan dari hari ke hari, begitu banyak masalah keamanan yang terjadi tetapi 10 hal inilah yang paling sering dan ceroboh dilakukan oleh karyawan baik di dalam perusahaan maupun diluar perusahaan mereka.

laptop_stolen_theif_theft_thief_lost_recover

Bagaimana dengan Counter Measure 10 Hal yang luar biasa tersebut ?

  1. Mengamankan Laptop, ungkapan bahwa laptop punya kaki jangan sampai terjadi pada kita dan karyawan dilingkungan kita karena laptop adalah sumber informasi yang harus dijaga, mungkin laptop yang hilang dapat dibeli kembali, tetapi informasi yang berada di dalamnya sangat penting dan tidak dapat dibeli dimanapun, informasi penting dan sensitive jangan sampai bocor karena laptop yang hilang dan dibongkar informasi di dalamnya oleh pihak lain. Untuk mengamankan cukup mudah, physical security dapat ditambahkan kabel dan gembok khusus laptop, tambahkan alarm di laptop/tas laptop dan yang paling penting adalah mengunci laptop dengan password termasuk meng-enkripsi file, document bahkan hardisk, bila laptop ini hilang maka tidak ada satupun yang dapat membukanya. Untuk mencari laptop yang hilang dapat dicari di www.icloud.com (khusus mac), untuk selain mac memerlukan bantuan aplikasi seperti www.dropbox.com, www.gmail.com, www.facebook.com dsbnya, karena pada saat login yang gagal, hanya IP address dan lokasi IP address terakhir dapat di tracking di maps.google.com.

lebih detail ke …….

http://www.ignmantra.id/2016/10/10-kecerobohan-terbesar-perilaku.html

antitheft




Model Integrasi Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan Kelayakan TKI Ke Luar Negeri

Perkembangan lapangan pekerjaan di kota-kota besar di Indonesia sampai saat ini masih jauh lebih kecil  jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang mencari pekerjaan.  Badan Pusat Statisik (BPS) menjelaskan melemahnya daya serap tenaga kerja di beberapa sektor industri, membuat angka pengangguran bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa.

Pada Agustus 2015, tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan didominasi oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12,65 persen, disusul Sekolah Menengah Atas sebesar 10,32 persen, Diploma 7,54 persen, Sarjana 6,40 persen, Sekolah Menengah Pertama 6,22 persen, dan Sekolah Dasar ke bawah 2,74 persen.

Telah diusahakan berbagai upaya oleh pemerintah untuk menekan pengangguran, yaitu degan memberdayakan UMKM dan Koperasi serta melakukan berbagai pelatihan kewirausahaan agar para generasi mendatang bukan saja pencari kerja tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja.  Lainnya lagi dalam menekan pengangguran adalah dengan membuka kesempatan bagi tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagai Tenga Kerja Indonesia (TKI).

presentation1Sedikitnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia dan banyaknya penawaran dari PPTKIS atau PJTKI dengan iming-iming gaji besar yang cukup menggiurkannya, menjadikan begitu banyaknya masyarakat yang tertarik untuk menjadi TKI di luar negeri. Mudahnya mengurus administrasi dan jadwal keberangkatan yang cepat menjadikan calon TKI tidak berpikir panjang atas resiko yang akan dihadapinya.  Banyak PJTKI yang hanya berpikir untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan keselamatan, keamanan, kelayakan dan kenyamanan dari calon TKI,. tidak sedikit oknum yang bermain pada pemberangkatan calon TKI, dan akibat dari ulah inilah permasalahan TKI terus ada sampai saat ini

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan warga negara Indonesia yang dapat melakukan suatu pekerjaan yang menjadi profesinya dan memenuhi syarat bekerja ke luar negeri. Pengiriman TKI terus mengalami perkembangan dinamis hingga saat ini. Dilema masalah dalam negeri yang kurang mampu membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya menjadikan pengiriman TKI ke luar negeri merupakan salah satu solusi untuk mengurai permasalahan ketenagakerjaan di dalam negeri. Beberapa manfaat lainnya yang dapat dirasakan dari pengiriman TKI yaitu sebagai salah satu sumber penerimaan devisa negara, meningkatkan kesejahteraan TKI serta masyarakat sekitarnya yang bersumber dari hasil pendapatan atau gaji yang diperoleh selama bekerja menjadi profesi apapun di luar negeri, dan peran lain yang dapat disandang adalah sebagai duta bangsa untuk mengenalkan Indonesia kepada dunia internasional.

Pada peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi republik indonesia nomor per.14/men/x/2010 tentang pelaksanaan penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia di luar negeri, menjelaskan Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta selanjutnya disingkat PPTKIS atau yang dahulunya biasa dikenal dengan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri. Badan lainnya yang terkait dengan TKI adalah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat BNP2TKI adalah lembaga pemerintah non kementerian yang mempunyai fungsi sebagai pelaksana kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, juga ada  Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat BP3TKI adalah perangkat BNP2TKI yang bertugas memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI.

Sampai saat ini ketiga badan tersebut dan Dirjen Imgrasi sebagai palang pintu pemberangkatan telah berkooordinasi dalam bentuk administrasi secara konvensional, aturan dari mulai calon tenaga kerja Indonesia (CTKI) mendaftar sampai siap diberangkatkan masih dikoordinasikan berbasis dokumen yang dibawa oleh CTKI ke instansi yang berkepentingan pemberangkatan.  Badan atau institusi yang terkait sudah berjalan sesuai dengan porsi yang menjadi tanggungjawabnya, namun demikian permasalahan kerap muncul seperti yang kita ketahui sampai saat ini, contohnya gaji yang tidak dibayarkan, ijin kerja yang sulit diperpanjang, penganiyayaan TKI, keterlibatan menggunakan atau mengedarkan narkoba, pembunuhan. Penulis akan mencoba melihat akar masalah yang ada, kenapa masalah TKI dari dahulu sampai saat ini masih saja muncul dan berulang-ulang. Penulis mengidentifikasi salah satu penyebabnya adalah  belum teritegrasikanya system pelayanan terpadu secara online dengan database yang tersentralisasi, karena masing-masing instansi yang terkait memiliki database dan aplikasi yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga koordinasi administrasi masih dilakukan secara manual.

Pada penulisan berikutnya penulis akan membuat model integrasi sistem pendukung pengambilan keputusan kelayakan TKI ke luar negeri dengan menggunakan metoda Promethee.