antara WAKAI dengan ASH SHULHU

Tulisan berikut merupakan inspirasi yang berasal dari buku yang sangat menarik karangan Prof. Yoshiro Kusano, seorang mantan hakim di Pengadilan Tinggi Hirosima, Jepang dan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gakushuin, Jepang.

Tulisan beliau dalam buku “wakai, penyelesaian sengketa ala jepang”, sangat menarik ketika melihat perkembangan jumlah perkara perdata atau bisnis pada umumnya yang terus meningkat seiring dengan berkembangnya peradaban dan pertumbuhan dunia bisnis termasuk bisnis syariah.

Perkembangan jumlah perkara melahirkan banyak pandangan tentang pentingnya dilakukan berbagai terobosan baik dalam lingkup penyelesaian sengketa secara litigasi maupun non litigasi yaitu dalam rangka dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, transparan dan berbiaya murah.

Wakai (damai) dalam Chotei (mediasi) merupakan salah satu bentuk terobosan dalam sistem hukum jepang yaitu menyelesaikan sengketa secara litigasi di pengadilan namun dengan tujuan untuk perdamaian atau win win solution (padahal biasanya mediasi dilakukan diluar pengadilan), dengan menetapkan bahwa isi wakai bukan berdasarkan kehendak pengadilan tetapi berdasarkan persetujuan para pihak yang bersengketa. Terobosan ini diambil mengingat terjadinya penumpukan perkara karena hampir semua sengketa yang terjadi dimasyarakat berujung di pengadilan.

Wakai dalam chotei secara umum memang hampir sama dengan mediasi namun dilakukan di pengadilan sampai putusan terjadi. Di dalam hukum positif kita, mediasi dipengadilan (court connected mediation) sudah diakomodasi bahkan menjadi suatu kewajiban (berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008) sebelum berkas perkara diperiksa namun pada kenyataannya mediasi didalam pengadilan tidak efektif.

Kecenderungan yang terjadi justru penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi yang banyak terjadi adalah diluar pengadilan, dan mengenai hal ini telah diakomodasi melalui UU No 30 Tahun 1999, namun putusan mediasi ini tidak sebagaimana putusan arbitrase yang memiliki kewajiban untuk dilakukan pendaftaran di Pengadilan sehingga putusan mediasi yang dilakukan diluar pengadilan seringkali terkendala pula dalam hal eksekusinya.

Berdasarkan hal tersebut maka wakai yang merupakan pola penyelesaian sengketa perdata di dalam pengadilan jepang dapat menjadi rujukan untuk pelaksanaan mediasi pada pengadilan-pengadilan dinegara kita agar sengketa dapat selesai dengan cepat dan tidak terjadi penumpukan perkara (khususnya pada Tingkat Banding dan Kasasi).

Proses penyelesaian sengketa dipengadilan jepang dengan jalan mediasi dirasakan banyak manfaatnya karena penyelesaian sengketa dapat berjalan cepat, putusan merupakan putusan final, putusan lebih sesuai dengan harapan para pihak karena putusan diambil berdasarkan usulan, kesanggupan dan kesepakatan para pihak sehingga ruh penyelesaian sengketa yang berbiaya murah, cepat dan tetap menjunjung rasa keadilan dapat terpenuhi.

Kendala dalam wakai adalah ketrampilan hakim. Didalam wakai, hakim harus berusaha keras untuk menjadikan kedua belah pihak yang bersengketa merasa bahwa mencapai kompromi atas dasar akal sehat merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan perselisihan. Sebagaimana mediasi pada umumnya, para mediator merupakan kunci keberhasilan mediasi dan untuk itu hakim dalam hal ini penting memahami perannya yaitu bukan sebagai hakim tetapi sebagai mediator yang harus menggali, mengarahkan dan merumuskan kesepakatan sehingga pada akhirnya putusan dapat dijalankan dalam bentuk pelaksanaan eksekusi yang mudah.

Di dalam hukum Islam, model wakai sebenarnya sudah diterapkan sejak masa kenabian yaitu Nabi Muhammad SAW. Rasulullah banyak memberikan teladan dalam hal penyelsaian sengketa secara damai dengan jalan mediasi. Islam mengajarkan mediasi atau dikenal dengan nama Ash Shulhu yaitu menyelesaikan sengketa dengan cara mengangkat seorang mediator yang diangkat/ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa dan putusan merupakan rumusan dari kesepakatan para pihak. Ash Shulhu ini sampai saat ini diterapkan di Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang hukum keluarga, dan nampaknya perlu dikaji dan dipertimbangkan untuk diterapkan dalam penyelesaian sengketa-sengketa dalam bidang bisnis syariah karena ruh dari penyelesaian sengketa dalam bisnis lebih dapat dicapai dengan jalan ash shulhu yaitu adanya perdamaian dan semua pihak merasa menang karena jika manusia berbicara dengan tulus satu sama lain dengan semangat ingin menyelesaikan sengketa secara damai serta didasari oleh adanya saling pengertian maka persengketaan dapat diatasi dengan baik dan damai. Wallahu a’lam bishowab