PENGGUNAAN MIND MAP DALAM MENCIPTKAN SUATU SISTEM INFORMASI MONITORING DAN EVALUASI

Peranan informasi sangatlah membantu dalam memberikan kontribusi bagi keberhasilan suatu organisasi. Sebuah sistem informasi monitoring dan evaluasi sistem informasi (Monitoring and Evaluation Information System /MEIS) merupakan salah satu jenis Sistem Informasi Manajemen yang dirancang untuk mengurangi kinerja manajemen organisasi  yang buruk, dan bisa menunjukkan akuntabilitas dan mendukung suatu pembelajaran organisasi untuk kepentingan manajemen proyek atau organisasi dimasa depan (Crawford & Bryce, 2003). Pelaporan melalui struktur organisasi merupakan salah satu mekanisme yang mana aliran informasi yang baik dalam organisasi merupakan dasar untuk menetapkan akuntabilitas.

Untuk menciptakan suatu sistem informasi monitoring dan evaluasi yang baik maka dapat dipandu dengan menggunakan Peta Pemikiran (Mind Map). Berikut gambar 1, menunjukkan suatu contoh Mind Map yang memandu keberhasilan suatu sistem informasi monitoring dan evaluasi pada suatu proyek NGO.

Gambar 1  Mind Map dari suatu lingkungan operasi NGO ( Crawford & Bryce,2003)

Dalam penelitian Crawford dan Bryce (2003) tentang proyek bantuan kepada NGO menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan keberhasilan proyek NGO. Tujuan keberhasilan NGO akan tercapai, maka untuk itu diperlukan suatu sistem informasi monitoring dan evaluasi yang baik. Dengan demikian, diperlukan suatu panduan perencanaan dengan suatu tools yang disebut sebagai “Mind Map”. Mind Map tersebut seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3

Berdasarkan Gambar 1,  keberhasilan NGO merupakan tujuan bisnis akan tercapai dengan adanya suatu akuntabilitas. Akuntabilitas dalam konteks proyek bantuan kepada LSM / NGO telah didefinisikan sebagai ” sarana bagi individu dan organisasi melaporkan kepada otoritas yang diakui, atau pihak berwenang, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Sedangkan, kinerja ( Performance ) suatu proyek/program adalah sebuah konsep yang jelas, tapi tidak berbentuk ( amorf )  dan dapat dipahami dengan adanya sesuatu yang  menuntut adanya efisiensi dan efektivitas. Akuntabilitas diindikasikan dengan adanya transparansi melalui dokumentasi dan komunikasi yang baik, dan Kinerja dindikasikan dengan adanya efektivitas dari pembelajaran organisasi dan efisiensi manajemen berdasarkan  responsif manajemen proyek  dan pengambilan keputusan.Maka, semua hal yang didasarkan pada tujuan bisnis yang direncanakan akan  menjadi dasar terciptanya suatu sistem informasi monitoring dan evaluasi yang relevan dan akurat.

Sumber :

Crawford, P and Bryce, P. (2003).,” Project monitoring and evaluation: a method for enhancing the efficiency and effectiveness of aid project implementation”, International Journal of Project Management 21 (2003) 363–373

 




PEMODELAN SISTEM INFORMASI DENGAN PENDEKATAN ENTERPRISE KNOWLEDGE DEVELOPMENT-CHANGE MANAGEMENT METHOD

Nurcan dan Barios (2003) dalam penelitian mereka telah mengembangkan sebuah pemodelan sistem informasi yang  disebut sebagai Enterprise Knowledge Development – Change Management Method  (EKD-CMM). Dalam pemodelan sistem informasi ini,  dimulai dengan menentukan tujuan bisnis perusahaan (Business Goal Model), dan kemudian membuat rincian proses bisnis perusahaan (Business Process Model), yang akhirnya menciptakan model sistem informasi ( Information System Model ),

EKD-CMM adalah metode yang dapat mendokumentasikan model bisnis suatu perusahaan, yang meliputi  tujuan, proses bisnis dan sistem pendukung, membantu perusahaan untuk secara sadar mengembangkan skema untuk menerapkan perubahan manajemennya

Penerapan EKD-CMM  haruslah memenuhi dua persyaratan: (i) membantu pemodelan pengetahuan perusahaan      ( enterprise knowledge) dan (ii) memandu pemodelan perusahaan dan proses transformasi secara organisasional.

Model EKD-CMM menggambarkan suatu perusahaan yang terstruktur dalam tiga tingkat yang sangat diperlukan : Model Tujuan Bisnis (Business Goal Model ), Model Proses Bisnis ( Business Process Model) dan Model Sistem Informasi ( Information Systems Model ). Dua level pertama ( Business Goal level  dan Business Process level )berfokus pada aspek yang harus diperhatian  dan aspeks penting organisasional perusahaan, yaitu sasaran organisasi dan bagaimana ini dicapai melalui kerjasama aktor perusahaan dalam menjalankan dan mencapai sasaran perusahaan tersebut. Level ketiga, berguna ketika pendekatan EKD-CMM diterapkan untuk menentukan persyaratan untuk suatu sistem informasi. Dalam hal ini, fokusnya adalah pada aspek sistem yaitu, sistem komputerisasi yang akan mendukung perusahaan, proses dan aktor dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Oleh karena itu, dalam EKD-CMM,  sebuah produk yang merupakan seperangkat model operasional (sistem informasi), organisasi (proses bisnis) dan kebijakan manajemen (tujuan bisnis) model yang menggambarkan sistem baru yang akan dibangun dan organisasi di mana ia akan beroperasi.

Pemodelan Sistem Informasi dengan pendekatan EKD-CMM

(1)          Model Tujuan Bisnis ( Business Goal Models ) mewakili tujuan perusahaan saat ini atau masa depan. Tujuan mereka adalah untuk menggambarkan apa yang diinginkan perusahaan untuk mencapainya atau untuk menghindari permasalahan yang ada.

(2)          Model Proses Bisnis perusahaan (Enterprise Business Processes Models), termotivasi oleh tujuan perusahaan, dimodelkan pada tingkat kedua menurut beberapa sudut pandang. Akibatnya, model proses enterprise yang dihasilkan dari deskripsi ini memerlukan Model Produk yang berbeda :

Apa yang terjadi dalam proses perusahaan dapat dianalisis dalam hal peran yang individu atau kelompok yang memainkan peran dan  tanggung jawab mereka. Peran sesuai dengan set tanggung jawab dan kegiatan terkait. Model  model / peran bertujuan untuk menggambarkan bagaimana aktor terkait satu sama lain dan juga untuk tujuan perusahaan.

Orang melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan perusahaan. Model Peran /  kegiatan digunakan untuk mendefinisikan proses perusahaan, cara mereka menggunakan atau  hasil sumber daya untuk mencapai tujuan perusahaan.

Kegiatan yang dilakukan oleh peran yang berbeda menangani obyek bisnis. Model objek digunakan untuk mendefinisikan perusahaan entitas perusahaan, atribut dan hubungan keduanya.

