Hadirnya Inovasi teknologi dibidang Keuangan

Perkembangan bisnis baru berbasis teknologi  (online) dibidang transformasi mulai tahun 2015 telah berkembang di Indonesia . Inovasi  transportasi tersebut dimulai oleh GO-JEK, Grab dan Uber.  Ternyata bisnis tersebut disambut baik oleh konsumen  di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan Bali.  Dari ketiga kota tersebut tentunya kota Jakarta yang memiliki perkembangan sangat pesat karena kota Jakarta pada hari kerja dan jam kerja lalu lintas sangat padat dan macet.

Pada tahun 2016 kita dihadirkan kejutan kembali pada dunia bisnis keuangan berbasis teknologi yang disebut dengan fintech (financial technology) . Fintech merupakan penciptaan produk yang lebih baik  dan lebih efektif , proses, layanan, tehnologi dan gagasan yang diterima oleh pasar, masyarakat dan pemerintah.

Perkembangan fintech dapat membuat lembaga keuangan lebih mudah dijangkau masyarakat, karena relatif tidak terkendala infrastruktur. Ini juga merupakan edukasi mengenai produk keuangan menjadi lebih menarik dan mudah dipahami, sehingga produk bisa relevan dengan kebutuhan masyarakat banyak.

FinTech berasal dari kata Financial dan Technology. Konsep yang diambil oleh FinTech adalah perpaduan antara financial dan technologi yang digabungkan dengan sentuhan inovasi modern. Diharapkan hal ini dapat membuat proses transaksi keuangan menjadi lebih praktis serta aman digunakan. Beberapa hal yang dihitung masuk kedalam Fintech adalah proses peminjaman uang secara peer to peer, jual beli saham, transfer, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ternyata FinTech sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Apa yang menjadikan FinTech yang merupakan sebuah alasan untuk menjadi kebutuhan baru yang sangat dibutuhkan masyarakat?

Pertama adalah membantu perkembangan baru dibidang StartUp. Start up dibidang technologi yang sudah menjamur ternyata juga mempengaruhi perkembangan starup di bidang financial. Misalnya Moneythor. Moneythor membuat produk dengan pengalaman digital perbankan yang memiliki kelebihan lebih detail dan lebih terperinci dalam menganalisis. Start up FinTech dominan tumbuh di negara Singapura yang merupakan pusat di bidang financial yang ingin menguasai daerah Asia.

Kedua yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat. FinTech tak hanya fokus untuk mendapatkan laba yang besar, nyatanya taraf hidup masyarakat juga ikut meningkatkan dengan hadirnya inovasi financial yang satu ini. Di kawasan Asia Tenggara misalnya, Fintech mampu mengentaskan lebih dari 600 juta jiwa yang berada dibawah garis kemiskinan. Tak berhenti sampai disitu, FinTech tak berpuas diri dan terus berusaha untuk memberikan bukti yang nyata dengan memperlihatkan keuntungan dan kepercayaan dari para investor. Salah satu start up asal Malaysia yang bisa dijadikan contoh sebagai starup yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyawakat adalah Soft Space. Perusahaan ini telah berinovasi dengan menghadirkan merchant yang menerima pembayaran kartu debit maupun kartu kredit dengan bunga yang rendah.

Ketiga adalah  pinjaman dengan menggunakan sistem bunga tinggi dapat dikurangi. Kita amati bersama lintah darat yang merupakan wabah dan kisah klasik masyarakat sebagai penolong saat diperlukan dengan menetapkan bunga yang mencekik bisa dikurangi dengan adanya FinTech. Dengan hadirnya FinTech dihadarapkan masyarakat dapat menikmati pinjaman dengan lebih transparan agar tidak terjerumus kedalam pilihan berhutang yang salah.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai mengikuti perkembangan FinTech yang ada di Indonesia. Era baru akan hadir dengan pembentukan Asosiasi FinTech yang akan membuat bidang ekonomi menjadi lebih praktis untuk kedepannya. Tak hanya lebih praktis, FinTech juga dapat menjangkau masyarakat dengan cakupan seluruh kalangan ekonomi.




Hadirnya Inovasi teknologi dibidang Keuangan

Perkembangan bisnis baru berbasis teknologi  (online) dibidang transformasi mulai tahun 2015 telah berkembang di Indonesia . Inovasi  transportasi tersebut dimulai oleh GO-JEK, Grab dan Uber.  Ternyata bisnis tersebut disambut baik oleh konsumen  di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan Bali.  Dari ketiga kota tersebut tentunya kota Jakarta yang memiliki perkembangan sangat pesat karena kota Jakarta pada hari kerja dan jam kerja lalu lintas sangat padat dan macet.

