Benang Merah Untuk Mu: Bapak Adi Susilo Yahya — Oleh Edy Sukarno

Benang Merah Untuk Mu: Bapak Adi Susilo Yahya

Oleh Edy Sukarno

Asamu menimba ilmu…
Di negeri tetangga Malaysia
Itu mulia sobat sepanjang sarat tekad

Sejenak pilumu kan mencuat…
untung tegarmu menopang
Siapapun sendu tanpamu
Ingat “Dosha”mu yang doyan Download share…
Lupa sudah candaku yang kebablasan…
Oleh humanismu yang patut kutiru

Yach, apa mau dikata…
Awal dan akhiran itu sebuah kelindan
Hanya drama atau sebuah sandiwara hidup ini…
Yang menyadarkan kita untuk meniti baik nan benar
Anjangsanamu dekap S3…semoga sehat dan sukses bro…




Mahir Korespondensi — Oleh Edy Sukarno

Mahir Korespondensi

Oleh Edy Sukarno

Salah satu rekomendasi asesor DKP yakni hendaknya mahasiswa dibekali kemahiran dalam berkorespondensi. Idealnya, kata beliau mahasiswa mampu berkorespondensi dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Tapi jika itu masih mustahil, setidaknya korespondensi dalam Bahasa Indonesia. Anak didik belum tahu betul penggunaan tanda baca, seperti titik, koma, titik koma dsb timpal beliau. Yaa, sebaiknya ini kita respon mulai dari kita sendiri selaku dosen, kita harus sadar bahwa kendati Bahasa Indonesia itu bahasa ibu, sebenarnya gramatika (tatabahasa)nya terlanjur jauh kita abaikan sehingga saat kita memberikan tugas paper kepada mahasiswa, kita tak mampu menelaah mana yang baik dan mana yang buruk gramatika sang mahasiswa….




Via Vita Via Verita — Oleh Edy Sukarno

Via Vita Via Verita

Oleh Edy Sukarno

Seiring perkembangan global, kita semua mengharapkan akan mampu mengikuti  kemajuan jaman.  Tak terkecuali dalam proses pembelajaran, senantiasa ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak didik yang dimulai dari hal-hal kecil.  Kita tahu, bahwa akuntansi dan manajemen sangat doyan mengakomodir kosakata asing. Oleh karena itu, saya terpanggil untuk membiasakan membagi kosakata kepada mahasiswa.  Asumsi kritis saya, jika dalam setiap tatap muka saya menawarkan 2 saja kosakata baru, maka dalam satu semester setidaknya mereka tambah 28 kosakata.

Di samping itu dalam prosesnya secara berkala saya lakukan quiz tentang kosakata.  Sampai sekarang saya merasa belum berhasil dengan baik untuk mentransfer peningkatan kosakata asing bagi mahasiswa.  Hemat saya menambah pemahaman kosakata yang populer di media masa penting untuk meningkatkan kesan kompeten bagi yang bersangkutan.  Kosakata yang saya tawarkan yang berhubungan dengan dunia keuangan/bank/akuntansi di mana kosakata tersebut seringkali tidak ada yang mengajarkan.  Padahal dosen seharusnya mampu membekali yang terbaik bagi anak didiknya.  Berikut contoh kosakata-kosakata yang kerapkali  saya jadikan quiz di akhir kuliah:

  1. Side streaming – penyimpangan penggunaan dana. Contoh, nasabah pinjam di bank bilangnya untuk modal kerja ternyata pinjaman tsb digunakan untuk konsumsi pribadi.
  2. Due diligence – segala sesuatunya sejalan dengan regulasi yang ada.
  3. Fit and Proper test – uji kelayakan dan kepatutan, meliputi uji kompetensi, integritas dan reputasi keuangan
  4. Obstruction of justice – menghancurkan dokumen-dokumen legal
  5. State owned enterprise – Badan usaha milik negara (BUMN).