Model EKD-CMM ini berguna karena memungkinkan (i) untuk meningkatkan pengetahuan tentang perusahaan, (ii) untuk alasan dalam memberikan  solusi alternatif dan cara pandang yang berbeda, dan (iii) untuk mencapai kesepakatan pencapaian tujuan bisnis. Model ini juga membuktikan bahwa sangat memiliki efisiensi yang baika serta untuk meningkatkan komunikasi dalam perusahaan dan dalam pembelajaran organisasi. Pemodelan yang dikembangkan  ini terdiri berfokus pada dua level bawah.

(3)  Model Sistem Informasi harus berisi tidak hanya set sistem informasi (IS), tapi pendefinisian  dari database secara lokal dan di-share, serta kebutuhan informasi dan indikator manajemen yang harus dipenuhi oleh aplikasi Model Sistem Informasi.

Sumber :

Nurcan, S., and Barrios., J. (2003). Enterprise Knowledge and Information System Modeling in an Evolving Environment., International Workshop on Engineering Methods Engineering Methods to Support Information Systems Evolution (EMSISE-2003), Geneva, Switzerland, September 2-5, 2003, pp. 61-74

 

 




Media Sosial dalam Bisnis Bagian 2: Amankah menggunakan Medsos?

Oleh Mardiana Sukardi

Tulisan kedua ini masih berbicara mengenai penggunaan media sosial untuk kegiatan bisnis. Selain mudah dan murah, selanjutnya yang perlu diperhatikan apakah juga aman? Silakan lanjut tulisan di bawah.

Beberapa alasan yang dikemukan dengan penggunaan media sosial dalam perusahaan mengerucut menjadi kemudahan penggunaan dan adopsinya. Bahkan menurut Treem dan Leonardi (2012), dibandingkan dengan bentuk komunikasi lain yaitu email atau instant messaging, media sosial memiliki beberapa kelebihan yaitu: visibility, persistence, editability (mudah untuk disunting), dan association.

Bagi perusahaan atau organisasi, media sosial menyediakan cara baru bagi perusahaan dan karyawannya untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan calon pelanggan, ataupun kepada sesama rekan kerja. Disadari atau tidak maka dalam media sosial ini terjadi pertukaran informasi yang cukup besar. Mengingat bahwa informasi juga menjadi sebagian aset dari perusahaan, maka muncul suatu pertanyaan bagaimana keamanan pertukaran informasi melalui media sosial tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi isu dalam penggunaan media sosial dalam kontek organisasi.

Isu potensi adanya ancaman ini dapat muncul karena ketidak tahuan atau kurang sadarnya karyawan dari perusahaan ini sendiri ketika mereka berbagi informasi melalui media sosial, dan ancaman ini dianggap lebih berbahaya daripada ancaman dari pihak luar perusahaan (Hekkala dkk, 2012). Lebih lanjut lagi, risiko akan meningkat apabila perusahaan tidak memiliki kontrol dalam mengatur distribusi informasi melalui media sosial yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal.

Jakarta, 28 Februari 2017




Creative Employee Behavior (Part II)

Creativity itself is a human perception, which is followed by action. Both the perception and the action are something new. In this definition, creativity is related to something that has not been thought or done by others. Creative personality is needed in an organization because it can support the organization to develop as well as to be more innovative and well performed. Since creativity refers to individual differences, it can lead both individual and organization into innovation. It is also the basic in which an organization can be more competitive and more dynamic.

Some studies underline that extraversion, conscientiousness, agreeableness, and openness to experience as four individual characters that support creative behavior. Extraversion is individual character of being concerned with what is outside the self. Employees who are extrovert get high satisfaction in their job result. In fact, extraversion positive significantly correlated with personal performance. It means that extroversion encourages creative employee behavior. In line with extraversion, conscientiousness significantly correlated to job performance and personal position. Good job performance and personal position of employees require creativity. In addition, agreeableness is also positive significantly correlated to creativity. In certain condition, employees who are able to admit that others can have better idea seem to be able to develop themselves. Moreover, openness to experience is considered as important in supporting creations. Employees who are open to new experience tend to have creative thinking on how to develop idea related to their job.

Some experts also reveal that creative requirement of a job is positively correlated to individual creativity. It means that the improvement of creativity will improve only if it is suitable to individual inner drives. This is an underlying concept of Self-Concept-Based Theory. The theory highlights that individual creativity will be improved and turn to be meaningful when employees feel more self engaged. The implication is the employees as individuals have to adjust their own goals with organization goals in a meaningful way. This self-concept-based theory is inline with the most popular theory of creativity, which is interactionist model. This theory mentions that employee, groups, and organization are input that will be changed in creative condition that are match with individual goals.




Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU)

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 6 /POJK.03/2016
TENTANG
KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR
BERDASARKAN MODAL INTI BANK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika regional dan global, serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara optimal dan berkesinambungan, perlu peningkatan ketahanan, daya saing, dan efisiensi industri perbankan nasional;
b. bahwa dalam rangka peningkatan ketahanan, daya saing, dan efisiensi perbankan nasional, perlu dilakukan penataan cakupan kegiatan usaha dan pembukaan jaringan kantor yang disesuaikan dengan kapasitas permodalan bank;
c. bahwa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkesinambungan, perbankan Indonesia juga perlu meningkatkan fungsi intermediasi secara optimal khususnya kepada usaha produktif;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu menetapkan Peraturan Otoritas

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

SALINAN
Jasa Keuangan tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,dan bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Modal Inti:
a. bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia adalah modal inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum; atau
b. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah dana usaha yang telah dialokasikan sebagai Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
3. Kegiatan Usaha adalah kegiatan usaha bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan kegiatan usaha bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha, yang selanjutnya disebut BUKU, adalah pengelompokan Bank berdasarkan Kegiatan Usaha yang disesuaikan dengan Modal Inti yang dimiliki.
5. Jaringan Kantor Bank adalah:
a. kantor Bank di dalam negeri yang meliputi kantor cabang, kantor wilayah yang melakukan kegiatan operasional, kantor cabang pembantu, kantor fungsional yang melakukan kegiatan operasional, dan/atau kantor kas; dan
b. kantor Bank di luar negeri yang meliputi kantor cabang, kantor perwakilan, dan/atau jenis kantor lainnya di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai bank umum, bank umum syariah atau unit usaha syariah.
6. Pembukaan Jaringan Kantor adalah pembukaan kantor Bank termasuk pembukaan kantor yang berasal dari pemindahan alamat atau perubahan status kantor Bank.
7. Rencana Bisnis Bank, yang selanjutnya disingkat RBB, adalah rencana bisnis bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai rencana bisnis bank.

Pasal 2

Bank hanya dapat melakukan Kegiatan Usaha dan memiliki Jaringan Kantor sesuai Modal Inti yang dimiliki.

Pasal 3

(1) Berdasarkan Modal Inti yang dimiliki, Bank dikelompokkan menjadi 4 (empat) BUKU, yaitu:
a. BUKU 1 adalah Bank dengan Modal Inti sampai dengan kurang dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
b. BUKU 2 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan kurang dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);
c. BUKU 3 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) sampai dengan kurang dari Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun rupiah); dan
d. BUKU 4 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun rupiah).
(2) Pengelompokan BUKU untuk unit usaha syariah didasarkan pada Modal Inti bank umum konvensional yang menjadi induknya.