Pada tahun 2016 kita dihadirkan kejutan kembali pada dunia bisnis keuangan berbasis teknologi yang disebut dengan fintech (financial technology) . Fintech merupakan penciptaan produk yang lebih baik  dan lebih efektif , proses, layanan, tehnologi dan gagasan yang diterima oleh pasar, masyarakat dan pemerintah.

Perkembangan fintech dapat membuat lembaga keuangan lebih mudah dijangkau masyarakat, karena relatif tidak terkendala infrastruktur. Ini juga merupakan edukasi mengenai produk keuangan menjadi lebih menarik dan mudah dipahami, sehingga produk bisa relevan dengan kebutuhan masyarakat banyak.

FinTech berasal dari kata Financial dan Technology. Konsep yang diambil oleh FinTech adalah perpaduan antara financial dan technologi yang digabungkan dengan sentuhan inovasi modern. Diharapkan hal ini dapat membuat proses transaksi keuangan menjadi lebih praktis serta aman digunakan. Beberapa hal yang dihitung masuk kedalam Fintech adalah proses peminjaman uang secara peer to peer, jual beli saham, transfer, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ternyata FinTech sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Apa yang menjadikan FinTech yang merupakan sebuah alasan untuk menjadi kebutuhan baru yang sangat dibutuhkan masyarakat?

Pertama adalah membantu perkembangan baru dibidang StartUp. Start up dibidang technologi yang sudah menjamur ternyata juga mempengaruhi perkembangan starup di bidang financial. Misalnya Moneythor. Moneythor membuat produk dengan pengalaman digital perbankan yang memiliki kelebihan lebih detail dan lebih terperinci dalam menganalisis. Start up FinTech dominan tumbuh di negara Singapura yang merupakan pusat di bidang financial yang ingin menguasai daerah Asia.

Kedua yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat. FinTech tak hanya fokus untuk mendapatkan laba yang besar, nyatanya taraf hidup masyarakat juga ikut meningkatkan dengan hadirnya inovasi financial yang satu ini. Di kawasan Asia Tenggara misalnya, Fintech mampu mengentaskan lebih dari 600 juta jiwa yang berada dibawah garis kemiskinan. Tak berhenti sampai disitu, FinTech tak berpuas diri dan terus berusaha untuk memberikan bukti yang nyata dengan memperlihatkan keuntungan dan kepercayaan dari para investor. Salah satu start up asal Malaysia yang bisa dijadikan contoh sebagai starup yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyawakat adalah Soft Space. Perusahaan ini telah berinovasi dengan menghadirkan merchant yang menerima pembayaran kartu debit maupun kartu kredit dengan bunga yang rendah.

Ketiga adalah  pinjaman dengan menggunakan sistem bunga tinggi dapat dikurangi. Kita amati bersama lintah darat yang merupakan wabah dan kisah klasik masyarakat sebagai penolong saat diperlukan dengan menetapkan bunga yang mencekik bisa dikurangi dengan adanya FinTech. Dengan hadirnya FinTech dihadarapkan masyarakat dapat menikmati pinjaman dengan lebih transparan agar tidak terjerumus kedalam pilihan berhutang yang salah.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai mengikuti perkembangan FinTech yang ada di Indonesia. Era baru akan hadir dengan pembentukan Asosiasi FinTech yang akan membuat bidang ekonomi menjadi lebih praktis untuk kedepannya. Tak hanya lebih praktis, FinTech juga dapat menjangkau masyarakat dengan cakupan seluruh kalangan ekonomi.




Menegakkan Nasionalisme Pendididikan Indonesia

Yang Terhormat
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
JAKARTA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Meningkatkan kualitas pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan keniscayaan. Meski demikian, upaya yang dilakukan tidak boleh mengarah pada internasionalisasi semu yang justru menjebak dunia pendidikan kita terpelanting ke jurang keterpurukan. Ada sejumlah kebijakan yang perlu segera dievaluasi bahkan dihentikan. Salah satunya adalah kewajiban dosen dan mahasiswa melakukan publikasi internasional terindeks Scopus, mempunyai faktor dampak (impact factor) ISI Web of Science (Thomson Reuters) dan Scimago Journal Rank (SJR). Kebijakan ini, tanpa disadari, mengarah pada kolonialisasi intelektual dan mengabaikan nasionalisme pendidikan.

Kewajiban bagi dosen yang memiliki jenjang jabatan Lektor Kepala/Magister atau Lektor Kepala/Doktor serta Profesor membuat jurnal internasional dan jurnal internasional berprestasi harus didukung. Namun mengapa harus Scopus, Thomson dan Scimago? Kebijakan ini tidak dengan sendirinya membawa dunia pendidikan semakin membaik, melainkan justru menempatkan pendidikan Indonesia pada posisi tidak terhormat.

