Common biases Dalam Penelitian

Common
biases

  1. Ketersediaan
    Heuristik (Biases Emanating from the
    Availability Heuristic)

Heuristik
adalah seni dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan suatu penemuan.
Heuristik yang berkaitan dengan pemecahan masalah adalah cara menujukan pemikiran
seseorang dalam melakukan proses pemecahan sampai masalah tersebut berhasil
dipecahkan.

Individu
menilai frekuensi, probabilitas, atau kemungkinan penyebab kejadian berdasarkan
tingkat kejadian atau kejadiannya yang tersedia di memori. Suatu peristiwa yang
membangkitkan emosi dan hidup, mudah dibayangkan, dan spesifik akan lebih mudah
“tersedia” dalam ingatan. Akankah sebuah peristiwa yang bersifat
tidak emosional, hambar, sulit dibayangkan, atau terlalu banyak. Sejak kejadian
sering terjadi umumnya lebih mudah terungkap dalam diri kita, heuristik ini
sering mengarah pada penilaian yang akurat. Namun, karena ketersediaan
informasi juga dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terkait dengan frekuensi
obyektif dari kejadian yang dihakimi, heuristik ini keliru.

  • Bias
    1 : Kemudahan recall

Individu
menilai kejadian yang lebih sering diingat dari ingatan, berdasarkan pada
keadaan hidup atau tingkat keparahan, menjadi lebih banyak daripada frekuensi
yang sama yang keadaannya kurang mudah diingat.

Misalnya :

  1. Pikirkan kebanyakan orang meninggal
    karena perang dan kelaparan daripada penyakit jantung;
  2. Membeli asuransi untuk bencana alam yang
    baru saja Anda alami.
  • Bias
    2 : pengambilan kembali (Retrievability)

Individu
bias dalam menilai frekuensi kejadian berdasarkan struktur ingatan mereka yang
mempengaruhi proses pencarian.

Misalnya :

  1. Kata-kata yang dimulai dengan huruf
    “a” yaitu Aset atau “a” sebagai huruf ke-3 yaitu Bank
  2. SPBU (di tempat yang sama): orang-orang
    ingat satu lokasi produk dan mengatur pikiran mereka sesuai dengan itu.
  • Bias
    3 : Asosiasi yang diasumsikan (Intensitivitas terhadap Ukuran Dasar =
    prevalensi atas keseluruhan)

Individu
cenderung melebih-lebihkan probabilitas dua peristiwa yang terjadi bersamaan
berdasarkan jumlah asosiasi serupa yang mudah diingat, baik dari pengalaman
atau pengalaman sosial.

Misalnya :

  1. Orang bisnis berfantasi tentang
    kesuksesan dan tidak memperhitungkan penilaian kegagalan
  2.  Universitas lebih memilih siswa dengan nilai
    tinggi, bahkan jika itu karena sistem penilaiannya lunak
  3. Orang-orang menghukum perilaku orang
    lain yang mengarah pada hal yang buruk bahkan jika hasil buruk tersebut membawa
    suatu perubahan. (Earning Management)
  • Keterwakilan
    Heuristik (Biases Emanating from the
    Representativeness Heuristic)

Individu
menilai kemungkinan terjadinya fenomena dengan kemiripan kejadian dengan
stereotip mereka pada kejadian serupa. Dalam banyak kasus, representativeness
heuristic adalah pendekatan yang baik. Namun, hal itu dapat menyebabkan
keputusan yang buruk dalam kasus bahwa informasi tidak memadai dan informasi
yang lebih baik ada (Anda tidak bisa menilai buku dari sampulnya.)

Ketidakpekaan
terhadap tingkat dasar Individu cenderung mengabaikan tingkat dasar dalam
menilai kemungkinan kejadian bila ada informasi deskriptif lain yang diberikan
walaupun tidak relevan.

  • Bias
    4 : Ketidakpekaan terhadap ukuran sampel

Individu
sering gagal untuk menghargai ukuran sampel dalam menilai kemampuan referensi
dari informasi sampel.

Misalnya :

Kesalahan yang disebabkan oleh salah
spesifikasi populasi juga umum terjadi dalam survei pemilihan konsumen, dengan
contoh umumnya hanya terdiri dari para ibu rumah tangga tidak menyertakan kaum
laki-laki, wanita yang bekerja dan mahasiswa karena keadaan mereka yang relatif
tidak memungkinkan terjangkau.

  • Bias
    5 : Kesalahpahaman tentang Peluang

Individu
mengharapkan bahwa urutan data umum oleh proses acak akan terlihat
“acak,” bahkan jika urutannya terlalu singkat untuk harapan tersebut
secara statistik tidak valid.

Misalnya :

Jika Anda memiliki 5 anak
laki-laki, kemungkinan anak laki-laki ke 6 adalah 50%. Orang menginginkan
berpeluang terlihat acak (THTHT bukan TTTHHH).

  • Bias
    6 : Regresi ke rata-rata

Individu
cenderung mengabaikan fakta bahwa kejadian luar biasa cenderung mengalami
kemunduran pada uji coba rata-rata.

Misalnya :

Jika tahun ke-1 terjadi
Keberhasilan, lalu tahun ke 2 Anda mengalami Kegagalan, Anda akan terasa
seperti tahun ‘buruk’. Terkadang kita mengharapkan terjadinya Keberhasilan, tapi
sering kali tidak.

  • Bias
    7 : Kesalahan konjungsi

Individu
secara salah menilai bahwa konjungsi (dua peristiwa terjadi bersamaan) lebih
mungkin terjadi daripada serangkaian kejadian yang lebih global dimana
konjungsinya adalah subset

Misalnya :

Seseorang berfikir saat menjadi
bankir dan feminis tidak pernah lebih mungkin daripada penilaian yang lebih
besar dari pada mengarah ke teller bank.

  • Konfirmasi
    heuristik (Biases Emanating from the
    Confirmation Heuristic
    )

Individu
melakukan penilaian dengan memulai dari nilai awal dan menyesuaikannya untuk
menghasilkan keputusan akhir. Nilai awal mungkin disarankan dari preseden
historis, dari cara mempresentasikan masalahnya, atau dari informasi acak.

  • Bias  8 : Perangkap konfirmasi

Individu
cenderung mencari konfirmasi informasi untuk apa yang mereka anggap benar dan
mengabaikan pencarian untuk bukti yang tidak dapat dikonfirmasi.

Misalnya :

  1. Ingatan kita yang dirancang untuk
    mengambil informasi dari ingatan tersebut. Jadi info yang sesuai dengan
    hipotesis mudah diakses.
  2. Selektif Waktu dan Usaha

Jadi
cari dulu info yang paling mungkin berhasil / berguna. Saat mencari informasi,
Anda memulai dengan mencari info yang mengonfirmasi pemikiran Anda (Rekomendasi
karyawan baru).

  • Bias
    9 : Penyesuaian jangkar tidak mencukupi (Anchoring and Adjustment)

Individu
membuat perkiraan untuk nilai berdasarkan nilai awal dan biasanya membuat
penyesuaian yang tidak memadai dari “jangkar” ini saat menetapkan
nilai akhir.

Misalnya :

  1. Mengembangkan perkiraan dengan memulai
    dengan menjangkarkan awal berdasarkan informasi apa saja yang disediakan (Budgeting)
  2. Pertama mencari informasi yang sesuai
    dengan jangkar daripada tidak sesuai dengan jangkar (Estimasi Penyusutan)
  • Bias
    10 : Peristiwa konjungtif dan disjungtif

Individu
menunjukkan bias terhadap perkiraan probabilitas kejadian konduktif dan
meremehkan probabilitas kejadian disjungtif.

Misalnya:

Mengambil kelereng merah dari tas
yang berisi kelereng warna warni, apa peluangnya?

  1. Melebih-lebihkan peristiwa konjungtif
    (yang terjadi bersamaan, semua kejadian perlu terjadi)
  2. Meremehkan kejadian disjungtif (yang
    terjadi secara independen, salah satu dari banyak peristiwa harus terjadi)
  • Biases
    Generally

Bias
11 :

  • Terlalu
    percaya diri

Individu cenderung terlalu percaya
diri akan kemungkinan penilaian mereka bila sering-sering menanggapi pertanyaan
yang sangat sulit.

  • Pandangan
    dan kutukan pengetahuan

Setelah
mengetahui apakah suatu peristiwa terjadi atau tidak, individu cenderung
terlalu tinggi menilai sejauh mana mereka telah menentukan hasil yang benar.




PENELITIAN KUALITATIF : PENDEKATAN GROUNDED THEORY

B.  GROUNDED
THEORY

1.   Pengertian
Grounded Theory

Pendekatan
grounded teori (Grounded Theory Approach) adalah metode penelitian kualitatif
yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori dari
kancah. Pendekatan ini pertama kali disusun oleh dua orang sosiolog; Barney
Glaser dan Anselm Strauss. Untuk maksud ini keduanya telah menulis 4 (empat)
buah buku, yaitu; “The Discovery of Grounded Theory” (1967),
Theoritical Sensitivity (1978), Qualitative Analysis for Social Scientists
(1987), dan Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and
Techniques (1990). Menurut kedua ilmuwan ini, pendekatan Grounded Theory
merupakan metode ilmiah, karena prosedur kerjanya yang dirancang secara cermat
sehingga memenuhi keriteria metode ilmiah. Keriteria dimaksud adalah adanya
signifikansi, kesesuaian antara teori dan observasi, dapat digeneralisasikan,
dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta bisa dibuktikan. Dan merekajuga
mengatakan bahwa, penelitian seharusnya memunculkan konsep-konsep (variabel)
dan hipotesis berdasarkan data-data nyata yang ada di lapangan: “de-emphasis
on the prior step of discovering what concepts and hypotheses are relevant for
the area one wished to research. …In social research generating theory goes
hand in hand with verifying it; but many sociologists have diverted from this
truism in their zeal to test either existing theories or a theory that they
have barely started to generate
”.  yang berarti pada penekanan
pada langkah sebelumnya menemukan apa konsep dan hipotesis relevan untuk satu
bidang yang ingin diteliti….. dalam teori yang menghasilkan penelitian social
yang sejalan dengan membuktikanya, tapi banyak peneliti sosial yang mengalihkan
dari kebenaran yang mungkin tidak dapat disangkal kedalam semangat mereka untuk
menguji teori yang telah ada maupun yang baru saja mereka mulai untuk generasi
teori selanjutnya.

Sesuai
dengan nama yang disandangnya, tujuan dari Grounded Theory Approach adalah
teoritisasi data. Teoritisasi adalah sebuah metode penyusunan teori yang
berorientasi tindakan/interaksi, karena itu cocok digunakan untuk penelitian
terhadap perilaku. Penelitian ini tidak bertolak dari suatu teori atau untuk
menguji teori (seperti paradigma penelitian kuantitatif), melainkan bertolak
dari data menuju suatu teori. Untuk maksud itu, yang diperlukan dalam proses
menuju teori itu adalah prosedur yang terencana dan teratur (sistematis).
Selanjutnya, metode analisis yang ditawarkan Grounded Theory Approach adalah
teoritisasi data (Grounded Theory).

Pada
dasarnya Grounded Theory dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu-ilmu
sosial, namun demikian seorang peneliti tidak perlu ahli dalam bidang ilmu yang
sedang ditelitinya. Hal yang lebih penting adalah bahwa dari awal peneliti
telah memiliki pengetahuan dasar dalam bidang ilmu yang ditelitinya, supaya ia
paham jenis dan format data yang dikumpulkannya.

Grounded
Theory (GT) merupakan metodologi penelitian kualitatif yang berakar pada
kontruktivisme, atau paradigma keilmuan yang mencoba mengkontruksi atau
merekontruksi teori atas suatu fakta yang terjadi di lapangan berdasarkan pada
data empirik. Kontruksi atau rekontruksi teori itu diperoleh melalui analisis
induktif atas seperangkat data diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan.

Dalam
buku “Metodologi Penelitian” yang ditulis,Emzir, Secara Terperinci, Strauss dan
Corbin mendefinisikan Grounded Theory sebagai berikut :

A grounded Theory is
one of that is inductively derived from the  study of phenomenon it
represents. That is, it is discovered, developed, and provisionally
verified  through systematic data collection, analysis of data
pertaining to that phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory
stand in reciprocal relationship with each other. One does not begin with a
theory, then prove it. Rather  one begins with an area of study and
what is relevant to that area as allowed to emerge

Sesuai
dengan uraian diatas bahwa  Teori dasar (GT) adalah suatu teori yang
secara induktif di peroleh dari pengkajian fenomena yang mewakilinya. Teori
tersebut ditemukan, dikembangkan, dan untuk sementara waktu dibuktikan melalui
penumpulan data yang sistematis, analisis data yang menyinggung fenomena
tersebut. Oleh karena itu , pengumpulan data, analisis data, dan teori berada
di dalam hubungan timbal balik satu dengan lainnya. Orang tidak mulai dengan
teori, orang mulai dengan suatu area kasus dan apa yang berkaitan dengan area
tersebut dibiarkan muncul.

Cresswell
dalam bukunya Educational Research menuliskan :

A grounded theory
design is a systematic, qualitative procedure used to generate a theory that
explains, at a broad conceptual level, a process, an action, or an interaction
about a substantive topic. In grounded theory research, this is a “process”
theory_ it explains an educational process of events, activities, actions, and
interactions that occur over time. Also, grounded theorist proceed through
systematic procedure of collecting data, identifying categories (used synonymously
with themes), connecting these categories, and forming
 a
theory that explains the process.

     Seperti
yang telah dikemukakan oleh Creswell  diatas bahwa Grounded Theory merupakan teori
yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena sebuah
prosedur peneliti kualitatif yang sistematis. Pendekatan Grunded
theory merupakan suatu cara yang terdiri dari serangkaian tahap yang dilakukan
secara cermat yang dianggap memberi jaminan suatu teori yang baik sebagai hasil
atau secara kualitas dianggap baik.