BAB II
KEGIATAN USAHA BANK
Bagian Kesatu
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional

Pasal 4

Kegiatan Usaha yang dilakukan bank umum konvensional dikelompokkan:
a. penghimpunan dana;
b. penyaluran dana;
c. pembiayaan perdagangan (trade finance);
d. kegiatan treasury;
e. kegiatan dalam valuta asing;
f. kegiatan keagenan dan kerjasama;
g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
h. kegiatan penyertaan modal;
i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit;
j. jasa lainnya; dan
k. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5

Kegiatan Usaha bank umum konvensional yang dapat dilakukan pada masing-masing BUKU ditetapkan:
a. BUKU 1 hanya dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi:
a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;
b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama;
e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas;
f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; dan
g) jasa lainnya;
2. kegiatan sebagai pedagang valuta asing; dan
3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim dilakukan oleh Bank dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.
b. BUKU 2 dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing:
a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1;
b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan treasury secara terbatas; dan
e) jasa lainnya;
2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk:
a) keagenan dan kerjasama; dan
b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia;
4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit; dan
5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia;
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3.

Bagian Kedua
Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Pasal 6

Kegiatan Usaha yang dilakukan bank umum syariah dan unit usaha syariah dikelompokkan:
a. penghimpunan dana;
b. penyaluran dana;
c. pembiayaan perdagangan (trade finance);
d. kegiatan treasury;
e. kegiatan dalam valuta asing;
f. kegiatan keagenan dan kerjasama;
g. kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
h. kegiatan penyertaan modal;
i. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan;
j. jasa lainnya; dan
k. kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7

Kegiatan Usaha bank umum syariah dan unit usaha syariah yang dapat dilakukan pada masing-masing BUKU ditetapkan:
a. BUKU 1 hanya dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah yang meliputi:
a) kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;
b) kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama;
e) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas;
f) kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan; dan
g) jasa lainnya;
2. kegiatan sebagai pedagang valuta asing; dan
3. kegiatan lainnya yang digolongkan sebagai produk atau aktivitas dasar dalam Rupiah yang lazim dilakukan oleh Bank yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
b. BUKU 2 dapat melakukan:
1. Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing:
a) kegiatan penghimpunan dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1;
b) kegiatan penyaluran dana sebagaimana dilakukan dalam BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas;
c) kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance);
d) kegiatan treasury secara terbatas; dan
e) jasa lainnya;
2. Kegiatan Usaha sebagaimana pada BUKU 1 dengan cakupan yang lebih luas untuk:
a) keagenan dan kerjasama; dan
b) kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking;
3. kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia;
4. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan; dan
5. kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan;
c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia;
d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 baik dalam Rupiah maupun dalam valuta asing dan penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah di Indonesia dan/atau seluruh wilayah di luar negeri dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3.

Pasal 8

(1) Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh unit usaha syariah mengacu pada BUKU bank umum konvensional yang menjadi induknya.
(2) Kegiatan Usaha tertentu pada BUKU bank umum konvensional yang menjadi induknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh unit usaha syariah setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegiatan Usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Ketiga
Penyertaan Modal

Pasal 9

Penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h dan Pasal 6 huruf h ditetapkan sebesar:
a. BUKU 2 paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) dari modal Bank;
b. BUKU 3 paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari modal Bank; dan
c. BUKU 4 paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari modal Bank.

Pasal 10

Bagi bank umum konvensional yang melakukan penyertaan modal kepada bank umum syariah paling rendah 5% (lima persen) dari modal bank umum konvensional, batasan penyertaan modal pada BUKU 2 dan BUKU 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, menjadi:
a. BUKU 2 menjadi paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) dari modal bank umum konvensional;
b. BUKU 3 menjadi paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) dari modal bank umum konvensional.

Pasal 11

Penambahan penyertaan modal pada perusahaan anak yang berasal dari laba yang diperoleh dari perusahaan anak yang sama, dikecualikan dari batas penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10.

Bagian Keempat
Kewajiban Penyaluran Kredit atau Pembiayaan Kepada Usaha Produktif

Pasal 12

Bank pada masing-masing BUKU wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif dengan ketentuan:
a. paling rendah 55% (lima puluh lima persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 1;
b. paling rendah 60% (enam puluh persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 2;
c. paling rendah 65% (enam puluh lima persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 3; dan
d. paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari total kredit atau pembiayaan, bagi BUKU 4.

Pasal 13

(1) Kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak berlaku bagi Bank yang memfokuskan pada kegiatan penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat dengan jumlah penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah paling rendah sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari total kredit atau pembiayaan Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kewajiban Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam persentase tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan UMKM.
(3) Dalam hal penyaluran kredit atau pembiayaan bagi Bank yang memfokuskan pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen), Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk pemenuhan kembali penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah sesuai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kelima
Lain-Lain

Pasal 14

Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 yang bukan merupakan cakupan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi, wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan Kegiatan Usaha masing-masing BUKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 serta Kegiatan Usaha yang memerlukan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 16

(1) Dalam hal Bank mengalami penurunan Modal Inti sehingga terjadi perubahan BUKU selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) dalam rangka pemenuhan persyaratan Modal Inti sesuai BUKU.
(2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada bulan keempat sejak terjadinya penurunan BUKU.
(3) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan dan penyelesaian rencana tindak (action plan) dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.

BAB III
JARINGAN KANTOR

Pasal 17

(1) Bank yang akan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor dalam bentuk: a. kantor cabang; atau b. kantor perwakilan dan kantor lainnya di luar negeri, wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pembukaan Jaringan Kantor Bank selain jenis kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan dan memperoleh penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 18

Pembukaan Jaringan Kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan oleh BUKU 3 dan BUKU 4 dengan ketentuan:
a. BUKU 3 dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia; dan
b. BUKU 4 dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor pada seluruh wilayah di luar negeri.

Pasal 19

Bank yang akan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor harus memenuhi persyaratan:
a. tingkat kesehatan Bank dengan Peringkat Komposit 1 (PK-1), Peringkat Komposit 2 (PK-2), atau Peringkat Komposit 3 (PK-3) selama 1 (satu) tahun terakhir; dan
b. ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor (theoretical capital).

Pasal 20

(1) Dalam hal Bank telah memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memenuhi persyaratan ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, Bank dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor jika melakukan:
a. penyaluran kredit atau pembiayaan kepada:
1. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan; atau
2. usaha mikro dan kecil paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan; dan
b. pemupukan modal.
(2) Bagi Bank yang telah memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor jika menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada:
a. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan; dan/atau
b. usaha mikro dan kecil paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total portofolio kredit atau pembiayaan.

Pasal 21

(1) Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank dalam menyetujui jumlah Jaringan Kantor yang direncanakan dibuka oleh Bank sesuai RBB.
(2) Pencapaian tingkat efisiensi Bank antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM) atau rasio Net Operating Margin (NOM).

Pasal 22

Dalam rangka memperoleh izin atau penegasan untuk Pembukaan Jaringan Kantor, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Bank juga wajib memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah.