Terdapat sejumlah alasan yang perlu dikemukakan: Pertama, semua lembaga indeks tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari kapitalisasi pendidikan. Persoalannya, mengapa kaum intelektual kita harus membayar kepada kapitalisme? Sudah membayar kepada mereka, toh mereka kemudian mendapatkan hasil penelitian kita. Padahal, penelitian menggunakan biaya yang tak kecil disertai usaha besar. Lazimnya, kita yang melakukan penelitian, maka kita pula yang memanfaatkan penelitian itu untuk kepentingan sebar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Kenyataannya, kita yang meneliti dengan biaya sendiri, mereka kemudian mendapatkan hasil penelitian dan tanpa kita tahu dimanfaatkan oleh mereka. Stop kebijakan yang mengumpankan kaum intelektual kita kepada kapitalisme.

Kedua, demi kewajiban untuk kenaikan pangkat dan meraih kepentingan pragmatis lainnya, kaum intelektual kita kerap terjebak pada “percaloan” bahkan termakan oleh jurnal “internasional” predator. Para intelektual kita harus membayar ribuan dolar agar artikelnya dimuat dalam jurnal mereka, namun pada kenyataannya jurnal internasional tersebut palsu dan sekadar jurnal pencari mangsa. Karena penerbit jurnal internasional ini abal-abal, maka tak ayal, mereka sangat aktif menyebarkan penawarannya melalui spam di berbagai email.

Ketiga, kewajiban kaum intelektual kita memiliki kualifikasi internasional merupakan keniscayaan. Persoalannya, mengapa bukan Indonesia sendiri yang membangun sistem indeks yang berkualifikasi internasional tersebut? Selain membangun sistem indeks nasional, Indonesia mampu membangun sistem indeks internasional, asalkan dilakukan secara serius dan melibatkan para ahli sesuai kualifikasi keilmuannya. Dengan membangun sistem berkualifikasi internasional, maka bangsa Indonesia dan kaum intelektual kita bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum intelektual lainnya. Bahkan tidak mustahil, pada gilirannya, kaum intelektual asing akan berkiblat kepada intelektualisme Indonesia. Mulailah dari sekarang membangun sistem pendidikan masa depan yang dapat membangkitkan intelektualisme Indonesia.

Keempat, memaksa kaum intelektual kita membuat artikel pada jurnal kapitalis sesunggunya penguasa telah bertindak diktator. Hanya karena diamnya kaum intelektual kita sehingga mereka tidak melakukan perlawanan. Namun seandainya bukan menyangkut kepentingan pribadi kaum intelektual, maka kebijakan ini sesungguhnya telah membuat gaduh dunia pendidikan kita. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bersama Menteri PAN dan RB harus tanggap terhadap kegaduhan ini dan tidak ikut memperkeruh suasana gaduh nasional yang semakin bising. Tingkatkan kualifikasi SDM perguruan tinggi kita tidak dengan menyerahkannya kepada pasar bebas, melainkan dengan proteksi serta pembinaan di dalam negeri. Jika dalam kurun waktu tertentu tingkat kompetensi dan kualifikasi SDM kita sudah berkualifikasi internasional, maka mau dikompetisikan dengan siapa pun akan dapat memenangi persaingan itu.

Akademisi Eropa yang melakukan perlawanan intelektual atas hegemoni pasar database index dapat menjadi inspirasi Indonesia untuk tidak teralu dipusingkan dengan publikasi pada jurnal kapitalisme. Toh ujung dari intelektualisme kita adalah bagaimana memaksimalkan sumbangsih kaum intelektual bagi terciptanya kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia. Meningkatnya kualitas sumbangsih kaum intelektual terhadap bangsa dan negara dengan sendirinya memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Namun, kontribusi Indonesia bagi dunia ilmiah internasional harus tetap terukur dan disesuaikan dengan kebutuhan nasional terlebih dahulu, baru setelah itu diserahkan kepada internasional. Itu pun harus ada imbal balik. Intelektual kita memberi, namun dunia internasional juga memberikan nilai lebih bagi bangsa dan negara.

Kewajiban bagi dosen yang memiliki jenjang jabatan Lektor Kepala/Magister atau Lektor Kepala/Doktor serta Profesor membuat jurnal internasional dan jurnal internasional berprestasi harus didukung. Pasal 8 tentang tentang rincian kegiatan jabatan akademik dosen poin (33) berbunyi, “(dosen) menghasilkan karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah tingkat internasional.” Demikian pula Pasal 11 Peraturan Menpan RB No. 17 Tahun 2013 menyatakan, profesor mempunyai kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerdaskan masyarakat. Namun kewajiban sekali lagi, internasionalisasi tidak harus mengumpankan kaum intelektual kita pada kapitalisme. Yang lebih penting bagi bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana kita menegakkan nasionalisme pendidikan.