2.  Ciri-Ciri
Utama Penelitian  Grounded Theory

Seperti
terungkap dari paparan latar belakang di atas, penggunaan
danpengembangan di berbagai disiplin ilmu membuat GT terbagi dalam tiga
pendekatan. Meskipun demikian, ketiga pendekatan itu, dan juga desain-desain
yang diterapkan secara khusus dalam berbagai bidang ilmu, tetap menggunakan
konsep dasar dalam The Discovery of Grounded Theory sebagai titik tolak
(Goulding, 1999). Oleh sebab itu, untuk memahami GT secara lebih komprehensif,
elemen-elemen yang terkandung dalam setiap pendekatan perlu dikaji secara
seksama. Menurut Creswell (2008: 440), ada enam karakteristik dari penelitian
Grounded Theory. Enam karakteristik tersebut adalah : Process approach,
Theoretical sampling, Constant comparative data analysis, a core category,
theory generalization, and memos.

a.  
Process approach

Dalam
penelitian GT, proses merujuk pada urutan tindakan-tindakan dan interaksi antar
manusia dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan sebuah topik, seperti
pengalihbahsaan novel Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia. Dalam topik
seperti ini, berdasarkan transkrip wawancara atau catatan pengamatan yang
dilakukan pada partisipan, peneliti GT dapat mengidentifikasi dan mengisolasi
tindakan-tindakan dan interaksi antar manusia, seperti interaksi antara
penerbit dan penterjemah pada saat negoisasi, tindakan- tindakan yang dilakukan
penterjemah selama proses pengalihbahasaan, dan sebagainya. Aspek-paspek yang
diisolasi ini disebut kategori-kategori, yang digunakan sebagai tema-tema
informasi dasar dalam rangka memahami suatu proses.

b.  Theoretical
sampling

Sebagaimana
lazimnya dalam penelitian kualitatif, instrumen pengumpul data penelitian GT
adalah peneliti sendiri. Data-data yang dikumpulkan dapat berbentuk transkrip
wawancara, percakapan, catatan wawancara, dokumen-dokumen publik, buku harian
dan jurnal responden, dan catatan reflektif peneliti (Charmaz, dalam Creswell,
2008: 442) . Proses pengumpulan data itu dilaksanakan dengan mengunakan ada dua
metode secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam (depth
interview). Bentuk data yang paling sering digunakan berbagai peneliti adalah
hasil wawancara karena data seperti ini lebih mampu mengungkapkan pengalaman
responden dalam kata-kata mereka sendiri. Hal yang spesifik yang membedakan
pengumpulan data pada penelitian GT dari pendekatan kualitatif lainnya adalah
pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak, pada GT sangat
ditekankan untuk menggali data perilaku yang sedang berlangsung (life history)
untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat
kausalitas. Seorang peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan
“Mengapa suatu kondisi terjadi?”, “Apa konsekwensi yang timbul
dari suatu tindakan/reaksi?”, dan “Seperti apa tahap-tahap kondisi,
tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung?”

Dalam
GT, masalah sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan
pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan cara penyampelan teoritik. Penyampelan teoritik merupakan
pengambilan sampel yang dilakukan peneliti dengan cara memilih data-data atau
konsep-konsep yang terbukti berhubungan dengan dan mendukung secara teoritik
teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena
yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab
masalah penelitian. Sebagai contoh, jika peneliti sedang meneliti
“tingginya kecenderungan penerbitan novel-novel horror terjemahan”, penikmat
(pembaca) novel-novel horor merupakan kandidat yang paling sesuai untuk
diwawancarai. Penterjemah, penerbit, dan kritisi sastra memang dapat dijadikan
sumber informasi yang relevan, namun peran mereka tidak begitu sentral karena
penerbitan bahan bacaan sangat ditentukan oleh konsumen (pembaca).

Paparan
ini mengungkapkan bahwa pada dasarnya yang di sampel dalam penelitian GT bukan
obyek formal penelitian (orang atau benda-benda), melainkan obyek material yang
berupa fenomena-fenomena yang sudah dikonsepkan. Akan tetapi, karena fenomena
itu melekat dengan subyek (orang atau benda), maka dengan sendirinya obyek
formal juga ikut disampel dalam perses pengumpulan atau penggalian fenomena..
Subyek-subyek yang diteliti secara berproses ditentukan di lapangan, ketika pengumpulan
data berlangsung. Cara penyampelan inilah yang disebut dalam penelitian
kualitatif sebagai snow bowl sampling.

Sesuai
dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam GT diarahkan
dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean. Ada tiga
pola penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan kegiatan
pengumpulan data; (a) penyampelan terbuka, (b) penyampelan relasional dan
variasional, serta (c) penyampelan pembeda.

c. 
Constant comparative data analysis

Dalam
penelitian GT, peneliti terlibat dalam proses pengumpulan data,
pengelompokan data ke dalam kategori-kategori, pengumpulan data tambahan, dan
pembandingan informasi yang baru itu dengan kategori-kategori yang muncul.
Proses pengembangan kategori-kategori informasi yang berlangsung secara
perlahan-lahan ini dinamai prosedur perbandingan konstan (constant comparative
procedure). Perbandingan konstan ini merupakan prosedur analisis data induktif
yang digunakan untuk memunculkan dan menghubungkan kategori-kategori dengan
cara membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, satu peristiwa
dengan satu kategori, dan satu kategori dengan kategori lainnya.

d. 
A core category

Dari
seluruh kategori utama yang diperoleh dari data, peneliti memilih satu kategori
sebagai inti fenomena dalam rangka merumuskan teori. Setelah mengidentifikasi
beberapa kategori (misalnya, 8 hingga 10—tergantung pada besarnya data,
peneliti memilih satu kategori inti sebagai basis penulisan teori.

Berikut
ini adalah enam kriteria untuk menentukan kategori inti (Strauss and
Corbin, dalam Creswell, 2008: 444).

(a)           It
must be central ; that is, all other major categories can relate to it.

(b)         It
must appear frequently in the data. This mean that within all or almost all
cases, there are indicators pointing to the concept.

(c)          The
explanation that evolves by relating the categories is logical and consistent,
there is no forcing of  data.

(d)         The
name or phrase used to describe the central category should be sufficiently
abstract.

(e)          As
the concept is refined, the theory grows in depth and explanatory power.

(f)          When
conditions vary, the explanation still holds, although the way in which a
phenomenon is expressed might look somewhat different. 

Pemaparan di
atas memperlihatkan bahwa memilih kategori inti terlalu awal
adalah sangat riskan. Akan tetapi, bila terlihat bahwa salah satu kategori
mucul dengan frekuensi tinggi dan terhubung dengan jelas pada
kategori-kategori lain, kategori itu dapat dipilih sebagai kategori inti.

e.  Theory
generation (Penurunan Teori)

Dalam
penelitian GT, yang dimaksud dengan teori adalah penjelasan atau
pemahaman yang abstrak tentang suatu proses mengenai sebuah topik
substantif yang didasarkan pada data. Teori ini disusun oleh peneliti
sewaktu mengidentifikasi kategori inti dan kategori-kategori proses yang
menjelaskannya. Karena teori ini dilandaskan pada fenomena yang spesifik,
teori ini tidak dapat diaplikasikan digeneralisasikan secara meluas pada
fenomena lain. Oleh karena itu, Charmaz (dalam Creswell, 2008:
446) mengatakan teori ini bersifat “middle range”, ditarik dari beberapa
individual atau sumber data dan memberi penjelasan yang akurat hanya pada
sebuah topik yang substantif.

f.   Memos

Dalam
penelitian GT, memo merupakan catatan-catatan yang dibuat peneliti
untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan
kategori-kategori yang dikodekan. Dengan kata lain, memo merupakan catatan
yang dibuat peneliti bagi dirinya sendiri dalam rangka menyusun hipotesis
tentang sebuah kategori, kususnya tentang hubungan-hubungan antara
kategori-kategori yang ditemukan.

3.            Prinsip-Prinsip
Metodologi Grounded Theory

Haig, 2004 (dalam
Emzir, 2011: 196) mengemukakan beberapa prinsip grounded theory yaitu ;

a.   Perumusan
Masalah Penelitian

Sebagai
penelitian berparadigma kualitatif, GT mengasumsikan bahwa di
dalam kehidupan sosial selalu ditemukan regulasi-regulasi yang relatif
sudah terpola. Pola- pola regulasi yang ditemukan melalui
penelitian itulah yang dirumuskan menjadi teori. Substansi rumusan masalah
dalam pendekatan GT masih bersifatumum, yaitu dalam bentuk pertanyaan yang
masih memberi kelonggaran dankebebasan untuk menggali fenomena secara luas, dan
belum sampai menegaskanmana saja variabel yang berhubungan dengan ruang lingkup
masalah dan mana yangtidak. Demikian pula tipe hubungan antarvariabelnya belum
perlu dieksplisitkandalam rumusan masalah yang dibuat.

Seperti
lazimnya pada setiap penelitian, rumusan masalah yang disusun pada tahap awal
adalah yang memiliki substansi yang jelas serta diformulasikan dalam
bentuk pertanyaan. Ciri rumusan masalah yang disarankan dalam GT adalah;
(1) berorientasi pada pengidentifikasian fenomena yang diteliti; (2)
mengungkap secara tegas tentang obyek (formal dan material) yang akan
diteliti, serta (3) berorientasi pada proses dan tindakan. Contoh rumusan
masalah awal pada GT; “Bagaimanakah novel detektif Inggris
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?” Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan
masalah ini bermaksud untuk; (1) mengenali secara tepat dan
mendalam proses penerjemahan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, (2) obyek formal penelitian adalah penterjemah yang sedang
menerjemahkan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa Indonesia;
sedangkan obyek materialnya adalah metode yang dilakukan oleh penterjemah
itu dalam menyelesaikan penerjemahan novel dimaksud, dan (3) orientasi
utama yang disoroti adalah tahapan dan teknik-teknik penterjemahan yang
dipilih.

b.   Deteksi Fenomena

Fenomena
stabil secara relative, cirri umum yang muncul dari dunia yang kita lihat untuk
dijelaskan. Fenomena meliputi cakupan ontologism yang bervariasi yang
meliputi objek, keadaan, proses, dan peristiwa, serta cirri-ciri lain yang
sulit digolongkan. Oleh karena itu, lebih baik mendiskripsikan fenomena dalam
istilah perannya sebagai objek khusus pejelasan dan prediksi.

c.  Penurunan theory (theory generation)

Penurunan
teori dalam grounded theory menurut Strauss dan Glaser, bahwa grounded theory
muncul secara induktif dari sumber data sesuai dengan metode perbandingan tetap
(constant comparison). Kemudian Strauss dan Glaser juga mengkritisi teori
Logico deductive theorizing yaitu metode hipoteka-deduktif (pengambilan teori
atau hipotesis dan mengujinya secara tidak langsung dengan memperoleh
konsekuensinya yang merupakan ketersediaan mereka menguji langsung secara
empiris) bahwa pertama, teori deduktivisme melebih-lebihkan dalam penempatan
pengujian teori dalam ilmu pengetahuan, dan kedua, penalaran induktif dapat
membentuk perumusan ide-ide teoritis.

d.  Pengembangan teori

Dalam
pengembangan teori grounded theory tidak hanya berhenti dalam pengembangan
teori secara hypothetico deductive ortodoks, karena penelitian ini belum
dikembangkan secara teoritis, oleh karena itu, dalam pengembangan teori ini
seorang peneliti memiliki pengetahuan tentang hakikat mekanisme kausal dan
membangun mekanisme dengan membayangkan sesuatu yang sama dengan mekanisme
alami yang kita ketahui. Peneliti juga disarankan untuk secara konstan waspada
terhadap persepektif baru yang mungkin membantu mereka mengembangkan teori
dasar mereka, walaupun mereka tidak menyelidiki poin tersebut secara mendetail
(Strauss & Glaser dalam Emzir, 2011: 206).

e. 
Penilaian Theory

Dalam
penilaian ini, aliran empirisme yang dominan tentang penilaian teori dicirikan
dalam pertunjukan hipotetiko deduktif normal, dimana teori ditaksir kecukupan
empirisnya dengan memastikan apakah prediksi tesnya dibuktikan oleh data yang
relevan. Sedangkan Glaser & Strauss tidak menyatakan perhitungan yang tepat
menyangkut hakikat dan tempat pengujian teori dalam ilmu social, mereka
menjelaskan bahwa ada yang lebih pada penilaian teori dari pada pengujian untuk
kecukupan empiris.

f. 
Grounded theory yang direkontruksi

Pengaruh
pragmatism Amerika pada metodologi grounded theory berbagai macam, dampak
filosofi kontemporer  ilmu pengetahun pada tulisan Glaser dan Strauss
hamper tidak ada. Hal ini pun juga dirasakan oleh ahli pragmatics seperti
Dewey. Akan tetapi, Glaser & Strauss tetap mengabaikan pengembangan yang
bersangkutan didalam metodologi filosofis.perlu diingat bahwa asal ahli
pragmatism grounded theory, sebagai suatu rekontruksi filosofis, tidak harus
dipahami sebagai suatu laporan akurat dari perhitungan Glaser dan Strauss
tentang grounded theory.

4.   Metode
Pengumpulan Data

Metode
pengumpulan data dalam penelitian grounded theory adalah wawancara. Menurut
Strauss & Corbin, dalam Cresswel 1998 (Emzir, 2011: 209-210) wawancara
dilakukan untuk mengumpulkan data, dimana wawancara dilakukan untuk menyerap
(satarute) (menemukan informasi yang kontinu untuk menambah hingga tidak ada
lagi yang dapat ditemukan) kategori. Suatu kategori mewakili unit informasi
yang tersusun dari peristiwa, kejadian, dan instansi. Peneliti juga
menganalisis dan mengumpulkan pengamatan dan dokumen tetapi bentuk data ini
tidak biasa. Menurut Creswell (Emzir, 2011: 210) menyatakan pengumpulan data
dalam studi grounded theory merupakan proses zigzag, keluar lapangan untuk
memperoleh informasi, menganalisis data, dan seterusnya. Partisipan
diwawancarai secara teoritis dalam theoretical sampling untuk membentuk teori
yang paling baik. Proses pengambilan informasi melalui pengumpulan data dan
membandingkannya dengan kategori yang muncul disebut metode komparatif konstan
(constant comparative) analisis data (Creswell, 1998 dalam Emzir, 2011: 210).

5.         Proses
Analisis Data

Menurut
Emzir (2011: 210) menyatakan bahwa proses analisis data dalam penelitian
Grounded Theory bersifat sistematis dan mengikuti format standar sebagai
berikut:

a.       Pengodean
terbuka (open coding)
, peneliti membentuk
kategori awal dari informasi tentang fenomena yang dikaji dengan pemisahan
informasi menjadi segmen-segmen. Pengodean terbuka adalah bagian analisis yang
berhubungan khususnya dengan penamaan dan pengategorian fenomena melalui
pengujian data secara teliti. Ada dua prosedur analisis dasar untuk proses
pengodean, yaitu; 1) membuat perbandingan, dan 2) membuat konsep-konsep dalam
grounded theory.

Adapun prosedur
analisis data dalam pengodean terbuka adalah, sebagai berikut:

–     Pelabelan
fenomena, konsep merupakan unit analisis dalam metode grounded theory, karena
konseptualisasi data adalah langkah awal dalam analisis dengan penguraian dan
pengkonsepan, berarti kita memisah-misahkan amatan, kalimat, paragraph, dan
memahami insiden, idea tau peristiwa-peristiwa diskrit dengan sesuatu yang
mewakili suatu fenomena.

–     Penemuan
kategori, proses pengelompokan konsep-konsep yang dianggap berhubungan dengan
fenomena yang sama disebut pengkategorian (categorizing). Fenomena yang
digambarkan oleh suatu kategori adalah konseptual, meskipun nama ini harus
abstrak dari pada nama yang diberikan terhadap konsep yang dikelompokan
dibawahnya. Kategori memiliki daya konseptual karena mampu mencakup kelompok
konsep atau kategori yang lainya.