Pasal 23

(1) Dalam mempertimbangkan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan:
a. pembagian zona dengan mempertimbangkan tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan;
b. koefisien masing-masing zona; dan
c. biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk masing-masing BUKU.
(2) Zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas Zona 1 yang menunjukkan zona paling jenuh sampai dengan Zona 6 yang menunjukkan zona paling tidak jenuh.
(3) Koefisien pada masing-masing zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada tingkat kejenuhan zona, dengan koefisien tertinggi berada pada zona paling jenuh.

Pasal 24

Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan Jaringan Kantor diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien zona untuk lokasi Jaringan Kantor Bank dengan biaya investasi Jaringan Kantor Bank sesuai BUKU.

Pasal 25

Persyaratan ketersediaan alokasi Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b tidak berlaku untuk:
a. pembukaan kantor fungsional yang melakukan kegiatan operasional khusus penyaluran kredit kepada usaha mikro dan kecil; dan/atau
b. Pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat Bank.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan alokasi Modal Inti dalam rangka Pembukaan Jaringan Kantor diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 27

(1) Dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank yang membuka Jaringan Kantor di Zona 1 atau Zona 2 dalam jumlah tertentu wajib diikuti dengan pembukaan Jaringan Kantor di Zona 5 atau Zona 6 dalam jumlah tertentu.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi BUKU 3 dan BUKU 4 serta pelaksanaannya wajib memenuhi ketersediaan alokasi Modal Inti untuk Pembukaan Jaringan Kantor.
(3) Kewajiban Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan melakukan Pembukaan Jaringan Kantor di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat Bank.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perimbangan penyebaran Jaringan Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 28

Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas Kegiatan Usaha tertentu dalam jangka waktu tertentu.

Pasal 29

Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan persetujuan atau penolakan kepada Bank untuk melakukan Pembukaan Jaringan Kantor Bank di wilayah tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu.

BAB V

SANKSI

Pasal 30

Bank yang tidak mentaati ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 12, Pasal 13 ayat (3), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32 atau Pasal 33, dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan peringkat tingkat kesehatan Bank;
c. larangan pembukaan jaringan kantor baru; dan/atau
d. pembekuan Kegiatan Usaha tertentu.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

(1) Bank yang melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan kegiatan BUKU Bank, wajib:
1. menyesuaikan Kegiatan Usaha mengikuti BUKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 7 atau Pasal 9; atau
2. meningkatkan Modal Inti.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat akhir bulan Juni 2016.

Pasal 32

Kewajiban Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 atau memfokuskan pada kegiatan penyaluran kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipenuhi paling lambat akhir bulan Juni 2016.

Pasal 33

Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 bagi Bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dipenuhi paling lambat akhir bulan Juni 2018.

Pasal 34

Bank BUKU 3 yang memiliki kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar wilayah regional Asia sebelum tanggal 27 Desember 2012 dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor di lokasi tersebut.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5384) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

Pasal 36

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 26 Januari 2016

KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

MULIAMAN D. HADAD

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 27 Januari 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 18

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6 /POJK.03/2016 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK

I. UMUM
Arah perkembangan ekonomi global yang mengakibatkan semakin menyatunya ekonomi nasional dengan ekonomi regional dan internasional merupakan peluang sekaligus tantangan yang harus dimanfaatkan dan diantisipasi agar dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan perekonomian nasional.
Seiring dengan rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada tahun 2020 yang memungkinkan bank-bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, perbankan nasional perlu meningkatkan ketahanan, daya saing, dan efisiensi.
Selain itu, perkembangan ekonomi global tersebut akan berdampak pada semakin kompleksnya Kegiatan Usaha dan kebutuhan Pembukaan Jaringan Kantor Bank.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penguatan modal Bank untuk mengantisipasi risiko yang ditimbulkan oleh kompleksitas Kegiatan Usaha dan agar Pembukaan Jaringan Kantor tidak menggunakan dana yang dihimpun dari masyarakat.
Untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing, dalam melakukan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu mengedepankan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi.
Penguatan dan daya saing perbankan, perlu diikuti dengan peningkatan peran Bank sebagai lembaga intermediasi, khususnya untuk usaha produktif termasuk untuk pengembangan UMKM, sehingga industri perbankan nasional berperan aktif bagi kemajuan perekonomian nasional.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Minimum Modal Inti Bank mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai modal inti minimum bank umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Penghimpunan dana antara lain giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, pinjaman yang diterima, penerbitan surat utang termasuk surat utang ekuitas, dan/atau sekuritisasi aset.
Huruf b
Penyaluran dana antara lain kredit, anjak piutang, pembelian surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia, dan/atau penempatan pada Bank lain.
Huruf c
Pembiayaan perdagangan meliputi pembiayaan melalui penerbitan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), Letter of Credit, serta jasa dan layanan pembiayaan perdagangan lain.
Huruf d
Kegiatan treasury antara lain transaksi spot, transaksi derivative plain vanilla, dan/atau transaksi derivatif kompleks seperti structured product dan credit derivative.
Huruf e
Kegiatan dalam valuta asing antara lain kegiatan dalam valuta asing untuk kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana, pembiayaan perdagangan, dan/atau kegiatan treasury.
Huruf f
Kegiatan keagenan dan kerjasama antara lain agen penjual reksadana, agen penjual Surat Berharga Negara (SBN), agen penjual Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), kustodian, wali amanat, penitipan dengan pengelolaan (trust), dan/atau kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance) antara lain dalam bentuk model bisnis referensi, distribusi, dan integrasi.
Huruf g
Kegiatan usaha terkait sistem pembayaran dan electronic banking yang dilakukan Bank antara lain:
1. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik;
2. penyelenggara kliring;
3. penyelenggara penyelesaian akhir (settlement);
4. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu antara lain kartu Automated Teller Machine (ATM), kartu debit, dan kartu kredit;
5. penyelenggara uang elektronik; dan
6. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik.
Huruf h
Yang dengan modal” penyertaan modal pada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penyertaan modal.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “penyertaa n modal sementara” adalah penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penyertaan modal.
Huruf j
Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi serta penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box).
Huruf k
Yang dengan lain lazim oleh adalah lain dilakukan Bank sesuai fungsi Bank.

Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar, antara lain:
1. giro;
2. tabungan;
3. deposito;
4. sertifikat deposito;
5. pinjaman yang diterima; dan
6. penerbitan surat utang termasuk surat utang ekuitas.
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar, antara lain:
1. penyaluran kredit;
2. pembelian surat berharga yang diterbitkan pemerintah;
3. penempatan pada Bank Indonesia; dan
4. penempatan pada Bank lain.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) dalam Rupiah adalah pembiayaan melalui penerbitan SKBDN.
Huruf d)
Kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama antara lain bancassurance dengan model bisnis referensi.
Huruf e)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas, antara lain:
1. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik yang terbatas;
2. penyelenggara kliring;
3. penyelenggara penyelesaian akhir (settlement);
4. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, selain kartu kredit;
5. penyelenggara uang elektronik; dan
6. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik selain internet banking, kecuali layanan internet banking yang digunakan untuk layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai) sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi serta penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box).
Angka 2
Yang dengan pedagang valuta asing” pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang lebih luas antara lain kredit sindikasi dengan Bank sebagai arranger.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) dalam Rupiah dan valuta asing antara lain pembiayaan melalui penerbitan Letter of Credit dan SKBDN.
Huruf d)
Kegiatan treasury terbatas mencakup transaksi spot dan transaksi derivatif plain vanilla.
Huruf e)
Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi serta penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box).
Angka 2
Huruf a)
Kegiatan keagenan dan kerjasama yang lebih luas mencakup antara lain agen penjual reksadana, agen penjualan SBN, agen penjualan SBSN, dan bancassurance dengan model bisnis distribusi.
Huruf b)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan yang lebih luas antara lain penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu berupa kartu kredit dan aktivitas perbankan lain berupa internet banking.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Kegiatan penghimpunan dana, antara lain:
1. simpanan berupa giro dan tabungan;
2. investasi berupa deposito dan tabungan;
3. penerbitan surat investasi; dan
4. sekuritisasi aset, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf b
Kegiatan penyaluran dana, antara lain:
1. pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, sewa-menyewa aset, jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa jasa;
2. pengambilalihan utang;
3. pembelian surat berharga syariah; dan
4. penempatan pada Bank Indonesia dan/atau penempatan pada bank syariah lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf c
Kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) meliputi:
1. pembiayaan melalui penerbitan SKBDN;
2. penerbitan Letter of Credit; dan
3. jasa dan layanan pembiayaan perdagangan lainnya, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf d
Kegiatan treasury meliputi antara lain transaksi spot atau transaksi lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf e
Kegiatan dalam valuta asing, antara lain:
1. kegiatan penghimpunan dana;
2. penyaluran dana;
3. pembiayaan perdagangan (trade finance); dan
4. kegiatan treasury, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf f
Kegiatan keagenan dan kerjasama meliputi, antara lain:
1. agen penjual reksadana syariah;
2. agen penjual SBSN;
3. kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi syariah (bancassurance) dengan model bisnis referensi, distribusi, dan integrasi;
4. kustodian;
5. wali amanat; dan
6. penitipan dengan pengelolaan (trust), berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf g
Kegiatan usaha terkait sistem pembayaran dan electronic banking yang dilakukan Bank, antara lain:
1. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik;
2. penyelenggara kliring;
3. penyelenggara penyelesaian akhir (settlement);
4. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu antara lain kartu ATM, kartu debet, dan sharia card;
5. penyelenggara uang elektronik; dan
6. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan modal” penyertaan modal pada lembaga keuangan syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara” adalah penyertaan modal sementara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal.
Huruf j
Jasa lainnya antara lain:
1. penerbitan bank garansi; dan
2. penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box), berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf k
Kegiatan di bidang sosial antara lain terkait zakat, infaq, sedekah atau dana sosial lainnya serta wakaf sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Kegiatan penghimpunan dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar, antara lain:
1. giro;
2. tabungan;
3. deposito;
4. sertifikat deposito; dan
5. penerbitan surat investasi, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas dasar, antara lain:
1. pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil;
2. sewa-menyewa aset;
3. jual beli;
4. pinjam-meminjam;
5. sewa-menyewa jasa;
6. pengambilalihan utang;
7. pembelian surat berharga syariah yang diterbitkan pemerintah; dan
8. penempatan pada Bank Indonesia dan/atau penempatan pada bank syariah lain, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance) dalam Rupiah adalah pembiayaan melalui penerbitan SKBDN berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf d)
Kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan kerjasama antara lain agen penjualan SBSN dan bancassurance dengan model bisnis referensi, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf e)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas antara lain:
1. pemindahan dana baik untuk kepentingan Bank sendiri maupun kepentingan nasabah, termasuk pemindahan dana melalui media elektronik yang terbatas;
2. penyelenggara kliring;
3. penyelenggara penyelesaian akhir (settlement);
4. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, selain sharia card;
5. penyelenggara uang elektronik;
6. aktivitas perbankan lain melalui media elektronik selain internet banking, kecuali layanan internet banking yang digunakan untuk layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai) sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Jasa lainnya, antara lain:
1. penerbitan bank garansi; dan
2. penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box), berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Angka 2
Yang dengan pedagang valuta asing” pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Kegiatan penyaluran dana yang lebih luas antara lain pembiayaan sindikasi dengan Bank sebagai arranger, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf c)
Termasuk dalam kegiatan pembiayaan perdagangan dalam Rupiah dan valuta asing adalah pembiayaan melalui penerbitan Letter of Credit dan SKBDN, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf d)
Kegiatan treasury secara terbatas mencakup transaksi spot, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf e)
Jasa lainnya antara lain penerbitan bank garansi serta penyediaan tempat untuk penyimpanan barang dan surat berharga (safe deposit box), berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Angka 2
Huruf a)
Kegiatan keagenan dan kerjasama yang lebih luas mencakup antara lain agen penjual reksadana syariah dan bancassurance dengan model bisnis distribusi dan integrasi, berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Huruf b)
Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan yang lebih luas antara lain penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu berupa sharia card dan aktivitas perbankan lain berupa internet banking.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “perusahaan adalah anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum.
Pasal 12
Kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif dilakukan dalam upaya optimalisasi fungsi intermediasi Bank.
Yang dengan adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset.
Yang dengan adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset.
Yang termasuk sebagai kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif adalah kredit atau pembiayaan untuk tujuan investasi dan/atau modal kerja baik kepada debitur atau nasabah UMKM maupun non UMKM.
Kewajiban menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif bagi unit usaha syariah dihitung berdasarkan penyaluran kredit atau pembiayaan bank umum konvensional
yang menjadi induknya.
Pengertian UMKM mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah” kredit rumah dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Contoh Kegiatan Usaha yang memerlukan persetujuan antara lain penerbitan surat utang ekuitas, penerbitan structured product dan credit derivative, kegiatan sistem pembayaran, dan agen penjual reksadana.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Izin diberikan berdasarkan penilaian atas pemenuhan persyaratan Pembukaan Jaringan Kantor.
Ayat (2)
Penegasan diberikan berdasarkan penilaian atas pemenuhan persyaratan Pembukaan Jaringan Kantor.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dengan kesehatan” tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum atau penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah.
Persyaratan pemenuhan tingkat kesehatan bagi unit usaha syariah didasarkan pada penilaian tingkat kesehatan bank umum konvensional yang menjadi induknya.
Penilaian tingkat kesehatan yang digunakan adalah penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Pengertian UMKM dan usaha mikro dan kecil mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Huruf b
Yang dengan modal” penambahan modal yang berasal dari alokasi laba dan/atau tambahan setoran modal.
Ayat (2)
Pengertian UMKM dan usaha mikro dan kecil mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai bank umum, bank umum syariah atau unit usaha syariah antara lain persyaratan administratif yang meliputi kelengkapan dokumen, jangka waktu pengajuan permohonan, dan jangkauan koordinasi dengan kantor induk.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Pengukuran tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing zona dilakukan antara lain menggunakan parameter pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah serta kinerja penyaluran dan penghimpunan dana yang dikaitkan dengan jumlah populasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Yang dengan fungsional melakukan kegiatan operasional” kantor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah” adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan/atau pemerintah kota.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran Bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam pengembangan pembangunan ekonomi daerah.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud “Bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah” adalah Bank yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan/atau pemerintah kota.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk mendukung peran Bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam pengembangan pembangunan daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Pertimbangan tertentu antara lain adalah untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional.
Pasal 29
Yang dengan tertentu” persaingan yang sehat, upaya pemerataan pembangunan, dan perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion).
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Penyesuaian Kegiatan Usaha dilakukan dengan menghentikan atau mengurangi Kegiatan Usaha yang tidak diperkenankan.
Huruf b
Peningkatan Modal Inti dilakukan untuk memenuhi persyaratan Modal Inti sesuai BUKU Kegiatan Usaha yang dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “Bank dimiliki pemerintah daerah” Bank sahamnya dimiliki pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan/atau pemerintah kota.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5842