Kementerian Ristek Dikti maupun Kementerian PAN dan RB, sebelum memberlakukan Peraturan Menteri Ristek Dikti No. 20 Tahun 2017, sebaiknya kita kaji di Mahkamah Agung, apakah permen tersebut cacat hukum atau tidak. Dalam hal ini, izinkan kami berada pada posisi sebagai pihak pengugat, sebab kami memandang bahwa permen ini cacat hukum. Yang lebih baik, Kementerian Ristek Dikti maupun Kementerian PAN dan RB tidak memberlakukan permen tersebut, sebab ada konsekuensi hukum, apabila nanti terbukti memberlakukan aturan yang cacat hukum, itu berarti kementerian tersebut melakukan pelanggaran hukum. Itu artinya, dua menteri tersebut melanggar hukum. Sakarang Bapak sedang berkuasa bisa memaksakan permen tersebut. Namun apabila tugas sudah selesai apalagi terjadi gugatan ini, maka keadaan menjadi tidak nyaman. Saya berharap, ada solusi terbaik untuk meningkatan kualitas dunia pendidikan Indonesia. Surat ini saya sampaikan dalam kerangka tawashau bilhak watawashaubish shabar, saling mengingatkan. Semoga Allah memberkahi kita.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandung, 8 Februari 2016

Prof. Dr. Idrus Affandi, S.H.
Guru Besar Bidang Pendidikan Politik Universitas Pendidikan Indonesia.

TEMBUSAN:
1. Kepada Yang Terhormat Rektor Perguruan Tinggi Negeri Seluruh Indonesia
2. Kepada Yang Terhormat Kopertis Seluruh Indonesia
fb




Management by Objective (MBO)

Management by objective (MBO) merupakan suatu model pengelolaan organisasi yang menghendaki karyawan dan manajemen berkolaborasi untuk membuat, menetapkan, dan menyetujui tujuan organisasi (organizational objectives).  Implementasi MBO adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi karyawan, yang pada gilirannya akan berdampak pada corporate performance.

Model ini dikembangkan oleh Peter Drucker pada 1954 melalui bukunya yang berjudul “The Practice of Management”.  Selain itu, Drucker juga menawarkan konsep bahwa tujuan organisasi hendaknya bersifat SMART, yaitu specific, measurable, achievable, realistic and time-bound.

Menurut Drucker, implementasi MBO hendaknya melibatkan 5 (lima) langkah, yaitu

1. Establish or clarify organizational objectives in line with the company’s mission and vision.

2. Ensure that employees fully understand the objectives of the company as a whole.

3. Involve employees in determining their personal objectives to help achieve corporate goals.

4. Monitor and measure employee performance relative to the goals.

5. Evaluate progress, reward success and provide feedback.




ADA TULISAN BAGUS – YUK MARI BERBAGI Oleh Ignatius Septo Pramesworo Semangat-Semangat-Semangat

ADA TULISAN BAGUS – YUK MARI BERBAGI

Oleh Ignatius Septo Pramesworo

Semangat-Semangat-Semangat

 

Semangat Indonesia Bersih teman-teman dan saudaraku, hari ini saya mendapatkan tulisan yang menurut saya bagus untuk dibaca. Tulisan ini dikirimkan melalui email dari Dr. Gatot Sutapa pada 8 Februari pukul 18:43 adalah ringkasan tulisan Robert J. Dickey yang mengajar di Kyongju University, Korea.

 

Tulisan ini mengenai Metode Penelitian untuk dosen dan guru terutama mereka yang berkecimpung di mata kuliah Bahasa Inggris. Teks ini memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan buku lain yang lebih populer mengenai “penelitian”, dan teks ini dapat menjadi titik awal yang sangat berguna bagi mereka yang mempertimbangkan terlibat dalam sebuah proyek penelitian.

 

Ayo mari membaca. Semangat-semangat-Semangat

 

The demand for research

 

The past few years have seen an explosion in the number of demands placed on teachers of English. Standards of qualification and continuing professional development, involvement in materials development, and expectations of published research are pulling teachers in directions the “simple classroom teacher” may have never expected. This just to hold on to a job, let alone to climb the professional ladder!
Few teachers have been prepared to undertake research other than what might be required for their graduate school programs

While there are organized programs and professional societies to facilitate the education & training aspects of professional qualification, and an experienced teacher may be able to delve into their own “bag of tricks” in materials development, research support is harder to find.
Research methodology

 

Few teachers have been prepared to undertake research other than what might be required for their graduate school programs. Often these research projects have little applicability to the activities and interests of practicing teachers. Where to start? Which to do: applied research, action research, classroom (based) research, teacher research, experimental (clinical) research? Why? There is no consensus.
Jo and Steven McDonough provide a clear roadmap of options in their little publicized reference Research Methods for English Language Teachers. This text has a number of advantages over many of the more popular “teacher research” books, and is a very useful starting point for those considering engaging in a research project.
Action research?

