hibah dan wasiat dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum positif

Tulisan ringkas ini terinspirasi dari diskusi yang manis dengan rekan-rekan dosen di lantai 6 unit 5 dan diskusi di reboan at tawazun

Dalam perjalanan hidup seringkali kita tidak bisa lepas dari masalah yang menyangkut harta keluarga. Harta yang bisa dimanfaatkan selama masih hidup ataupun setelah meninggal dunia oleh anak keturunan kita. Salah satu persoalan yang berkaitan dengan harta keluarga adalah menyangkut hibah atau hadiah dan juga wasiat. Kedua persoalan ini diatur secara jelas baik dalam koridor hukum Islam maupun koridor hukum positif.

1. Perihal Hibah dan hadiah
a. Didalam Hukum Islam antara hibah dengan hadiah dibedakan pengertiannya. Hibah lebih kepada kerelaan seseorang untuk melepas harta miliknya yang dikuasai secara sempurna dan biasanya benda tetap kepada orang atas dasar iba atau pertimbangan kemanusiaan (ketimbang alasan mencari ridho/pahala dari Allah). Sedangkan hadiah merujuk pada pemberian atas benda tidak bergerak yang mudah dipindahkan/diserahkan dan berdasarkan Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan dishahehkan oleh syaik Al Albani, bahwa hadiah diberikan karena mengharapkan Allah menurunkan dan menautkan hati dengan cinta kepada orang yang saling memberi hadiah….kalimatnya yang jelas adalah: saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai. Berdasarkan pengertian diatas maka hibah ataupun hadiah diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang juga masih hidup
Hibah ataupun hadiah tidak bisa ditarik kembali bahkan didalam hadis Nabi dinilai sangat hina orang yang memberikan hibah atau hadiah kemudian ditarik kembali….seperti anjing yang menjilat muntahnya.

b. Sedangkan didalam Hukum Posistif, perihal hibah atau hadiah hampir memiliki pengertian yang sama dan diatur secara jelas didalam KUHPerdata.Didalam Pasal 1666 sd 1693 KUHPerdata diatur persoalan hibah. Pengertian didalam KUHPerdata tersebut, bahwa hibah adalah persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu, penghibahan tersebut adalah bagi kepentingan para pihak yang masih hidup
Yang juga penting diperhatikan dalam hibah menurut Hukum Positif adalah bahwa hibah dilakukan oleh orang yang sdh dewasa (bisa benda tetap maupun benda bergerak) dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat dinotaris. Bahkan ketentuan didalam KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan PP No. 24/1997 tentang pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan ini sangat jelas karena telah terjadi peralihan hak dan dengan demikian maka hibah (atas benda tetap) menurut Hukum Positif tidak dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan pemberian berupa hibah yang menyebabkan “terdzolimi” hak ahli waris dapat dibatalkan (Lihat pasal 881) KUHPerdata. Hak ahli waris masuk kedalam kategori “legitieme portie” yaitu bagian mutlak atas warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dan dilindungi oleh Undang Undang (didalam Hukum Islam pemberian Hibah dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang ada—ini bertujuan untuk melindungi hak ahli waris dan jika melebihi ketentuan yang ada maka ahli waris dapat mengugat untuk membatalkan hibah dimaksud-Lihat Quran Al Ahzab/QS 33: 4-5 dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam/KHI). Untuk menghindari gugatan dikemudian hari, biasanya notaris meminta persetujuan para ahli waris terhadap hibah yang akan dibuatkan aktanya.

2. Perihal wasiat
a. Wasiat didalam hukum Islam berasal dari bahasa arab yang telah menjadi bahasa Indonesia baku. Memiliki pengertian yang luas , yaitu bisa menjadi pengertian sebagai nasihat/pesan penting untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Biasanya wasiat diberikan saat seseorang akan meninggal dunia atau akan melakukan perjalan jauh. Selain wasiat memiliki pengertian pesan maka yang sering diartikan adalah sebagai wasiat terhadap harta yang akan ditinggalkan.
Didalam hukum Islam, memberikan wasiat menjadi wajib bagi seseorang yang akan meninggal atau bepergian jauh terhadap hal-hal yang prinsip misalnya atas hutang yang belum dibayarkan atau terhadap barang titipan yang diamanahkan kepadanya atau terhadap harta berlimpah yang dimilikinya (sementara ahli warisnya hidup berkecukupan,–hal-hal seperti ini wasiat masuk kedalam kategori wajib). Kewajiban memberikan wasiat disebut didalam QS 2:180, QS 4: 11 dan QS5:106. Bahkan para Fuqoha (ahli fiqih) menyatakan bahwa hukum wasiat adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat kuat untuk dilakukan)
Wasiat harta didalam Hukum Islam sangat jelas aturannya yaitu tidak boleh melebihi 1/3 harta peningalan (total kekayaan), hal ini untuk menjaga hak ahli waris sebagaimana sabda Nabi:…meningalkan ahli waris dalam keadaan berkecukupan lebih baik dibandingkan meningalkannya dalam keadaan miskin dan akhirnya mengemis ngemis meminta kepada orang lain (HR Bukhari dan HR Muslim), bahkan ada anjuran agar wasiat terhadap harta dikurangi dari 1/3 dan haram hukumnya memberikan wasiat harta kepada ahli waris karena ahli waris memang telah memiliki hak sebagaimana yang ditetapkan:…sesungguhnya Allah telah memberikan kepada semua yang memiliki hak apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi orang yang mendapatkan warisan (HR Abu Daud dan dishahehkan oleh Syaikh AL Albani).