Kosakata tsb sering muncul di media masa, tapi karena asumsi saya mahasiswa sedikit yg peduli; maka tetap berguna menyampaikannya secara benar & kontinyu.  Itu simpel tapi positif & selaras dg judul  di atas – Via Vita Via Verita yang artinya jalan hidup jalan kebenaran….(langkah dosen titian yang betul donk !    itu plesetan pengejawantahanku. Norak kah? Kuharap nggak yaaa…).




Novelti – NoveltiaN — Oleh Edy Sukarno

Novelti – NoveltiaN

Oleh Edy Sukarno

Dewasa ini penelitian digalakkan di kalangan perguruan tinggi dan sangat ditekankan bahwa  setiap penelitian diharapkan menghasilkan hal-hal yang baru.  Dan penelitian tersebut tentu mengacu pada pakem pengetahuan tertentu yang dianggap sudah lazim dikenal, misal akuntansi dan manajemen yang sebetulnya keberadaannya berada pada rumpun ilmu sosial.  Eksistensi  keduanya sebagai ilmu pengetahuan, acapkali dipandang sebagai akumulasi pengetahuan yang sistematis.  Betulkah itu ?  Saya belum tahu jawabannya, yang jelas sekarang ini keduanya dipraktikkan dalam suatu lingkungan organisasi yang hidup dengan segala dinamikanya.

Esensi ilmu pengetahuan yang utama, yakni merupakan suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan ranah empiris, yaitu alam nyata yang dapat dikenal orang via pengalamannya.  Dengan begitu, ilmu pengetahuan tidak ditujukan untuk menggapai kebenaran mutlak.  Nah, apakah dengan dalih paradigma semacam itu pada akhirnya riset akuntansi dan manajemen bebas berkreasi untuk menemukan kebaruannya alias novelty ?  Ingatlah, akuntansi dan manajemen orientasinya pasar yang sarat hiruk pikuk oleh para pelaku bisnis yang multi etnis.  Lho apa hubungannya dengan riset ?

Riset akuntansi dan manajemen yang baik tentu yang hasilnya membawa kemaslahatan bagi umat manusia.  Oleh karena itu jika hasil riset-riset yang dilakukan sebatas berguna hanya  bagi  “peneliti berikutnya”, bukan industri atau instansi, maka bisa dikatakan noveltinya hanya novelti-noveltian.  Kalau kita mau maju, kata orang pinter harus berani berinovasi dan berkreasi.  Jadi marilah melakukan terobosan yang radikal, untuk itu penelitian yang dilakukan janganlah kental dengan nuasa replikasi.  Pendekatan kuantitatif dengan statistik yang sangat marak di akuntansi dan manajemen sekarang ini, kesannya hanya  “pinjam sedikit ekonometri” supaya lebih terlihat analistis.  Betulkah itu ? Ah, mungkin saya keliru…

Tapi saya jadi ingat apa yang dikatakan Alex Nobel, “risiko itu penting.  Tidak ada pertumbuhan inspirasi kalau kita hanya tinggal di dalam sesuatu yang aman dan nyaman.  Begitu Anda temukan apa yang paling terampil Anda lakukan, mengapa tidak mencoba sesuatu yang lain?”  Lahirnya Balanced Scorecard di tahun 1990an oleh Kaplan (akuntan) dan Norton (pebisnis) disinyalir tidak bermula dari  menggunakan perhitungan statistik yang pelik nan rumit.  Namun dari asumsi kritis yang masif lantas dimanifestasikan ke dalam rumusan yang sistematis dan operasional.

Akhirnya, ini semua saya cuma bercuap lho…mumpung beropini masih nggak kena pajak.  Saya teringat juga kata Zig Ziglar (motivator handal) yang berujar: “kita semua memiliki dua pemberian yang seharusnya kita gunakan sesering mungkin, yaitu daya khayal dan rasa humor.  Daya khayal memberikan keseimbangan dengan apa yang sebenarnya bukan diri kita, sedangkan rasa humor memberikan penghiburan terhadap realita diri kita yang sejati”.

Salam hangat senantiasa..