 

Recent years have seen the growth in popularity of “action research” for English language teachers, yet there is considerable disagreement on the definition and essential elements within that form. The McDonoughs do not appear to prefer action research over other forms, but provide guidance and advice on the various choices a teacher must make. This is an important distinction from Anne Burns’ (1999) Collaborative Action Research for English Language Teachers, which is an excellent guide to conducting one form of action research.

As the McDonoughs observe, there is a danger of making a research paradigm so “alternative” that it becomes an “either /or” choice. While the context for this quote is that of teachers choosing not to consider the work of non-teacher researchers, this knife cuts both ways: teacher research that lacks the elements of generally accepted research practices may be discounted by those in authority (employers, journals, etc.). Action research is currently so broadly defined that it risks such polarization.

Types of research designs
It is impossible to count how many research designs are discussed in Research Designs for English Language Teachers, because the authors point out that lines are often quite fuzzy, and concepts overlap. Roughly the first 1/3 of the book is an introduction to research concepts, then eight chapters discuss the following areas: observation, diaries, numbers, experiments, asking questions, introspection, and cases. They note that they are “concerned primarily with the kinds of investigations that teachers can undertake as an integral part of their professional lives” (p. 103). They further observe that “it is not at all self-evident that the experiment method … is at all relevant” (p. 156).
Choices for this topic

 

In books of this nature, there is a balancing act to be performed. Graduate school courses may focus on statistical and research methods, and coursebooks are created to fill this need. We might call these “methods books.” Other books may serve more as an overview and inspiration to research. There are, of course, books that straddle this divide, to one side or the other.
Donald Freeman’s Doing Teacher Research is clearly an overview book, and quite nicely done in its way. Quite reader-friendly, and it provides numerous reader-study aids. It offers few tools for research, but is more of a “call to arms” for teachers to engage in research studies of whatever type. His book, like the McDonoughs’, does not incorporate “reflective teaching” as a research design. The McDonoughs’ chapter on introspective methods is oriented largely to recovering the thoughts of the learners.
Michael Wallace’s Action Research for Language Teachers provides far more detail in the “how to” aspects of conducting research, a step by step guide. I’ve noted elsewhere (2001) that it could be a “useful companion to a more traditional treatise in a Master’s course” and that “the detail in Wallace can be discouraging to a ‘cover to cover’ reader.” It’s an excellent desktop reference, and compliments this book rather than replacing it.
None of the books discussed here replace a good research methods course, and all novices in research should seek more experienced peers for suggestions and insights prior to delving deeply into a research project. Many of us are far from graduate school courses, however, and we must study as and when we can. As a general introduction to the issues of teacher research, Jo and Steven McDonough’s Research Methods for English Language Teachers is clearly a comprehensive and complete book designed for the practicing teacher of English.

References

Burns, A. (1999). Collaborative action research for English language teachers. Cambridge: Cambridge University Press

.
Dickey, R. (2001). Perspectives on Action Research. The PAC Journal, 1(1).
Freeman, D. (1998). Doing teacher research. Boston: Heinle & Heinle.
Wallace, M. (1998). Action research for language teachers. Cambridge: Cambridge University Press.

 




