antara pasal berlapis dengan taubat

Kita semua tau bahwa ada tiga kejahatan didunia ini yang dianggap sebagai kejahatan besar yaitu terorisme, korupsi dan narkoba. Ketiga jenis kejahatan ini sering diancam dengan Pasal berlapis karena dalam satu kejahatan dianggap telah dilakukan beberapa kejahatan sekaligus. Belakangan, kasus pemerkosaan yang disertai dengan pembunuhan disuarakan pula untuk dikenakan ancaman dengan Pasal berlapis. Demikian juga kejahatan-kejahatan yang dianggap besar karena mengandung tindak kejahatan yang sekaligus banyak, misalnya disuarakannya perlunya pengenaan Pasal berlapis kepada pelaku penyekapan yang dilakukan terhadap buruh-buruh yang bekerja padanya karena bukan hanya tindak kejahatan penyekapan tetapi juga sekaligus dalam waktu bersamaan pelaku melakukan kejahatan dalam bidang ketenagakerjaan. Kejahatan tersebut antara lain tidak memiliki peraturan perusahaan, mempekerjakan orang tanpa waktu kerja yang jelas, mempekerjakan anak dibawah umur sehingga bisa dituntut bukan hanya berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (secara umum) tetapi sekaligus berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan anak.

Semua tuntutan atas penggunaan Pasal berlapis dilakukan agar dicapai efek jera bagi pelaku. Memperhatikan garis besar penuntutan suatu tindak kejahatan dengan Pasal berlapis menimbulkan pertanyaan, kira-kira patutkah jika didalam hukum ekonomi, pelaku monopoli dikenakan hukuman dengan Pasal berlapis?. Mari kita lihat bagaimana ketentuan pidana yang diatur didalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kewenangan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) adalah memberikan sanksi administrative sebagaimana diatur didalam Pasal 47 ayat (2), namun UU ini ternyata juga mengatur sanksi pidana yaitu misalnya denda serendah-rendahnya Rp25.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan. Namun demikian, dalam kenyataannya seringkali kasus monopoli (termasuk mengarahkan tender atau penunjukkan langsung dalam suatu pengadaan barang dan jasa) masuk kedalam ranah korupsi sehingga dapat dikenakan pula UU No 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, selain tentu saja dapat dituntut berdasarkan KUHPidana.

Dengan demikian Pasal berlapis bisa dipastikan dapat dikenakan terhadap semua tindak pidana yang merupakan kejahatan besar, sekalipun tindak pidana tersebut masuk kedalam kategori tindak pidana dalam lingkup ekonomi (Hukum ekonomi memang agak unik karena ia berada diranah privat sekaligus diranah public), namun jika ada unsur korupsi maka Pasal berlapis dapat dikenakan. Hal ini karena menyangkut hajat hidup orang banyak atau menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas. Menurut rekan dosen ahli hukum pidana pada FH UII (Dr. Arief Setiawan), tuntutan berlapis adalah dakwaan subsidiaritas atau dakwaan pengganti, dimana yang didakwakan lebih dari satu tindak pidana yang disusun secara berlapis dari yang ancamannya paling tinggi hingga yang terendah. Yang tertinggi ancamannya disebut sebagai dakwaan primer, dibawahnya subsider- kemudian lebih subsider lagi dan seterusnya. Adapun penilaian pembuktiannya harus dimulai dari yang primer jika tidak terbukti baru diganti dengan dakwaan lapis dibawahnya (subsider) dan seterusnya. Dengan demikian, hukuman tidak bisa diakumulasikan kecuali dakwaan yang dirumuskan kumulatif dan semua dakwaan wajib dibuktikan, jika semua terbukti maka hukuman maksimalnya memakai sistem absorsi kumulatif (diambil yang ancamannya tertinggi ditambah 1/3 dari ancaman tertinggi).

