Akses Thesis Universitas di Malaysia

Akses MyTO-Malaysian Thesis Online 
It lists the theses collection compiled from public academic universities and university colleges as well as private academic universities.

No automatic alt text available.




Sebelas Langkah untuk Pernyataan Masalah

No automatic alt text available.

Image may contain: text

Image may contain: text

No automatic alt text available.

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

No automatic alt text available.

No automatic alt text available.

Nurul Fadly Habidin




Istilah “Variabel” dalam Riset Kualitatif?

“Qualitative research is based on the epistemological assumption that social phenomena are so complex and interwoven that they cannot be reduced to isolated variables, so it is not appropriate to use the term variable when defining qualitative research.” (Yilmaz, 2013, p. 311)

“reality, as it is lived by the subjects of research, is not fragmentable into variables and processes, but is rather experienced holistically and mediated heavily by values, attitudes, beliefs, and the meanings which persons ascribe to their experiences, and as a result, inquirers must approach human subjects and human phenomena holistically rather than in piecemeal fashion;” (Guba & Lincoln, 1982, p.249)

“Let’s stay away from quantitative language that might mislead readers
• What is not included in this statement:
– Not a comparison
– Not relating variables
– Not proving hypotheses
– Not measuring variables”
(Creswell & Clark, 2004)

Riset kualitatif tidak menggunakan hipotesis.

(Trice & Bloom, 2014)

Jika tidak menggunakan istilah variabel, istilah apa yang digunakan?

In his book, Educational Research, John W. Creswell suggests that in qualitative research variables are called constructs. And these, of course, have different implications and not to be loosely interchangeable. He notes that “a construct is an attribute or characteristic expressed in an abstract, general way; a variable is an attribute or characteristic stated in a specific, applied way. For example, student achievement is a construct, while the more specific term grade point average is a variable.” (p. 115).  https://www.researchgate.net/…/Can_I_use_these_two…

I would say “concepts” or “categories” rather than “variables” are the concern in qualitative research – with an emphasis on exploring social relationships/social organization, social processes, phenomena, experiences, meaning for different units of analysis and so on (depending upon the particular question and qualitative approach).  https://www.researchgate.net/…/What_is_the_relationship…

Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (1982). Epistemological and methodological bases of naturalistic inquiry. ECTJ, 30(4), 233-252.

Yilmaz, K. (2013). Comparison of quantitative and qualitative research traditions: Epistemological, theoretical, and methodological differences. European Journal of Education, 48(2), 311-325.

Creswell, J. W., & Clark, V. L. P. (2004). Principles of qualitative research: Designing a qualitative study. Office of Qualitative & Mixed Methods Research, University of Nebraska, Lincoln.

Trice, L. B., & Bloom, K. C. (2014). PICOT, Problem Statement, Research Question, Hypothesis. In C. Boswell &  ‎ S. Cannon (Eds.), Introduction to Nursing Research: Incorporating Evidence-Based Practice (3rd ed.). Burlington: Jones & Bartlett Learning.




Perbedaan kerangka konseptual dengan kerangka teoretis

conceptua-theoretical-frmeworks

Sitwala Imenda, “Is There a Conceptual Difference between Theoretical and Conceptual Frameworks ?,” Journal of Social Sciences 38, no. 2 (2014): 185–195.

Diskusi FB

Kerangka Konseptual vs Teoritikal

Contoh

Proofreading by a UK PhD




Kasus Publisher Inderscience di Indonesia

Publisher Inderscience dianggap tidak bereputasi karena dicari dengan keyword inderscience.com alamat tidak ketemu.

Informasi Terkait Publisher Inderscience
http://pak.ristekdikti.go.id/portal/?p=562

-o0o-

 

INDERSCIENCE PUBLISHER MASUK DAFTAR BLACKLIST PAK RISTEKDIKTI

Baru saja saya menerima info dari seorang kolega bahwa Inderscience Publisher masuk dalam daftar blacklist PAK Ristekdikti : http://pak.ristekdikti.go.id/portal/?p=556

Meski paper-paper saya tidak terbit di Inderscience, saya adalah salah satu reviewer dari jurnal-jurnal yang ada di Inderscience (level Q2-Q1, Scopus). Dari sekian banyak pengalaman saya menjadi volunteer di Inderscience, kesimpulan saya adalah: proses review-nya serius. Tak jarang saya “dikejar” oleh Editor in Chief / Associate Editor untuk menyelesaikan review sebuah paper.

