ENZO FERRARI
Sabtu 1 Oktober 2016 saya menyempatkan diri untuk olah raga jalan pagi di bilangan AEON Serpong. Tanpa sengaja saat akan pulang, di salah satu area parkir sebuah mal atau komplek usaha saya lihat begitu banyak mobil-mobil sport buatan Itali yang akan berparade. Bagi saya sangat nyaman usai jalan pagi, menghirup udara segar, nonton mobil-mobil bagus, berjumpa banyak orang dan berkenalan. Salah satu teman baru yang langsung terasa akrab sebut saja namanya Yakob. Dia sudah cukup lama bekerja di show room Ferrari sehingga bisa bercerita bagaimana kiat marketing di Ferrari. Kendati belum tentu sepenuhnya valid apa yang dia katakan, namun sepanjang celotehannya hemat saya baik, maka cermat mencernanya itu biasa saja atau bisa jadi bermanfaat.
Salah satu celotehannya yang saya garis bawahi yakni untuk setiap calon pembeli Enzo Ferrari (salah satu tipe Ferrari yang konon di Indonesia pemiliknya kurang dari 5 orang dan harganya kurang lebih Rp14 milyar) akan ditanya dengan berbagai macam pertanyaan yang harus dijawab lugas. Pertanyaan tersebut antara lain (alias baru sebagian kecil):
Mengapa beli Enzo Ferrari?
Apakah sebelumnya sudah pernah pakai Ferrari?
Darimana tahu Ferrari?
Warna Ferrari apa yang disukai?
Kapan akan dikendarai Ferrarinya?
Ferrarinya nanti akan dipakai sendiri atau anggota keluarga yang lain juga diperkenankan mengendarainya?
Darimana dananya pembelian Ferrari tersebut?
Ternyata pertanyaan yang bertubi-tubi diarahkan kepada calon pembeli tersebut dimaksudkan untuk disimak cermat atau dikaji dalam oleh pihak Ferrari sehingga pada akhirnya mampu merancang layanan terbaik pasca beli yang akan menyamankan Sang Pembeli di kemudian hari. Selain dihujani banyak pertanyaan, pembelipun dipersilahkan masuk duduk di dalam Ferrari untuk disettingkan pada posisi duduk ternyaman dan diterangkan secara detail penggunaan berbagai panel instrumen yang terdapat dalam Enzo Ferrari. Skenario itu semua semata-mata untuk mengoptimalkan kiat menjual barang di mana mutu produk, teknik promosi dan tekad memuaskan pembeli menjadi satu konsep yang utuh.
Bandingkan dengan saat kita membuka tabungan di Bank Mandiri yang notabene menjadi Bank Pemerintah terbesar saat ini. Customer servicenya akan menjelaskan teramat rinci tentang apa-apa yang dianggap pantas disampaikan kepada kita, seperti:
Penabung akan mendapat buku tabungan
Kegunaan lain dari buku tabungan
Suku bunga yang berlaku untuk tabungan
Berbagai fasilitas jika menjadi penabung di Bank Mandiri
Jika buku tabungan hilang
Beban administrasi yang ditanggung penabung
Kartu debet yang melengkapi penabung
Meskipun sama-sama mendapat penjelasan yang terinci, namun ada perasaan yang berbeda dari keduanya. Pembeli Enzo Ferrari sangat puas diminta menjawab berbagai pertanyaan dan amat menikmati untuk mendengar berbagai penjelasan spesifik “njelimet” tentang panel instrument mobil sport mewah tersebut. Sebaliknya, jika kita membuka rekening tabungan misalkan, setoran awal Rp500 ribu saja, akan mendapatkan penjelasan yang cenderung bertele-tele dari customer service (bak kita buta huruf ?). Padahal sebetulnya cukup dibuatkan buku panduan yang dikemas apik dan diberikan kepada setiap penabung yang selanjutnya bisa menelaahnya sendiri.
Inti narasi, kita harus menjiwai tuntas terhadap barang dagangan kita. Kalau barang yang kita jual bernilai tinggi dan captive marketnya jelas, maka mutu layanan prima menjadi suatu kebutuhan mutlak. Namun jika barang kita “biasa saja or generik”, maka layanan yang berlebihan menjadi mubazir dan gampang disebelin orang karena pada umumnya orang merasa kurang nyaman jika harus mendengarkan puluhan retorika murahan.