Hal seperti diatas akhirnya melahirkan perenungan tentang konsep “penghapusan hukuman” atau dikenal dengan istilah taubat…apa hubungannya?. Mari kita lihat…Didalam Hukum Islam, ada kesalahan-kesalahan yang dengan taubat dan istiqfar dapat dihapus, dengan syarat taubat dilakukan dengan sunguh-sungguh (lihat QS 66:9), namun kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kemanusiaan atau menyangkut kerugian kepada manusia lain tidak dapat dihapus kesalahannya walau telah bertaubat kepada Allah SWT karena terlebih dahulu harus meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Pertanyaannya adalah bagaimana jika korupsi yang dilakukan merupakan korupsi atas uang rakyat, dan menimbulkan kerugian atau terabaikannya hak-hak rakyat banyak maka tidak pantaskah ancaman hukuman dengan Pasal berlapis ditimpakan kepada pelakunya? Wallahu a’lam.




Laporan Keuangaan Sebelum dan Sesudah IFRS (International Financial Reporting Standards)

IFRS adalah kependekan dari International Financial Reporting Standards. Standarisasi ini muncul karena ada berbagai macam laporan keuangan yang dibuat dari berbagai macam negara. Untuk perusahaan multi nasional yang menjalankan bisnisnya secara global, seorang akuntan harus dapat membaca standar laporan keuangan pada setiap masing-masing negara baru kemudian dapat melakukan analisa. IFRS Convergence telah membawa dunia accounting ke level baru.
Sejumlah standar yang dibentuk sebagai bagian dari IFRS dikenal dengan nama terdahulu Internasional Accounting Standards (IAS). IAS dikeluarkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh Badan Komite Standar Akuntansi Internasional (Internasional Accounting Standards Committee (IASC)). Pada tanggal 1 April 2001, IASB baru mengambil alih tanggung jawab guna menyusun Standar Akuntansi Internasional dari IASC. Selama pertemuan pertamanya, Badan baru ini mengadaptasi IAS dan SIC yang telah ada. IASB terus mengembangkan standar dan menamai standar-standar barunya dengan nama IFRS.

3  Tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1. Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.
2. Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3. Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.

Ada tiga perbedaan mendasar, yaitu:
1. PSAK yang semula berdasarkan Historical Cost mengubah paradigmanya menjadi Fair Value based.
Terdapat kewajiban dalam pencatatan pembukuan mengenai penilaian kembali keakuratan berdasarkan nilai kini atas suatu aset, liabilitas dan ekuitas. Fair Value based mendominasi perubahan-perubahan di PSAK untuk konvergensi ke IFRS selain hal-hal lainnya. Sebagai contoh perlunya di lakukan penilaian kembali suatu aset, apakah terdapat penurunan nilai atas suatu aset pada suatu tanggal pelaporan. Hal ini untuk memberikan keakuratan atas suatuatas suatu laporan keuangan.

2. PSAK yang semula lebih berdasarkan Rule Based (sebagaimana USGAAP) berubah menjadi Prinsiple Based.
Apa itu Rule Based?
Rule based adalah manakala segala sesuatu menjadi jelas diatur batasan batasannya. Sebagai contoh adalah manakala sesuatu materiality ditentukan misalkan diatas 75% dianggap material dan ketentuan-ketentuan jelas lainnya.
Apa itu Prinsiple Based?
IFRS menganut prinsip prinsiple based dimana yang diatur dalam PSAK update untuk mengadopsi IFRS adalah prinsip-prinsip yang dapat dijadikan bahan pertimbagan Akuntan / Management perusahaan sebagai dasar acuan untuk kebijakan akuntansi perusahaan.

3. Pemutakhiran (Update) PSAK untuk memunculkan transparansi dimana laporan yang dikeluarkan untuk eksternal harus cukup memiliki kedekatan fakta dengan laporan internal. Pihak perusahaan harus mengeluarkan pengungkapan pengungkapan (disclosures) penting dan signifikan sehingga para pihak pembaca laporan yang dikeluarkan ke eksternal benar-benar dapat menganalisa perusahaan dengan fakta yang lebih baik.

Komponen Laporan Keuangan sebelum Konvergensi IFRS:
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Modal
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Atas Laporan Keuangan

Komponen laporan keuangan setelah IFRS:
1. Laporan Posisi Keuangan

2. Laporan Laba Rugi Komprehensif

3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Atas Laporan Keuangan

oooOOOooo