–     Penamaan
kategori, dalam penamaan sebuah kategori merupakan hal yang penting, agar anda
dapat dapat mengingatnya, membahasnya, dan mengembangkanya secara analitik.

–     Penyusunan
kategori berdasarkan sifat dan ukuranya, dalam penyusunan kategori hal yang
pertama yang harus dilakukan adalah sifatnya, kemudian diukur. Sifat
adalah karakteristik atau atribut dari suatu kategori, dan ukuran menunjukan
lokasi dari pada suatu kontinum. Proses pengkodean terbuka tidak hanya
mendorong penemuan kategori namun juga sifat dan ukurannya.

–     Variasi
cara pengodean terbuka, ada beberapa cara pendekatan terhadap proses pengodean
terbuka, yaitu; a) analisis baris per baris (menganalisis wawancara dan
pengamatan), b) pengkodean perkalimat atau paragraph, dan c) menggunakan
seluruh dokumen, pengamatan, wawancara, dan bertanya.

–     Penulisan
catatan kode, terdapat banyak cara khusus yang berbeda dalam melakukan
pencatatan ini, dan setiap orang harus menemukan metode yang bekerja paling
baik untuk dirinya. Pengkodean merupakan proses penguraian data, pengkonsepan,
dan penyusunan kembali dengan cara baru. Inilah proses utama penyusunan teori
dari data.

b.      Pengodean
berporos(axial coding),
seperangkat prosedur
penempatan data kembali dengan cara-cara baru setelah pengodean terbuka, dengan
membuat kaitan antar kategori. Ini dilakukan dengan memanfaatkan paradigm
pengodean yang mencakup kondisi, konteks, strategi aksi/interaksi, dan
konsekuensi. Adapun model paradigm dalam pengodean berporos, yaitu; 1) kondisi
kausal, peristiwa, insiden, kejadian yang menyebabkan terjadinya atau
berkembangnya suatu fenomena. 2) fenomena, gagasan utama, peristiwa, kejadian,
insiden utama di seputar aksi atau interaksi yang ditujukan untuk mengelola,
mengatasi, atau mengaitkan sejumlah tindakan. 3) konteks, sejumlah sifat
tertentu yang berhubungan dengan fenomena, yaitu lokasi kejadian atau insiden
yang terkait dengan suatu fenomena sepanjang kisaran ukuran. Konteks menunjukan
sejumlah kondisi dilaksanakannya strategi aksi/interaksi. 4) kondisi perantara,
kondisi structural yang berhubungan dengan suatu fenomena. Kondisi tersebut
dapat mendukung atau menghambat strategi yang digunakan dalam konteks tertentu.
5) strategi tindakan/interaksional, strategi yang dirumuskan untuk mengelola,
mengatasi, melaksanakan, dan menanggapi fenomena dalam sejumlaah kondisi
tertentu yang dirasan. Dan 6) konsekuensi, hasil/akibat dari tindakan, dan
interaksi.

c.       Pengodean
selektif (selective coding)
, proses pemilihan
kategori inti, pengaitan kategori inti terhadap kategori lainnya secara
sistematis, pengabsahan hubungannya, mengganti kategori yang perlu diperbaiki
dan dikembangkan lebih lanjut. Kategori inti adalah fenomena utama yang menggabungkan
kategori lainnya. adapun dalam pengodean selektif ini dapat dilakukan dengan;
1) menjelaskan dan menganalisis alur cerita (menjelaskan alur cerita,
mengidentifikasi cerita, konseptualisasi alur cerita, menentukan fenomena yang
menonjol, dan hambatan dalam menjelaskan alur cerita). 2) mengaitkan kategori
lain diseputar kategori (kembali ke cerita, dan kesulitan dalam pengurutan
kategori), 3) menentukan sifat dan ukuran inti cerita, 4) Mengabsahkan hubungan
(mengungkap pola-polanya, mensistematiskan dan menetapkan hubungan, dan
cara-cara menemukan  kombinasi tersebut, dan mengelompokan
kategori.   

d.      Akhirnya,
peneliti dapat mengembangkan dan menggambarkan secara visual suatu matrik
kondisional yang menjelaskan kondisi social, historis, dan ekonomis yang
mempengaruhi fenomena sentral.




PENELITIAN KUALITATIF : PENDEKATAN ETNOGRAFI

A.  ETNOGRAFI

1.      Pengertian
Etnografi

Etnografi
merupakan suatu metode penelitian ilmu sosial. Penelitian ini sangat percaya
pada ketertutupan, pengalaman pribadi,dan partisipasi yang mungkin, tidak hanya
pengamatan, oleh para peneliti yang terlatih dalam seni etnografi. Para
etnografer ini sering bekerja dalam tim yang multidisipliner. Di mana titik
fokus penelitiannya dapat meliputi studi intensif budaya dan bahasa, bidang
atau domain tunggal, ataupun gabungan metode historis, observasi, dan
wawancara.

Pada
awalnya etnografi berakar pada bidang antropologi dan sosiologi. Namun para
praktisi dewasa ini melaksanakan penelitian etnografi dalam segala bentuk. Ahli
etnografi melakukan studi persekolahan, kesehatan masyarakat, perkembangan
pedesaan dan perkotaan, konsumen dan barang konsumsi, serta arena manusia
manapun.

Perlu
dicatat bahwa penelitian etnografi ini juga dapat didekati dari titik pandang
preservasi seni dan kebudayaan, dan lebih sebagai suatu usaha deskriptif
daripada usaha analitis. Biasanya para peneliti etnografi memfokuskan
penelitiannya pada suatu masyarakat, namun tidak selalu secara geografis saja,
melainkan dapat juga memerhatikan pekerjaan, pangangguran, dan aspek masyarakat
lainnya. Beserta pemilihan informan yang mengetahui dan memiliki suatu
pandangan  atau pendapat tentang berbagai kegiatan masyarakat.

Beberapa
ahli mengemukakan pengertian tentang penelitian etnografi salah satunya adalah
Emzir (2011: 143) yang menyatakan Etnografi adalah suatu bentuk
penelitian yang berfokus pada makna sosiologi melalui observasi lapangan
tertutup dari fenomena sosiokultural. 

Sementara
Harris (dalam John W. Creswell; 2007) menjelaskan bahwaethnography
is a qualitative design in which the researcher describes and interprets the
shared and learned patterns of values, behaviors, beliefs, and language of a
culture-sharing group
As both a process and an outcome of research
(Agar, 1980), ethnography is a way of studying a culture-sharing group as well
as the final, written product of that research.
yang berarti penelitian
etnografi merupakan sebuah penelitian kualitatif dimana seorang peneliti menguraikan
dan menafsirkan pola bersama dan belajar nilai-nilai, perilaku, keyakinan, dan
bahasa dari berbagai kelompok. Baik sebagai proses dan hasil penelitian,
etnografi adalah sebuah cara belajar kelompok pada suatu budaya baik sebagai
akhir, dalam hasil penulisan penelitian.

Beberapa definisi lain
tentang penelitian etnografi :

1.  “When
used as a method, ethnography typically refers to field work (alternatively,
participant-observation) conducted by a single investigator who ‘lives with and
lives like’ those who are studied, ussually for a year or more”. (John Van
Maanen, 1996
). Dalam hal ini, penelitian etnografi dilakukan ketika
digunakan sebagai metode, etnografi biasanya mengacu kepada kerja lapangan
(alternative-partisipan-pengamatan) dilakukan oleh seorang peneliti tunggal
yang hidup dengan dan hidup seperti orang-orang yang diteliti, biasanya
dilakukan kurang lebih satu tahun atau lebih.

2.   “Ethnography
literally means ‘a portrait of a people’. An ethnography is a written
description of particular culture – the customs, beliefs, and behavior – based
on information collected through fieldwork.” (Marvin Harris and Orna Johnson,
2000
).Secara harfiah penelitian etnografi berarti gambaran sebuah
masyarakat. Yang berarti etnografo adalah gambaran umum suatu budaya atau
kebiasaan, keyakinan, dan perlikau yang berdasarkan atas informasi yang telah
dikumpulkan melalui penelitian lapangan.

3.   “Ethnography
is the art and science of describing a group or culture. The description may be
small tribal group in an exotic land or a classroom in middle-class suburbia
.”
(David M. Fetterman, 1998), (Genzuk, 2005:1). Etnografi adalah seni dan
ilmu yang menggambarkan tentang sebuah kelompok atau budaya. Penggambaran
mungkin mengenai tentang kelompok suku kecil dalam sebuah daerah yang menarik
atau sebuah kelas menengah maupun pinggiran kota

4.   “Etnographic
designs are qualitative research procedures for describing, analyzing, and
interpreting a culture-sharing group’s shared patterns of behavior, beliefs,
and language that develop over time.” (John W. Creswell, 2008:473)
.”
Rancangan penelotian etnografi adalah prosedur penelitian kualitatif untuk
menggambarkan, menganalisis, dan menafsirkan suatu pola kelompok berbagai
budaya yang dilakukan bersama baik perilaku, keyakinan dan bahasa yang
berkembang dari waktu kewaktu.

Dari
beberapa definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian
etnografi adalah sebuah penelitian kualitatif yang berfokus pada makna
sosiologi dengan menggambarkan, menganalisa dan memberi penafsiran dari sebuah
pola budaya tertentu.

2.      Asumsi
Dasar Penelitian Etnografi

     Karena
cakupan penelitian etnografi yang bersumber pada budaya dan observasi serta
melakukan wawancara merupakan standar dasar pada penelitian etnografi maka perlu
kiranya dikembangkan beberapa asumsi yang menjadi dasar utama peneliti sebelum
melakukan penelitian. 

     Beberapa
asumsi dasar penelitian etnografi yang dikemukakan oleh Emzir (2011: 148-149)
adalah sebagai berikut : 1) Etnografi mengasumsikan kepentingan penelitian yang
prinsip utamanya dipengaruhi oleh pemahaman kultural masyarakat.
2) Penelitian etnografi mengasumsikan suatu kemampuan mengidentifikasi
masyarakat yang relevan dengan kepentingannya.  3) Dengan penelitian
etnografi peneliti diasumsikan mampu memahami kelebihan kultural dari
masyarakat yang diteliti, meguasai bahasa atau jargon teknis dari kebudayaan
tersebut dan memiliki temuan yang didasarkan pada pengetahuan komprehensif dari
budaya tersebut. 

     Lebih
lanjut, Gall, Gall and Borg dalam bukunya “Educational Research an
Introductioní” 
menyatakan peneliti etnografi setidaknya memiliki
beberapa pandangan tentang lintas budaya yang menjadi obyek penelitiannya
diantaranya : 1) Ethnology: mencakup teori-teori dasar budaya
yang merupakan data pembanding dari beberapa budaya yang berbeda.
2) Pemerolehan budaya: yang memfokuskan diri pada konsep, nilai-nilai
budaya, kemampuan dan tingkah laku yang merupakan budaya umum yang terjadi pada
masing-masing kebudayaan. 3) Pergeseran budaya: yang fokus pada penelitian
tentang seberapa besar struktur sosial mengintervensi kehidupan
seseorang dalam suatu kasus tertentu.

3.         Prinsip-Prinsip
Metodologi Penelitian Etnografi

Penelitian
etnografi merupakan penelitian terperinci yang dapat menggambarkan suatu
kegiatan, kejadian yang biasa terjadi sehari-hari pada suatu komunitas
tertentu. Ini merupakan dasar kekuatan penelitian etnografi yang memberikan
gambaran utuh tentang apa yang terjadi di lapangan. Berbeda halnya dengan
penelitian kuantitatif yang menangkap kebenaran hakikat perilaku sosial di
masyarakat dengan sandaran studi latar artifisial atau pada apa yang dikatakan
orang bukan melihat dan terjun secara langsung mempelajari apa yang dilakukan
oleh obyek penelitian tersebut.

     Hammersley
(1990) dalam Genzuk (2005: 3) yang tersaji dalam buku Emzir“Metodologi
Penelitian Pendidikan Kualitatif dan Kuantitatif
” (2011: 149-152) menyatakan
3 prinsip metodologis yang digunakan dalam corak metode etnografi diantaranya:

a. Naturalisme :
ini menggambarkan bahwa penelitian etnografi yang dijalankan bertujuan untuk
menangkap suatu karakter yang muncul secara alami dan didapatkan melalui kontak
langsung, bukan melalui interfensi atau rekayasa eksperimen.

b. Pemahaman:
yang menjadi landasan utama disini adalah bahwa tindakan manusia berbeda dari
perilaku objek fisik. Tindakan tersebut tidak hanya tanggapan stimulus namun
juga interpretasi terhadap suatu stimulus. Untuk itu meneliti latar budaya yang
lebih dikenal lebih baik dari pada meneliti yang masih asing agar terhindar
dari resiko kesalahpahaman budaya.

c. Penemuan:
Penelitian etnografi merupakan penelitian yang didasari oleh penemuan sang
peneliti. Ini merupakan bentuk otentik sebuah penelitian dimana suatu fenomena
dikaji tidak hanya berdasar pada serangkaian hipotesis yang mungkin bisa saja
terjadi kegagalan namun menjadi nyata setelah dibutakan oleh asumsi yang
dibangun ke dalam hipotesis tersebut.

4.         Karakteristik
Penelitian Etnografi

Creswell
dalam bukunya “Educational Research, planning, conducting and evaluating
quantitative and qualitative research” menyebutkan beberapa karakter penelitian
etnografi diantaranya:

a.  Cultural
theme
Merupakan suatu budaya yang terimplementasikan atau
tergambarkan pada suatu grup atau komunitas tertentu (Spradley:1980b.)

b.   A
Culture –sharing group
: merupakan penelitian yang dapat dilaksanakan pada 2
orang atau lebih yang memiliki kesamaan sikap, perilaku dan bahasa. 

c.   Fieldwork:
Dalam penelitian etnografi Fieldwork  bermakna tempat
dimana peneliti dapat menggabungkan data pada seting tempat dan lokasi yang
dapat dipelajari .

d.   Description
in etnography
: Merupakan gambaran terperinci dari obyek yang dilakukan
penelitian.

e.   A
Context
: merupakan seting tempat, situasi atau lingkungan yang melingkupi
kelompok budaya yang dipelajari.

f.   Researcher
Reflexivity
: Mengacu pada sebuah kondisi dimana seorang peneliti dalam
kondisi yang sadar dan terbuka atas perannya sebagai peneliti yang dengannya
dapat timbul rasa saling mempercayai antara peneliti dan obyek yang ditelitinya.