Kontradiktif Pasar Wisata oleh Edy Sukarno

Indonesia dikenal indah alamnya dengan sangat banyak obyek-obyek wisata di berbagai pelosok tanah air.  Bali sangat terkenal dan menjadi destinasi utama para wisatawan manca negara.  Namun menyimak berita di harian Bisnis Indonesia 12 Oktober 2016, saya tercengang nian.  Ditulis di situ bahwa Pemerintah Jepang bakal meningkatkan turis asal Indonesia sebanyak 25% pada tahun ini.  Direktur Eksekutif Japan National Tourism Organization Hideki Tomioka menyatakan tahun lalu realisasi turis dari Indonesia ke Jepang sebanyak 200.000 kunjungan.

Usaha promosi yang dilakukan antara lain melalui fam trips serta menggandeng sejumlah public figure dari Indonesia untuk membuat video promosi di Negeri Sakura.  Tahun ini penyanyi Afgan akan membuat video clip lagunya di Jepang timpal Hideki.  Jepang yang sudah menyandang negara termaju di Asia berkat produk-produk otomotif dan infrastruktur, terbukti sangat ambisi untuk mampu menarik wisatawan-wisatwan dari Indonesia.  Berdasarkan data TCVB, tiga negara tujuan wisatawan dari Indonesia adalah Jepang, Singapura dan Australia.

Bagaimana saya nggak tercengang.., di benak yang terlintas justru kebalikannya.  Wisatawan dari Jepang menjadi salah satu terget Pemerintah Indonesia untuk menambah sumber devisa negara.  Dengan fakta seperti di atas, menunjukkan Rakyat Indonesia yang notabene belum sepenuhnya makmur sejahtera ternyata sudah dijadikan target market Pemerintah Jepang untuk destinasi wisata mereka.  Di samping itu, juga mencerminkan jamaknya status sosial rakyat bukanlah kendala berarti bagi Jepang untuk menetrasi pasar wisata.

Kiranya kita perlu mawas diri/introspeksi bagaimana semestinya bersikap dalam mengelola kekayaan bumi pertiwi ini.  Candi Borobudur, Danau Toba, Tanah Toraja, Laut Indonesia Timur dan masih banyak lagi pemandangan alam yang begitu indah seharusnya ditangani dengan baik sehingga mampu menjadi primadona wisata yang handal.  Rakyat jelata perlu literasi maksimal mengenai dunia wisata yang mampu menangkap keindahan dan kekayaan sejati alam Indonesia, sehingga menciptakan paradigma puaskan dan tuntaskan dulu melancong di negeri sendiri baru negeri lain.




Enzo Ferrari oleh Edy Sukarno

ENZO FERRARI

Sabtu 1 Oktober 2016 saya menyempatkan diri untuk olah raga jalan pagi di bilangan AEON Serpong.  Tanpa sengaja saat akan pulang, di salah satu area parkir sebuah mal atau komplek usaha saya lihat begitu banyak mobil-mobil sport buatan Itali yang akan berparade.  Bagi saya sangat nyaman usai jalan pagi, menghirup udara segar, nonton mobil-mobil bagus, berjumpa banyak orang  dan berkenalan.  Salah satu teman baru yang langsung terasa akrab sebut saja namanya Yakob.  Dia sudah cukup lama bekerja di show room Ferrari sehingga bisa bercerita bagaimana kiat marketing di Ferrari.  Kendati belum tentu sepenuhnya valid apa yang dia katakan, namun sepanjang celotehannya hemat saya baik, maka cermat mencernanya itu biasa saja atau bisa jadi bermanfaat.

Salah satu celotehannya yang saya garis bawahi yakni untuk setiap calon pembeli Enzo Ferrari (salah satu tipe Ferrari yang konon di Indonesia pemiliknya kurang dari 5 orang dan harganya kurang lebih Rp14 milyar) akan ditanya dengan berbagai macam pertanyaan yang harus dijawab lugas.  Pertanyaan tersebut antara lain (alias baru sebagian kecil):

Mengapa beli Enzo Ferrari?

Apakah sebelumnya sudah pernah pakai Ferrari?

Darimana tahu Ferrari?

Warna Ferrari apa yang disukai?

Kapan akan dikendarai Ferrarinya?

Ferrarinya nanti akan dipakai sendiri atau anggota keluarga yang lain juga diperkenankan mengendarainya?