Cara kerja tim PAK Ristekdikti ini patut dipertanyakan. Beberapa hal yang menurut saya aneh adalah:

  1. Tidak ada data terbuka tentang SIAPA yang menentukan keabsahan sebuah jurnal dalam tim PAK Ristekdikti. Padahal, semua jurnal bereputasi MEMBUKA nama Editor in Chief, Associate Editor, dan tak jarang nama reviewer pun disebut, sehingga kita bisa melihat REPUTASI dari tim penilai. Dalam hal ini, fairness proses penilaian PAK Ristekdikti sangat kurang.
  2. Menentukan alamat jurnal dan “melihat kantor” berdasarkan Google Map itu menurut saya agak (maaf) konyol. Data Google Streep Map itu screenshot, bukan real-time. Kalau data Google tahun 2014, kemudian kantor dibangun tahun 2015, apakah bisa katakan bahwa kantor itu tidak ada?
  3. Tidak semua area BISA dijangkau oleh Google Car, sehingga area-area perkantoran dengan jalan yang sempit / restricted oleh security tidak bisa diambil fotonya. Jadi, TIDAK ADA-nya foto sebuah bangunan pada street map bukan berarti bangunan itu TIDAK ADA.
  4. Cara menelusuri informasi pada Google Map tidak memperhatikan kaidah Googling yang sesuai. Hasil penelusuran dengan keyword “www.inderscience.com” tentu saja berbeda dengan keyword “indersciene”. Silahkan dicek di sini: https://www.google.co.id/…/data=!3m1!4b1!4m5!3m4!1s0x4877af…

Cobalah anda lakukan hal yang sama pada Google Map dengan memasukkan keyword : www.elsevier.com atau www.springer.com 🙂

  1. Mekanisme peer-review ilmiah yang benar melibatkan proses diskusi dua arah, dengan memperhatikan pihak yang di-review. Kalau kita mengacu pada proses peer-review jurnal, pihak penulis diberi kesempatan untuk memberikan sanggahan (dispute, rebuttal) apabila tidak setuju dengan pendapat reviewer. Di sini terlihat bahwa mekanisme review dari Tim PAK Ristekdikti sama sekali tidak mengikuti kaidah dan budaya ilmiah.
  2. Mengacu ke ScimagoJR, tidak semua jurnal Inderscience berada pada level Q3-Q4. Beberapa jurnal sudah masuk dalam level Q2-Q1. Silahkan cek:

http://www.scimagojr.com/journalsearch.php…

http://www.scimagojr.com/journalsearch.php…

http://www.scimagojr.com/journalsearch.php…

Dan masih banyak lagi…

Silahkan, bapak ibu yang memiliki channel ke PAK Ristekdikti, argumen kami bisa diteruskan ke mereka, supaya dampak yang ditimbulkan dari proses penilaian keabsahan sebuah jurnal tidak meluas.

Link artikel PAK Ristekdikti: http://pak.ristekdikti.go.id/portal/?p=556

 

24 November 2017

Sunu Wibirama

-o0o-

INDERSCIENCE, SI KECIL YANG BIKIN HEBOH

Inderscience adalah publisher yang tidak sebesar dan seterkenal Elsevier atau Wiley, tapi dia cukup populer di kalangan dosen dan mahasiswa Indonesia karena beberapa jurnalnya sering menjadi forum publikasi ilmiah bagi mereka. Dalam pengumumannya di portal PAK Kemristekdikti tertanggal 23 November 2017, tim Penilaian Angka Kredit Kemristekdikti (selanjutnya disingkat “tim PAK” saja) memutuskan bahwa Inderscience dan semua jurnal yang berada dalam cakupannya dinilai meragukan kualitasnya, sehingga karya ilmiah yang dimuat di dalamnya tidak bisa diajukan untuk memenuhi persyaratan kenaikan jabatan guru besar. Singkatnya, Indescience di-blacklist oleh Kemenristekdikti.

Link pengumuman ada di http://pak.ristekdikti.go.id/portal/?p=556.

Yang bikin heboh adalah bahwa tim PAK menetapkan keputusan tersebut berdasarkan pencarian mereka terhadap properti fisik (alamat kontak, kantor, dsb) menggunakan Google Maps dan Whois. Dengan Google Maps, tim tidak bisa menemukan hasil pencarian dengan keyword “http://www.inderscience.com/”, sementara dengan Whois, mereka menemukan informasi yang (nampaknya) bagi mereka meragukan (alamat registrant di Swiss, alamat kontak di UK). Dengan hasil investigasi yang beraroma negatif seperti ini, dibuatlah pengumuman di portal tersebut.