5.         Jenis
– Jenis Penelitian Etnografi

Menurut Creswell,
para ahli banyak menyatakan mengenai beragam jenis penelitian etnografi, namun
Creswell sendiri membedakannya menjadi 2 bentuk yang paling popular yaitu
Etnografi realis dan etnografi kritis. Penjelasannya sbb : 

a.          Etnografi
realis

Etnografi realis
mengemukakan suatu kondisi objektif suatu kelompok dan laporannya biasa ditulis
dalam bentuk sudut pandang sebagai orang ke -3. Seorang etnografi realis
menggambarkan fakta detail dan melaporlan apa yang diamati dandidengar dari
partisipan kelompok dengan mempertahankan objektivitas peneliti

b.         Etnografi
kritis

Dewasa ini populer juga
etnograi kritis. Pendekatan etnografi kritis ini penelitian yang mencoba merespon
isu-isu sosial yang sedang berlangsung.misalnya dalam masalah
jender/emansipasi, kekuasaan, status quo, ketidaksamaan hak, pemerataan dsb.

Jenis-Jenis etnografi
lainnya diungkapkan Gay, Mills dan Aurasian sbb:

–        Etnografi
Konfensional: laporan mengenai pengalaman pekerjaan lapangan yang dilakukan
etnografer

–        Autoetnografi:
refleksi dari seseorang mengenai konteks budayanya sendiri

–        Mikroetnografi:
studi yang memfokuskan pada aspek khusus dari latar dan kelompok budaya

–        Etnografi
feminis: studi mengenai perempuan dalam praktek budaya yang yang merasakan
pengekangan akan hak-haknya.

–        Etnografi
postmodern: suatu etnografi yang ditulis untuk menyatakan keprihatinan mengenai
masalah-masalah sosial terutama mengenai kelompok marginal.

–        Studi
kasus etnografi: analisis kasus dari seseorang, kejadian, kegiatan dalam
perspektif budaya.

6.         Prosedur
Penelitian Etnografi

Menurut Creswell,
walau tidak ada satu cara saja dalam menititi etnografi namum secara umum
prosedur penelitian etografi adalah sbb:

a.       Menentukan
apakah masalah penelitian ini adalah paling cocok didekati dengan studi
etnogafi. Seperti telah kita bahas sebelumnya bahwa etnografi menggambarkan
suatu kelompok budaya dengan mengekloprasi kepercayaan, bahasa dan 
perilaku (etnografi realis); atau juga mengkritisi isu-isu mengenai kekuasaan,
perlawanan dan dominansi (etnografi kritis).

b.      Mengidentifikasi
dan menentukan lokasi dari kelompok budaya yang akan diteliti. Kelompok
sebaiknya gabungan orang-orang yang telah bersama dalam waktu yang panjang
karena disini yang akan diteliti adalah pola perilaku, pikiran dan kepercayaan
yang dianut secara bersama.

c.       Pilihlah
tema kultural atau isu yang yang akan dipelajari dari suatu kelompok. Hal ini
melibatkan analisis dari kelompok budaya.

d.      Tentukan
tipe etnografi yang cocok digunakan untuk memlajari konsep budaya tersebut.
Apakah etnografi realis ataukah etnografi kritis.

e.       Kumpulkan
informasi dari lapangan mengenai kehidupan kelompok tersebut. Data yang
dikumpulkan bisa berupa pengamatan, pengukuran, survei, wawancara, analisa
konten, audiovisual,pemetaan dan penelitian jaringan. Setelah data terkumpul
data tersebut dipilah-pilah dan dianalisa.

f.       Yang
terahir tentunya tulisan tentang gambaran atau potret menyeluruh dari kelompok
budaya tersebut baik dari sudut pandang partisipan maupun dari sudut pandang
peneliti itu sendiri.

Siklus penelitian
etnografi

1)             Pemilihan
suatu proyek etnografi

Siklus dimulai dengan
pemilihan suatu proyek etnografi kemudian peneliti etnografi    mempertimbangkan
ruang lingkup dari penyelidikan mereka.

2)             Pengajuan
pertanyaan etnografi

Dalam
sebuah etnografi seseorang dapat mengajukan sub-sub pertanyaan yang berhubungan
dengan (1) suatu deskripsi tentang konteks, (2) analisis tentang tema-tema
utama, dan (3) interpretasi perilaku cultural.

3)             Pengumpulan
data etnografi

Cara
pengumpulan data adalah denngan cara observasi partisipan, anda akan mengamati
aktivitas orang, karakteristik fisik situasin social, dan apa yang akan menjadi
bagian dari tempat kejadian selama pelaksanaan pekerjaan lapangan, apakah
seseorang mempelajari sebuah desa suku tertentu untuk satu tahun atau pramugari
pesawat udara untuk beberapa bulan, jenis observasi akan berubah.

4)             Pembuatan
Rekaman Etnografi

Tahap
ini mencakup pengambilan cacatan lapangan, pengambilan foto, pembuatan peta,
dan penggunaan cara-cara lain untuk merekam observasi anda.

5)             Analisis
data Etnografi

Terdapat Empat Jenis
Analisis:

a)      Analisis
domain

b)      Memperoleh
gambaran umum dan menyeluruh dari objek penelitianatau situasi social.

c)      Analisis
Taksonomi

d)     Menjabarkan
domain-domain yang dipilih menjadi lebih rinci
untuk    mengetahui struktur internalnya.

e)      Analisis
komponensial

f)       Mencari
ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan
cara  mengontraskan antarelemen.

g)      Analisis
tema budaya

h)      Mencari
hubungan di antara domain dan hubungan dengan keseluruhan, yang selanjutnya
dinyatakan ke dalam tema-tema sesuai dengan fokus dan subfokus penelitian.

6)             Penulisan
sebuah Etnografi

        Penulisan
sebuah etnografi memaksa penyelidik ke dalam suatu jenis analisis yang lebih
intensif. Peneliti etnografi hanya dapat merencanakan dari awal perjalanan penyeledikan
mereka kedalam pegertian yang paling umum.




Reborn of College in 4.0 : Kampus Mahasiswa & Lulusan Milenial di Era Digital

Nama
Lengkap            : Rizal Mawardi, S.E.,
Ak., M.A

Profesi                         : Dosen Tetap Perbanas
Institute

Personal Branding      : Educator Finance Accounting & Auditing, Researcher, Ex-Analyst Business  and Credit 

Peringatan Hari
Dies Natalis Emas Perbanas Institute ke-50 yang dibarengi oleh fenomena
Revolusi Industri 4.0 menjadi suatu momentum yang tepat untuk berbenah diri
demi menjadi kampus yang menghasilkan lulusan di era milenial ini. Revolusi
industri 4.0 secara umum diketahui sebagai perubahan cara kerja yang
menitikberatkan pada pengelolaan data, sistem kerja industri melalui kemajuan
teknologi, komunikasi dan peningkatan efisiensi kerja yang berkaitan dengan
interaksi manusia. Data menjadi kebutuhan utama organisasi dalam proses
pengambilan keputusan korporat yang didukung oleh daya komputasi dan sistem
penyimpanan data yang tidak terbatas.

Perguruan Tinggi
merupakan lembaga formal yang diharapkan dapat melahirkan tenaga kerja kompeten
yang siap menghadapi industri kerja yang kian berkembang seiring dengan
kemajuan teknologi. Keahlian kerja, kemampuan beradaptasi dan pola pikir yang
dinamis menjadi tantangan bagi sumber daya manusia, di mana selayaknya dapat
diperoleh saat mengenyam pendidikan formal di Perguruan Tinggi.

Tantangan & Peluang Perguruan Tinggi di Era
Revolusi Industri 4.0

Kuantitas bukan
lagi menjadi indikator utama bagi suatu perguruan tinggi dalam mencapai
kesuksesan, melainkan kualitas lulusannya. Kesuksesan sebuah negara dalam
menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan
oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga Perguruan Tinggi wajib dapat
menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia
kerja di era globalisasi.

Dalam
menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi,
diperlukan penyesuaian sarana dan prasarana pembelajaran dalam hal teknologi
informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi. Perguruan tinggi yang
menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut diharapkan mampu menghasilkan
lulusan yang terampil dalam aspek literasi data, literasi teknologi dan
literasi manusia. Terobosan inovasi akan berujung pada peningkatan
produktivitas industri dan melahirkan perusahaan pemula berbasis teknologi,
seperti yang banyak bermunculan di Indonesia saat ini.

Tantangan
berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang responsif
terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti desain ulang kurikulum
dengan pendekatan human digital dan
keahlian berbasis digital. Persiapan
dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0
adalah salah satu cara yang dapat dilakukan Perguruan Tinggi untuk meningkatkan
daya saing terhadap kompetitor dan daya tarik bagi calon mahasiswa.

Selain lambat,
geliat perubahan kampus masih sebatas prosedural seperti menambah instrumen Learning Objective dan Learning Outcome di kurikulum, fasilitas
gedung AC, koneksi internet hingga penyelenggaraan kompetisi hibah pembelajaran
digital. Sayangnya, perubahan itu tidak diikuti 
cara berpikir atau paradigma pendidikan yang baru, kultur atau proses
belajarnya masih Teacher Centered,
serta Learning Environment yang tidak
mendorong kemandirian mahasiswa memiliki pengalaman belajar sendiri.

Saya teringat
suatu artikel populer yang ditulis oleh Terry Eagleton berjudul ”The Slow Death of the University
(2015). Artikel itu mempertanyakan eksistensi perguruan tinggi jika tidak
tanggap menghadapi perubahan yang sangat cepat dan bersifat disruptif. Seperti
diungkapkan pendidik lain, Terry berargumen bahwa tujuan perguruan tinggi
terlalu berorientasi pada kebutuhan ekonomis yakni menyiapkan mahasiswa untuk
mendapatkan pekerjaan yang terbaik. Tujuan ini mengakibatkan tradisi belajar
serta hubungan dosen dan mahasiswa sebatas hubungan “manajer” dan
“konsumen”.

Selain itu,
kriteria kesuksesan dosen terlalu berfokus pada jurnal publikasi riset, dan
cenderung menihilkan esensi pendidikan untuk kemanusiaan dan kehidupan,
seaperti yang pernah diungkapkan oleh Robert Menzies. Bahkan, di Indonesia
kualitas pengajaran akan dikalahkan oleh kebutuhan dosen meng-update berbagai
evaluasi seperti Laporan Kinerja Dosen (LKD), Beban Kinerja Dosen (BKD), dan
laporan lainnya yang berkaitan dengan tunjangan kinerja dosen.

Kondisi ini akan
membawa pendidikan tinggi menuju proses kematiannya karena abai melakukan tugas
utamanya yakni membangun peradaban. Jika tujuan perguruan tinggi sekedar pintu
masuk mahasiswa mencari pekerjaan, tidakkah perusahaan besar seperti Google,
Facebook, Erns & Young mulai menihilkan syarat ijazah untuk bekerja di
tempat mereka?

Lalu, peluang
apa yang bisa diambil oleh setiap Perguruan Tinggi? Mengutip pada salah satu
media literasi kampus di Australia, Perguruan Tinggi bisa mendesain kampusnya
dengan gaya modern, green building,
warna-warni, banyak co-working space
bagi mahasiswa dan dosen, serta tata letak kelas terbuka untuk workshop, untuk
apa kampus membangun gedung yang begitu mahal dan modern, bukankah menjamurnya
platform pembelajaran digital Massive
Open Online Course
(MOOC) akan memungkinkan siapa saja dapat kuliah online sehingga tidak lagi memerlukan
gedung atau ruangan kuliah baru?

Saya mengutip
kembali sebuah artikel yang ditulis Jim Clifton berdasarkan survei yang
dilakukan Gallup US yang menyarankan Perguruan Tinggi segera mengubah budaya
organisasinya agar tidak ditinggalkan oleh generasi millennial. Temuan Gallup
menyatakan bahwa generasi millennial akan mendisrupsi tatanan sosial lama di
berbagai bidang, baik kesehatan, bisnis, industri, pertanian, perbankan hingga
pendidikan tinggi. Mahasiswa Generasi Milenial tidak akan terikat pada sebuah
tradisi, institusi bahkan identitas agama atau politik. Mereka sangat berbeda
dalam berkomunikasi, membangun relasi, bekerja hingga pada lingkungan sekolah
(kampus).

Prinsip yang harus diterapkan Perguruan Tinggi

Saya mendasar
pada artikel Clifton serta paparan Prof. Clayton dari Harvard University
tentang era disrupsi dan pendidikan masa depan, maka langkah yang dilakukan
oleh kampus yaitu upaya untuk berbenah diri agar survive menghadapi perubahan
yang disruptif. Perguruan Tinggi harus memiliki konsep green building, open
space, inklusivitas, dan fancy adalah bentuk komitmen segenap civitas akademika
dalam menyediakan metode pengajaran dan pembelajaran yang lebih baik serta
adaptif dengan tuntutan perubahan generasi millennial.

Saya menyatakan
terdapat tiga prinsip utama bagi Perguruan Tinggi di generasi millennial,
antara lain Pertama, penciptaan
kultur kampus yang positif, kekinian serta partisipatif untuk membantu
mengembangkan potensi mahasiswa, Dosen, Karyawan di generasi zaman sekarang. Kedua, learning environment yang sesuai
untuk pengembangan student centered learning yang mendorong proses pendampingan
oleh dosen, teman atau peer sehingga relasi belajar yang terjadi akan setara,
inovatif dan inisiatif bukan berdasarkan perintah. Ketiga, iklim pembelajaran yang mengganti sistem penilaian (ujian
konvensional) dengan feedback yang
bermanfaat dalam memgembangkan potensi, bukan untuk menakar kelemahan.

Ketiga Prinsip
ini tidak dapat terfasilitasi oleh lingkungan kampus jika masih mengikuti pakem
dengan setting abad 19 atau abad 20 yang teacher
centered
.

Key Success
untuk IKPIA Perbanas sebagai PT yang merespons Revolusi Industri 4.0

Penciptaan
lingkungan baru yang dinamis dan interaktif akan merefleksikan perubahan pada
paradigma pendidikan, dimana arsitektur akademiknya memungkinkan mahasiswa
memiliki kebebasan pilihan atas konten kurikulum yang diingininya meskipun
dengan lintas disiplin ilmu. Hal ini penting karena era disrupsi mensyaratkan
pendidikan tinggi lebih fleksibel dalam sistem pengajaran dan pembelajaran.
Revolusi internet wajib dikelola menjadi “enabler” percepatan untuk membangun sumber daya manusia yang
kritis, kreatif. Tujuannya agar lubernya informasi dapat dimanfaatkan menjadi
nilai tambah, yang pada gilirannya dapat memecahkan persoalan kemanusiaan yang
semakin kompleks.

Kultur atau
ekosistem kampus di era disrupsi perlu membangun pendekatan “lateral”
dimana solusi atas satu persoalan perlu didekati dengan ragam pendekatan
keilmuan.  Hal itu memerlukan landskap kampus
yang terintegrasi satu sama lain, mulai dari lingkungan belajar, kurikulum yang
fleksibel, metode pengajaran hingga sistem pengelolaan kampus agar adaptif
terhadap tuntutan perubahan.