b. Di dalam Hukum Positif juga dikenal istilah hibah wasiat (testamen). Hibah wasiat didalam pasal 875 KUHPerdata disebutkan sebagai suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Dengan demikian testamen adalah pernyataan kehendak yang berlaku setelah pembuat testamen meninggal dunia. Isi testamen pada umumnya tentang pengangkatan waris (untuk menerima harta peninggalannya) sebanyak yang ditentukan dalam testamen dan “kedudukan ahli waris” seperti ini sama posisinya dengan kedudukan ahli waris karena ditetapkan oleh Undang Undang. Selain testamen penetapan ahli waris maka testamen jenis lain adalah testamen untuk menentukan pemberian barang-barang tertentu (barang bergerak atau dalam kasus tertentu untuk barang tidak bergerak) kepada seseorang atau bahkan memberikan hak pakai atau memberikan hasil atas harta tertentu kepada seseorang sesuai yang disebutkan didalam testamen.
Adapun bentuk testamen bisa ditulis sendiri dan disimpan oleh notaries. Testamen secara umum dibuat oleh pewaris dihadapan notaris dan dihadiri oleh dua orang saksi dan akta notaris seperti ini merupakan akta otentik.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa dari sudut pandang hukum Islam maupun Hukum Positif (merujuk pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata/KUHPerdata yang notabene berasal dari Hukum Barat) menunjukkan bahwa harta (benda tetap maupun benda bergerak) dapat beralih dengan berbagai cara, namun perlu disadari bahwa hak ahli waris adalah utama dan hibah atau hadiah atau wasiat dilakukan sebagai jalan lain untuk memberikan hak perolehan kepada pihak lain. Maka saling memberi hadiahlah niscaya akan saling mencintai dan saling berwasiatlah untuk suatu kebaikan. Allohu a’lam




zakat dalam bangunan sistem hukum nasional

Hukum Islam merupakan salah satu dari the living law dan saat ini menjadi bahan baku yang penting dalam pembentukkan sistem hukum nasional. Untuk itu diperlukan transformasi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara pertama dilakukan dengan membentuk berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan hajad hidup masyarakat muslim (umat Islam) , serta cara lain adalah mentransformasikan nilai-nilai hukum Islam kedalam berbagai peraturan Perundang Undangan.

Contoh cara pertama misalnya dengan lahirnya Undang Undang tentang Pengadilan Agama, Undang Undang tentang Haji, Undang Undang tentang Zakat bahkan Undang Undang tentang Perbankan Syariah. Sedangkan cara kedua terlihat dari keberadaan berbagai Peraturan Perundang Undangan yang sarat dengan nilai-nilai hukum Islam atau paling tidak dalam bentuk mengakomodasi nilai-nilai hukum Islam untuk mewarnai Peraturan Perundang Undangan tersebut, misalnya Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Perbankan dan lainnya.

Salah satu Undang Undang yang menjadi bagian dari sistem hukum nasional adalah Undang Undang tentang Zakat yaitu Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011. Undang Undang ini sebenarnya sudah cukup komprehensif dalam pengaturannya bahkan lembaga zakatpun diatur sehingga rasanya kesejahteraan atau keadilan sosial yang diidamkan segera dapat terwujud apabila melihat isi dari Undang Undang ini. Bahkan perlu diketahui bahwa sebenarnya ide pembuatan Undang Undang zakat ini (disebutkan oleh para tokoh) telah cukup lama yaitu berasal dari Mohammad Hatta yang memimpikan terjadinya keadilan sosial dengan cara menggerakkan kewajiban zakat bagi umat Islam dan menjadikannya sebagai bagian dari dana yang dikelola untuk dicapainya amanah yang diemban Negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 34 UUD 1945 yaitu fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara karena menurut Mohammad Hatta sebagian dana zakat dapat dialokasikan untuk membangun sumber-sumber produksi yang dapat memberi pekerjaan kepada rakyat yang menganggur, hal ini dipaparkan dalam buku: Membangun Ekonomi Indonesia-1985, dan untuk itu sangat logis jika diperlukan Perundang Undangan yang mengatur tentang zakat.

Berkaitan dengan persoalan zakat, saat ini yang masih sering menjadi hal yang tidak henti didiskusikan adalah apakah pajak yang dibayarkan dapat membuat terbebas dari zakat atau apakah pajak dapat mengurangi zakat. Untuk hal ini yaitu zakat yang telah dibayarkan memang dapat mengurangi pajak sepanjang mampu menunjukkan bukti yang otentik sedangkan pajak yang dibayarkan tidak bisa membebaskan kewajiban membayar zakat karena menurut Yusuf Qordhowi peruntukkan dana yang diperoleh dari pajak tidak selalu dipergunakan buat fakir miskin dan para musthaik lainnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Al Quran Surat At Taubah ayat 60.

Untuk memperjelas persoalan zakat, berikut diuraikan secara ringkas mengenai zakat.

