antara norma agama, norma etik dan norma hukum

Sebuah buku menarik yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH berjudul “Peradilan etik dan Etika Kostitusi (Perspektif baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics)” yang merupakan terbitan dari Sinar Grafika, edisi revisi, cetakan ketiga, Januari 2016 akan coba diambil intisarinya khusus pada bagian prolog untuk menjadi bahan renungan disaat orang terus mempertanyakan kapan hukum menjadi panglima?.
Jika diperhatikan, tidak semua agama memiliki sistem ajaran tentang hukum, tetapi hampir semua agama mengajarkan perikehidupan
beretika, berperilaku yang baik dan ideal (yang berbeda hanya formulasi dan bungkusan bahasanya sedangkan esensi kemuliaan yang terkandung di dalamnya serupa). Oleh karena itu, mestinya sistem nilai etika dapat dengan mudah dijadikan sarana untuk mempersatukan umat manusia dalam satu kesatuan sistem nilai luhur yang dapat membangun integritas kehidupan bersama.
Dalam kehidupan bermasyarakat, dikenal tiga sistem norma yaitu norma agama (religious norms), norma atika (ethical norms) dan norma hukum (legal norms). Pada mulanya, ketiga sistem norma ini saling bersinergi namun perkembangan berikutnya terjadi perbenturan satu dengan yang lainnya bahkan Hans Kelsen di dalam bukunya Stuffenbau theorie des recht menegaskan bahwa norma hukum harus dibersihkan atau dimurnikan dari aneka pengaruh sosial politik, ekonomi, dan apalagi pengaruh etika dan agama.
Namun, kenyataan saat ini yang berkembang adalah terjadinya pergeseran kebutuhan dimana antara agama, etika dan hukum tidak bisa dipisahkan secara tegas dan kaku, tetapi juga tetap harus dibedakan dan tidak dipahami tumpang tindih atau campur aduk. Orang akhirnya melihat pentingnya membangun pola hubungan baru antara ketiga sistem norma tersebut. Prof. Jimly mengajak untuk membangun pola baru tersebut dengan salah satu pendekatan “luar dalam” bukan “atas bawah”. Ilustrasinya adalah jika diibaratkan sebagai nasi bungkus maka hukum adalah bungkusnya, sedangkan nasi beserta lauk pauk yang ada didalamnya adalah etika, tetapi segala zat protein, vitamin dan sebagainya yang terkandung di dalam makanan yang terbungkus tersebut adalah intinya yaitu agama (dengan demikian jika bungkusnya tidak indah, jika tampilan makanan/lauk pauknya tidak menarik, dan apalagi jika zat yang dikandung makanan tersebut hilang atau bahkan menjadi beracun-siapa yang salah?).
Selain itu, sistem norma etika juga dapat difungsikan sebagai filter dan sekaligus penyanggah serta penopang bagi bekerja efektifnya sistem norma hukum. Setiap kali terjadi perilaku menyimpang (deviant behavior), sebelum memasuki ranah hukum, sudah tersedia sistem etika yang melakukan koreksi. Dengan kata lain, tidak semua perbuatan menyimpang dari norma ideal harus langsung ditangani melalui mekanisme hukum yang dapat berakibat terlalu besarnya beban sistem hukum untuk mengatasi semua jenis penyimpangan perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Seperti halnya, doktrin di dalam ilmu hukum bahwa hukum pidana harus dilihat sebagai ultimum re medium (sebagai upaya terakhir, sesudah upaya lain habis atau tidak lagi mempan), secara umum memang mestinya hukum dilihat sebagai upaya terakhir. Sebelum hukum, etika harus diberi kesempatam untuk lebih dulu difungsikan. Apalagi sistem sanksi yang diancamkan oleh hukum tidak mengenal upaya pembinaan yang bersifat mendidik seperti halnya sistem sanksi etika.
Semangat yang demikian inilah antara lain yang melandasi dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada bulan Desember 1996 tentang Action Against corruption dengan lampiran naskah “International Code of Conduct for Public Officials”. Dalam resolusi ini, PBB merekomendasikan agar semua Negara anggota PBB membangun infrastruktur etika dilingkungan jabatan-jabatan public (ethics infrastructure for public offices).
Hal ini yang mendorong makin berkembangnya praktek pembangunan infrastuktur kode etik disertai pembangunan institusi-institusi penegak kode etik secara kongkret dimana-mana diseluruh dunia dan disemua bidang dan sektor kehidupan profesional juga keorganisasian. Perkembangan inilah yang oleh Prof. Jimly disebut sebagai functional ethics yaitu dimana sistem etika dipositivisasikan atau dikodifikasikan karena norma etika berfungsi juga dalam rangka menegakkan kemuliaan nilai-nilai keadilan.
Itulah sebabnya hukum dan etika harus sama-sama dikembangkan secara pararel, simultan, komplementer dan terpadu, serta dilengkapi dengan sistem infrastuktur kelembagaan penegakkannya.