Tata ruang
terbuka dan dinamis akan mengubah cara lama dosen mengajar, mahasiswa akan
menjadi desainer atas kurikulum serta proses belajarnya sendiri sehingga
pembelajarannya tidak lagi sebatas prosedural untuk menggugurkan kewajiban
administrasi saja. Penciptaan tata ruang atau ekosistem yang fleksibel maka
akan dapat mendorong perubahan pada landskap akademik secara keseluruhan. Dosen
akan bergeser peran sebagai fasilitator atau inspirator, mahasiswa akan tumbuh
menjadi pembelajar mandiri, saling berkolaborasi bukan berkompetisi serta
kreatif atau inovatif dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Dengan
lingkungan kampus yang encouragement
akan menjadi sangat relevan bagi generasi milenial, karena mereka tidak ingin
terikat, sebaliknya menginginkan kebebasan untuk meracik materi hingga metode
belajarnya sendiri. Kemandirian ini pada akhirnya dapat melahirkan pengembangan
keilmuan baru yang dibutuhkan di masyarakat berbasiskan interdisiplin ilmu.

Jika demikian,
kekhawatiran akan masa suram pendidikan tinggi tidak akan terjadi. Pendidikan
tinggi justru akan menjadi agen utama dalam mengokohkan demokrasi dan peradaban
kemanusiaan di masa depan. Namun siapkah regulator, Perguruan Tinggi, dan
masyarakat bersinergi menghindarkan lonceng kematian pendidikan tinggi?

How (Bagaimana Caranya) ?

Perubahan dunia
kini tengah memasuki era revolusi industri 4.0 atau revolusi industri dunia
keempat dimana teknologi informasi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia.
Segala hal menjadi tanpa batas (borderless)
dengan penggunaan daya komputasi dan data yang tidak terbatas (unlimited), karena dipengaruhi oleh
perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung
pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin. Era ini juga akan mendisrupsi
berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) serta pendidikan tinggi.

Kebijakan
strategis perlu dirumuskan oleh Perguruan Tinggi dalam berbagai aspek mulai
dari kelembagaan, bidang studi, kurikulum, sumber daya, serta pengembangan cyber university, riset dan pengembangangan
hingga inovasi. Ada lima elemen penting yang harus menjadi perhatian dan akan
dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi untuk mendorong pertumbuhan dan daya saing Perguruan
Tinggi di era Revolusi Industri 4.0, yaitu:

  1. Persiapan
    sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi seperti penyesuaian
    kurikulum pembelajaran, dan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam hal data Information Technology (IT), Operational Technology (OT), Internet of Things (IoT), dan Big Data Analitic, mengintegrasikan
    objek fisik, digital dan manusia untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi
    yang kompetitif dan terampil terutama dalam aspek data literacy, finance and
    banking literacy
    , technological
    literacy
    and human literacy;
  2. Rekonstruksi
    kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap
    revolusi industri 4.0 dalam mengembangkan transdisiplin ilmu dan program studi
    yang dibutuhkan. Selain itu, mulai diupayakannya program Cyber University,
    seperti sistem perkuliahan distance learning, sehingga mengurangi intensitas
    pertemuan dosen dan mahasiswa. Cyber University ini nantinya diharapkan menjadi
    solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi
    yang berkualitas;
  3. Persiapan
    sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang
    responsive, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0. Selain
    itu, peremajaan sarana prasarana dan pembangunan infrastruktur pendidikan,
    riset, dan inovasi juga perlu dilakukan untuk menopang kualitas pendidikan,
    riset, dan inovasi;
  4. Terobosan
    dalam Tri Dharma yang mendukung Revolusi Industri 4.0 dan ekosistem riset dan
    pengembangan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan dan
    pengajaran, riset dan pengembangan serta pengabdian masyarakat di Perguruan
    Tinggi;
  5. Terobosan
    inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk meningkatkan produktivitas tenaga
    kependikakan (karyawan administratif Perguruan Tinggi).

Achievment IKPIA Perbanas sebagai Langkah Awal Perguruan
Tinggi Milenial

Berbagai upaya
dan usaha telah ditempuh serta beragam prestasi yang diperoleh oleh Perbanas
Institute demi mengejar cita-cita sebagai Perguruan Tinggi yang eksis di era
digitalisasi. Upaya tersebut antara lain :

  1. Literasi
    Keuangan Syariah Berbasis Digital DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) bekerja
    sama dengan Komisariat Perbanas Institute
  2. Literasi
    Keuangan Digital Konventional dengan OJK berbasis Lab. Perbanas Institute
    bekerjasama dengan OJK, PT. XDana Investama Indonesia
  3. Literasi
    Perbankan Konventional Mandiri dengan Perbanas Institute Pembukaan Kelas Kriya
    Mandiri kerjasama antara Perbanas Institute dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
  4. Literasi
    Keuangan Pembukaan Galeri Investasi Kerjasama Perbanas Institute Dengan Mnc
    Securitas
  5. Penghargaan
    Dari Kemenristek Dikti atas diraihnya penghargaan Perbanas Institute sebagai
    Perguruan Tinggi Peringkat Pertama Apresiasi Riset dan Pengembangan Kategori
    Institut dari Direktorat Sistem Riset dan pengembangan Dirjen Penguatan Riset
    dan Pengembangan bekerjasama dengan Lembaga layanan Pendidikan Tinggi Wilayah
    III
  6. Penggunaan
    Sistem E-Learning untuk Proses
    Perkuliahaan
  7. Penggunaan
    Sistem Terintegrasi Portal Akademik, Keuangan dan Registrasi Mhs
  8. Penggunaan
    Akses Jurnal Ilmiah Online yang terbaru saat ini adalah Emerald
  9. Kerjasama
    Pengabdian Masyrakat dengan Instansi Pemerintah, Perbankan, Korporat, dan IKM
  10. Proses
    Update Kurikulum atas Usulan dari User/Alumni dengan memasukan Bahan Kajian
    FinTech, TechFin dan Pokok Ajaran Berbasis IT
  11. Ketersediaan
    Data Management System [DMS] dan
    Evaluasi Kinerja Mutu Terintegrasi

Demikian gagasan
atau ide yang bisa saya paparkan selaku Alumnus Perbanas Institute S-1
Akuntansi Angkatan 2009, juga menempatkan posisi saya selaku Dosen Tetap
Perbanas Institute. Semoga Gagasan dan ide yang saya sampaikan menjadi secercah
cahaya untuk kita semua melakukan perubahan besar bukan hanya wacana semata.

Selamat Ulang
Tahun Perbanas, Barakallah Fii Umrik.
Semoga Tahun ini menjadi awal perubahan bagi Kampus tercinta kita menuju Kampus
yang mampu berkompetisi dan berprestasi, baik dari Dosen, Karyawan, Mahasiswa
maupun Lulusan di era Digitalisasi.




PENYALAHGUNAAN INFORMASI LAPORAN KEUANGAN

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi professional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal Yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan (Uniform Occupational Fraud Classification System). Dibawah ini akan di uraikan menegnai Jenis-jenis penyalahgunaan dalam pencatatan laporan keuangan :

  1. Whistle Blowing
    Jenis ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk membocorkan kecurangan yang telah dilakukan kepada pihak lain. Dalam kata lain adalah mebuka rahasia perusahaan.
  2. Embezzlement
    Embezzlement merupakan tindakan kecurangan dalam bentuk penggelapan hak milik organisasi untuk kepentingan pribadi (seperti penggunaan kas kecil (petty cash), pembuatan faktur tagihan fiktif, penggelebungan biaya perjalanan dinas dll).
  3. Kiting
    Kiting adalah suatu tindak kecurangan dengan cara memanfaatkan transfer bank yang dilakukan dalam bentuk pengiriman transfer uang ke rekening sebuah institusi boneka (dummy institution), seperti pendepositoan uang proyek terlebih dahulu untuk mendapatkan bunganya dan baru disetor kemudian pada saat akhir masa anggaran.
  4. Window Dressing
    Teknik ini dilakukan oleh manajer keuangan dengan cara meningkatkan atau menurunkan laba bersih yang tercatat dalam suatu tahun, dalam kata lain ini bisa dikatakan mengatur profit secara mulus atau mengatur pendapatan.
  5. Larceny
    Merupakan kecurangan yang dilakukan oleh oknum yang sebenarnya tidak memiliki otoritas atas fungsi yang dicuranginya. Contoh : pembuatan cek kosng, pengeluaran uang kas tanpa ijin pemilik otoritas.
  6. Lapping
    Lapping merupakan tindak kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan hasil pembayaran tagihan dari pelanggan untuk kepintingan pribadi, seperti pemakaian uang sewa suatu aset ke rekening pribadi sementara biaya operasional aset tersebut diambilkan dari anggaran rutin oerganisasi.
  7. Pilferage
    Pilferage adalah tindak kecurangan dalam bentuk pencurian atau pemakaian sarana kantor dalam jumlah kecil untuk kepentingan pribadi (petty corruption). Tindakan pilferage sangat sering dilakukan setiap saat dan berulang kali oleh hampir semua karyawan. Tindakan pilferage dilakukan dalam bentuk, seperti: pencurian atau pemakaian tidak bertanggung jawab alat tulis kantor (klip, kertas, pensil, dan lain-lain) dalam jumlah kecil-kecil dan berulang. Tindakan pilferage seakan sudah menjadi umum dan tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan. Pada umumnya para pelaku selalu memiliki rasionalisasi.
  8. Creative Accounting
    Creative Accounting adalah semua proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk di dalamnya standar, teknik, dll) dan menggunakannya untuk memanipulasi pelaporan keuangan (Amat, Blake dan Dowd, 1999). Pihak-pihak yang terlibat di dalam proses creative accounting, seperti manajer, akuntan, pemerintah, asosiasi industri, dll.
    Creative accounting melibatkan begitu banyak manipulasi, penipuan, penyajian laporan keuangan yang tidak benar, seperti permainan pembukuan (memilih penggunaan metode alokasi, mempercepat atau menunda pengakuan atas suatu transasksi dalam suatu periode ke periode yang lain).
  9. Fraud accaunting
    Kata fraud, penipuan yang disengaja (intentional deception), kebohongan (lying), dan curang (cheating) memiliki antonim kejujuran (truth), keadilan (justice), kewajaran (fairness), dan kesamaan (equity). Fraud juga bisa berupa pemaksaan terhadap seseorang untuk berkelakuan melawan keinginannya. Misalnya, seorang pegawai yang terbiasa jujur, namun karena ada kesempatan dan kondisi ekonomi yang menghimpit maka pegawai tersebut melakukan kecurangan-kecurangan yang menguntungkan pribadinya.

Kesimpulan
Contoh fraud atas kas yang paling umum di dunia bisnis adalah lapping dan kitting. Secara sederhana lapping didefinisikan sebagai suatu cara penggelapan uang kas dengan cara mengundur-undur pencatatan penerimaan kas. Hal ini dapat dilakukan untuk waktu yang tidak terlalu lama, dan mungkin juga dapat dilakukan untuk waktu yang sangat lama. Sedangkan kitting merupakan suatu jenis penyelewengan dengan cara tidak mencatat pembayaran tetapi mencatat penyetorannya dalam hal melakukan transfer bank. Disamping itu kitting juga dapat dilakukan dengan cara “window dressing”. Yang dimaksud dengan window dressing adalah yaitu bahwa keadaan posisi kas di bank dibuat lebih baik dari keadaan sebenarnya. Jadi keadaan kas yang sebenarnya tidak baik (kekurangan kas) dibuat menjadi lebih baik dengan menaikkan posisi atau nilai kas tersebut dari keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, akibat dari usaha penyelewengan tersebut maka penyediaan dan penggunaan kas pada perusahaan menjadi tidak efektif dan efisien.

Permintaan atas Konfirmasi Bank
Meskipun tidak disyaratkan oleh standar audit, auditor biasanya meminta konfirmasi dari setiap bank atau institusi keuangan lainnya yang berbisnis dengan klien, kecuali jika terdapat sejumlah besar akun yang tidak aktif. Jika bank tidak menjawab permintaan konfrimasi, maka auditor perlu mengirimkan permintaan kedua atau meminta klien berkomunikasi dengan bank untuk meminta mereka melengkapi dan mengembalikan konfirmasi kepada auditor, agar memudahkan auditor maupun pihak bank yang diminta mengisi konfirmasi, di Amerika Serikat, AICPA menyetujui penggunaan formulir bank standar.
Pentingnya konfirmasi bank dalam audit lebih dari sekedar verifikasi saldo kas aktual. Bank mengonfirmasi informasi pinjaman dan saldo bank dalm formulir yang sama. Infromasi pada wesel bayar pada bank, hipotek, dan utang lainnya biasanya memasukkan jumlah dan tanggal pinjaman, tanggal jatuh tempo pinjaman, tingkat bunga, dan adanya jaminan.
Bank tidak bertanggung jawab untuk mencari untuk mencari pencatatan atas saldo bank atau pinjaman selain yang dimasukkan dalam formulir dari klien KAP. Laporan di bagian bawah formulir meminta bank menginformasikan kepada KAP semua pinjaman yang tidak dimasukkan dalam konfirmasi dari bank yang memiliki informasi tersebut. Dampak dari tanggung jawab yang terbatas ini dalah untuk mensyaratkan auditor agar memenuhi tujuan kelngkapan atas saldo dan utang bank yang tidak tercatat dengan cara lain. Sama halnya, bank tidak perlu menginformasikan kepada auditor mengenai persyaratan kredit, persyaratan saldo kompensasi, atau kewajiban kontinjen ketika kewajiban dijaminkan. Jika auditor menginginkan konfirmasi tas jenis informasi ini, maka mereka harus mendapatkan konfirmasi yang terpisah dari institusi keuangan yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Setelah auditor menerima konfirmasi bank secara lengkap, saldo dalam akun bank yang dikonfirmasi oleh bank garus ditelusuri ke saldo yang disebutkan dalam konfirmasi bank. Sama halnya dengan informasi lain, dalam konfirmasi, juga garus ditelusuri ke skedul audit lainnya. Jika konfirmasi bank tidak sesuai dengan skedul audit, maka auditor harus memeriksa selisihnya.

REFERENSI
Hopwood, William S., et al. 2008. Forensic Accounting. By The McGraw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue of the Americas, New York, NY,10020.
Karni, Soedjono, 2000. Auditing, Audit Khusus, dan Audit Forensik dalam Praktik, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Arens, Alvin A., Elder,Randal J., Beasley,Mark S., Auditing and Issurance Service: An Integrated Approach, Sixhteen Edition, New Jersey : Prentince Hall, 2015.