Pengumuman ini sontak mengundang reaksi dari komunitas dosen, terutama yang pernah berinteraksi dengan Inderscience. Mereka mempersoalkan keputusan tim PAK, terutama cara mereka menginvestigasi dan menarik kesimpulan, yang menurut para dosen tersebut, terlalu oversimplifikasi.

Tulisan ini tidak membahas tentang proses investigasi tim PAK, meskipun saya pribadi menilai metode yang dipakai tim PAK cukup “aneh”. Saya lebih tertarik membahas bagaimana Kemristekdikti menangani sebuah proses (kenaikan jabatan fungsional dosen) yang melibatkan dua domain yang sangat berbeda: akademik (ilmiah) dan birokrasi.

Sebelum membahas hal tersebut, kritik pertama saya adalah, tim PAK tidak memiliki mekanisme quality assurance yang baik. Sebuah keputusan publik muncul berdasarkan proses yang aneh, itu menunjukkan tidak adanya kontrol kebijakan yang kuat. Sekiranya ada validasi terhadap hasil penelusuran jurnal sebelum keputusan diambil, tentulah tidak akan muncul kasus ini.

Kasus Inderscience ini sebenarnya menunjukkan problem harmonisasi aspek birokrasi dan aspek akademik dalam urusan PAK. Seperti yang diketahui, PAK terkait dengan pengusulan kenaikan jabatan fungsional dosen/peneliti yang menggunakan kum/poin sebagai instrumen penilaian. Birokrasi terkait pengusulan kenaikan jabatan fungsional ini mencakup, salah satunya, verifikasi terhadap kum yang diusulkan oleh dosen atau peneliti. Kum yang diperhitungkan adalah kum yang lolos verifikasi.

Bagi dosen dan peneliti, sumber kum yang paling besar dan sering digunakan adalah publikasi ilmiah, dan di sinilah persoalan dimulai. Secara substansi, verifikasi publikasi adalah adalah domain akademik, karena hanya otoritas akademiklah yang berhak menentukan nilai kum berdasarkan kualitas publikasi pengusul. Proses verifikasi ini dimulai dari unit terkecil (departemen, jurusan, atau program studi di perguruan tinggi), menggunakan mekanisme peer review. Sesungguhnya jika proses peer review ini berjalan baik, tidak perlu lagi ada proses verifikasi di tingkat yang lebih tinggi karena di unit terkecil inilah sebenarnya otoritas akademik/keilmuan berada. Sayangnya banyak terjadi penyimpangan dalam proses verifikasi di unit terbawah ini, akibatnya verifikasi ulang dilakukan di tingkat fakultas, universitas/institut, dan pada akhirnya Kemenristekdiktipun ikut campur dan masuk ke dalam substansi verifikasi.

Kemenristekdikti aslinya adalah lembaga birokrasi. Meskipun demikian, karena kondisi memang memerlukan, sah-sah saja jika Kemenristekdikti ikut campur dalam proses akademik yang sebenarnya bukan menjadi ranahnya, selama mereka menjalankannya dengan baik. Sayangnya tatakelola yang diterapkan masih belum menjamin obyektifitas prosesnya. Selama ini masyarakat akademik (dosen & penelliti) sebagai obyek yang dinilai tidak banyak yang mengetahui bagaimana tim PAK menjalankan tugasnya. Sosialisasi tentang item-item yang dinilai, standar penilaian, siapa penilainya dan bagaimana kredibilitas keilmuannya, mekanisme banding atas ketidakpuasan hasil penilaian, dan sebagainya minim sekali. Karena urusannya terkait dengan publik, informasi tentang hal-hal tersebut seharusnya juga dibuka bagi publik.

Mengapa Kemenristekdikti tidak berkaca pada proses lain yang mirip, akreditasi program studi oleh BAN-PT misalnya, yang juga berada dalam lingkup Kemenristekdikti? BAN-PT menjalankan birokrasi proses akreditasi dan secara bersamaan juga mengelola susbtansinya. Dalam tugasnya mengakreditasi program studi, BAN-PT menetapkan kriteria, standar, metode penilaian, dan mekanisme kerja asesor. Semuanya dibuka untuk publik, sehingga program studi yang akan diakreditasi bisa menyiapkan diri dengan baik. BAN-PT juga menyeleksi asesor berdasarkan kriteria yang terbuka untuk publik. Hal yang mirip juga bisa diterapkan pada sistem PAK. Kemristekdikti dapat menetapian kriteria, standar, dan metode penilaian publikasi ilmiah dan reputasi jurnal, yang kemudian disosialisasikan secara terus-menerus sehingga para dosen dan peneliti menjadi paham. Kemristekdikti juga dapat merekrut asesor publikasi dengan kriteria yang obyektif, dan menugasi mereka untuk menjalankan verifikasi publikasi dan jurnal berdasarkan pedoman-pedoman yang disusun.