1. Dalil Zakat (dasar hukumnya zakat ): Dirikan shalat dan tunaikan zakat (QS2:43), kemudian perintah Rasulullah mengambil dr harta orang kaya untuk disalurkan kpd orang miskin, perintah yg berdampingan dengan perintah shalat (HR Bukhari no 1395 dan Muslim no 19) dan hukum positif diatur dalam UU Pengelolaan zakat No 23/2011

2. Tujuan Zakat: membersihkan, mensucikan, jalan dikabulkannya doa (QS9:103)

3. Sanksi tidak membayar zakat: (Abu Bakar Shidiq pernah memerangi orang yang tidak membayar zakat (karena zakat adalah salah satu bukti ketundukan kepada Tuhan semesta alam). Didalam QS 9:34-35 disebutkan sanksi tidak berzakat adalah Siksa pedih, (emas dan perak yg tdk dizakatkan akan dididihkan)

4. Syarat mengeluarkan zakat: Syarat umum: Islam, merdeka, (orang gila dan anak kecil jika memiliki harta yang telah sesuai zakat maka harus berzakat). Syarat khusus:harta dimiliki secara sempurna, harta yang berkembang, harta telah mencapai nisob, harta telah mencapai haul, harta merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok Semua zakat dikeluarkan setelah satu thn (Haul) kecuali hasil pertanian setiap panen.

harta yang dizakatkan:
a. Zakat emas dan perak (uang setara emas/perak) dikeluarkan setiap tahun jika berada diatas nisob
b. Zakat barang dagangan adalah barang selain yang wajib dizakatkan (nilai barang dagangan + uang dagangan yg sudah ada + piutang) –utac.
c. binatang/hewan ternak: hewan (unta, sapi dan kambing)
d. hasil pertanian (gandum/padi, kurma dan anggur)

5. perhitungan zakat:
a. 85 gram emas murni, 595 gram perak murni dizakatkan 2,5 %
b. uang dizakatkan setelah mencapai standar emas atau perak yaitu 2,5%
c. Unta = 5 ekor
Sapi = 30 ekor
Kambing = 40 ekor
d. hasil pertanian senilai 720 kg dengan ketentuan 10 % jika pengairan dr hujan/gratis dan 5% jika pengairan dengan biaya
e. barang dagangan, jika sudah mencapai nisob emas atau perak sebanyak 2,5%
f. harta karun (Rikaz) dizakatkan ketika harta ditemukan sebesar 20%

6.Penerima zakat (musttahiq) sesuai QS 9: 60 yaitu: Fakir, miskin, amil zakat, mualaf, untuk memerdekan budak, terlilit utang, fi shabilillah, sedang dalam perjalanan

7. Zakat fitrah :saat jelang idul fitri (dibayarkan selambatnya sebelum shalat ied), Wajib bagi setiap muslim,Bentuknya makanan pokok,Ukurannya sekitar 3 kg (2,5 kg sdh dianggap sah)

Allohu a’lam




lapspsi dan penyelesaian sengketa perbankan syariah

Pertumbuhan ekonomi syariah semakin pesat, hal ini bukan hanya karena dampak pertumbuhan yang terjadi di dunia Internasional namun juga karena sejarah perjalanan dan perkembangan Hukum Islam di Indonesia yang merupakan bagian dari The Living Law. Pertumbuhan yang cepat menimbulkan implikasi berkembangnya berbagai model aktivitas bisnis syariah mulai dari lembaga pendidikan, MLM, Hotel dan berbagai aktivitas keuangan syariah. Seiring dengan itu maka tingkat masalah (sengketa) yang dihadapi dalam industry syariah ini juga mengalami peningkatan baik dalam jumlah maupun keanekaragaman bentuknya.

Berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa maka salah satu hal penting yang dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi syariah dan pada akhirnya dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional adalah keberadaan lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Lembaga ini diharapkan dapat menjadi pilihan lain (selain litigasi di Pengadilan) dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam aktivitas ekonomi syariah (Perbankan syariah khususnya). Saat ini ada beberapa lembaga alternatif penyelesaian sengketa bisnis syariah misalnya Basyarnas (Badan Arbistrase Syariah Nasional) yang didirikan oleh MUI, kemudian Bames (Badan Mediasi syariah) yang didirikan oleh MES (Masyarakat Ekonomsi Syariah) dan yang bisa dikatakan terbaru adalah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) yang juga menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Lapspi ini berkantor di Griya Perbanas, jalan Perbanas, Karet Kuningan, Jakarta Selatan dan diketuai oleh Bapak Himawan E. Subiantoro. Pembentukan Lapspi ini diprakarsai oleh 6 asosiasi perbankan seperti Perbanas, Asbisindo dan lainnya. Dalam perjalanannya yang belum berusia dua tahun, Lapspi telah menangani sekitar 30 kasus dan diantaranya ada sengketa perbankan syariah. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa penyelesaian sengketa keuangan syariah khususnya perbankan, potensial bisa diselesaikan diluar jalur litigasi di Pengadilan dan tentu hal ini mendukung harapan dari Mahkamah Agung yang berharap tidak terjadinya penumpukkan perkara dipengadilan.

Dalam upaya dicapainya harapan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk diperolehnya penyelesaian sengketa secara cepat, transparan dan berkeadilan maka Lapspi telah melakukan berbagai upaya seperti menyusun peraturan dan prosedur arbitrase (No. 03/Lapspi-Per/2017) dan Peraturan dan prosedur Adjudikasi (nomor 02/Lapspi-Per/2017), serta prosdur mediasi (nomor 01/Lapspi-Per/2017), kemudian menyusun dan “melamar” para arbiter yang terkenal dan terpercaya serta melakukan berbagai kerjasama dengan lembaga sejenis baik didalam negeri maupun diluar negeri.

Salah satu yang menjadi harapan besar kedepan adalah dilakukannya pelayanan secara terpadu untuk penyelesaian sengketa-sengketa dalam bidang ekonomi dan keuangan (baik konvensional maupun syariah) melalui alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan, karena upaya perdamaian (win win solution bukan kalah menang sebagaimana di pengadilan) merupakan cara untuk menjaga keberlangsungan hubungan yang sifatnya Lestari (meminjam istilah Bapak Himawan).




