Kopertis Menjadi LLDIKTI

Mulai 9 April 2018 Kopertis diganti dengan LLDIKTI (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) yang merupakan satuan kerja di lingkungan Kemristekdikti dengan mempunyai tugas dan fungsi di bidang peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi di wilayah kerjanya

Adapun fungsinya adalah:
a. pelaksanaan pemetaan mutu pendidikan tinggi di wilayah kerjanya;
b. pelaksanaan fasilitasi peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi di wilayah kerjanya;
c. pelaksanaan fasilitasi peningkatan mutu pengelolaan perguruan tinggi di wilayah kerjanya;
d. pelaksanaan fasilitasi kesiapan perguruan tinggi dalam penjaminan mutu eksternal di wilayah kerjanya;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi peningkatan mutu perguruan tinggi di wilayah kerjanya;
f. pengelolaan data dan informasi di bidang mutu pendidikan tinggi di wilayah kerjanya; dan
g. pelaksanaan administrasi LLDIKTI.

Permenristekdikti No. 15 Tahun 2018
Lampiran Permenristekdikti No. 15 Tahun 2018




Pencarian Semantik

klik

Talk to Books

Talk to Books adalah alat pencarian semantik  dengan cara memindai  kalimat-kalimat dalam 100.000 volume Google Books. Pencarian semantik didasarkan atas pencarian arti atau makna kata dan kalimat, bukan pencarian berdasarkan kata kunci atau frasa.
Talk to Books baik digunakan untuk mencari buku atau mengumpulkan inspirasi. Boleh juga digunakan menggali gagasan, brainstorming dalam rangka mendapatkan sudut pandang yang baru terhadap suatu topik, atau untuk mendapatkan kutipan menarik dari buku.

WEF. 2018. Google’s new tool answers your questions by reading thousands of books.




Jumlah Sampel Riset Kualitatif

Bonde, D. (2013). Qualitative interviews: When enough is enough. Retrieved from www.researchbydesign.com.au

Mason, M. (2010). Qualitative Social Sample Size and Saturation in PhD Studies Using Qualitative Interviews. Forum Qualitative Sozialforschung / Forum: Qualitative Social Research, 11(3), 1–16.

 

Stephen J. Gentles, Cathy Charles, Jenny Ploeg, K. Ann McKibbon. 2015. Sampling in Qualitative Research: Insights from an Overview of the Methods Literature. The Qualitative Report. Vol. 20, No. 11.




Ringkasan Teori-teori Organisasi

Dore Burry




Indonesia dan Modal Intelektual

KISAH “LUCU” DARI TANAH PAPUA

Oleh : Ganefi Suherlin

Konon… ada sebuah desa di pelosok Papua sana yang penghasilan utamanya adalah pisang…

Banyak sekali pisang enak yang dihasilkan dari tanah subur di desa tersebut…

Selain manis, besar-besar dan konon khasiatnya sangat bagus untuk kesehatan…

Itulah mengapa, penduduk di sana banyak yang menggantungkan hidup dari hasil jualan pisang.

Tetapi…, karena daerahnya terpencil, mereka harus menjual pisang tersebut ke kota dan menempuh jarak 30 km-an…

Dengan infrastruktur yang masih belum bagus, mereka harus jalan kaki…, mengarungi sungai…, dengan membawa satu-dua tandan pisang per orang…

Sampai di pasar kota, pisang itu sudah langsung ada penadahnya…
Laris manis…
Uang pun didapat…
Dan…, masyarakat desa itu pun segera pulang ke kampungnya lagi…

Namun sebelum pulang, ada satu tradisi mereka untuk membawa oleh-oleh ke rumah…
_Dan… yg paling dinanti oleh keluarga mereka dirumah sebagai oleh-oleh biasanya adalah…_
*PISANG GORENG…!!!*

_Ya…!!! Jauh-jauh mereka ke kota, jualan pisang…, untuk kemudian membeli oleh-oleh pisang goreng…_
_Uang hasil jualan pisang sebagian dipakai untuk membeli pisang goreng…_

*Ada yg merasa aneh atau lucu dengan kisah tadi…???*

_Sebagian teman-teman saya tertawa mendengar kisah itu…_
_Jauh-jauh ke kota jualan pisang, kok bawanya oleh-oleh pisang juga…???_

*_Kenapa tidak menggoreng sendiri…???_*

???????????