Kriteria pemilihan asesor publikasi menjadi sangat penting. Kredibilitas akademik menjadi kunci, karena hanya dengan kredibilitas yang tinggilah fairness penilaian dapat ditegakkan. Hanya orang-orang yang memiliki banyak publikasilah yang dapat menilai dengan fair kualitas sebuah tulisan ilmiah. Hanya orang-orang yang pernah menjadi editor atau reviewer jurnallah yang bisa menilai kualitas sebuah jurnal. Mereka ini tidak perlu punya jabatan akademik guru besar. Mereka bisa saja doktor-doktor muda yang belum pernah menjabat posisi struktural tetapi kaya pengalaman riset dan publikasi. Hal ini akan membuat mereka mendapatkan kepercayaan diri, sekaligus mengurangi komentar-komentar miring yang mempertanyakan kualitas penilaian tim PAK.

Asesor publikasi, sebagaimana halnya asesor program studi, memiliki diskresi akademik penuh dalam memberikan penilaian berdasarkan kredibilitas akademik mereka. Mereka punya cara sendiri untuk menentukan apakah sebuah tulisan atau jurnal berkualitas atau tidak. Metodenya tentu saja ilmiah, misalnya dengan mengamati kualitas proses penerimaan artikel ilmiah dan proses review yang dijalankan, bukan cara-cara yang oversimplifikasi mengandalkan Google Maps semata.

Kemenristekdikti tidak bisa mengintervensi kerja asesor publikasi. Meskipun demikian, menjadi tugas Kemenristekdikti untuk menjamin kualitas hasil kerja mereka. Mekanismenyapun sama dengan yang dijalankan oleh BAN-PT: validasi oleh rekan sejawat sesama asesor.

Yang juga perlu dikembangkan adalah mekanisme banding. Bagaimanapun juga asesor (dan juga Kemenristekdikti) bukanlah pihak yang selalu benar. Sesuai dengan asas fairness, harus ada mekanisme yang memberi kesempatan pihak yang dinilai untuk menyampaikan keberatan sekiranya ada hasil verifikasi yang tidak sesuai.

Perbaikan-perbaikan secara struktural ini penting dilakukan untuk mendukung tujuan yang lebih besar: memajukan penelitian dan publikasi di Indonesia. Kemenristekdikti harus bisa menempatkan posisinya dalam mengelola aspek birokrasi dan akademik dalam urusan PAK. Jika lembaga tertinggi pengawal riset dan publikasi tidak mampu memberikan suasana yang kondusif bagi dosen dan peneliti, bagaimana kita semua bisa optimis bahwa tujuan tersebut akan tercapai?

25 November 2017
Lukito Edi Nugroho

-o0o-

Informasi Terkait Publisher Inderscience
http://pak.ristekdikti.go.id/portal/?p=562

BY ADMINISTRATOR · 27 NOVEMBER 2017

Dalam beberapa hari ini setelah diunggah informasi pada tanggal 23 November 2017 tentang publisher inderscience, telah masuk pesan-pesan melalui Whatsapp kepada Bapak Dirjen Sumber daya Ipteks dan Dikti (SDID), pimpinan lainnya dan Tim Penilai Jabatan Akademik (PJA).

Informasi yang dimuat di laman sesungguhnya adalah upaya pencegahan dini Direktorat Jenderal Sumber daya Ipteks dan Dikti memberitahukan kepada para dosen di seluruh Indonesia yang mempublikasi karya ilmiah di jurnal jurnal dari penerbit yang tidak melaksanakan proses review dengan baik dan benar. Jangan sampai karya ilmiah setelah terbit dan diajukan untuk kenaikan jabatan/pangkat tidak diakui sebagai karya pemenuhan persyaratan kenaikan jabatan/pangkat. Bila terjadi kekeliruan akan dilaksanakan perbaikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sehubungan dengan itu, sesuai arahan Bapak Dirjen Sumber Daya Ipteks dan Dikti maka, bagi para dosen yang telah mempublikasikan di jurnal–jurnal yang diterbitkan oleh publisher Inderscience diminta kesediaannya untuk mengirimkan bukti-bukti sbb:

Karya ilmiah versi awal yang dikirim ke jurnal.
Dari email korepondensi, mem-forward submission karya ilmiah, review karya ilmiah ( perbaikan yang diminta) dan perbaikan yang telah dilakukan oleh penulis.
Mem-forward Acceptance letter karya imiah atau acceptance email karya ilmiah.
termasuk surat keberatan atas informasi tentang inderscience yang dipublish sejak tanggal 23 November 2017 yang ditujukan kepada Dirjen SDID dengan alamat email:

admin.pja@ristekdikti.go.id

Diterima paling lambat hari rabu tanggal 29 November 2017 pukul 18.00 WIB.

Mempertimbangkan masukan-masukan yang diterima dan hasil evaluasi lebih lanjut akan disampaikan keputusan tentang jurnal-jurnal dari Inderscience.

Apa yang kami lakukan, perhatian, kritik, saran dan masukan yang diberikan adalah tidak lain upaya untuk membangun kualitas dosen lebih baik, bukan untuk menghambat karir dosen. Terima kasih untuk semua masukan yang telah diberikan.

Pojok Pendidikan




Cara Membuat Abstrak

  1. Dimulai dengan APA yang dikerjakan,
  2. BAGAIMANA mengerjakannya,
  3. APA hasilnya,
  4. MENGAPA hasilnya demikian, serta
  5. DISIMPULKAN dengan MEMPERKUAT hasil yang diperoleh.

No automatic alt text available.

Dr. Thava




Transkripsi

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

No automatic alt text available.

Bailey, Julia. “First steps in qualitative data analysis: transcribing.” Family practice 25, no. 2 (2008): 127-131.




VUCA

Vulnerable, Uncertainty, Complexity and Ambiguity = Rapuh, Tak pasti, Rumit dan Rancu

Nathan BennettG. James Lemoine. 2014. What VUCA Really Means for You. Harvard Business Review




Issue, Problem, dan Gaps of Knowledge.

Contoh isy

 




Metode Ilmiah

Metode ilmiah (scientific method) merupakan teknik-teknik standar untuk membangun pengetahuan ilmiah seperti bagaimana membuat observasi yang sahih, menafsirkan hasil temuan, serta melakukan generalisasi dari temuan tersebut. Metode ilmiah memungkinkan peneliti secara independen menguji teori-teori serta temuan-temuan riset, kemudian menjadikannya bahan debat, modifikasi, atau pengembangan.

Ciri-ciri metode ilmiah

  1. Replicability. Orng lain dapat secara bebas meniru atau mengulang kajian ilmiahdan mendapatkan hasil yang mirip atau identik.
  2. Precision. Konsep-konsep teori yang biasanya sukar diukur, harus didefinisikan secara tepat sehingga pihak lain dapat menggunakan definisi-definisi tersebut serta menguji teori.
  3. Falsifiability. Suatu teori harus dinyatakan dengan cara tertentu sehingga dapat dibantah dengan bukti. Teori yang tak dapat diuji atau difalsifikasi dianggap tidak ilmiah. Teori yang dibuat spesifik tapi tidak persis, atau tidak dapat diukur secara akurat, maka berarti tidak dapat diuji. Dengan demikian dianggap tidak ilmiah.
  4. Parsimony. Apabila ada berbagai penjelasan tentang suatu gejala, ilmuwan harus selalu menerima penjelasan yang paling sederhana atau yang paling logis. Konsep ini disebut parsimoni atau “Occam’s razor“. Parsimoni mencegah ilmuwan dari upaya memberi penjelasan menggunakan teori yang aneh-aneh dengan berbagai konsep dan hubungan-hubungan, namun memberikan penjelasan secuil mengenai segala sesuatu, namun tak ada maknanya.

Bhattacherjee, A. (2012). Social science research: Principles, methods, and practices. Global Text Project. 

Occam’s (Ockham’s) razor atau pisau silet Occam merupakan prinsip yang menyatakan bahwa penjelasan yang paling sederhana itulah yang biasanya benar. Pisau dapat mengiris dan memilih mana daging mana lemak. Pisau merupakan perumpamaan, bahwa untuk mendapatkan solusi diperlukan pikiran yang tajam yang mampu mencermati masalah dengan baik dan tepat.

Why is Occams Razor called a razor