Fatwa dalam Sistem Hukum Nasional

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, fatwa berarti jawab ( Keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti (orang yang memberikan fatwa) tentang suatu masalah. Pengertian lain adalah nasihat orang alim, pelajaran baik, petuah. Berfatwa artinya memberi fatwa. Sedangkan memfatwakan berarti memberikan fatwa, menasihatkan, memberikan petuah.

Fatwa berasal dari bahasa arab, yaitu sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Dalam bahasa arab, fatwa berarti nasihat, petuah, jawaban atau pendapat.

Sejalan dengan pengertian diatas, maka fatwa biasanya diberikan atas suatu permasalahan yang “disodorkan” agar diberikan jalan keluar atau jawaban atas masalah tersebut. Sementara ijtihad adalah istinbat (usaha membuat keputusan hukum berdasarkan Al Quran dan Hadis) atas suatu masalah yang telah ada maupun yang belum ada, dan ijtihad sebagaimana fatwa juga menjadi bagian dari sumber hukum islam. Namun, perlu dicermati bahwa baik fatwa maupun ijtihad hanya bisa dilakukan oleh orang secara pribadi maupun kelompok dengan kemampuan keilmuan yang komprehensif mulai dari ilmu Al Quran dan Ilmu Hadist, memahami sejarah dan maksud keterkaitan antara ayat Al Quran dan Al Hadist, memahami pokok-pokok Hukum yang disepakati ijma para sahabat dan ulama salaf, menguasai ilmu ushuluddin, ilmu manthasa Arab (Nahwu, shorof, balaghah), memiliki pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, mengetahui tentang asbabaul nuzul ayat Al Quran dan asbabul wurud Hadis. Termasuk memahami ushul fiqih dan memahami berbagai aliran dan pengetahun-pengetahuan kontemporer serta bersifat adil, amanah dan taqwa.

Selain syarat sebagaimana diatas, didalam melahirkan fatwa terdapat beberapa metode yang harus ditempuh. Dengan demikian, jika Memperhatikan syarat diatas terlihat bahwa seorang Mufti (orang yang memberikan fatwa) dan mujtahid (orang yang memberikan ijtihad) bukanlah orang yang “sembarangan” atau tidak memiliki ilmu. Syarat yang cukup berat ini merupakan aspek pertanggungjawaban kepada Allah SWT karena fatwa atau ijtihad yang dilahirkan akan menjadi dasar hukum dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam sejarahnya, para sahabat Nabi SAW diangkat oleh Nabi SAW sebagai mufti sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan pada suatu daerah tertentu, namun kemudian dalam perkembangannya seorang mufti kedudukannya terpisah dari tugas kenegaraan, dan saat ini tugas mufti semakin berat karena perkembangan peradaban yang menyebabkan lahirnya beragam masalah yang ada pada umat.

Jika merujuk pada pemahaman bahwa Islam terbagi menjadi tiga dimensi yaitu Aqidah, Syariah dan Akhlak. Sedangkan syariah terbagi menjadi ibadah dan muamalah maka fatwa seringkali lahir dalam bidang syariah, khususnya dalam bidang muamalah karena dalil dalam muamalah adalah “ Semua diperbolehkan kecuali yang dilarang”. Dengan demikian lingkup muamalah terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

Hal lain yang perlu juga dipahami adalah, bahwa kedudukan mufti didalam Islam seperti kedudukan Nabi SAW karena mufti merupakan orang yang menggantikan Nabi SAW untuk menyelesaikan permasalahan umat dalam bidang syariat sebagaimana Hadis Nabi dalam salah satu sabdanya: “Ulama adalah ahli waris para Nabi”. Selain itu, mufti juga bertugas menggali dalil-dalil hukum melalui analisa dan kemampuan keilmuannya.

Di Indonesia, mufti tergabung dalam organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk dan didirikan pada 26 Juli 1975 di Jakarta. MUI sendiri memiliki beberapa lembaga yang bersifat otonom seperti Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional), DSN (Dewan Syariah Nasional), LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika), dan MUI dalam operasionalnya memiliki sistem yang sudah baku. Selain Indonesia, hampir semua negara memiliki lembaga yang merupakan lembaga semacam MUI (Dewan fatwa), antara lain Malaysia, Singapura, Brunei, Dubai, Pakistan, Mesir, bahkan Amerika Serikat-pun memiliki lembaga serupa. Ini menunjukkan bahwa mufti diperlukan dan ikut mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam suatu negara.

Memang fatwa yang dikeluarkan bukan merupakan hukum positif yang jelas memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warganegara. Fatwa hanya mengikat dari aspek agama dan apabila diharapkan dapat memiliki kekuatan hukum sebagaimana halnya hukum positif maka terlebih dahulu fatwa harus ditrasnformasikan kedalam hukum positif dalam bentuk berbagai peraturan perundangan-undangan . Contoh kongkrit adalah apa yang dilakukan oleh DSN, begitu banyak fatwa dalam bidang ekonomi syariah yang telah ditransformasi kedalam Peraturan Bank Indonesia sehingga memiliki kekuatan mengikat (namun, dalam kenyataanya banyak juga fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI belum ditransformasi menjadi peraturan perundang-undangan tetapi telah diterapkan secara internal didalam aktivitas bank syariah). Produk fatwa oleh DSN-MUI ini (khususnya yang telah ditransformasi menjadi peraturan perundang-undangan) tentu merupakan salah satu bentuk kontribusi nyata fatwa yang mewarnai sistem hukum Nasional. Wallahu a’lam bishowab




aspek hukum “transportasi online”

Beberapa tahun terakhir, kita diramaikan dengan kehadiran layanan transportasi online berbasis teknologi aplikasi. Berbagai kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan menjadi alternatif atas permasalahan transportasi yang ada, salah satu kelebihannya karena hanya bermodalkan gadget dan aplikasi, konsumen dapat memesan transportasi yang nyaman dengan perhitungan biaya yang relatif jauh lebih murah

Kelebihan tersebut diatas tentu bukan tanpa kendala. Salah satu bukti adanya kendala yaitu dengan lahirnya gelombang demonstrasi yang dilakukan pengemudi transportasi konvensional dan akhirnya melahirkan larangan beroperasi bagi perusahaan transportasi berbasis online melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor UM.302/1/21/Phb/2015 karena dianggap bertentangan dengan UU No 22 Tahun 2009, namun kemudian Keputusan Menteri ini dicabut karena Pernyataan Presiden bahwa alat transportasi semacam gojek masih dibutuhkan oleh masyarakat.