Creative Employee Behavior (Part I)

In today’s fast moving world, an organization has to be competitive to survive. The term competitive implies that the organization should be able to balance all factors that are interconnected, including internal and external factors. Furthermore, employee is considered as the important factor that influence dynamic organization. Moreover, managing human resources (employee) is the most important aspect that should be considered by an organization.

 

Although the jobs that are provided by companies (organizations) create numerous consequences for individual as employees in this entire world, work is becoming everyone’s central stage. The heterogeneous of employees in an organization can be very influential in supporting the organization reach its goal. As a consequence, individual differences at the same time may result on different behaviors, such as positive and negative behavior.  In fact, it is only positive behaviors of employees are needed in maximizing the organization ability to reach its goals. One of positive behavior of employees is creative behavior.

 

Besides employee creative behavior, an organization also needs to involve its employees to get their fullest potential. Employee involvement program gives opportunity for employees to demonstrate their ability in a positive way. Since this program is based on the trust between organization and employees, it will be easier for employees to maximize what they have and what they are able to do for their organization freely and in a more creative way. Additionally, the program of employee involvement depends on employee behavior.

 

The interdependency between employee and organization will lead the organization into certain direction. The direction, then will depends on how the organization and the employee put their shoes in the suitable size. It means that all elements in an organization must perform their roles in a suitable way. It takes commitment as well as willingness to work hard. #SruputKopiDulu 😉

 




LIABILITAS LANCAR, PROVISI DAN KONTINJENSI

LIABILITAS LANCAR, PROVISI DAN KONTINJENSI

CURRENT LIABILITIES

  • LIABILITAS

Merupakan kewajiban perusahaan saat ini yang muncul dari peristiwa masa lalu,yang penyelesaiannya diharapkan menghasilkan arus keluar sumber daya perusahaan, mewujudkan manfaat ekonomis. Oleh karena itu liabilitas mempunyai ciri penting:

  1. Kewajiban saat ini
  2. Muncul dari peristiwa masa lalu
  3. Menghasilkan arus keluar sumber daya (kas, barang, jasa)
  • LIABILITAS LANCAR

Liabilitas lancar dilaporkan, jika ada dua kondisi:

  1. Liabilitas diharapkan akan diselesaikan dalam siklus operasi normal
  2. Liabilitas diharapkan akan akan diselesaikan dalam 12 bulan bulan setelah tanggal

Pelaporan.

Beberapa macam liabilitas lancar adalah:

  1. Utang usaha
  2. Wesel bayar
  3. Utang jangka panjang jatuh tempo
  4. Obligasi jangka pendek yang diharapkan didanai
  5. Utang dividen
  6. Uang muka dan deposit pelanggan
  7. Pendapatan diterima dimuka
  8. Utang pajak penjualan
  9. Utang pajak pendapatan
  10. Liabilitas terkait karyawan
  • HUTANG USAHA

Hutang usaha (account payable) atau hutang dagang (trade accounts payable), merupakan saldo yang terhutang pada pihak lain atas barang, perlengkapan, atau jasa yang dibeli dengan akun terbuka atau secara kredit.hutang usaha muncul karena adanya kesenjangan waktu antara penerimaan jasa atau akuisisi hak aktiva dan pembayaran atasnya. Periode perluasan kredit ini biasanya ditemukan dalam persyaratan penjualan (misalnya, 2/11, n/30 atau 1/10, E.O.M) dan biasanya 30 hingga 60 hari.

  • NOTES PAYABLE

Adalah janji tertulis untuk membayar sejumlah uang tertentu di masa depan dan dapat berasal dari pembelian, pembiayaan, atau transaksi lainnya. Wesel dapat diklasifikasikan sebagai jangka panjang atau jangka pendek, tergantung pada tanggal jatuh tempo pembayaran. Selain itu, wesel juga dapat diklasifikasika sebagai wesel dengan bunga atau wesel tanpa bunga.

  • PENERBITAN WESEL DENGAN BUNGA (Interest-Bearing Note)

Contoh, Michol Co. menandatangani sebuah wesel 4 bulan senilai $100.000 dengan bunga 6%. Ayat jurnal untuk mencatat penerimaan kas oleh Michol Co. pada tanggal 1 Maret:

Jurnal yang harus dibuat adalah:

Mar 1.   Cash 100.000

Notes Payable 100.000

Ayat jurnal penyesuaian

Jun 30. Interest Expense 2.000

Interest Payable 2.000

Ayat jurnal untuk mencatat pembayaran wesel dan bunga akrual :

Jul 1.      Notes Payable 100.000

Interest Payable 2.000

Cash 102.000

 

  • PENERBITAN WESEL TANPA BUNGA (Zero-Interest Bearing Note)

Contoh, Michol Co. menerbitkan wesel tanpa bunga berjangka waktu 4 bulan senilai $102.000 kepada Bank BERINGIN. Present Value wesel itu adalah $100.000. ayat jurnal untuk mencatat transaksi ini bagi Michol Co.:

Jurnal yang harus dibuat adalah:

Mar 1.   Cash 100.000

Notes Payable 100.000

Ayat jurnal penyesuaian:

Jun 30.  Interest Expense 2.000

Notes Payable 2.000

Ayat jurnal untuk mencatat pembayaran wesel dan bunga akrual:

Jul 1.      Notes Payable 102.000

Cash 102.000

 

PROVISION

  • PROVISI Merupakan liabilitas yang jumlah dan waktunya belum diketahui dengan pasti. Perusahaan dapat mengakui adanya provisi jika ada beberapa kondisi:
  1.  Perusahaan mempunyai kewajiban saat ini sebagai akibat peristiwa masalalu (misalnya penjualan)
  2. Memungkinkan arus keluar sumber daya yang mempunyai manfaat ekonomis untuk menyelesaikan kewajiban tersebut.
  3. Estimasi dari jumlah kewajiban dapat diukur secara andal.
  • Perkara Pengadilan, Klaim dan Pengenaan

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan:

  1. periode waktu dimana penyebab tindakan yang mendasari terjadi
  2. probabilitas hasil yang tidak menguntungkan
  3. kemampuan untuk membuat estimasi yang layak mengenai jumlah kerugian
  • Biaya Jaminan dan Garansi Perusahaan menggunakan 2 metode dasar akuntansi untuk biaya jaminan:
  1. metode dasar kas biaya jaminan dicatat sebagai beban pada saat dikeluarkan
  2. metode akrual biaya jaminan dibebankan ke beban operasi pada tahun berjalan. Ada dua pendekatan dalam metode akrual, yaitu Expense Warranty Approach dan Sales Warranty

Approach.