pola pikir 2

KLASTER B: Pola fikir yang disajikan dalam klaster ini juga banyak berpengaruh pada pembentukan grand theory atau menjadi pola sistematisasi pengetahuan.
1) Pola fikir sistematik. Berdasarkan ciri hakiki obyek ilmu diadakan klasifikasi yang satu sama lain dapat ditampilkan eksplisit. Tampilan eksplisit yang sering kita kenal seperti: taksonomi, yang malahan telah berkembang menjadi salah satu subdisiplin biologi.juga taksonomi kognitif dari Bloom merupakan contoh lain. Tetapi taksonomi afektif dari Krathwohle, tidak tepat disebut taksonomi. Terapan sistematisasi juga muncul dalam sistematika ilmu ekonomi mikro menjadi makro; yang makro dipusatkan pada analisis pendapatan nasional, yang makro dipusatkan pada teori harga. Ilmu pendidikan diklasifikasikan menjadi faktor subyek didik, pendidik, tujuan, dan konteks pendidikan.
2) Pola fikir fungsional. Bukan esensi subtansi yang menjadi fokus perhatian fungsionalisme, melainkan esensi fungsi yang diperankannya. Grand theory yang berlandasakan pada konsep fungsionalisme seperti dalam sosiologi fungsionalisme structural dari Metorn. Teori fungsionalisme juga muncul sebagai teori substantive kepemimpinan dalam psikologi sosial; peran aktual seseorang menetapkan status seseorang. Pola fikir fungsionalisme juga muncul sebagai grand theory sosiologi aliran interaksionalisme pula.
3) Pola fikir pragmatic. Sesuatu itu menjadi berharga bila ada kegunaannya. Kalau seleksi hal yang perlu dipelajari pada yang pertama didasarkan ciri hakiki obyek telaah; pada yang kedua didasarkan peran fungsionalnya, sedangkan pada yang ketiga didasarkan pada urgensi. Perbedaan antara yang fungsional dengan yang pragmatic terletak pada yang pertama lebih kepada peran strukturalnya, yang kedua lebih kepada peran tujuannya. Grand theory pendekatan teknologik dalam pendidikan berada di antara pola fikir pragmatik dan pola fikir fungsional.
4) Pola fikir kontekstual dalam artinya yang sempit. Pengertian kontekstual dalam arti yang sempit adalah pola fikir yang mementingkan kekinian, kondisi atau situasi masa kini. Itu kita masukkan dalam klaster ini karena kontekstual tersebut dalam seleksi hal (masalah)nya menggunakan kriteria peran fungsional atau kepentingan kini. Harap diperbedakan jelas arti kontekstual dalam klaster B ini dengan yang disajikan dalam Klaster A dan J.
5) Pola fikir eklektik. Inti pemikiran dari pola ini adalah dipilihnya semua yang terbaik. Dari aliran manapun, dari filsafat manapun, dari teori manapun, asal lebih baik dari lainnya, itulah yang dipilih. Cara terbaik untuk mengembangkan penggunaan eklektisisme misalnya dalam pendekatan multidisiplin ataupun interdisiplin dengan sejumlah kriteria seperti: a) dapat diintegrasikan, b) dapat dioperasionalkan, c) valid by level, artinya diakui validitas konsep atau temuan itu oleh disiplin ilmunya sendiri. Yang dimaksud dengan multidisiplin adalah sesuatu disiplin ilmu secara tunggal mengembangkan ilmunya dengan memanfaatkan konsep dan temuan disiplin lain; sedangkan yang dimaksud dengan interdisiplin adalah sejumlah disiplin ilmu yang bekerja bersama untuk kepentingan tertentu