Saat ini, payung hukum untuk aktivitas transportasi online berbasis tehnologi aplikasi adalah Permen Kemenhub No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan ini mengatur jenis pelayanan, pengusahaan, penyelenggaraan angkutan umum dengan aplikasi berbasis tehnologi informasi, pengawasan angkutan umum serta peran serta masyarakat dan sanksi adminstrasi. Peraturan Menteri tersebut untuk sementara dirasa cukup memadai namun kedepan untuk mengantisipasi kemajuan tehnologi yang cepat serta disisi lain adanya kebutuhan alat transportasi yang murah, mudah dan nyaman maka UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan perlu disempurnakan karena beberapa hal penting harus menjadi jelas misalnya persoalan Badan Hukum Asing dan kepemilikan sahamnya termasuk perizinan dan perjanjian kerjasama antara para pihak (perusahaan jasa, penyedia angkutan dan/atau pengemudi, konsumen) dan beberapa aspek hukum lain seperti persoalan perlindungan pengguna jasa tersebut.

Selain itu, adanya kewajiban Perusahaan penyedia jasa yang harus menyesuaian diri dengan beberapa kewajiban sebagaimana diatur didalam Peraturan Menteri tersebut diatas (Berlaku mulai 1 September 2016) penting untuk dilakukan pengawasan karena berkaitan dengan kenyamanan konsumen, dan persoalan pengawasan ini seringkali abai sehingga hak konsumenpun menjadi terabaikan pula. Penyiapan regulasi yang komprehensif mengenai transportasi berbasis tehnologi aplikasi ini penting dilakukan sebagaimana telah dilakukan banyak negara lain yang mengakomodasi transportasi jenis ini seperti Australia, Bulgaria, Kanada, Jerman, Filipina dan lainnya, hal ini sejalan dengan rekomendasi dari M. Faiz Aziz yang mengatakan bahwa transportasi berbasis tehnologi aplikasi sebaiknya diakomodasi dengan menyempurnakan Peraturan Perundang-Undangan yang ada yaitu UU No 22 Tahun2009.




civil society atau masyarakat madani ?

Antara civil society dengan masyarakat madani, dimanakah letak persamaan dan perbedaannya? Penelusuran yang dilakukan menunjukkan bahwa civil society adalah istilah yang pertama kali dikenalkan dan merupakan pemikiran dari Hegel dalam bukunya hegel’s Philosophy of Right. Hegel menyebut istilah civil society sebagai suatu konsep tentang ruang bebas dan terbuka diluar keluarga atau rumah tangga, diluar stuktur organisasi negara serta diluar urusan bisnis. Dalam perkembangannya sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Jimli Asshiddiqie dalam bukunya “Gagasan konstitusi sosial” menunjukkan bahwa istilah civil society berkembang sedemikian cepat seiring dengan globalisasi dalam berbagai bidang termasuk perkembangan tekhnologi informasi dan telekomunikasi. Akhirnya civil society mencari bentuknya dengan berkembangnya organisasi-organisasi kemasyarakatan atau organisasi-organisasi non pemerintah (NGO/Non Governmental Organizations) dalam berbagai lingkup kegiatan dan pengaruhnya yang secara umum mencerminkan semakin kuat dan dinamisnya gerakan ini.

Hal ini sebenarnya merupakan ekspresi dari kepentingan dan nilai-nilai warga atau masyarakat pada umumnya berdasarkan etika, budaya, politik, ilmu pengetahuan, agama atau perkembangan filantropis, sehingga melihat perkembangan seperti ini Prof. Jimly menyebutkan bahwa para ahli seringkali menyatakan bahwa civil society adalah dalam konteks organisasi yang dinamikanya sangat cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan memiliki cakupan yang luas mulai dari kelompok warga, organisasi non pemerintah, dan berbagai asosiasi profesi sampai dengan kesatuan masyarakat adat, organisasi amal dan keagamaan dan berbagai yayasan sosial. Bahkan dalam catatan disebutkan perkembangan lembaga dan kelompok seperti ini sangat dinamis, ada dihampir semua negara didunia dimana para ahli menyebutnya sebagai fenomena baru yang dikaitkan dengan istilah yang pertama kali disebut oleh hegel sebagai civil society.

Sementara itu, istilah masyarakat madani yang sering diidentikkan dengan istilah civil society, merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Arief Budiman pada sekitar tahun 1988 dan istilah ini terus berkembang khususnya disosialisasikan oleh Nurcholis Madjid. Masyarakat madani adalah masyarakat yang majemuk namun bersatu dalam sikap toleransi satu sama lain. Dan secara khusus masyarakat madani dicirikan sebagai masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah SAW ketika membangun peradaban Islam dikota madinah sehingga inilah yang kemudian melahirkan pemikiran oleh Naguit Alattas dan dipopulerkan oleh Anwar Ibrahim bahwa yang dimaksud dengan civil society itu adalah masyarakat madani yang berkaitan dengan kata madaniy (civility) atau peradaban kota seperti tercermin dikota madinah ketika masa Rasulullah dan masa khalifah khulafaur rasyidin. Ciri penting masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah adalah : Egalitarian (kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah (sosialisasi oleh Nurcholis Madjid), Demikian juga sebagaimana yang disebutkan didalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai dan hukum yang ditopang oleh penguasaan tekhnologi yang beradab, iman dan ilmu.