Darimana dananya pembelian Ferrari tersebut?

Ternyata  pertanyaan yang bertubi-tubi diarahkan kepada calon pembeli tersebut dimaksudkan untuk disimak cermat atau dikaji dalam oleh pihak Ferrari sehingga pada akhirnya mampu merancang layanan terbaik pasca beli yang akan menyamankan Sang Pembeli di kemudian hari.  Selain dihujani banyak pertanyaan, pembelipun dipersilahkan masuk duduk di dalam Ferrari untuk disettingkan pada posisi duduk ternyaman dan diterangkan secara detail penggunaan berbagai panel instrumen yang terdapat dalam Enzo Ferrari.  Skenario itu semua semata-mata untuk mengoptimalkan kiat menjual barang di mana mutu produk, teknik promosi dan tekad memuaskan pembeli menjadi satu konsep yang utuh.

Bandingkan dengan saat kita membuka tabungan di Bank Mandiri yang notabene menjadi Bank Pemerintah terbesar saat ini.  Customer servicenya akan menjelaskan teramat rinci tentang apa-apa yang dianggap pantas disampaikan kepada kita, seperti:

Penabung akan mendapat buku tabungan

Kegunaan lain dari buku tabungan

Suku bunga yang berlaku untuk tabungan

Berbagai fasilitas jika menjadi penabung di Bank Mandiri

Jika buku tabungan hilang

Beban administrasi yang ditanggung penabung

Kartu debet yang melengkapi penabung

Meskipun sama-sama mendapat penjelasan yang terinci, namun ada perasaan yang berbeda dari keduanya.  Pembeli Enzo Ferrari sangat puas diminta menjawab berbagai pertanyaan dan amat menikmati untuk mendengar berbagai penjelasan spesifik “njelimet” tentang panel instrument mobil sport mewah tersebut.  Sebaliknya, jika kita membuka rekening tabungan misalkan, setoran awal Rp500 ribu saja, akan mendapatkan penjelasan yang cenderung bertele-tele dari customer service (bak kita buta huruf ?).  Padahal  sebetulnya cukup dibuatkan buku panduan yang dikemas apik dan diberikan kepada setiap penabung yang selanjutnya bisa menelaahnya sendiri.

Inti narasi, kita harus menjiwai tuntas terhadap barang dagangan kita.  Kalau barang yang kita jual bernilai tinggi dan captive marketnya jelas, maka mutu layanan prima menjadi suatu kebutuhan mutlak.  Namun jika barang kita “biasa saja or generik”, maka layanan yang berlebihan menjadi mubazir dan gampang disebelin orang karena pada umumnya orang merasa kurang nyaman jika harus mendengarkan puluhan retorika murahan.




Himbauan Tanpa Harmoni oleh Edy Sukarno

Jika kita mencermati kondisi pasar saat ini dan rajin mendengar berita, terdengar dan terkesan ada upaya-upaya pemerintah mengintervensi pasar. Spontan sayapun terkesima gamang.  Betapa tidak?  Sebab apa yang saya pernah pelajari selama ini tentang dasar-dasar ekonomi, khususnya mengenai mekanisme pasar, terbukti itu hanya teori yang “tidak relevan” dengan arah kebijakan atau himbauan yang dicetuskan oleh pemerintah sekarang (baca Jokowi !).  Di saat saya termenung diam dan seakan lunglai harapan, terbayang sosok malaikat jatuh dari surga turun ke dunia dan menyapa saya: “Manakah isu yang tidak relevan itu Ed ?”  Nah, narasi berikut ini intinya merupakan hasil obrolan saya dengannya sebelum dia terbang balik ke surga.