pola pikir 1

RAGAM TATA PIKIR LOGIK 1
Metodologi penelitian dengan pendekatan positivistic mendudukkan tata Pikir logic relasi menjadi dominan, kalau tidak dapat dikatakan itu saja yang dikenalnya. Tata Pikir relasi yang dimaksudkan adalah tata Pikir korelasi, tata pikir sebab-akibat, dan tata Pikir relasi timbal-balik atau interaktif.
Metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik mengenal tata Pikir logic lain di samping tata pikir relasi. Kesemua tata Pikir logic yang diperkenalkan di bawah ini merupakan alat yang dapat menjadi pilihan yang terbuka, yang satu dengan yang lain dapat dikombinasikan untuk mengkondtruksikan sejumlah konsep menjadi proposisi, hipotesis, postulat, aksioma, atupun untuk mengkonstruksi teori.
Klaster menghimpun dan mengklasterkan sejumlah tata Pikir logic. Kriteria pengklasteran untuk setiap klaster; dengan menggeser dimensi kriterianya mungkin sekali sesuatu istilah dipindahan ke klaster lain, atau disusun klaster baru dengan sejumlah istilah yang tersebar dalam banyak klaster menjadi satu klaster. Karena itu klaster yang ditampilkan jangan disebut sebagai taksonomi, cukuplah disebut klaster tata pikir logic. Keterbatasan jangkauan teoretik memungkinkan jumlah istilah dalam sesuatu klaser dapat terus ditambah; di samping tetap mungkin ditampilkan klaster-klaster baru. Untuk memudahkan, pemberian nama klaster dengan menggunakan alphabet dari A,B, dan seterusnya.
KLASTER A : Proses pemikiran kita sering mengikuti pola pikir genetic atau pola pikir historic atau pola pikir proses perkembangan; lawan dari pola pikir sistematik atas hakiki substantinya. Pola pikir genetic memaknai berbagai sesuatu bertolak dari asumsi bahwa segala sesuatu itu berkembang dari yang lebih elementer ke yang lebih sempurna. Perlu menjadi perhatian bagi pengguna pola Pikir genetic ini, untuk tidak selalu mengartikan yang lebih kemudian pasti lebih sempurna; karena mungkin merupakan perkembangan yang menyimpang, mungkindalam inovasi(terjadipenurunan kualitas secara terus menerus).atau kemungkinan lain.
Tata Pikir dalam klaster ini setidak-tidaknya dapat dikemukakan: 1) Pola Pikir evolusioner, yaitu pola pikir yang memaknai segala sesuatu itu berkembang, dan melalui proses panjang dalam arti waktu, di dalamnya ada proses tumbuh, adaptasi, seleksi, dan persaingan; dalam telaah makro: adaptasi dan sebagainya itu dalam arti perkembangan ontogenesa mengikuti perkembangan philogenesanya; dalam arti mikro perkembangan evolusioner adalah perkembangan fungsi intern dalam ontogenesanya sendiri. Dekat dengan pola pikir tersebut adalah 2) pola pikir historic, hal mana pemaknaan perkembangan dalam kaitan dengan waktu di masa lampau menjadi dominan. Pola pikir lain yang mengkait pada waktu adalah pola pikir prediktif, yang dapat di bedakan menjadi; 3) pola pikir prediktif linier, yaitu memperkirakan perkembangan berikut mengikuti perkembangan linier yang lampau,dan 4) pola pikir antisipatif. Pola pikir antisipatif mengakui tentang perkembangan yang linier terduga,dan tak terduga.dalam memprediksi masa depan pola pikir antisipatif memasukkan idealism, harapan perkembangan dengan yang secara aktif menciptakan kondisi agar perkembangan masa depan sesuai harapannya. Pola pikir antisipatif secara aktif membangun kondisi dan mengidealkan perkembangan ke masa datang.
.Pola Pikir genetik yang berikut 5) pola pikir kontekstual. Dalam pemaknaan genetik, pola pikir kontektual melihat keterkaitan atau berpadunya perkembangan masa lampau-kini-mendatang. 6) pola pikir morphogenetik. Pola pikir ini mengakui bahwa perkembangan itu dapat berlangsung kualitatif dan kuantitatif, serta dapat berlangsung berkelanjutan (seperti pola A.1 dan 2) dan dapat tidak berkelanjutan. Pola pikir morphogenetik dalam klaster A ini dengan dikombinasikan pola pikir klaster lain dapat dipakai untuk membangun grand theory atau untuk dasar sistimatisasi ulasan.
Teori evolusi dari Darwin mengikuti pola pikir genetik, khususnya pola evolusionir; teori genetic dari Mendel menjelaskan proses perubahan perkembangan biologik; teori perkembangan sejarah dari Toynbee mengikuti hukum kesejarahan, berarti mengikuti pola pikir ini, yaitu: teori evolusi dan teori rekonstruksi sejarah. Cara berpikir Alvin Toffler dan juga Daniel Bell di dominasi oleh pemikiran antisipatif. Studi perbandingan agama-agama Sematik sangat tepat disajikan dalam pola pikir genetik ini.




Informal Learning

Informal Learning

Dalam belajar, sebagian orang menginginkan kesempatan belajar yang natural, yang terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, tanpa terikat oleh penjadwalan dan metode yang spesifik. Cara belajar seperti ini dinamakan Informal Learning atau pembelajaran informal. Setting informal learning diantaranya seperti museum, pendidikan tinggi, kerjasama, dan semua dalam conteks Web 2.0. Web 2.0 adalah seperangkat tool dan proses yang memungkinkan setiap orang dengan mudah membuat konten digital dan berkolaborasi dengan orang lain tanpa keterampilan programming khusus.

Bentuk informal learning dapat berupa individu-individu yang berbicara melalui dinding cubic, pencarian informasi berbasis pengetahuan, bekerja sama secara online untuk meningkatkan kemampuan berbicara, berbagi opini dengan pembimbing, dan pendekatan perbandingan untuk dilema etika.

Pendidikan informal menjadi bernilai karena popularitas dari pendidikan informal itu sendiri. Popularitas ini disebabkan karena beberapa hal, pertama metode pendidikan informal sering ditemukan di lingkungan kerja. Pendidikan informal dilihat sebagai teknik dimana seorang pelajar dapat memanfaatkan cara yang benar dan dengan sumber daya yang berhubungan dengan pekerjaannya. Kedua, umumnya peserta didik tidak memiliki waktu atau anggaran untuk mengikuti belajar formal. Bahkan kedekatan e-learning dipandang sebagai sesuatu yang akan mengambil terlalu banyak waktu yang berharga. Ketiga, pendidikan informal dapat memberikan informasi yang ditargetkan kepada karyawan pada saat yang paling kritis sekalipun.