Kota yang berperadaban ini harus dibangun oleh warga secara sadar dengan kesepakatan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dengan dibuatnya piagam madinah yang berfungsi sebagai konstitusi tertulis yang pertama sebagaimana dipahami zaman modern saat ini. Piagam ini yang dijadikan rujukan dalam membangun sistem organisasi bersama yang saat ini dikenal dengan istilah Negara yang dibangun dengan tujuan untuk melindungi warganya. Beberapa ciri masyarakat madani sebagaimana disebut oleh Prof. Jimly perlu direnungkan antara lain:
1. Masyarakat madani itu adalah ruang publik yang bebas dan terbuka dalam masyarakat yaitu antara negara dan keluarga
2. masyarakatnya bersifat majemuk, tetapi bersikap toleran mengutamakan kesederajatan dan saling berhubungan satu dengan yang lain
3. masyarakat madani juga menunjuk kepada pengertian berhimpunnya warga sesuai kepentingan masing-masing untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan prinsip otonomi setiap individu dan kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi
4. interaksi sosial secara adil dan teratur dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma hukum, etika, dan agama yang fungsional dalam kehidupan praktek
5. warga masyarakatnya menghormati dan menggandrungi ilmu pengetahuan dan tekhnologi
6. partisipasi sosial berkembang aktif dan terorganisasi untuk kepentingan bersama
7. keadilan sosial yang merata menyebabkan jarak sosial antara elite dan massa tidak tinpang

Memperhatikan ciri-ciri masyarakat madani sebagaimana diuraikan Prof. Jimly rasanya penting untuk kita evalusai bersama, melakukan intrsopeksi secara individual atau bersama-sama dan menjawab pertanyaan: sudah sejauhmana masyarakat madani yang sering disebutkan dan menjadi cita-cita telah terealisasi?. Jangan-kangan kita hanya pandai dalam tataran mendiskusikannya dan menjadikan cita-cita tetapi belum ada langkah konkrit atau upaya yang dilakukan untuk mewujudkannya. Mari kita mulai dari diri pribadi, untuk sesuatu yang mungkin dilakukan baik dalam tataran pribadi yang tidak memiliki kewenangan ataupun dalam kapasitas sebagai pribadi yang memiliki kewenangan karena ditanganyalah harapan terealisasinya masyarakat madani itu terlahir. Wallau a’lam bishowab.




access to justice

Salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan negara sebagai entitas yang membentuk hukum tujuannya adalah menegakkan keadilan dengan jalan memberikan perlindungan bagi masyarakat agar hak-haknya terpenuhi. Bentuk perlindungan hukum dapat berupa pembelaan saat proses didalam pengadilan atapun diluar pengadilan dengan berbagai cara seperti konsultasi, penyuluhan, pendidikan hukum dan pelatihan bahkan sampai pada tahap mediasi, dan arbitrase.

Salah satu bentuk pelayanan hukum untuk membantu masyarakat dalam memperoleh keadilan antara lain adalah melalui jasa advokat atau pengacara, kesempatan pendampingan ini sering dikenal dengan istilah access to justice.

Istilah access to justice mestinya bukan hanya dikenal tapi juga dipahami maknanya dan yang terpenting diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Access to justice (akses pada keadilan) diartikan sebagai kesempatan untuk mendapatkan keadilan—ini berlaku bagi semua kalangan atau sering disebut dengan istilah justice for all.

Namun dalam kenyataannya, access to justice tidaklah mudah diperoleh khususnya bagi kalangan tertentu misalnya masyarakat miskin atau orang yang tidak memiliki dana dibandingkan dengan orang yang memiliki dana dan memiliki jabatan tertentu. Padahal negara telah memberikan jaminan kesempatan untuk memperoleh keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat sebagaimana disebutkan didalam UUD 45, dan tekad pemerintah untuk memberikan akses kepada keadilan bagi semua pihak secara jelas terlihat dengan terbitnya Inpres Nomor 3 Tahun 2010 bertangal 21 April 2010 tentang program pembangunan berkeadilan yang memberikan penekanan pada pentingnya “keadilan bagi semua”. Inpres ini ditindaklanjuti dengan blue print (2010-2035) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dimana salah satu komponen utama reformasi pengadilan di Indonesia untuk sepuluh tahun mendatang adalah akses terhadap keadilan. Demikian juga dengan lahirnya UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum, mengisyaratkan bahwa akses untuk memperoleh keadilan secara struktural dijamin karena adanyanya jaminan pemberian layanan bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu—UU ini ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung dengan terbitnya
Peraturan Mahkaman Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut team peneliti yang diketuai oleh Ro’fah Setyowati, Ph.D dalam penelitiannya tentang access to justice bagi nasabah bank syariah, menyatakan bahwa setidaknya ada enam syarat yang harus dipenuhi agar negara dapat menunaikan kewajibannya dalam mengenalkan perlindungan maupun pemenuhan akses pada keadilan bagi semua orang, yaitu:
1. Adanya profesionalisme para penegak hukum;
2. Adanya sistem informasi terpadu yang dapat diakses secara mudah oleh masyarakat;
3. Adaya transparansi pada institusi para penegak hukum;
4. Adanya penegak hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dalam melaksanakan tugas dan layanan kepada masyarakat;
5. Adanya kesadaran bahwa profesi penegak hukum (polisi, pengacara, dan hakim) merupakan profesi yang mulia (nobile);
6. Adanya jaminan perlindungan dan penghargaan yang layak bagi para penegak hukum

