Akhlaq Dalam Ajaran Islam

Dalam ajaran Islam akhlaq menempati posisi yang sangat vital setelah iman, karena di dalam mendakwahkan ajaran Islam akhlaq begitu penting sehingga dalam membuat daya tarik yang luar biasa efektifnya , Nabi SAW dan Shahabat-shahabatnya sering menampilkan akhlaq yang mulia dan mempesona bagi mereka yang belum memahami ajaran Islam.

Pengertian akhlaq yang dikutip oleh M Nipan Abdul Halim dalam bukunya yang berjudul Menghias diri dengan Akhlaq Terpuji dari Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Al- Akhlaaq sbb.:

Terjemahnya adalah sbb.:

“Sementara orang membuat definisi Akhlaq, bahwa yang disebut akhlaq adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya apabila kehendak itu membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlaq.”

Di dalam sebuah riwayat diceritakan seorang pelacur diperkenankan memasuki surga dan menjadi penghuninya hanya karena dia telah berakhlaq baik kepada seekor hewan yang jilatan lidahnya termasuk kategori najis mugholadoh.

Standar Ukuran Akhlaq.

Yang menjadi standar ukuran akhlaq dikatakan baik atau buruk, hina atau mulia, tinggi atau rendah adalah menurut Allah dan RosulNya, yang tercermin dari apa yang yang termaktub dalam Al Qur’an atau Al Hadits.

Ada pun jika ada yang mengatakan adanya standar lain yang bukan mengacu kepada Allah dan RosulNya, mungkin istilahnya lain, seperti misalnya : budi pekerti.

Pengertian insan kamil.

Insan kamil kalau diterjemahkan menjadi istilah manusia sempurna mungkin agak rancu karena yang sempurna hanya Allah Subhaahu Wata’ala saja.

Jadi pengertian  sempurna ini hanyalah sebatas kesempurnaan yang dapat dicapai oleh seorang manusia dengan segala keterbatasan atau kekurangannya.

Manusia berada pada dua level derajat kedudukannya ditinjau dari sudut pandang Akhlaq, yaitu disatu sisi dapat seperti binatang dan bahkan lebih rendah lagi dari itu. Di sisi lain dapat seperti malaikat bahkan lebih tinggi dari itu.

Akhlaq menjalin hubungan baik secara vertical maupun horizontal.

Al Qur’an mengajarkan perlunya menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 112: Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman yang artinya:

“Mereka senantiasa diliputi kehinaan dimana pun berada, kecuali jika mereka menjaga hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama manusia.”(QS. 3:112)

Jadi manusia yang berakhlaq sempurna adalah manusia yang dapat menjalin hubungan yang sebaik-baiknya dengan kholiq (penciptanya) dan juga menjalin hubungan yang sebaik-baiknya dengan makhluq ciptaan kholiqnya.

Dari sudut pandang seseorang yang dikatakan insan kamil adalah justru dia akan senantiasa memandang dirinya penuh dengan kekurangan-kekurangan dan dia berusaha senantiasa memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik, sesuai dengan sabda Nabi SAW yang mafhumnya: Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah  dia orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama saja dengan hari kemarin adalah dia orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah dia orang yang celaka. Berikut ini marilah sejenak kita lihat nasihat Nabi SAW kepada sahabatnya yaitu Abu Dzar ra.

Abu Dzar ra berkata bahwa Rosuulullah SAW bersabda: “ Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah kepada Allah, karena ia adalah induk segala urusan. Selalulah membaca Al Quran dan berdzikir kepada Allah, karena dengannya namamu akan diingat di langit dan menyebabkan terpancar nur bagimu di langit. Perbanyaklah waktu untuk diam, janganlah berbicara kecuali berbicara kebaikan. Yang demikian itu akan melindungi dari gangguan Syaithon dan memudahkan pengamalan agama. Jangan terlalu banyak tertawa karena hati akan mati dan memudarkan nur wajah. Teruslah berjihad karena itu adalah kebanggaan ummatku. Cintailah orang miskin, dan perbanyaklah duduk bersama mereka. Perhatikanlah kaum dhu’afa, dan jangan memandang  orang yang lebih tinggi derajatnya darimu, karena yang demikian itu dapat menyebabkan kamu tidak mensyukuri nikmat Allah SWT. Sambunglah tali kekeluargaan walaupun mereka memutuskannya. Katakanlah yang benar walaupun pahit. Jangan hiraukan hinaan dalam bermuraqabah kepada Allah SWT. Pandanglah aib sendiri, jangan memandang aib orang lain. Janganlah marah atas kesalahan orang lain, sedangkan kita juga melakukannya. Hai Abu Dzar tidak ada kebijaksanaan yang lebih bernilai selain dari tindakan yang sewajarnya, dan menghindari perkara yang dilarang, adalah ketakwaan yang paling baik. Selain akhlak yang mulia tidak ada lagi kemuliaan yang melebihinya. (dikutip dari Kitab Fadhilah Amal Mengenai Hadits-hadits Tentang Dzikir)

Akhlaq Kepada Pencipta

Akhlaq kepada pencipta adalah berupa pengakuan mutlaq dalam bentuk Syahadah (penyaksian/ kesaksian) bahwa tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Dia saja yang menciptakan kita semua ini.

Semakin bersih seseorang di dalam bersyahadah (dalam arti tidak mengambil tuhan-tuhan lain sebagai sesembahan semakin murni tauhid seseorang).

Tauhid disini nampaknya seolah-olah tauhid uluhiyah saja, karena kalimat Laa ilaaha illallaah, disini ada kalimat (atau kata dalam bahasa Indonesia) ilah.