  • Expense Warranty Approach

Contoh kasus, Denson Machinery Co. memulai usaha pada 1 Juli 2011, hingga 31 Desember 2011 menjual mesin sebanyak 100 unit dengan harga $5.000. berdasarkan pengalaman masalalu, Denson Co. mengestimasikan kos untuk garansi sebesar $200 per unit. Garansi yang muncul pada tahun 2011 yaitu sebanyak $4.000 dan tahun 2012 diestimasikan sejumlah $16.000. jurnal yang dibutuhkan.

Penjualan

Cash or Accounts Receivable 500.000

Sales` 500.000

Pada akhir periode mencatat:

Biaya garansi aktual selama Juli – Desember

Warranty expense 4.000

Cash. Inventory / Accrued Payroll 4.000

Mengakui utang garansi yang akan datang

Warranty expense 16.000

Warranty Liability 16.000

  • Sales Warranty Approach

Contoh: Hanlin menjual mobil senilai $20.000 dan memberikan dan akan memberikan garansi (servis untuk 36.000 mil pertama atau selama 3 tahun). Untuk itu, pembeli membeli jaminan garansi seharga $600. Ayat jurnal yang dibutuhkan:

Penjualan

Cash 20.600

Sales 20.000

Unearned warranty revenue 600

Untuk mengakui pendapatan garansi pada akhir periode

Unearned warranty revenue 200

Warranty revenue 200

Untuk mencatat biaya misalnya tahun pertama biaya yang muncul $195:

Warranty expense 195

Cash / inventory / accrued payroll 195

CONTINGENCIES

  • KONTINJENSI

Adalah suatu kondisi, situasi, atau serangkaian situasi yang ada yang melibatkan ketidakpastian mengenai keuntungan (keuntungan kontinjensi) atau kerugian (kerugian kontinjensi) untuk perusahaan yang pada akhirnya akan diketahui ketika satu atau lebih kejadian di masa depan terjadi atau tidak terjadi.

  •  Contingent Liabilities

Merupakan situasi yang melibatkan ketidakpastian atas kemungkinan terjadinya kerugian. Kewajiban kontinjen adalah kewajiban yang bergantung pada terjadinya atau tidak terjadinya satu atau lebih dari faktor-faktor tersebut bergantung kontinjensi.

Suatu estimasi kerugian kontinjensi harus diakrualkan dengan membebankan- nya ke beban dan kewajiban dicatat hanya jika kedua kondisi ini terpenuhi:

  1. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan laporan keuangan menunjukkan kemungkinan besar kewajiban telah terjadi pada tanggal laporan keuangan.
  2. Jumlah kerugian dapat diestimasi dengan layak
  •  Contingent Assets

Adalah klaim atau hak untuk menerima aktiva (atau memiliki kewajiban yang menurun) yang keberadaannya tidak pasti tetapi pada akhirnya mungkin menjadi sah. Contoh: Penerimaan yg mungkin atas uang dari hadiah sumbangan, bonus,dsb. Kemungkinan restitusi pajak, penundaan kasus pengadilan yg hasilnya mungkin menguntungkan

Penyajian dan Analisis

Penyajian Kewajiban Lancar

Jika kewajiban jangka pendek dikeluarkan dari kewajiban lancer karena pendanaan kembali maka catatan atas laporan keuangan arus mencakup:

  1. penjelasan umum mengenai perjanjian pendanaan
  2. persyaratan dari setiap kewajiban baru yang terjadi atau akan terjadi
  3. persyaratan dari setiap sekuritas ekuitas yang diterbitkan atau akan diterbitkan

Penyajian Kontinjensi

Beberapa kewajiban kontinjen lain yang harus diungkapkan meskipun perusahaan kemungkinan kerugiannya kecil adalah sbb:

  1. jaminan atas hutang pihak lain
  2. kewajiban bank komersial menurut “stand by letters of credits”
  3. jaminan untuk membeli kembali piutang (atau property lain yang berhubungan) yang telah dijual atau diberikan.



Pajak Penghasilan atas Pensiun dan Pesangon

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI
TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Pasal 3

(1) Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
(2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
(3) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon.
(4) Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus.

Pasal 4

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 5

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 6

(1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
(3) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

(1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(2) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(3) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).

Pasal 8

(1) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon.
(2) Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.

Pasal 9

Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 11

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

Pasal 12

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4067), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
SETIO SAPTO NUGROHO

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009
TENTANG
TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

I. UMUM
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Karena alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.
Pasal 3
Ayat (1)
Pada dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya, kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau secara bertahap atau berkala.
Ayat (2)
Apabila pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
Ayat (3)
Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Dengan memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp175.000.000,00.
Penghasilan bruto Rp175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
Rp13.750.000,00
Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya:
a. Bulan Desember 2009 Rp 50.000.000,00
b. Bulan April 2010 Rp125.000.000,00 (+)
Jumlah Rp175.000.000,00
Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp175.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong:
Bulan Desember 2009:
Jumlah penghasilan bruto Rp50.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang: 0% x Rp50.000.000,00 = Rp0,00
Bulan April 2010:
Jumlah penghasilan bruto Rp125.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp75.000.000,00 = Rp11.250.000,00 (+)
Jumlah Rp13.750.000,00
Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong:
Rp0,00 + Rp13.750.000,00 = Rp13.750.000,00.

Pasal 5
Berdasarkan pertimbangan bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk jangka waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut pada dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak. Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak produktif.
Untuk memberikan perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol persen).
Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:
Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:
0% x Rp 50.0000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
Jumlah = Rp5.000.000,00
Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya:
Bulan Desember 2009 sebesar Rp 50.000.000,00
Bulan Februari 2010 sebesar Rp100.000.000,00
Jumlah Rp150.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:
Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00 = Rp 0,00
Bulan Februari 2010:
5% x Rp100.000.000,00 = Rp5.000.000,00
Jumlah = Rp5.000.000,00

Pasal 6
Ayat (1)
Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penerima penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).

Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082




Obyek Pajak Penghasilan

Objek Pajak Penghasilan
Definisi umum objek pajak menurut hemat penulis adalah segala sesuatu yang dapat dikenakan pajak menurut undang undang, definisi “dapat” cukup luas meliputi segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan objek pajak meliputi keadaan, perbuatan, dan Peristiwa tertentu.
Keadaan, Perbuatan, dan Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah
1. Keadaan, contoh saat subjek pajak memiliki kendaraan bermotor,Tanah atau Rumah dapat dijadikan objek pajak
2. Perbuatan yang dilakukan oleh subjek pajak, misalnya menerima penghasilan dari bekerja, atau mendapat tambahan ekonomis saat melakukan penyerahan barang atau jasa,dan lain sebagainya.
3. Peristiwa tertentu yang dialami, seperti mendapatkan hadiah, dan lain sebagainya.
Penjabaran diatas menunjukan bahwa Definisi Umum Objek Pajak sangat luas, oleh karena itu perlu ditegaskan dengan jelas apa saja yang merupakan objek pajak dan apa saja yang tidak merupakan objek pajak dan dituangkan didalam Undang Undang dan peraturan turunannya, sesuai dengan Definisi Pajak itu sendiri yang pelaksanaanya harus berdasarkan undang undang.
Objek Pajak menurut undang undang yang penulis bahas yaitu undang undang Pajak Penghasilan, tertuang dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Didalam undang undang tersebut tertuang dengan Jelas Dalam Pasal 4 dengan 3 ayat didalamnya.

Pasal 4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
s. Surplus Bank Indonesia.
(2). Penghasilan yang dikenai pajak bersifat final:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
b. Penghasilan berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan. dan
e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(3). Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. dan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak pihak yang bersangkutan.
c. Warisan.
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan. dan
2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. dan
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
1. Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri.
2. Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa.
3. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. dan
n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Undang undang tersebut dapat berubah atau diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman dan dapat diperjelas dengar peraturan peraturan yang setara atau turunannya seperti halnya Pasal 21,22,23,26 dan PP 46 tahun 2013 yang menambah klasifikasi objek pajak yang bersifat final.
Pada pasal 4 ayat 1 didalam undang undang tersebut dijabarkan secara luas apa saja yang menjadi objek pajak, namun objek tertentu perlu diatur khusus agar dalam penerapannya dapat menyesuaikan dengan prinsip prinsip pemungutan, dengan tujuan dapat memberikan kepastian, keadilan, kemudahan administrasi dan optimalnya objek pajak yang dipungut tersebut, oleh karena itu diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Objek pajak yang bersifat Final.
Pada Pasal 4 ayat 2 diatur apa saja objek pajak yang bersifat final, menurut hemat penulis tujuan dari penklasifikasian adalah agar terpenuhinya prinsip kemudahan administrasi dimana tarif yang digunakan dan cara menghitung pajak yang terutang atas objek tersebut cukup simpel serta pelaporanya dipisahkan dengan objek pajak yang lainnya. Oleh karena itu saat pembayaran dan pelaporan atas objek final tersebut sudah dilakukan, maka Kewajiban pajak atas Objek pajak tersebut telah selesai. Adapun pasal pasal lain yang merujuk pada Objek yang bersifat Final selain Pasal 4 ayat 2 yang tidak penulis jabarkan.
Sedangkan Pada pasal 4 ayat 3 dijabarkan apa saja yang tidak atau bukan merupakan objek pajak.

DAFTAR PUSTAKA

– Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

– www.pajak.go.id




Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23

Pendahuluan
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara dengan penerimaan yang paling besar, dimana pemerintah menggunakan pajak ini sebagai salah satu modal negara dalam melakukan pembangunan negara. Belum lama ini, sebagaimana telah diketahui bahwa Indonesia sudah menggalakkan Tax Amnesty atau pengampunan pajak yang dapat menarik para Wajib Pajak untuk dapat melaporkan segala asetnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan menyetorkan pajaknya sesuai tarif yang telah ditentukan sesuai dengan masa Tax Amnesty yang berlaku.
Wajib Pajak (orang pribadi maupun badan) dan bentuk usaha tetap memiliki penghasilannya masing-masing baik itu atas jasa yang diperoleh di dalam negeri maupun di luar negeri. Dimana penghasilan ini harus dipotong oleh PPh 23 yang telah di atur dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 dan ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008. Selain itu, terdapat juga pajak yang dikenakan pada Wajib Pajak yang berada di luar negeri untuk PPh 26 yang diatur dalam UU Pasal 26 No. 36 Tahun 2008.

A. Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak penghasilan Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi maupun badan), dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. PPh Pasal 23 ini dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak. Pihak yang menerima penghasilan atau penjual atau pemberi jasa akan dikenakan PPh pasal 23. Pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau penerima jasa akan memotong dan melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.

B. Pemotong PPh Pasal 23
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-pihak tersebut hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut ini:
1. Pihak pemotong PPh Pasal 23:
a. Badan pemerintah.
b. Subjek pajak badan dalam negeri.
c. Penyelenggara kegiatan.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
f. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjukoleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong PPh Pasal 23: akuntan, arsitek, dokter, motarism Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas; serta orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. Wajib pajak dalam negeri (orang pribadi dan badan).
b. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

C. Penghasilan yang Dikenakan serta Penghasilan yang Dikecualikan dari PPh Pasal 23
Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23:
Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 (selanjutnya disebut Objek PPh Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008, yaitu:
1. Deviden.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi yang berasal dari penyelenggara kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Perbedaan penghasilan berupa hadiah dan penghargaan yang dipotong PPh Pasal 21 dengan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah untuk PPh pasal 23, Wajib Pajaknya bisa Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi mau pun Wajib Pajak dalam negeri badan, tetapi untuk PPh Pasal 21 Wajib pajaknya adalah Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e UU PPh.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan denga penggunaan harta, kecuali untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimna dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.

D. Penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23:
Beberapa jenis pengahsilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 (bukan Objek PPh Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000, yaitu:
1. Penghasilan yang dibayar atau berutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: • dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; • bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
5. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
6. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan. Badan usaha yang dimaksud adalah perusahaan pembiayan yang telah mendapat ijin Menteri Keuangan; BUMN/BUMD yang husus memberikan pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKM) termasuk perseroan terbatas (PT) Permodalan Nasiona Madani. Penghasilan yang dimaksud adalah imbalan yang diberikan atas penaluran pinjaman/pembiayaan termasuk pembiayaan syariah.

E. Tarif dan Penghitungan PPh Pasal 23
Pasal 23 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 menetapkan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas : a. Dividen. b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. c. Royalti. d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e.
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas: a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengguanan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pnggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dalam Pasal 21. Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang sebebnarnya.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015. Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut:
1. Penilai (appraisal);
2. Aktuaris;
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Hukum;
5. Arsitektur;
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Perancang (design);
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Penebangan hutan;
13. Pengolahan limbah;
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Perantara dan/atau keagenan;
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19. Mixing film;
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet, baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Internet termasuk sambungannya;
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28. Maklon;
29. Penyelidikan dan keamanan;
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Pembasmian hama;
33. Kebersihan atau cleaning service;
34. Sedot septic tank;
35. Pemeliharaan kolam;
36. Katering atau tata boga;
37. Freight forwarding;
38. Logistik;
39. Pengurusan dokumen;
40. Pengepakan;
41. Loading dan unloading;
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43. Pengelolaan parkir;
44. Penyondiran tanah;
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Pemeliharaan tanaman;
48. Permanenan;
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan;
50. Dekorasi;
51. Pencetakan/penerbitan;
52. Penerjemahan;
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
54. Pelayanan pelabuhan;
55. Pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Pengelolaan penitipan anak;
57. Pelatihan dan/atau kursus;
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Sertifikasi;
60. Survey;
61. Tester;
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).