Team peneliti ini juga mengutip pernyataan Adnan Buyung Nasution bahwa peraturan perundangan yang menjamin akses masyarakat terhadap keadilan sangat diperlukan, dan keperluan atas akses tersebut bukan hanya akses pada keadilan dalam arti sempit tetapi keadilan dalam makna yang luas yaitu mencakup semua bidang kehidupan termasuk akses pada keadilan bagi sumber daya alam, akses keadilan dalam hubungan kerja formal dan informal, bahkan akses keadilan dan kesamaan gender.

Adnan Buyung Nasional adalah pakar hukum yang pemikiran-pemikirannya selalu konsisten tentang access to justice dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi fakir miskin dan orang tidak berdaya, beliau menyatakan bahwa keadilan erat kaitannya dengan hak asasi manusia dan hak untuk memperoleh keadilan merupakan hak pencari keadilan untuk mendapatkan proses peradilan yang adil dan fair (due process of law) dan keadilan itu sendiri hanya bisa diperoleh jika ada fair trial yaitu hak untuk diadili oleh pengadilan yang kompeten, jujur dan terbuka namun fair trial belum sepenuhnya bisa dijalankan di Indonesia khususnya bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan terpinggirkan (pendapat ini dikutip oleh Prof. Dr. Frans H. Winarta, MH. Pada 30 November 2015).




antara WAKAI dengan ASH SHULHU

Tulisan berikut merupakan inspirasi yang berasal dari buku yang sangat menarik karangan Prof. Yoshiro Kusano, seorang mantan hakim di Pengadilan Tinggi Hirosima, Jepang dan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gakushuin, Jepang.

Tulisan beliau dalam buku “wakai, penyelesaian sengketa ala jepang”, sangat menarik ketika melihat perkembangan jumlah perkara perdata atau bisnis pada umumnya yang terus meningkat seiring dengan berkembangnya peradaban dan pertumbuhan dunia bisnis termasuk bisnis syariah.

Perkembangan jumlah perkara melahirkan banyak pandangan tentang pentingnya dilakukan berbagai terobosan baik dalam lingkup penyelesaian sengketa secara litigasi maupun non litigasi yaitu dalam rangka dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, transparan dan berbiaya murah.

Wakai (damai) dalam Chotei (mediasi) merupakan salah satu bentuk terobosan dalam sistem hukum jepang yaitu menyelesaikan sengketa secara litigasi di pengadilan namun dengan tujuan untuk perdamaian atau win win solution (padahal biasanya mediasi dilakukan diluar pengadilan), dengan menetapkan bahwa isi wakai bukan berdasarkan kehendak pengadilan tetapi berdasarkan persetujuan para pihak yang bersengketa. Terobosan ini diambil mengingat terjadinya penumpukan perkara karena hampir semua sengketa yang terjadi dimasyarakat berujung di pengadilan.

Wakai dalam chotei secara umum memang hampir sama dengan mediasi namun dilakukan di pengadilan sampai putusan terjadi. Di dalam hukum positif kita, mediasi dipengadilan (court connected mediation) sudah diakomodasi bahkan menjadi suatu kewajiban (berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008) sebelum berkas perkara diperiksa namun pada kenyataannya mediasi didalam pengadilan tidak efektif.

Kecenderungan yang terjadi justru penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi yang banyak terjadi adalah diluar pengadilan, dan mengenai hal ini telah diakomodasi melalui UU No 30 Tahun 1999, namun putusan mediasi ini tidak sebagaimana putusan arbitrase yang memiliki kewajiban untuk dilakukan pendaftaran di Pengadilan sehingga putusan mediasi yang dilakukan diluar pengadilan seringkali terkendala pula dalam hal eksekusinya.

Berdasarkan hal tersebut maka wakai yang merupakan pola penyelesaian sengketa perdata di dalam pengadilan jepang dapat menjadi rujukan untuk pelaksanaan mediasi pada pengadilan-pengadilan dinegara kita agar sengketa dapat selesai dengan cepat dan tidak terjadi penumpukan perkara (khususnya pada Tingkat Banding dan Kasasi).

Proses penyelesaian sengketa dipengadilan jepang dengan jalan mediasi dirasakan banyak manfaatnya karena penyelesaian sengketa dapat berjalan cepat, putusan merupakan putusan final, putusan lebih sesuai dengan harapan para pihak karena putusan diambil berdasarkan usulan, kesanggupan dan kesepakatan para pihak sehingga ruh penyelesaian sengketa yang berbiaya murah, cepat dan tetap menjunjung rasa keadilan dapat terpenuhi.

Kendala dalam wakai adalah ketrampilan hakim. Didalam wakai, hakim harus berusaha keras untuk menjadikan kedua belah pihak yang bersengketa merasa bahwa mencapai kompromi atas dasar akal sehat merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan perselisihan. Sebagaimana mediasi pada umumnya, para mediator merupakan kunci keberhasilan mediasi dan untuk itu hakim dalam hal ini penting memahami perannya yaitu bukan sebagai hakim tetapi sebagai mediator yang harus menggali, mengarahkan dan merumuskan kesepakatan sehingga pada akhirnya putusan dapat dijalankan dalam bentuk pelaksanaan eksekusi yang mudah.