Tetapi dalam berakhlaq yang sempurna kepada pencipta juga berarti penyempurnaan juga tauhid rububiyah, dalam arti bahwa seorang yang berakhlaq (baik) kepada Sang Kholiq, tidaklah bergampang-gampang menganggap bahwa yang memberi rizki adalah segala sesuatu yang nampak (yaitu makhluq).

Dan sebagai implikasi dari tauhid rububiyah bahwa akhlaq yang sempurna kepada Kholiq tidak menggampang-gampangkan pula mengharap apalagi meminta bantuan makhluq dalam arti untuk pemenuhan kebutuhan jasmani atau keselamatan jasmaniah duniawiyahnya.

Sebagai contoh Nabi Ibrahim alahi salam tidak mudah menerima tawaran Malaikat Jibril alaihi salam, ketika dirinya terancam oleh Raja Zolim Namrud yaitu akan dilempar ke dalam kobaran api dunia yang dahsyat.

Hal ini karena sikap Nabi Ibrohim didasarkan pula pada keyakinannya yang kuat kepada Allah secara tauhid rububiyah yaitu tiada Yang dapat menyelamatkan secara  haqiqiyah melainkan ALLAH.

Begitu juga lisan Nabi Ibrohim dalam bentuk doa: “Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’mannashiir” bukan hanya di bibir atau di lisannya saja tetapi sudah mendarah daging dalam sikap dan perbuatannya.

Karena itu lisannya mengucap do’a yang mafhumnya : “Cukup hanya Allah lah yang mencukupi dan dan hanya Allah yang menolong.” Dia buktikan juga dengan sikap penolakkan terhadap tawaran Malaikat Jibril alaihi salam, dan ini bukan karena sombong apalagi takabur tetapi hanya karena kekuatan tauhid rububiyahnya yang hanya absolut yakin kepada Allah saja pada haqiqatnya Yang dapat mencukupi dan menyelamatkan.

Dan juga termasuk dalam akhlaq yang baik kepada pencipta juga berbuat baik kepada makhluqnya.\

Akhlaq kepada makhluq.

Allah juga mengajarkan berakhlaq baik kepada makhluq, kesempurnaan cinta yang benar kepada Pencipta selain bertauhid yang betul, beribadah yang betul dan baik tetapi juga bermuamalah kepada sesama makhluq Allah dengan baik, bermuasyarah dengan baik dan berakhlaq kepada semua makhluq Allah termasuk haiwan dan benda-benda mati sekalipun. Pembahasan Akhlaq kepada makhluq sebetulnya juga begitu luas namun dalam penulisan ini dibuat sedemikian ringkas.

Dalam hal ini Nabi SAW melarang memasuki kota Mekkah sewaktu Futhu Mekkah untuk memetik tumbuh-tumbuhan atau juga tindakan merusak lainnya.

Pentingnya peranan akhlaq sebagai penguasa dan bahayanya tidak ber akhlaq.

Yang dikhawatirkan jika tidak berakhlaq dalam arti yang dituntut menurut ajaran Islam, walaupun kita telah meraih kekuasaan, yaitu sebagai presiden, ketua parlemen, gubernur atau menteri,  atau apa saja maka hal itu (kekuasaan / politik) menjadi sia-sia, bahkan hanya akan terjadi “pembusukkan” dalam arti tidak berdampak positif bagi penyebaran ajaran Islam bahkan menjadi bumerang karena kita bukan memberikan informasi yang benar tentang ajaran Islam kepada mereka yang belum mengetahuinya tetapi malah memberikan disinformasi ajaran Islam dalam arti secara demonstratif mempertotonkan perilaku muslim yang korup, zolim, congkak dan takabur.

Begitu juga jika kita telah berhasil meraih gelar, atau meraih suatu kemampuan teknologi yang supercanggih, atau kita telah menguasai ekonomi atau kekayaan yang super melimpah, hal ini hanya menambah potensi kemudaratan yang tinggi jika tidak dibarengi dengan akhlaq yang baik.

Jadi tanpa kesempurnaan akhlaq semuanya yang kita miliki ( kekuasaan, teknologi, ekonomi bahkan umur dan status kemanusiaan sebagai makhluq tertinggi di jagad raya) menjadi sia-sia.

Pujian Allah kepada Nabi SAW.

Nabi dikenal sebagai Nabi yang Cerdas (fathonah), tampan, gagah, tetapi Al Quran yaitu Allah dalam Firman-firmanNya tidak menampakkan pujian kepada Nabi SAW dalam hal cerdas atau gagah atau tampannya Nabi, tetapi yang Allah tampakkan pujianNya kepada Nabi dalam hal akhlaqnya.

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS:68:4)

Dari Anas ra., ia berkata: “Rosuulullah SAW. Adalah orang yang paling baik akhlaqnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketinggian akhlaq Nabi SAW yang diikuti oleh akhlaq shahabat Nabi SAW, kemudian dibandingkan dengan akhlaq ummat saat ini sangat memprihatinkan, jika jaman dahulu (jaman Nabi SAW) begitu mudahnya orang tertarik dan akhirnya mudah memahami dan akhirnya memeluk Islam, tetapi sayang di jaman ini figur utama yang telah sukses dalam memperagakan ajaran Islam telah tiada.

Kini tinggal yang ada ummat yang terkebelakang dalam hal keimanan, akhlaq dan ilmu agama. Oleh karena itu sulit untuk saat ini diharapkan ketertarikan orang di luar Islam terhadap Islam lewat pengamatan atau interaksi dengan perilaku ummat sehari-hari.

Hal mendesak yang tidak kalah pentingnya untuk saat ini adalah pembenahan akhlaq ke dalam. Yaitu bagaimana perilaku yang santun antar sesama muslim yang beda mazhab, aliran, paham atau organisasi keagamaan, harokah, partai dan lain sebagainya.