Asuransi Kita: PERLU RICH PICTURE!*

ojkPeningkatan proses dan hasil kerja pada Indonesia Insurance Award (IIA) 2014 bidang human capital (HC) membanggakan. Demikian kesimpulan umum sebagai juri pada kegiatan yang sama dua tahun berturut. Terlihat hampir semua perusahaan asuransi melaksanakan perbaikan sistemik yang diinginkan (systemically desirable) dan sekaligus layak dan bisa dilaksanakan (culturally feasible). Meskipun kendala eksternal dan internal terjadi pada semua peserta IIA 2014, namun mereka mampu mengatasinya sehingga menjadi kampiun perubahan (change champion) pada masing-masing bidangnya. Asurani menggunakan ilmu aktuaria untuk menghitung risiko yang diperkirakan. Ilmu aktuaria menggunakan matematika, terutama statistika dan probabilitas. Namun demikian, para pemangku kepentingan tetap harus mempertimbangkan juga faktor manusia sebagai modal, karena perilaku dan risiko lainnya tidak cukup dengan kalkulasi kuantitatif. Bersikap inklusif dalam hal ini, dapat melindungi risiko dalam memperkirakan klaim di kemudian hari dengan ketepatan yang dapat diandalkan. Yang menggembirakan adalah pertanyaan pokok strategi HC umumnya sudah dipahami dan dilaksanakan dengan menempatkan manusia secara strategik (strategic positioner). Hal makin urgen terkait erat dengan pengawasan industri keuangan dan perbankan yang berpindah dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). sumber: OJK Dengan demikian pengawasan tidak lagi bersifat tunggal dari Bapepam LK seperti dulu. Sekarang terdapat korelasi erat antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dalam satu grup usaha. Umumnya bank yang menjadi induknya. Misalnya Mandiri memiliki PT AXA Mandiri Financial Service, PT Mandiri AXA General Insurance (MAGI), PT Mandiri Tunas Finance (MTF), dan 3 bank, 1 sekuritas, dan 1 perusahaan remittance. Kondisi ini tentu berpengaruh pada bagaimana arsitektur HC masing-masing grup. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah gambar besar Rich Picture yang menampung pandangan atau worldviews dari para pihak terkait. Checkland dan Poulter dalam Hardjosoekarto (2012) menyarankan tiga elemen sosial yang menjadi fokus analisis. Ketiga hal tersebut yaitu elemen peran, norma, dan nilai-nilai.:

  1. Peran: posisi sosial yang menandai perbedaan di antara anggota-anggota kelompok atau anggota-anggota organisasi.
  2. Norma: perilaku yang diharapkan yang terkait dnegan peran.
  3. Nilai-nilai: standar atau kriteria ke dalam mana perilaku yang sesuai dengan peran (behavior-in-role) dinilai.

Pada tahap selanjutnya adalah proses penggambaran pemikiran dan aktor yang berperan dalam pengembangan perusahaan mengggunakan rich picture. Penyajian rich picture dalam bentuk gambar mirip dengan kartun yang menunjukkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) berikut peran dan perhatian pokok mereka. Penyusunan rich picture dimaksudkan untuk mengenali sejak awal situasi dunia nyata terkait dengan organisasi atau institusi perasuransian. Rumusan akar permasalahan (root definition) sangat terbantu dengan rich picture. Keunggulan metode ini seperti dijelaskan Horan (2000), antara lain: a) bentuknya grafis.; b) dapat dibuat baik dengan sederhana maupun dengan sangat lengkap, dan bisa menyajikan informasi dari yang ringan atau sedikit sampai informasi keseluruhan system; c) mudah diperbaiki. d) dapat menyajikan berbagai informasi, seperti emosi, konflik, politik, dan lain-lain; e) menyajikan informasi sebagai dasar untuk berkomunikasi dan negosiasi. Johansson (2007) menambahkan, teknik visual sebagai upaya inklusif dalam penggambaran masalah kompleksitas secara visual digunakan sesuai dengan situasi lapangan berkembang sesuai dengan ketersediaan dan kebiasaan organisasi masing-masing. Definisi asuransi yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga perlu dikomunikasikan lebih baik. Bayangan yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut perlu disampaikan dengan cara-cara baru. Cara baru berkomunikasi tersebut apabila dikerjakan dengan proses yang penuh kesadaran bisnis (business awareness) dan logika dunia nyata (mindfulness) kiranya perlu dicoba. Hasilnya tergantung pada kesediaan dan kesungguhan berinteraksi para pemangku kepentingan asuransi. Kiranya sebagai organisasi, perusahaan asuransi sudah terbuka untuk berkomunikasi lebih baik. Masalahnya bangaimana dengan OJK? Lembaga baru ini sedang menyusun kultur baru, kompetensi, system, dan komunikasi yang baru pula. Mari kita berbenah membangun rumah baru kita dengan turut menyusun arsitektur HC secara nasional. Bukankah perbankan sudah memiliki Arsitektur Perbankan Indonesia? Mengapa tidak kita buat Arsitektur Asuransi Indonesia dan Arsitektur HC Indonesia? Mari bekerja sama menjadi organisasi pembelajaran (learning organization) dan kampiun perubahan (change champion) . Siapa mau ikut?

* Sudah dimuat di Economic Review, Juli-Agustus 2014, 34-35