Sharing Materi Seminar Finance & Accounting Club : Iman Harymawan, Ph.D

Silahkan klik link dibawah ini untuk mengunduh materi

Link Materi :

Research In Accounting & Finance




Sharing Materi Seminar Finance & Accounting Club : Prof. Ferdinand A.Ghul

Silahkan klik link dibawah ini untuk mengunduh materi diskusi di Post ini :

Terima Kasih  Salam

Link Materi :

Research in Accounting _ Finance




Approach to Writing Thesis-A Practical Guideline for Students and their Supervisors

Materi dalam bentuk PPT, Silahkan Klik Link dibawah ini, maka akan muncul Link Tautan File klik kembali

File akan otomatis terdownload

Approach to Writing Thesis-A Practical Guideline for Students and their Supervisors




How To Submit Paper In Journal

Materi dalam bentuk PPT, Silahkan Klik Link dibawah ini, maka akan muncul Link Tautan File klik kembali

File akan otomatis terdownload

How to submit paper in Journal.pptx

 

 




Logika Filsafat Ilmu Akuntansi Negara Timur

A.    PENDAHULUAN

Penerapan sistem akuntansi negara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi praktik penerapan ilmu akuntansi seperti adanya faktor budaya dan tradisi, agama dan kepercayaan serta pengaruh logika turun-temurun dari nenek moyang seperti ajaran dan adat istiadat (kebiasaan). Inilah yang menyebabkan secara tidak langsung adanya karakteristik perbedaan situasi dan kondisi dalam penerapan kebijakan akuntansi di setiap negara belahan dunia.

B.     FILSAFAT ILMU DAN PERKEMBANGAN AKUNTANSI

Ilmu Pengetauan merupakan pengabungan antara rasionalisme dan empirisme karena itu akuntansi merupakan ilmu yang menggunakan pemikiran untuk menganalisis data transaksi akuntansi dalam membuatan laporan keuangan dimana data transaksi akuntansi merupakan hal yang kongkrit dapat di respon oleh panca indera manusia.

Ilmu akuntansi digunakan sesuai dengan keperluan dalam suatu profesi tertentu sebagai aspek dalam axiology atau bagaimana ilmu akuntansi tersebut digunakan. Dalam aspek epistemology, ilmu akuntansi menjabarkan bagaimana langkah langkah atau proses dalam pembuatan suatu laporan keuangan dan bagaimana suatu transaksi saling mempengaruhi dalam suatu laporan keuangan. Sedangkan dalam aspek ontology, ilmu akuntansi menjelaskan apa isi atau hal yang di telaah dalam ilmu akuntansi tersebut.

C.    LOGIKA FILSAFAT AKUNTANSI NEGARA TIMUR

  1. Filosofi Akuntansi Negara Jepang
  • Sejarah Akuntansi Jepang

Jepang merupakan masyarakat tradisional dengan akar budaya dan agama yang kuat. Kesadaran kelompok dan saling ketergantungan dalam hubungan pribadi dan perusahaan berlawanan dengan hubungan independen yang wajar diantara individu-individu dan kelompok di negara-negara barat. Perusahaan Jepang saling memiliki ekuitas saham satu sama lain, dan sering kali bersama-sama memiliki perusahaan lain. Investasi yang saling bertautan ini menghasilkan konglomerasi industri yang meraksasa yang disebut sebagai keiretsu. Bank sering kali menjadi bagian dari kelompok industri besar ini.

Jepang merupakan masyarakat tradisional dengan akar budaya dan agama yang kuat. Kesadaran kelompok dan saling ketergantungan dalam hubungan pribadi dan perusahaan berlawanan dengan hubungan independen yang wajar diantara individu-individu dan kelompok di negara-negara barat. Sosial budaya masyarakat Jepang memiliki beberapa kekhasan atau keunikan tersendiri yaitu memiliki ikatan sosial masyarakat yang kuat antar sesamanya, memiliki budaya kerja keras dalam keseharian maupun profesionalitas kerja, memiliki budaya kerjasama atau hubungan yang lebih bersifat kooperatif dan saling menghormati terhadap sesama. Masyarakat Jepang sangat mengenal istilah “Nihonjinron” yang dimana memiliki definisi yaitu suatu paham kejepangan atau paham nasionalisme masyarakat Jepang terhadap negara mereka sendiri yang melihat bahwa bangsa Jepang memiliki keunikan yang membedakannya dari bangsda-bangsa lain yang ada di dunia.

Akuntansi di Jepang, sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat, serta budaya masyarakat Jepang, yang dikaitkan dengan filsafat di Jepang. Filsafat Jepang merupakan salah satu filasafat tertua ke dua di dunia, setelah China, selain filsafat India dan filsafat Barat, dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia. Filsafat Jepang sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.

Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat Jepang, yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Harmoni antara manusia dan sesama, manusia dengan alam, manusia dengan surga. Selalu dicari keseimbangan antara keduanya. Toleransi terlihat dalam keterbukaan terhadap pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan suatu pluriformitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Perikemanusiaan, karena selalu manusia dan matahari yang merupakan pusat filsafat Jepang, manusia yang pada hakikatnya baik dan yang harus mencari kebahagiaannya di dunia ini dengan memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan sesama manusia, sedangkan matahari dipercayai sebagai sumber yang memberikan semangat hidup bagi manusia.

Akuntansi di Jepang tak lepas dari adanya suatu kepercayaan terhadap dewa matahari, yang memberikan semangat kehidupan bagi masyarakat Jepang untuk bekerja, karena sinar matahari telah memancarkan cahaya bagi kehidupan masyarakat Jepang, sehingga mereka menganut ajaran “TAO” atau Taoisme.

Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Menurut Lao Tse/ Guru, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).

  • Taoisme Dalam Filsafat Ilmu

 Mula-mula oleh Sima-Tan aliran ini disebut filsafat jalan dan kebajikan. Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme mengagung – agungkan matahari sebagai dewa orang Jepang sampai sekarang. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal :

  1. bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negative;
  2. bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain;
  3. bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.
  4. bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang.
  • Ajaran Tao dalam Akuntansi Jepang

Akuntansi di Jepang tak lepas dari perkembangan awal filsafat Jepang. Dalam memahami asal mula Filsafat Jepang, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok tersebut. Dalam hal ini adalah :

  1. bahasa, seni, literatur, dan agama.
  2. akuntansi sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asli, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial.
  3. lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat.

Aspek Ilmu akuntansi di Jepang, terkandung beberapa hal :

Aspek Epistimologi

Dalam aspek epistimologi ilmu akuntasi menggunakan berbagai metode sesuai kebutuhannya.

Contoh :

Metode induktif digunakan pada saat pengambilan keputusan dengan melihat laporan tersebut, pihak berwenang akan menyimpulkan langkah apa yang akan di ambil. Metode positivism digunakan ketika akan membuat sebuah laporan keuangan harus menggunakan data yang ada atau yang telah di ketahui dengas bukti yang akurat berupa nota, dan lain – lain. (Jadi tradisi di Jepang, lebih mengutamakan keakuratan material daripada hanya sekedar laporan, nota dan sebagainya, sehingga perlu intensif melihat catatan – catatan kecil yang selalu dibuat).

Aspek Aksiologi

Dalam ilmu akuntansi, Hal yang menjadi alasan etika menjadi salah satu konsep bisnis yang mendasar, yaitu karena Etika adalah standar perilaku yang menjadi penilaian benar atau salahnya suatu tindakan. Sehingga tiap individu dapat melakukan aktivitasnya secara efektif dan menghindari penyimpangan yang terjadi dalam suatu bisnis perusahaan tersebut. Jepang sangat menekankan pada suatu etika dalam segala tindakan.

Aspek Ontologi

Hal yang di telaah atau yang menjadi isi dari ilmu akuntansi sebagai salah satu aspek ontology dalam ilmu akuntansi adalah prinsip akuntansi yang dikembangkan oleh asumsi dasar bagi proses akuntansi, prinsip akuntansi yang di jadikan standar universal, unsur dasar persamaan akuntansi dalam suatu laporan keuangan, dan jenis jenis laporan keuangan yang umum.

 

  1. Filosofi Akuntansi di Negara China

Para peneliti akuntansi menegaskan bahwa sejarah akuntansi Cina mungkin mulai hampir tiga ribu tahun yang lalu dan telah setua Mesir kuno akuntansi di Mesopotamia. Selama periode masa lalu, akuntansi Cina telah dimulai dengan aset yang dirancang pada tingkat lanjutan dan tingkat ini telah menjadi basis dasar dari tradisi akuntansi dan audit.

  1. Buku Akuntansi Cina
  • Sebelum tahun 1850-an tiga buku rekening telah membentuk struktur dasar dari sistem akuntansi China :
  1. Cao liu (memorandum)
  2. Xiliu (jurnal)
  3. Zongqing (ledger)
  • Praktek persiapan buku standar Cina adalah untuk menulis karakter di kolom vertikal dari atas ke bawah, dimulai dari sisi kanan halaman.
  • Sebuah keganjilan dari akuntansi periode Ming-Qing (1368-1911) adalah penggunaan paralel tiga jenis angka: angka caoma (bentuk komersial), angka hanti (bentuk standar) dan kuaji angka ti (bentuk akuntansi) , yang digunakan dalam buku-buku rekening masing-masing.
  1. Tahapan Metode Pembukuan Cina
  • Pembukuan berkembang sangat lambat di China kuno karena rendahnya tingkat kegiatan komersial.
  • Berasal dari ideologi Konfusianisme, perdagangan merupakan kegiatan yang sangat dibenci di Cina kuno, dan pedagang yang peringkat di antara yang terendah di society.
  • Tidaklah mengherankan selama berabad-abad setelah penemuan, sistem single-entry tetap metode pembukuan yang cukup baik untuk pemerintah dan swasta akuntansi.
  • Ada lima tahap tradisional untuk metodologi akuntansi pembukuan di Cina.
  1. ‘Ru-Chu’ (Metode Balancing Tiga Kolom). Pertama kali diterapkan pada masa dinasti Tang (AD 618-907) dan itu adalah sistem single-entry.
  2. Shizhufa (metode balancing empat kolom). Metode balancing Empat Kolom populer pada usia Song (AD 960-1279), Ming (AD 1368-1644) dan Qing (AD 1644-1911), menjadi format pelaporan standar akuntansi yang baik bagi pemerintah dan non-pemerintah.
  3. Sanjiao zhang (Pembukuan Tiga Kaki). Dieksplorasi Abad Pertengahan.
  4. Longmen zhang (dragon-gate pembukuan). Dipromosikan selama Dinasti Ming akhir dan awal Dinasti Qing
  5. Shijiao zhang (empat kaki pembukuan).

Perkembangan penting lainnya dalam kemajuan akuntansi Cina adalah munculnya empat kaki pembukuan pada abad kedelapan belas. Itu sistem yang lebih maju daripada metode pembukuan sebelumnya untuk pengklasifikasian akun. Metode pembukuan empat kaki mencatat semua transaksi dalam bentuk double-entry; baik tunai dan non tunai, dalam dua rekening yang sesuai di jurnal atau buku besar. Produk akhir terdiri dari dua laporan akuntansi yaitu :

  1. Laporan Caixiang (laporan laba rugi)
  2. Laporan cungai (neraca)

Namun bentuk double-entry  tidak banyak digunakan di China sampai abad kesembilan belas.

  • Akuntansi pada Dinasti Qing atau Setelah Perang Opium Pertama (1840)

Bagian dari reformasi sistem akuntansi dan audit adalah untuk menggantikan Departemen Pendapatan oleh Departemen Keuangan dan Belanja, yang bertanggung jawab untuk transportasi dari biji-bijian, perpajakan, manajemen pasar, bisnis dan transportasi, penyimpanan, gaji resmi, dana militer , manajemen pengeluaran, dan akuntansi. Juga akuntansi pemerintah mengadopsi debit dan kredit pembukuan untuk mencapai kontrol anggaran. Oleh karena itu, laporan dan rekening akhir tahunan dengan dokumen penerimaan dan pencairan harus diserahkan setiap bulan ke kantor audit untuk verification. Sebagai hasil dari perubahan besar-besaran dalam sifat, skala dan kecanggihan kegiatan ekonomi di China pada paruh kedua abad kesembilan belas, metode pembukuan Cina menjadi tidak cukup dan kehilangan efisiensi mereka.

Upaya perlawanan awal China pada adalah tentang modernisasi sistem akuntansi. Program modernisasi direncanakan untuk mengasimilasi metode Barat pembukuan melalui kode dalam Hukum Dagang, yang baru didirikan lembaga pendidikan, penerbitan buku teks, dan aplikasi metode dalam sektor publik dan swasta dalam rangka untuk melawan terhadap kekuatan asing dalam perang komersial dan industri.

Sampai pengenalan metode akuntansi Barat di paruh kedua abad kesembilan belas, Pembukuan di dinasti Qing ini berbentuk mode dasar:

  1. Sebagian besar lembaga komersial kecil dan menengah dan gaya bank lama digunakan sistem single-entry berdasarkan shizhufa, sementara minoritas dipekerjakan sanjiazhang tersebut.
  2. Sejumlah kecil perusahaan komersial skala besar mempekerjakan longmenzhang atau versi perbaikan dari itu.

 

Pengembangan Akuntansi China dan Profesi Akuntansi Pada Awal abad ke-20

Evolusi profesi akuntansi di Cina dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi, politik, budaya dan sosial. Setelah Dinasti Qing digulingkan oleh revolusi pada tahun 1911, sistem ekonomi feodal mulai hancur. Investor asing datang ke Cina dan kegiatan usaha dengan munculnya barat. pembangunan tersebut menarik akuntan publik asing bersertifikat ke Cina, dan pada tahun 1918 pemerintah China mengeluarkan Peraturan Sementara untuk Akuntan. akuntan publik profesional pertama kali muncul di Cina pada tahun 1918 ketika pemerintah Northern Warlord mengeluarkan Ketentuan Akuntan, yang menyatakan bahwa siapa pun yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bisa mengajukan permohonan sertifikat kepada pemerintah. Pendidikan akuntansi modern di tingkat universitas, dan teks akuntansi kontemporer diperkenalkan dengan mendirikan double-entry pembukuan. Undang-undang di bidang keuangan dan akuntansi juga diperbaiki oleh beberapa undang-undang.

  • Era Mao dan Sistem Akuntansi Komunis

Pengembangan akuntansi Cina berhenti dan berubah menjadi arah baru pada tahun 1949, ketika Partai Komunis China didirikan Republik Rakyat China. Ini adalah fase baru akuntansi Cina. Cina terutama mengadopsi contoh dari Uni Soviet pada awalnya dan menyusun peraturan akuntansi untuk berbagai tingkat departemen ekonomi. China mendirikan sebuah sistem akuntansi terpadu dengan characteristics budaya Cina secara spesifik.

Mao Zhedong memprakarsai Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966, setelah lima tahun bencana alam di mana ekonomi Cina mengalami kerugian yang sangat besar dan pertanian dan manufaktur hampir benar-benar runtuh. Tujuan lain dari Revolusi Kebudayaan adalah untuk menghilangkan semua budaya tradisional Cina; tujuan sebenarnya, namun adalah untuk membersihkan Partai Komunis semua lawan politik Ketua Mao. Revolusi ini benar-benar menghancurkan perekonomian Cina yang lemah. Produksi barang dan jasa, urusan pemerintahan, dan pendidikan semua terhenti. Pengembangan sistem akuntansi adalah suspended.