Teman-temanku yang baik…, seperti apa yang sempat kuutarakan di Raker tempo hari bahwa yuuk kita bentuk or ada semacam roundtable discussion sebagai wadah aspirasi kita yang ditujukan ke pemerintah melalui obrolan-obrolan ringan namun punya makna konkret dan kondusif.  Kali ini saya memulainya di blog ini yaa.. dan tolong nan mohon jangan dinilai sebagai corong luapan emosi atau protes terhadap politisi atau rezim yang tengah berkuasa.  Namun, anggaplah sebagai bentuk kepedulian sosok dosen Perbanas untuk berjuang dengan pendekatan pragmatis logis bagi upaya menggapai ketentraman jiwa kita semua di bulan suci Ramadhan ini.  Dambaan saya, ke depannya akan disusul oleh teman-teman yang lain mengkritisi  perekonomian Nusantara sesuai perspektif dan peminatannya.  Ilmu ekonomi kan kental dengan asumsi, tidak usah merisaukan ketajaman analisis, yang penting jangan terlalu menyimpang dari pakem pengetahuan ekonomi yang secara konvensional sudah diterima.

Dua komoditas yang belakangan ini saya amati adalah daging dan minyak.  Sayangnya apa yang saya sampaikan ini belum sepenuhnya didukung oleh data yang 100% valid, sebab sebatas berasal dari liputan di harian Kompas dan Bisnis Indonesia.  Pemerintah berupaya via operasi pasar agar harga daging di bawah Rp 80.000,-  Kala itu Sang Malaikat juga sempat bertanya, “bisakah itu tercapai ?” kujawab: ” wallahualam!” Yang lebih kutekankan dan kukatakan padanya kenapa Pak Jokowi mudah bilang: “negara lain, bisa kok kita nggak bisa !”.  Hemat saya, pola pikir seperti itu (membandingkan dengan negeri lain) kurang pas atau terlalu menyederhanakan berbagai variabel pembentuk harga. Dengan kata lain, itu hanya menghimbau tanpa menelaah variabel bebas lainnya yang sangat berpengaruh terhadap terciptanya harga pada suatu komoditas. Janganlah kita mencari “pembanding” atau benchmark secara serabutan untuk tata niaga pasar rakyat.  Di Singapura importir bebas mendatangkan daging, di NKRI importir dibatasi dengan dalih kita juga harus memproteksi peternak sapi.  Di samping itu, Rakyat Singapore jelas punya pola makan dan selera yang berbeda dengan kita.  Oleh karena itu perilaku harga daging di Singapore tentu berbeda sekali dengan di sini.  Menghimbau supaya harga daging di sini semurah di Singapore, itu jelas himbauan tanpa harmoni alias tak selaras dengan berbagai variabel ekonomi makro !

Indonesia konon sebagai eksportir terbesar Crude Palm Oil (CPO).  Tapi mengapa harga minyak kini merangkak naik di bulan suci ini?  Bukankah petani kelapa sawit sudah cukup mengikuti semua rekomendasi pemerintah?  Yang sekarang mencuat isunya tentang minyak ini,  ternyata begitu complicatednya rantai pasokan atau rantai distribusi di negeri ini yang itu semua lebih banyak dinikmati oleh pengusaha kakap ketimbang para petani di desa-desa. Yang membuat miris Sang malaikat (termasuk saya) adalah bahwa para petani tetap saja merasa tidak ada rejeki yang nomplok baginya sehubungan dengan lonjakan harga minyak di bulan Ramadhan ini.  Yang dapat berkat nomplok itu pengusah-pengusaha besar.  Dengan demikian tata niaga kita dewasa ini masih jauh dari semangat sila ke lima Pancasila – keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saya dan malaikat pun akhirnya menyudahi pertemuan dan berkesimpulan bahwa:

  1. Pemerintah perlu belajar keras bagaimana cara menata perekonomian yang profesional, jangan sembarang bikin parameter tanpa kajian dan jangan segan mendengar pemikir-pemikir dari IKPI Perbanas yang mau berpikir tanpa pamrih.  Ingat setiap kebijakan hendaknya terkait dan terukur dengan potensi ekonomi yang ada di bumi pertiwi ini.
  2. Mutiara kata “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin” harus mampu dicerna cermat oleh rezim yang berkuasa,  lantas bikin langkah perbaikan yang akomodatif bagi petani, peternak, pengusaha dan konsumen yang semuanya specnya tergolong rakyat jelata bukan politisi !