_Lucu abis dan Gokil abis dech sekolah dimana tuh……_
_Aneka tanggapan pun muncul saat mengetahui kisah ini…_

*Tetapi…*

_Sesaat kemudian…, Tawa itu berubah jadi hening… Ketika saya mengatakan bahwa:_

*_INILAH YG TERJADI PADA SEBAGIAN BESAR ORANG INDONESIA…!!!_*

*>> Air diambil dari Indonesia…, diolah jadi ‘Aqua’…, dijual lagi ke kita…, dan uangnya diambil oleh Danone…, perusahaan dari luar negeri…!!!*

*>> Sepatu keren dibuat orang Indonesia…, dibawa ke luar negeri dan diberi cap ‘Nike’…, dan dijual lagi ke Indonesia dgn harga berkali lipat…, dan banyak yg bangga memakainya…!!!*

*>> Kopi-kopi terbaik dari tanah Indonesia…, dibeli dan diolah ‘Starbucks’…, dijual kembali dgn harga berkali lipat kepada orang Indonesia…!!!*

*>> Begitu juga minyak mentah atau barang tambang lainnya yang terbaik diambil oleh asing dari tanah Indonesia lalu diolah diluar negeri kemudian hasilnya dijual kembali di Indonesia.*

_Kisah di atas saya dapatkan dari teman-teman yg menginisiasi gerakan *Beli Indonesia*._
_Sebuah gerakan untuk mendukung dan bangga menggunakan produk Indonesia…!!!_

_Jika kita mau memakai dan membeli produk bangsa sendiri…, niscaya 250 juta penduduk Indonesia akan lebih sejahtera…_

*_Kisah Papua, masih mau tertawa?_*

Vincent Gaspersz

Bukan saja di Papua, NTT, dll di Pulau Jawa juga demikian. Kasus di NTT seperti menjual buah kelapa kering lalu membeli minyak goreng merek tertentu juga termasuk dalam hal yang berkaitan dengan rendahnya intellectual capital. Mengapa Indonesia merupakan pemilik lahan terbesar dalam perkebunan kelapa sawit TETAPI Malaysia merupakan negara terbesar dalam pengekspor minyak sawit di dunia? Itu juga masalah rendahnya Intellectual Capital. Sayangnya selama ini dalam kewirausahaan selalu yang dipermasalahkan adalah financial capital PADAHAL yang memberikan nilai tambah terbesar adalah Intellectual Capital. Lalu kesalahan terbesar dari pemahaman yang keliru tentang Intellectual Capital seolah-olah adalah HANYA Human Capital. Bagan terlampir menjelaskan bahwa Market Value akan Rendah jika perkalian nilai financial capital dan intellectual capital rendah. Salam SUCCESS.

Image may contain: text

Vincent Gaspersz




Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Examples writing RQs and ROs. Contoh penulisan pertanyaan riset dan masalah riset.

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Image may contain: text

Proofreading by a UK PhD

Thavamaran Kanesan




Mewirausahakan Birokrasi

Oleh: Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt and Certified Management System Lead Specialist

Kata Kewirausahaan (Entrepreneurship) seringkali dipahami secara keliru, karena seolah-olah HANYA berkaitan dengan dunia bisnis, ekonomi, dan lain-lain. Padahal yang diperlukan dari kewirausahaan adalah mental (mindset-attitude-habits-character) berikut:

1. Disiplin dan menghargai waktu
2. Memiliki kesadaran diri yang tinggi
3. Memiliki kepercayaan diri tinggi
4. Memiliki motivasi diri tinggi
5. Memiliki keinginan mengambil risiko yang diperhitungkan (calculated risks)
6. Berani gagal
7. Memiliki keinginan bekerja keras dan cerdas
8. Memiliki keinginan untuk mendengar orang lain
9. Dan lain-lain

Mengapa kita membutuhkan Kewirausahaan Birokrasi?

Terdapat buku bagus yang jarang dibaca oleh para mahasiswa dan dosen-dosen ekonomi yaitu berkaitan dengan Sosiologi Ekonomi (Economic Sociology).

Dalam artikel dari Victor Nee ( 2005) berjudul The New Institutionalisms in Economics and Sociology. P. 49-74. In the Handbook of Economic Sociology (Neil J. Smelser and Richard Swedberg, Editors). 2nd Edition. Princeton University Press, Princeton. 736 pages, (lihat bagan terlampir) terungkap bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari suatu negara dapat bersumber dari birokrasi pemerintahan yang kompeten, bersih—tidak korupsi, memiliki norma dan sasaran jangka panjang yang terukur, dan hal-hal lain yang apabila diurutkan akan memiliki reaksi berantai sebagai berikut:

1. Mulai dari birokrasi pemerintahan (aparatur, administrasi, dll).

2. Menerapkan sistem rekrutmen berdasarkan meritokrasi (bebas KKN—Korupsi, Kolusi, Nepotisme), memiliki jenjang karier yang dapat diprediksi, dan penghargaan (renumerasi) jangka panjang.

3. Menetapkan norma dan sasaran bersama serta menurunkan ketertarikan untuk korupsi dari individu-individu birokrat.

4. Meningkatkan keberhasilan kompetensi birokrat sehingga terjadi peningkatan kemampuan organisasi pemerintah untuk mencapai sasaran jangka panjang yang terukur.

5. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Semoga dalam kontestasi pilkada dan pilpres akan terpilih bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, presiden/wakil presiden yang memperhatikan kewirausahaan birokrasi ini sehingga memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di berbagai wilayah di Indonesia.

No automatic alt text available.