  • Kebijakan ‘Open Door’: Era Akuntansi Baru dengan Deng

Transformasi China di era Deng disebut sebagai ‘ekonomi pasar sosialis dengan characteristics Cina. Di bawah struktur komando, harga yang ditetapkan oleh dewan harga sentral mengandalkan data biaya yang disediakan oleh sistem akuntansi yang dirancang untuk melaporkan statistik agregat mengenai rencana pemenuhan. Oleh karena itu perhitungan biaya relatif akurat dan tunduk pada manipulasi politik. Sebagai transformasi ke ekonomi pasar berkembang, menetapkan harga yang berarti mengharuskan akuntansi biaya dikembangkan menjadi disiplin independen dan bukan hanya embel-embel dari system pelaporan keuangan kaku.

  • Perbandingan Antara Pra-Reformasi dan Pasca-Reformasi 1992.

Hal ini dapat diringkas dalam empat poin: penggantian pernyataan saldo dana dengan neraca sesuai model Barat; pengenalan laporan perubahan dalam posisi keuangan; pengurangan jumlah laporan, termasuk penghapusan pernyataan biaya dan biaya struktur; inklusi wajib catatan dan rasio analysis.

  • Sebelum Tahun 2005

Seluruh perusahaan milik Negara akan diwajibkan untuk mengadopsi ASBE dan selanjutnya akan diperluas kepada seluruh perusahaan berukuran menengah dan besar.

  • 15 Februari 2006

Ministry of Finance (MOF): Bertanggung jawab merumuskan, menyebarkan, dan mengelola standard akuntansi. Pada 15 Februari 2006 MOF Cina memperkenalkan Accounting Standards for Business Enterprises (ASBEs) yang juga telah mengkover aspek-aspek yang ada pada IFRS.

Perbedaan lain antara China dan negara-negara Barat terletak pada pengguna informasi akuntansi yang berbeda. Kualitas akuntan profesional China ‘perlu ditingkatkan karena mereka memiliki kualitas keseluruhan miskin dan kekurangan dalam hal kemampuan penilaian profesional. Selain itu, dengan perubahan konstan dalam standar akuntansi dan sistem dalam beberapa tahun terakhir, mereka tidak memiliki cukup waktu untuk menyerap dan memahami ini pengetahuan baru, menyebabkan kesulitan selama pelaksanaan standar akuntansi. Upaya yang lebih besar harus dilakukan China untuk berpartisipasi aktif dalam koordinasi internasional standar akuntansi untuk memperluas pengaruh kekuasaan China dalam pembentukan standar akuntansi internasional, untuk mendapatkan hak untuk berbicara dalam IASB dan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar.

Konvergensi internasional standar akuntansi telah menjadi tren historis tak tertahankan. Penerbitan standar akuntansi bisnis baru China telah mencapai konvergensi substantif dengan IFRS. Terlepas dari beberapa perbedaan kecil, China telah dikhususkan untuk pembangunan standar akuntansi konvergen dengan IFRS dengan upaya pemerintah Cina dalam banyak aspek dan dukungan pengalaman dari asing yang relevan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Akuntansi China

  • Konfucianisme

Konfucianisme dikembangkan pertama kali oleh Confucius. Siapa Confucius? Akuntan atau Philosopher di Timur Bagian dari Paradise. Konfusius dibesarkan dalam kemiskinan. Sebagai seorang remaja, ia melakukan pekerjaan akuntansi di negaranya. Konfusius belajar secara mandiri. Konfusius bepergian dari negara ke negara di Cina untuk mendorong para pemimpin untuk mengejar filosofinya, untuk alasan ini, ia mendirikan sebuah sekolah untuk melatih para pemimpin, juga mengajarkan mereka sejarah Cina dan sastra klasik.

Confucianisme bukanlah suatu agama, tetapi lebih kepada pengajaran falsafah untuk mempertingkatkan moral dan menjaga etika manusia, salah satunya terkait falsafah dan etika yang mengajarkan bagaimana manusia bertingkah laku, seperti nilai kemanusiaan-kebajikan, kebenaran, kepatuhan, kebijaksanaan dan kejujuran.

Memasuki abad modern, ajaran-ajaran itu mulai dianalisis, dikembangkan, dan diterapkan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat modern. Etika budaya tradisional China tidak mendukung motif keuntungan dan hasrat. Gagasan moral Konfusianisme berfokus pada Yi (keadilan) sementara kebanyakan orang-orang berpikir tentang Li (profit) adalah suatu etika yang mengarahkan perilaku masyarakat dalam sejarah Cina selama ribuan tahun. Dalam budaya tradisional Cina, Yi dan Li yang berlawanan. Keinginan untuk keuntungan diterima sebagai suatu kejahatan bagi masyarakat. Konfusianisme Wu Lun mengutuk setiap link pembuatan keuntungan dan kegiatan komersial dengan nobleman.

Filsafat Konfusianisme membentuk dasar dari sikap kognitif Cina, yang juga telah mempengaruhi perkembangan pembukuan dan praktek akuntansi Cina. Konservatisme menekankan kesesuaian dengan perlindungan status tatanan sosial yang lebih besar. Konservatisme juga menarik kemajuan. Selama evolusi akuntansi Cina, kemajuan yang lambat dan perubahan dipandang sebagai ciri utama dari accounting.

  • Feng Shui

Feng Shui adalah adalah ilmu topografi kuno dari Cina yang mempercayai bagaimana manusia dan surga (astronomi), serta bumi (geografi) dapat hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki kehidupan dengan menerima Qi positif. Qi terdapat di alam sebagai energi yang tidak terlihat.

  1. Pengaruh terhadap Akuntansi:

Penamaan Double Entry Accounting “Longmen Zhang Bookeeping” yang artinya matching bookeeping system, menggunakan unsur Feng shui à Long men (Gerbang Naga) & Zhang (sistem akuntansi).

  • Yin Yang

Yin Yang memiliki 2 arti yaitu:

  1. Konsep Yin-Yang telah ada ribuan tahun yang lalu, bersumber dari kitab perubahan (I-ching).
  2. Yin and Yang adalah konsep dalam filosofi China yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu sama.

Yin Yang dan Akuntansi :

  • Melambangkan Keseimbangan. Dalam sistem pencatatan akuntansi double declining mencatat kedalam dua kolom, yaitu debet dan kredit atau dalam bahasa cina “shou” dan “fu” yang berarti uang masuk sama dengan uang keluar.
  • Realistas Dualisme. Informasi yang terkandung dalam akuntansi, bagaimana investor dapat menentukan investasinya dengan melihat laporan keuangan suatu perusahaan atau bagaimana cara perusahaan menekan biaya produksi sehingga menjadi low cost leadership dipasar.
  • Roda yang terus berputar. Senada dengan akuntasi yang dalam proses akuntansi memiliki siklus yang di mulai dari jurnal – buku besar – jurnal penyesuain – laporan keuangan – jurnal penutup dan kembali lagi ke jurnal.
  • Tidak ada kesempurnaan. laporan keuangan wajar bukan benar karena dalam akuntansi terdapat akun akun yang mengandung estimasi.

Dengan cara berpikir tradisional Cina, Yin & Yang dinyatakan sebagai satu aspek dan akhirnya sistem yang sama, (yaitu roh atau tubuh, dll) dan hilangnya salah satu dari mereka akan hancur sistem. Di bawah pengaruh ini, akuntansi Cina dikembangkan dengan jelas perbedaan antara rekening, namun sangat menekankan keseimbanga. Seperti yang diamati pada metode pembukuan Longmen, pembukuan double-entry paling maju dalam sejarah akuntansi mencerminkan kurangnya pemisahan khas antara kewajiban dan pendapatan modal. Prinsip dasar pembukuan Cina adalah bahwa arus kas masuk harus sama dengan uang tunai yang keluar.

  • Buddhism

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam Agama Budha.  Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Faktor-faktor Budaya yang Mempengaruhi Akuntansi China

  1. Nilai Sosial Cina di Akuntansi (Analisis Teori Hofstede)

Hofstede mengevaluasi nilai-nilai sosial Akuntansi Cina dari Teori Dimensi Budaya seperti tabel berikut :

Power Distance : Large

Tingginya power distance ini disebabkan oleh struktur masyarakat China yang hierarkis (pengaruh kerajaan). Dampaknya: konservatisme dalam perhitungan dan disclosure rendah.

Individualism vs Colectivism

Kolektivisme didefinisikan sebagai subordinasi tujuan pribadi dengan tujuan dari kelompok kerja dengan penekanan pada berbagi dan harmoni kelompok. Oleh karena itu, budaya Cina didefinisikan sebagai dinamika Konghucu yang melambangkan nilai-sistem Timur, khususnya value. Budaya Cina pada dasarnya ditandai dengan kolektivisme yang sangat kelompok atau berorientasi massa.

China cenderung pada hidup secara kolektif. Kondisi ini dipengaruhi oleh ajaran ajaran Budha, Konfusianisme, dan ajaran lain yang mengajarkan harmonisasi dan kerja sama. Akibatnya mereka mudah berkomitmen dan profesionalisme juga meningkat. Namun secrecy menjadi tinggi. Contoh: related party transaction tidak banyak didisclosure. (Zhang and Liu, 2010)

Maskulinity vs Feminity

China cenderung feminim dimana mengutamakan hubungan sosial, kesopanan, dan perhatian. Terlihat dari hirarkis yang tinggi dan cara China bersosialisasi. Akibatnya menjadi kurangnya transparansi sebagai akibat dari kurangnya kompetisi.

Uncertainty Avoidance

Kebanyakan negara Asia seperti China, Jepang, dan Indonesia termasuk ke dalam negara-negara yang menghindari ketidakpastian. Akibatnya mereka cenderung konservatif. Contoh: Dalam ASBEs penilaian aset hanya diperbolehkan menggunakan historical cost.

Long Term Orientation

Sebagai akibat dari ajaran-ajaran yang banyak berkembang di China, masyarakat China cenderung berorientasi jangka panjang. Salah satu tandanya adalah kebanyakan masyarakat China lebih suka hemat, hidup sederhana dan harmonis.

Dalam penelitian terbaru, kebanyakan peneliti mengklaim bahwa ‘budaya’ adalah faktor dominan di antara pengaruh lingkungan di yang mempengaruhi Evolusi China Akuntansi di China. Menurut beberapa peneliti: “Chinese akuntansi sangat tergantung pada budaya”. Dalam argumen berikut, peneliti mengklasifikasikan budaya Cina menjadi dua bagian :

  • budaya tradisional Cina (berakar pada Konfusianisme dan filsafat Buddha dan diturunkan dari generasi ke generasi)
  • budaya modern Cina (dienkripsi dan dibuat dalam terang struktur sosialis)

3. Filosofi Akuntansi di Negara Korea

Aspek Ilmu akuntansi di Jepang, terkandung beberapa hal :

Proses adopsi IFRS di Korea cukup bergelombang naik : ada masalah yang berkaitan dengan biaya tambahan yang tak terduga, kurangnya profesional akuntansi, sentimen publik unwelcoming, dll. Ketika mencoba untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, negara  Korea menyadari bahwa sangat penting dalam mempromosikan keberhasilan implementasi IFRS di negara manapun untuk melakukan diskusi tentang IFRS antara konstituen di dalam dan di luar negeri; mencegah stres psikologis stakeholder dengan memberikan pendidikan dan promosi IFRS yang cukup; dan menerima lebih banyak dukungan yang kuat dari IFRS Foundation. Mengadopsi IFRS berarti mengubah bahasa pelaporan keuangan suatu negara. Dengan demikian, seperti peristiwa penting akan dilakukan dengan lancar hanya jika disertai dengan kemauan yang teguh dari negara yang mengadopsi, reorganisasi sistem terkait, dan dukungan yang kuat dari Yayasan. Pembahasan ini juga melihat mengenai fakto yang mempengaruhi perkembangan akuntansi di korea yang dapat dilihat dari berbagai aspek.

  1. Aspek Epistimologi

Pada umumnya sumber pendanaan di Korea sama dengan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Cina, dan Filipina. akuntansi memiliki focus atas seberapa baik manajemen menjalankan perusahaan (profitabilitas) dan dirancang untuk membantu investor menganalisis arus kas masa depan dan resiko terkait. Pengungkapan dilakukan sangat lengkap untuk memenuhi ketentuan kepemilikan public yang luas. Sebaliknya, dalam sistem berbasis kredit di mana bank merupakan sumber utama pendanaan, akuntansi memiliki focus pada perlindungan kreditor melalui pengukuran akuntansi yang konservatif dalam meminimumkan pembayaran dividen dan menjaga pendanaan yang mencukupi dalam rangka perlindungan bagi para peminjam.

SISTEM HUKUM

Dalam hukum pidana Indonesia dan sistem hukum pidana Korea pada prinsipnya menganut 3 (tiga) teori pemidanaan yaitu teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (tujuan) dan teori gabungan(prinsip dasar pelaksanaan penjatuhan pidana karena semata-mata taat pada aturan hukum). Berdasarkan sistem pidana tersebut, pemidanaan adalah upaya akhir (ultimum remedium) dalam menangani setiap tindak pidana dengan menyingkirkan pelaku tindak pidana dengan pidana mati ataupun penjara. Dan diharapkan dengan adanya hukuman tersebut dapat menyadarkan semua masyarakat untuk berbuat baik sehingga terpelihara ketentraman hidup dan kelangsungan hidup masyarakat. Elaborasi serius dari berbagai sumber.

PERPAJAKAN

Di korea atau beberapa negara lainnya ada istilah ‘earmarked taxes’, pajak pusat yang penerimaannya sudah jelas ditujukan utk bidang2 tertentu. Contoh earmarked taxes di Indonesia adalah iuran yang ditarik pemegang HPH utk dana reboisasi pada era Soeharto.

Di Korea salah satu bidang yang mendapat dana dari earmarked taxes adalah pendidikan, jd disebut ‘education tax’. Bidang lainnya adalah transportasi-energy-environment dan rural development. Bisa salah paham dengan istilah ‘education tax’, seolah2 pajak yang dikenakan atas jasa pendidikan. ‘Special Tax for Rural Development’ bisa salah diartikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap Wajib Pajak di daerah terpencil. Padahal maksudnya adl pajak yang penerimaannya dijamin UU utk tujuan pendidikan atau pengembangan daerah terpencil.

Education tax di Korea dikenakan terhadap Wajib Pajak bank dan asuransi, manufaktur/importir, penjual brg2 mewah seperti berlian, operator pacuan kuda, lapangan golf, produsen BBM, minuman keras. Tarif education tax utk bank dan asuransi adl 0,5% dari omset bruto atau Rp. 5 juta untuk setiap Rp 1 M omset.