Demikianlah wahai sobat, terimakasih kalian sudah sudi membaca tulisan ini.  Maklumi saja secara ikhlas apabila kedapatan hal-hal yang kurang berkenan.

 

Wassalam,

 

Edy Sukarno




Efektivitas Gelar

Dewasa ini pendidikan semakin berkembang dan manfaat ilmu pengetahuan juga semakin dirasakan oleh manusia.  Untuk menyongsong peradaban baru yang membutuhkan penguasaan pengetahuan yang lebih luas, orang pun senantiasa suka belajar supaya “mumpuni” dan meraih banyak gelar.  Yang menjadi pertanyaan usil saya, betulkah orang yang sudah banyak gelar itu betulan pintar ?  Kali ini saya hanya mencoba menelaah pertanyaan tersebut dari sudut pandang saya yang berlatar belakang sarjana ekonomi jurusan akuntansi – notabene ilmu sosial.  Namun, untuk mengkaji itu sebelumnya sedikit akan saya ceritakan sekilas sosok akuntansi dalam rumpun pendidikan ekonomi di Indonesia.  Apa yang saya kemukakan belum tentu 100% benar sebab sebatas mengandalkan daya ingat – maklum. saya lahir di Orde Lama, besar di Orde Baru, uzur di Era MEA.

Dulu dalam pembukuan perusahaan dikenal Tata Buku – Bon A, Bon B yang dianggap tinggalan Belanda dan ini lumrah karena data sejarah menyebutkan negeri kita dijajah Belanda sekitar tiga setengah abad (untuk akuratnya Walahuallam !).  Akuntansi mulai hadir di Indonesia saat Orde Baru berkuasa.   Para akuntan Indonesia kala itu lebih berkiblat kepada akuntansi Amerika ketimbang Eropa.  Argumentasinya karena akuntansi Amerika dianggap lebih maju daripada Eropa sebab Akuntansi Amerika disusun oleh profesi, sedang akuntansi Eropa yang dipelopori oleh Jerman, Inggris dan Perancis  disusun oleh negara.  Kala itu diasumsikan yang disusun oleh profesi lebih bagus dan profesional karena lebih obyektif sedang yang disusun oleh negara lebih lemah tersirat intrik.

Dengan berlalunya waktu lahirlah Eropa bersatu terutama yang menyangkut denominator moneter yakni Euro.  Kendati awalnya lemah namun lambat laun nilai tukarnya semakin menguat terhadap dollar Amerika.  Realitas itu menstimulus harmonisasi akuntansi eropa dengan lahirnya International Financial Reporting Standard (IFRS).  Jepang sebagai negeri Asia yang kuat secara ekonomi meneguhkan lebih mengakomodir IFRS ketimbang Financial Accounting Standard Board (FASB) produk akuntan Amerika.  Di samping itu terjadinya skandal Enron kian meruntuhkan dominasi akuntansi versi Amerika.  AS merupakan negeri yang tahu diri dan di benaknya fakta menunjukkan Eropa dan Jepang memang sudah maju dan untuk itu lebih bijak berteman akrab ketimbang bermusuhan, oleh sebab itu AS pun akhirnya mengakomodir IFRS.  Indonesia yang sepenuhnya waras pada akhirnya juga mengakomodir IFRS.

Kembali lagi ke isu utama yakni gelar, betulkah gelar mencerminkan “kompetensi” seseorang?  Tempo hari saya berkenalan dengan akuntan yang kebetulan aktif di Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).  Namanya sebut saja Autan.  Sewaktu saya bertukar kartu nama tertera jelas atribut yang menyertainya tertulis:

M. Autan, DR., SE., MM., MKn., MEcDev., MSi., Ak., CA., CPA., CTA., CLA

Salahkah yang bersangkutan mencantumkan gelar sebanyak itu ? Setelah saya merenung dalam, hemat saya itu boleh dan sah-sah saja.  Toh nama dan atribut tersebut bukan obyek pajak !  Namun otak usil saya kembali mencuat, kira-kira jika Autan dibandingkan Steve Jobb atau Einstein atau Robert N. Anthony atau Kenneth A. Merchant atau Nurcholis Majid atau Gus Dur atau MH Ainun Najib atau Mahatma Gandhi atau Mohammad Hatta atau Wahyudi Prakarsa atau Newton atau Benjamin Franklin atau Margareth Thacher atau Basuki Cahaya Purnama alias Ahok mana yang lebih mumpuni ??? Yang pasti setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, tapi di jalur mainstream yang sejati dipastikan tidak membutuhkan sosok orang yang lihai atau doyan menerakan BANYAK atribut gelar di sekitar namanya.  Saatnyalah setiap insan paham bahwa nilai-nilai luhur dan kompetensi diri bukan tercermin dari pajangan gelar, namun kecerdasan memposisikan talentanya di alam fana nan baka !

Semoga para penyandang gelar semakin pintar mencantumkan gelarnya sehingga tidak mengundang tanya orang-orang Asia Tenggara yang berkenalan dan berteman dengan kita.  Sebab kini Era MEA kan yang dapat diplesetkan kepanjangannya menjadi Mbok Eling Allah yang tak memproklamirkan asmaNya dengan macam-macam gelar….

 




Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan konon dibagi tiga: “Ranah Kognitif (logika), Ranah Afektif (rasa), Ranah Psiko Motorik.  Untuk ranah kognitif mungkin kita bisa melihat dari meningkatnya kemampuan mahasiswa dalam memahami dan mengevaluasi atas suatu kasus yang kita berikan di kelas.  Ranah psiko motorik dapat kita cermati dari meningkatnya kemahiran mahasiswa dalam menggunakan beragam program statistik (misal, SPSS).  Tapi bagaimana dengan ranah afektif?  Bisakah kita lihat secara gamblang perihal perubahan sikap mahasiswa ke arah yang lebih baik?

Dewasa ini sudah harus menjadi panggilan kita semua bahwa di saat setiap ngajar, menyisihkan 8 menit untuk selalu menyampaikan pesan moral yang baik dan benar untuk mahasiswa.  Spirit tsb (moral)sebenarnya merupakan salah satu manifestasi roh kompetensi, yakni attitude.  Sayang Jakarta ini betul-betul metropolitan, yang membuat saya di saat sejauh mata memandang terkadang senyum sendirian…Kenapa? Pasalnya, di kelas terucap kata-kata baik nan bijak, namun begitu di saat mengemudi mobil  kala mudik or berangkat ke Perbanas, ada saja umpatan otomatis yang keluar dari bibir dekil saya.  Berdasarkan databased saya, paling sering umpatan yang mencuat kutujukan pada sopir metromini,,dan tadi pagi kuarahkan ke MM 72 (Blok M – Lebakbulus). “Sialan luu, miskinlah seumur hidup !”  anakku (SMA kelas 3) sontak nyelethuk, “nggak usah sampe gitu ngumpatnya paa”.  Sarannya cukup bilang “Dasar…”.  Kita harus memaklumi sopir paa, mereka memang bego, kalo pintar kan tentu mereka nggak jadi sopir!”

Dalam hatiku: “sialan anakku ini, pagi-pagi sok ngasih santapan rohani!”  Tapi jika kuhayati sungguhan, ternyata betul banget saran sulungku itu.  Saya harus konsisten dengan pekerjaan saya, kalau menghendaki mampu merubah tutur kata or budi pekerti anak didik supaya jadi luhur nan mulia, maka sayapun harus bisa merubah kebiasaan diri yang tidak terpuji.  Jangan hanya gara-gara ngumpat itu bebas pajak, maka umpatan itu diobral begitu saja, tentu kita semua ingat bahwa yang sifatnya obral itu terkesan murahan. Padahal sejatinya, umpatan itu selain murahan juga kampungan.




Pajero

Perjalanan hayat itu singkat…

Akankah terus terlambat menata cermat..?

Jamak nian kehidupan… sudah skenario Tuhan

Entah dosen atau presiden bagiNya sama

Risau kita baru berguna bila bermanfaat bagi sesama

Oo gitu tho sayang, pantes aku dijulukin Pajero – panas njobo jero…

Ooo ngono yo ngono ning ojo ngono..