Vincent Gaspersz




Contoh Riset Kualitatif Sederhana

Partisipan                                            : 11 mahasiswa Muslimah Universitas Melbourne
Pertanyaan semi terstruktur   : 10 butir
Pertanyaan tertutup                     : 6 butir
Metode                                                 : Wawancara semi terstruktur 60-90 menit
Analisis data                                      : Thematic analysis technique
Saturation                                           : 10 orang
Scopus                                                  : Q2

Meldrum, Rebecca M., Pranee Liamputtong, and Dennis Wollersheim. “Sexual health knowledge and needs: young Muslim women in Melbourne, Australia.” International Journal of Health Services 46, no. 1 (2016): 124-140.




Video Penjelasan Positivism dan Interpretivism

Amgad Badewi menjelaskan tentang Positivism dan Interpretivism. Klik




Indonesian state universities welcome foreigners as permanent lecturers

Indonesian state universities welcome foreigners as permanent lecturers
Moses Ompusunggu, Bambang Muryanto and Apriadi Gunawan – The Jakarta Post – Jakarta/Yogyakarta/Medan | Mon, April 16, 2018 | 07:26 pm

Indonesian state universities welcome foreigners as permanent lecturers The presence of foreign academics as lecturers can be a catalyst in boosting the country’s academic achievements. (Shutterstock/-)

Indonesian state universities are welcoming the latest policy of President Joko “Jokowi” Widodo’s administration allowing foreign academics to serve as permanent lecturers in the country’s universities.

The administration announced last week that it was opening opportunities for foreign academics to become permanent lecturers at Indonesian universities in an attempt to increase the country’s quality of higher education and meet international standards.

The move followed a recent presidential regulation (Perpres) signed by Jokowi on the recruitment of foreign workers, which aims to ease the visa process of foreign workers the country needs most, including those who work in the education sector.

Based on the Perpres, the Research, Technology and Higher Education Ministry is preparing a supporting regulation to ease the bureaucracy for foreign lecturers to live and work in Indonesia, including the possibility of issuing a new type of visa for them.

The new policy is the latest move by Jokowi to implement a sturdy foreign academic culture in Indonesia’s higher education system, after announcing in February that foreign universities would be allowed to operate in Indonesia.

Read also: Government aims to attract foreign lecturers

The country is home to more than 4,500 universities and other higher education institutions like polytechnics, but around 77 percent are still of substandard quality, according to the latest government survey.

The presence of foreign academics as lecturers could be a catalyst in boosting the country’s academic achievements, said Panut Mulyono, the rector of Yogyakarta-based Gadjah Mada University (UGM), ranked Indonesia’s best university, according to a 2017 government survey.

Indonesian universities could also have bigger opportunities to augment their network by, for instance, teaming up with foreign academics to conduct research projects “funded by international network of the foreign academics,” Panut said on Monday.

“The results could then be published in international scientific journals.”

Joni Hermana, rector of the state-run Surabaya Institute of Technology (ITS), said the university had long awaited such a policy.

“This will encourage our lecturers to improve their qualifications,” Joni said last week, adding that ITS currently employed around 30 foreign lecturers on a temporary basis.

Foreign academics who will be prioritized in the policy are those qualified in science, technology, engineering and mathematics, as these majors are considered the most relevant in Indonesia’s goal of “inspiring industrial innovation for the wider purpose of development,” the ministry said last week.

“We actually do have an adequate numbers of lecturers in the prioritized majors,” said the ministry’s human resources qualifications director, Mukhlas Ansori. “But we intend to attract lecturers whose qualifications exceed current benchmarks in our universities.”

However, Panut said that UGM had requested the administration to allocate foreign academics to the university’s social science departments, where more research needed to be conducted.

Several social science department heads agreed with Panut, asserting that the presence of permanent foreign lecturers may boost Indonesian universities’ global rankings.

Only three Indonesian universities were included in the 2017 Quacquarelli Symonds (QS) Best 500 Universities of the World list, namely the University of Indonesia (UI), ranked 277th; the Bandung Institute of Technology (ITB), in 331rd place; and UGM at 401st position.

“If foreign academics joined Indonesian universities, it would boost the quality of our campuses,” said Budi Agustono, head of North Sumatra University’s (USU) cultural studies department in Medan, the province’s capital.

However, some observers raised concerns over the policy, pointing out that employing foreign lecturers was not a guarantee in improving the quality of higher education in Indonesia.

“Employing foreign lecturers, whether temporarily or permanently, will not improve the quality [of education] as long as local lecturers are not treated equally,” said Hamid Hasan, a higher education expert at the Indonesia University of Education (UPI).

He said the underlying problem in Indonesia’s higher education system was that lecturers did not enjoy the same facilities and level of support foreign governments give their teachers.

The new policy also demonstrates how the state has fallen short in harnessing local resources, some private university lecturers have said.

“We still have plenty of quality local lecturers. Why do we have to import foreign lecturers?” asked Arifin Saleh, a lecturer of social science and politics at the privately run Muhammadiyah North Sumatra University (UMSU).

Wahyoe Boediwardhana contributed to this report from Surabaya.
Topics :

foreign-workers, foreign-lecturers, Universitas-Gajah-Mada, Universitas-Indonesia, higher-education, Jokowi, Indonesia