INFLASI

Korea akan memberlakukan pengenaan pajak untuk utang dalam mata uang asing yang dimiliki oleh bank domestik maupun swasta. Langkah ini dimaksudkan untuk mempertahankan Korea dari banjirnya modal yang dikhawatirkan akan memperburuk perekonomian mereka. Pengumuman yang dikeluarkan Minggu (19/12) di Seoul itu dilakukan setelah terlihat ada kenaikan pesat permodalan dari luar negeri yang sering disebut sebagai hot money. Masuknya aliran dana ini menyebabkan kurs won menguat dan menyebabkan pasar mereka menjadi tidak stabil. Para investor asing mencari imbal hasil yang lebih tinggi di negara-negara berkembang. Korea telah mengumumkan pembatasan investasi yang dapat dilakukan oleh bank domestik dan asing pada perdagangan derivatif valuta asing. Juga telah diberlakukan adanya pajak untuk investasi asing pada obligasi pemerintah sebagai salah satu cara melindungi diri mereka dari instabilitas finansial.

TINGKAT PERKEMBANGAN EKONOMI

Pada tahun 1950-an Korea adalah salah satu negara termiskin di dunia. Sama miskinnya dengan negara-negara termiskin di Afrika dan Asia. Ekonominya hanya bersandar pada pertanian, belum lagi sempat hancur gara-gara pendudukan Jepang dan Perang Korea. Pada tahun 1960-an Perekonomian Korea telah mencatat rekor perkembangan yang luar biasa. Perkembangan ini terutama ditentukan lewat integrasi negara ini kepada perekonomian dunia yang modern dan berteknologi tinggi. Selama kurun waktu 1980-an pendapatan perkapita Korea telah setara dengan pendapatan negara-negara Uni Eropa, Korea mengadopsi sistem kedekatan antara sektor pemerintahan dan bisnis yang termasuk juga kredit yang terarah, pembatasan impor, dan pensponsoran industri-industri khusus. Pemerintah Korea mendorong impor bahan-bahan baku mentah dan teknologi dengan mengorbankan barang konsumtif serta mendorong masyarakat untuk menabung dan melakukan investasi.

Namun demikian, seiring dengan gelombang krisis ekonomi yang melanda Asia, Korea tidak terkecualikan sebagai salah satu negara yang terkena krisis. Rasio hutang yang tinggi, pinjaman yang tinggi, serta ketidakdisiplinan sektor ekonomi telah menjatuhkan perekonomian Korea pada tahun 1998. Setelah empat tahun berada dalam pengobatan yang dilakukan oleh IMF, perlahan perekonomian Korea meningkat kembali secara gradual. Dituntun oleh pengeluaran konsumsi serta peningkatan ekspor yang signifikan, pada tahun 2002 Korea mencatat perkembangan perekonomian yang ditandakan oleh peningkatan GDP sebesar 7 persen yang juga menandakan kelulusannya dari program dan pengawasan IMF. Korea telah membayar kembali sisa pinjamannya sebesar US$ 19,5 milyar, dua tahun lebih cepat dari perkiraan semula. Antara tahun 2003 – 2005, pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 4 persen.

Pada tahun 2005, pemerintah membuat proposal tentang pengesahan reformasi kaum buruh dan skema dana pensiun perusahaan untuk membuat pasar tenaga kerja lebih fleksibel. Pemerintah juga memperkenalkan kebijakan real-estate untuk mendinginkan spekulasi yang dibuat oleh sektor properti. Perkembangan yang positif ini dibarengi dengan berbagai upaya restrukturisasi di sektor keuangan, korporasi dan publik. Pemulihan ekonomi Korsel yang berlangsung cepat tersebut sebagian besar juga didukung dengan penerapan kebijakan suku bunga yang rendah dan stabilisasi pasar domestik. Kebijakan ini pada gilirannya mendorong iklim investasi dan permintaan domestik.

Menurut Kementerian Ekonomi dan Keuangan Korea, pada tahun 2006 perekonomian Korea akan terus berkembang walaupun ancaman kondisi eksternal seperti harga minyak dunia tetap membayangi. Pada tahun 2006 ini, Korea telah mereformasi sektor perpajakan yang sejalan dengan arah kebijakan ekonomi makro Korea pada paruh kedua tahun 2006. Komposisi perekonomian dilihat dari pendapatan per kapita Korea adalah sebesar 3.3 persen untuk sektor pertanian, 40.3 persen untuk sektor industri, dan 56.3 persen untuk sektor Jasa.

 PENDIDIKAN

Menurut teks-teks kuno, pendidikan di Korea telah ada semenjak jaman Tiga Kerajaan (57 SM – 668 M) dibawah pengaruh sistem pendidikan Cina yang memang sangat maju pada jaman itu.

Pada tahun 372 institusi pendidikan tinggi dengan nama T’aehak (Akademi Konfusius Nasional) didirikan oleh Kerajaan Koguryo (37 SM – 668 SM). Institusi serupa dengan nama Kukh’ak (Universitas Konfusius Nasional) juga didirikan pada tahun 682 ketika masa pemerintahan Kerajaan Shilla (57 SM – 935 M). Kerajaan Shilla juga menciptakan sistem pelatihan unik yang dinamakan hwarangdo, untuk melatih pemuda-pemudia dari kalangan bangsawan.

Pada masa kerajaan-kerajaan ini hingga abad ke-19, pendidikan di Korea memfokuskan pada mempelajari literatur-literatur Cina dan Konfusianisme. Hingga pada akhir abad ke-19, ketika Korea membuka diri terhadap barat dan mulai mengadopsi pendidikan gaya barat.

BUDAYA

Ada sebuah tradisi / kebiasaan yang cukup terkenal di Korea. Tradisi ini dinamakan “Sesi Custom”. Tradisi sesi dilaksanakan sekali setiap tahun. Sesi adalah sebuah tradisi untuk mengakselerasikan ritme dari sebuah lingkaran kehidupan tahunan sehingga seseorang dapat lebih maju di lingkaran kehidupan tahun berikutnya. Tradisi Sesi dilaksanakan berdasarkan kalender bulan (Lunar Calender). Matahari, menurut adat Korea, tidak menunjukkan suatu karakteristik musiman. Akan tetapi, Bulan menunjukkan suatu perbedaan melalui perubahan fase bulan. Oleh karena itu, lebih mudah membedakan adanya perubahan musim atau waktu melalui fase bulan yang dilihat.

2. Aspek Aksiologi

Perekonomian yang maju dan teknologi yang semakin canggih salah satunya disebabkan oleh gaya manajemen perusahaan Korsel, baik yang berskala besar konglomerat “chaebol” maupun yang menengah dan kecil senantiasa mencerminkan nilai dan filosofi dasar yang mereka anut. Secara keseluruhan perusahaan memberi tekanan pada harmoni antar-manusia, rasa menyatu, kerjasama, pengabdian, sikap rajin kerja, orisinalitas dan kreativitas dan mengejar pembangunan pribadi. Selain itu, dalam ideologi dan sasaran bisnis, kejujuran, kredibilitas, efisiensi dan usaha meningkatkan mutu dan tanggung jawab menjadi acuan setiap karyawan mulai dari yang paling top sampai yang terendah.

Kesenian tradisional di Korea, dalam hal ini musik dan tarian, diperuntukkan khusus sebagai suatu bagian dalam penyembahan “ lima dewa”. Ada beberapa alat musik tradisional yang digunakan, misalnya hyeonhakgeum (sejenis alat musik berwarna hitam yang bentuknya seperti pipa dengan tujuh buah senar) dan gayageum (alat musik mirip hyeonhakgum tetapi bentuk, struktur, corak, dan cara memainkannya berbeda dan memiliki dua belas buah senar).

Musik di Korea dibedakan menjadi 2 macam, yaitu musik Jeongak dan musik Minsogak. Musik jeongak atau yang biasa disebut musik istana adalah musik yang dahulu hanya dimainkan atau dipentaskan oleh masyarakat kelas atas. Sedangkan musik minsogak adalah musik yang biasa dimainkan oleh kebanyakan rakyat Korea dan tidak memandang siapa yang memainkannya.

Tarian tradisional yang cukup terkenal di Korea antara lain cheoyongmu (tarian topeng), hakchum (tarian perang), dan chunaengjeon (tarian musim semi) yang ditarikan sebagai tanda terima kasih kepada dewa Irwolseongsin dan dewa Sancheonsin atas panen yang berhasil.

Rumah tradisional Korea disebut Hanok. Hanok biasanya terdiri dari bagian dalam (anchae), bagian untuk pria (sarangchae), ruang belajar (sarangbang), dan ruang pelayan (haengrangbang). Masyarakat tradisonal Korea memilih tempat tinggal berdasarkan geomansi. Masyarakat Korea pun meyakini konsep Eum dan Yang (baik dan buruk) yang harus diseimbangkan untuk memilih suatu tempat tinggal. Selain itu, rumah yang dibuat harus berlawanan arah dengan gunung dan menghadap ke arah selatan. Rumah-rumah di Korea mepunyai alat penghangat bawah tanah yang disebut Ondol.

Bahasa yang digunakan di Korea adalah bahasa Korea. Penulisan bahasa Korea dinamakan Hangeul. Hangeul diciptakan oleh Raja Sejong pada abad ke 15. Hangeul terdiri dari 10 huruf vokal dan 14 konsonan yang bisa dikombinasikan menjadi banyak sekali huruf-huruf dalam bahasa Korea. Hangeul sangat mudah dibaca dan dipelajari. Hangeul juga dianggap sebagai bahasa tulisan yang paling sistematik dan scientific di dunia

 3. Aspek Ontologi

Korea Accounting Standards Board (KASB) telah merilis sebuah laporan pada pelajaran dari adopsi Korea dari International Financial Reporting Standards (IFRS). Laporan ini menguraikan sejarah adopsi Korea IFRS, langkah-langkah yang dilakukan dalam persiapan untuk dan selama transisi ke IFRS, dan rekomendasi bagi negara-negara lain mempertimbangkan mengadopsi IFRS.

Korea mengumumkan ‘roadmap’ untuk adopsi setara Korea International Financial Reporting Standards (K-IFRS) pada tahun 2007. Berdasarkan peta jalan, semua perusahaan yang terdaftar diminta untuk menyiapkan laporan keuangan tahunan mereka di bawah K-SAK dari 2011. Selain itu, perusahaan yang terdaftar selain lembaga keuangan yang diizinkan untuk menerapkan K-IFRS mulai tahun 2009.

Laporan ini memberikan ringkasan jumlah entitas menerapkan IFRS di Korea:

IFRS 14 entitas awal diadopsi pada tahun 2009

IFRS 59 entitas awal diadopsi pada tahun 2010

Sebanyak 3.126 entitas, termasuk 1.783 entitas yang terdaftar, 201 lembaga keuangan non-terdaftar dan 1.142 entitas non-terdaftar, mulai menerapkan IFRS pada tahun 2011. Laporan itu menyatakan bahwa adopsi Korea berhasil karena “pihak yang berkepentingan telah benar-benar siap untuk adopsi IFRS secara multilateral sejak pengumuman Roadmap”, termasuk terjemahan cepat dari IFRS ke dalam bahasa Korea, perubahan yang efektif undang-undang dan peraturan pemerintah, dan dukungan akuntansi profesional dan organisasi bisnis, dan persiapan entitas.

Laporan ini berisi bab yang ditujukan untuk masalah-masalah yang dihadapi dalam proses transisi Korea, termasuk:

  • Langkah dari lebih “persyaratan khusus dan rinci tentang berbagai transaksi dan kejadian yang berbeda” di bawah Korea GAAP untuk lebih “berdasarkan prinsip” rezim berdasarkan IFRS yang memerlukan pertimbangan profesional, dan akuntan profesional cukup terlatih
  • Penekanan pada pelaporan substansi ekonomi transaksi, yang memiliki dampak di berbagai bidang seperti klasifikasi saham preferen, pengukuran cadangan dan securitisations kerugian pinjaman
  • Perubahan dari praktek Korea masa lalu pada saat konsolidasi, perubahan batas-batas entitas pelapor.
  • Perluasan penggunaan akuntansi nilai wajar, memberikan informasi yang lebih relevan tetapi memperkenalkan volatilitas lebih dalam laporan keuangan dan membutuhkan pengukuran yang dapat dipercaya.

Beberapa efek langsung adopsi dicatat dalam laporan tersebut meliputi penghapusan kebutuhan untuk perusahaan-perusahaan Korea penggalangan dana di pasar luar negeri untuk mempersiapkan beberapa set laporan keuangan dengan berbagai GAAPs, meningkatkan transparansi, dan status internasional ditingkatkan dan peran Korea.

Ringkasan eksekutif laporan catatan berikut:

Proses adopsi IFRS di Korea agak bergelombang naik: ada masalah yang berkaitan dengan biaya tak terduga tambahan, kurangnya profesional akuntansi, sentimen publik unwelcoming, dll. Ketika mencoba untuk mengatasi hambatan-hambatan, bagaimanapun, Korea menyadari bahwa berikut sangat penting dalam mempromosikan keberhasilan implementasi IFRS di negara manapun. Mengadopsi IFRS berarti mengubah bahasa pelaporan keuangan suatu negara.

 

REFRENSI

Auyeung, P. K. (2002). “A comparative study of accounting adaptation: China and Japan during the nineteenth century.” The Accounting Historians Journal: 1-30. Diambil di : http://www.accountingin.com/accounting-historians-journal/volume-29-number-2/a-comparative-study-of-accounting-adaptation-china-and-japan-during-the-nineteeth-century/

Gordon, W. D. (1999). A critical evaluation of Japanese accounting changes since 1997, University of Sheffield.

Solaş, Ç. and S. Ayhan (2007). “The historical evolution of accounting in China: the effects of culture.”

Suzuki, T. (2007). “A history of Japanese accounting reforms as a microfoundation of the democratic socio-economy: Accountics Part II.” Accounting, Organizations and Society 32(6): 543-575.

Zhang, H. and X. Liu (2010). “On the Construction of China’s Accounting Standard System with International Convergence in Accounting Standards.” International Journal of Business and Management 5(4): 200.

https://n2cs.wordpress.com/2013/03/12/filsafat-ilmu-akuntansi/

http://einstein09.blogspot.com/2011/05/kebudayaan-jepang.html/

https://putrijulaiha.wordpress.com/2014/06/13/sistem-akuntansi-negara-jepang/

https://n2cs.wordpress.com/2013/03/12/filsafat-ilmu-akuntansi/

http://einstein09.blogspot.com/2011/05/kebudayaan-jepang.html/

https://putrijulaiha.wordpress.com/2014/06/13/sistem-akuntansi-negara-jepang/

http://dananggwijaya.blogspot.co.id/2014/04/standar-akuntansi-keuangan-di-korea.htm

http://www.iasplus.com/en/news/2013/06/jurisdiction-profiles

https://putrijulaiha.wordpress.com/2014/06/13/sistem-akuntansi-negara-jepang/

https://yuyunchelsea.wordpress.com/2014/04/27/standar-akuntansi-ifrs-di-negara-jepang/