ALIGNMENT: New BPR=Bank Perekonomian Rakyat*

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang fokus pada usaha kecil dapat diibaratkan berperan sebagai penjaga rumah ketika Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 tiba. Peran sebagai penjaga rumah perekonomian nasional ini memerlukan koordinasi dan kolaborasi dengan pemilik rumah, yaitu bank umum dan bank pembangunan daerah. Untuk itu koordinasi dan kolaborasi BPR dan bank umum melalui linkage program kiranya tidak lagi memadai. Lalu apa yang bisa diusahakan?

Pemahaman dunia nyata (worldviews) keuangan perbankan dari semua aktor yang terlibat (bankir, pemilik, nasabah BPR dan regulator) perlu holistik (menyeluruh) dan holonik (keutuhan sistemik) bukan sekedar formal. Secara holistik terasa bahwa keberagaman kepemilikan (pemda dan swasta) dan situasi kompleks (fuzzy problem) kepemilikan di tingkat kabupaten (pribadi atau lembaga swadaya masyarakat) perlu lebih dipertimbangkan. Sudah tentu karakter pemiliknya memengaruhi pula sepak terjang bankir BPR. Hal ini jelas memengaruhi kebijakan pengembangan sumber daya manusia (human capital atau modal insani) yang terkait dengan peran profesionalisme BPR dan profesionalitas bankirnya: efisiensi, efektifitas, dan efikasi.

Pemda yang secara periodik berganti pemimpin (bupati) menjadi masalah bagi bankir BPR. Misalnya, masalah peningkatan permodalan salah satunya. Meskipun di sisi lain, ada juga bupati yang berkomitmen tinggi dan sungguh-sungguh berpihak pada usaha kecil menengah (UKM) dengan menambah modal dan memberikan bunga pinjaman yang lebih rendah dari bank umum. BPR yang bermula dari lembaga swadaya masyarakat dengan idealismenya patut ditopang dengan kebijakan permodalan berbeda oleh regulator. Perorangan tentu memerlukan kebijakan lain pula karena kebijakan permodalan yang lebih berorientasi profit.

Kondisi permodalan tidak menjadi permasalahan tunggal yang berdiri sendiri. Situasi masyarakat daerah yang unik dan sangat spesifik perlu diserap aspirasinya. Masuknya kepemilikan asing pada bank umum bisa mengancam peran BPR sebagai penjaga rumah perekonomian nasional dan bisa memburuk jika suatu saat terjadi gejolak. Sedangkan regulator mempunyai kecenderungan membuat perlakuan sama kepada semua BPR.

Menghadapi situasi problematik yang dinamis dan cenderung kacau (fuzzy problem) dunia usaha 2014, dengan aroma situasi politik dan ekonomi pemilu legislatif dan presiden, BPR dan perbankan umum dituntut berbenah. Regulator dan pengawasan perbankan mempunyai tugas penting, mendesak, dan strategis pada 2014. Tugas tersebut di antaranya menjaga agar bank asing tak berombongan masuk merebut pasar Indonesia. Fenomena tersebut, telah banyak terjadi di banyak perusahaan perbankan umum. Harapan agar BPR memperkuat ekonomi dan pasar domestik untuk dapat bersaing pada pasar terbuka tersebut, sudah semestinya perlu kerja keras meningkatkan profesionalitas. Kolaborasi bankir dan politisi perlu dibangun untuk merekonstruksi peraturan.

Para bankir BPR selama ini merasa dianaktirikan oleh sejumlah kebijakan perbankan di Indonesia. BPR menjadi ujung tombak pengembangan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tetapi pada saat yang sama, keran lebar juga dibuka untuk perbankan umum mengucurkan alokasi khusus sebesar 20% untuk UMKM. BPR diminta menggerakkan UMKM, sementera bank umum diharuskan 20% persen untuk alokasi UMKM. Kebijakan ini membuat BPR berhadap-hadapan langsung dengan ekspansi bank umum.

Untungnya sinergi BPR dengan perbankan umum selama ini sudah berjalan. Sinergi ini bisa membuat BPR maupun bank umum sama-sama bertumbuh menjadi lebih baik. Dengan sinergi, kedua usaha perbankan ini bisa linked. Sinergi ini menjadi tidak mudah ketika upaya koordinasi dan kolaborasi hanya didasari kepentingan kepatuhan, teknis keuangan, dan operasional semata. Harus ada alignment yang merupakan komponen soft business. Penyejajaran (alignment) antara bank umum, BPR, dan regulator hendaknya didasari oleh purposeful activity (tujuan mendasar) yang sama sehingga menghasilkan perubahan yang secara sistemik diinginkan (systemically desirable) dan layak secara budaya (culturally feasible) organisasi dan situasi setempat.

Agar BPR bisa berperan dengan baik sebagai penjaga rumah, kiranya perlakuan BPR sebagai BANK PEREKONOMIAN RAKYAT (BPR new paradigm) perlu dikukuhkan dalam perundang-undangan. Untuk tumbuh berkelanjutan diperlukan rekonstruksi sejumlah aturan yang memberikan dukungan lebih baik kepada BPR. Dukungan Pemerintah seyogianya tidak dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan bantuan-bantuan yang berlaku umum. Namun membangun komunikasi yang lebih baik pada tingkat kabupaten atau provinsi agar bisa memberikan pinjaman dengan bunga layak sesuai karakteristik masing-masing.

Hingga kini tercatat ada ribuan BPR yang memerlukan dukungan konkret. Memang benar, jumlah ribuan BPR ini masih tak seberapa jika dibanding perbankan umum jika dilihat dari sisi aset. Namun yang pasti, dari sisi pengembangan modal insani (human capital development) sinergi dan penyejajaran membangun komunikasi yang menghasilkan tindakan konkret. Action speak more than words!

*Tulisan ini pernah dimuat di Economic Review, Edisi 03 tahun 01 Januari 2014