Sebab lain pendidikan informal menjadi bernilai adalah adanya pergeseran di sekolah-sekolah, pemerintah, dan bisnis dalam dua hal, yaitu adanya fenomena konvergensi belajar dan bekerja melalui teknologi yang disampaikan di titik kebutuhan, dan pendekatan pendidikan informal yang dipandang lebih otentik. Sebagai contoh, di San Diego anak-anak sekolah menghabiskan waktu seminggu tinggal di suatu desa, belajar tentang satu sama lain dan lingkungan alam.

 

Faktor-Faktor Pendidikan Informal

Pendidikan Informal memiliki 6 faktor :

  1. Nature of the Outcomes

Sebagian besar pembelajaran informal memiliki alasan untuk tetap up-to-date.

2.Nature of the experience

pembelajaran informal cenderung hidup, emosional, tak terduga dan istimewa. Individu rela membenamkan diri dalam pengalaman yang nyata.

    3.Origin

Belajar Informal terjadi karena mahasiswa atau karyawan mewujudkannya sendiri.

     4.Role of the student or employee

Informal Learning tergantung pada kemauan dan keaktifan individu

    5.Role of the instructor

Informal Learning biasanya tidak melibatkan instruktur yang dirancang. Sebaliknya, instruktur berfungsi sebagai ahli dan pelatih, memfasilitasi, menghubungkan orang-orang dengan sumber daya dan rekan-rekan.

    6.Role of the instructional designer

Belajar Informal mungkin muncul dengan caranya, begitu saja dan alami. Namun, cara itu yang tampak dari luar, bukan berarti pembelajaran itu tidak direncanakan

 

Informal Corporate Experience

Motorolla adalah sebuah perusahaan peralatan telekomunikasi, khususnya handphone. Marguerite Foxon menggambarkan proses GOLD, Program Motorola untuk mempersiapkan manajer yang berpotensi tinggi untuk sukses di beragam organisasi global. Mereka menggunakan tindakan belajar, yang merupakan jembatan antara pelatihan formal dan kehidupan sehari-hari di tempat kerja. Tindakan belajar melibatkan kelompok-kelompok kecil dalam menggunakan apa yang dipelajari untuk memecahkan masalah dunia nyata, sementara secara bersamaan merefleksikan proses pembelajaran itu sendiri.

Museum adalah salah satu tempat yang sangat tepat untuk dilaksanakannya pendidikan informal. Daya tarik obyek otentik dalam literatur yang dimiliki oleh museum. Daya tarik obyek ini memfasilitasi tipe umum dari pemikiran manusia yang menganggap pengetahuan berasal dari transfer kekuatan atau energi melalui kedekatan dengan orang-orang atau benda terkenal. Kekuatan benda yang membawa orang dewasa dan anak-anak ke museum untuk menyentuh dan memegang wujud yang ada di sana. Ada kesamaan penting antara museum dan pembelajaran informal di tempat kerja. Bila dilihat dari sudut pandang pengunjung tentu saja, waktu di museum yang tidak terstruktur. Tapi itu suasana informal adalah produk dari proses desain hati-hati oleh administrator museum, desainer pameran, dan pendidik.

Ditulis oleh : Pratiwi dan Dian Syafitri




Fitur Speech-To-Text Whatapps

Anda pengguna sosial media Whatapps (WA)?

Sekarang WA telah menambah fitur berupa Speech-To-Text (STT). Anda tak perlu repot mengetik, cukup menekan tombol microphone yang ada di WA. WA akan mengenali suara Anda, dan suara yang dikenali akan berubah menjadi text.

Bahasa yang dikenali dapat berupa bahasa Inggris maupun Indonesia. Indonesia? Ya! Bahasa Indonesia! Tidak percaya? Silahkan Anda mencobanya sendiri. Tetapi pastikan dahulu WA Anda sudah terdapat fitur STT.

Begini caranya untuk mengecek fitur.

Cek apakah tombol ini sudah ada di keyboard WA Anda

Anda hanya perlu berbicara, selebihnya fitur STT yang ada di WA akan melakukan pekerjaannya. Mudah bukan? Selamat mencoba!




Fungsi Pendapatan Disposabel

Pendapatan Disposabel = Yd

Yd merupakan variabel independen dalam persamaan fungsi konsumsi,

C  merupakan pencerminan kemampuan masyarakat dalam berkonsumsi.

Maka  C = f (Yd) = a + b Yd

C = konsumsi, Yd = pendapatan disposabel

  • Jika tidak ada pajak maupun pembayaran alihan, maka
  •          Yd = Y,     Yd = pendapatan disposabel, Y = pendapatan nasional
  • Jika ada pajak tapi tidak ada pembayaran alihan, maka
  •         Yd = Y – T
  • Jika tidak ada pajak tapi ada pembayaran alihan, maka
  •         Yd = Y + R
  • Jika ada pajak maupun pembayaran alihan, maka
  •         Yd = Y – T + R