Di dalam hukum Islam, model wakai sebenarnya sudah diterapkan sejak masa kenabian yaitu Nabi Muhammad SAW. Rasulullah banyak memberikan teladan dalam hal penyelsaian sengketa secara damai dengan jalan mediasi. Islam mengajarkan mediasi atau dikenal dengan nama Ash Shulhu yaitu menyelesaikan sengketa dengan cara mengangkat seorang mediator yang diangkat/ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa dan putusan merupakan rumusan dari kesepakatan para pihak. Ash Shulhu ini sampai saat ini diterapkan di Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang hukum keluarga, dan nampaknya perlu dikaji dan dipertimbangkan untuk diterapkan dalam penyelesaian sengketa-sengketa dalam bidang bisnis syariah karena ruh dari penyelesaian sengketa dalam bisnis lebih dapat dicapai dengan jalan ash shulhu yaitu adanya perdamaian dan semua pihak merasa menang karena jika manusia berbicara dengan tulus satu sama lain dengan semangat ingin menyelesaikan sengketa secara damai serta didasari oleh adanya saling pengertian maka persengketaan dapat diatasi dengan baik dan damai. Wallahu a’lam bishowab




wasiat bagi anak angkat

Sistem hukum Islam merupakan salah satu dari tiga sistem hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bicara mengenai sistem hukum Islam maka sumber hukumnya adalah Al Quran, As Sunah sebagai dua sumber Hukum Utama, namun selain itu ada sumber hukum lain yaitu Ijtihad, qiyas, Urf/adat istiadat dan lainnya.

Salah satu hal penting didalam Sistem Hukum Islam adalah bagaimana Islam mengatur mengenai Hukum Waris dan yang berkaitan dengan hal tersebut seperti persoalan Hibah dan wasiat.
Perihal waris didalam Hukum Islam sudah sangat jelas dan tegas tentang tata cara pembagiannya dan juga tentang para pewaris yang berhak. Namun dalam praktek dimasyarakat ada satu hal yang memerlukan perhatian yaitu adanya kebiasaan untuk pemberikan waris atau keinginan memberikan waris kepada anak angkat yang sebenarnya didalam Hukum Islam anak angkat bukanlah pewaris yang berhak atas warisan orang tua angkatnya yang meninggal dunia.

Berdasarkan kajian yang ada, anak angkat memang tidak berhak atas waris namun terobosan yang dapat dilakukan berdasarkan ijtihad dan qiyas yaitu dengan jalan memberikan wasiat sehingga anak angkat bisa mendapatkan harta dari peninggalan orang tua angkatnya. Hal ini adalah bentuk ijtihad yang merupakan bagian dari sumber Hukum islam pula dan ternyata perihal ini telah dikuatkan dalam hukum positif yang dituangkan secara jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991).

Memperhatikan rujukan dibenarkannya memberikan wasiat kepada anak angkat sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Dr. M Misno (Dosen STEI Tazkia) adalah bahwa diperbolehkannya memberikan wasiat untuk mendapatkan bagian dari harta warisan kepada anak angkat adalah berdasarkan analogi atas apa yang ditetapkan di Mesir, yaitu tentang diperbolehkannya memberikan wasiat kepada cucu yang orangtuanya telah meninggal mendahului kakek/nenek yang meninggal dan meninggalkan harta warisan

Wasiat seperti ini dikenal dengan sebutan wasiat wajibah dan secara hukum baik Hukum Islam maupun Hukum positif telah dibenarkan, namun tentu saja perlu diperhatikan beberapa syarat agar pelaksanaan wasiat wajibah ini dapat diberlakukan, yaitu (antara lain sebagaimana hasil penelitian Dr. M Misno dalam bukunya wasiat wajibah bagi anak angkat):
1. Anak angkat tersebut telah memiliki hubungan yang kuat dengan orangtua angkatnya
2. Anak angkat tersebut belum bisa mandiri
3. anak angkat tersebut tidak pernah mendapatkan hibah dalam bentuk apapun dari orang tua angkatnya

Berdasarkan hal tersebut maka jelaslah bahwa anak angkat bisa mendapatkan bagian dari harta warisan orang tua angkatnya namun tentu saja yang harus diperhatikan adalah jangan sampai wasiat wajibah tersebut membuat hak ahli waris yang lain menjadi terdzolimi karena persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif sehingga bisa membuat hubungan silaturahim diantara keluarga menjadi rusak bahkan terputus, sehingga didalam Al Qiuran banyak sekali ayat yang bicara mengenai warisan, dan salah satu ayat tersebut yang patut kita renungi adalah bahwa Allah SWT berfirman didalam QS Annisa:32 yaitu “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan Ibu Bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah bagiannya, sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatunya”.
Wallahu a’lam bishowab




Perlindungan karya cipta

Didalam UU yang terbaru mengenai Hak Cipta yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 disebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengertian pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan pengertian ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

UU Hak Cipta ini memberikan perlindungan kepada pemilik karya cipta secara moral (moral right) maupun ekonomi (economic right) dan hak cipta juga bisa dijaminkan dengan cara fiducia maupun dialihkan sebagaimana benda bergerak pada umumnya, namun yang menarik di dalam UU Hak cipta yang terbaru menyebutkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan cara wakaf (Pasal 16 ayat 1).

Perlindungan yang diberikan ini sangat wajar mengingat bahwa pembuat karya cipta telah mengeluarkan segala kemampuannya untuk menciptakan sebuah karya cipta yang dapat dimanfaatkan untuk seluruh manusia. Maka dengan demikian kepemilikan atas karya cipta tersebut merupakan hak eksklusif baginya. Ia berhak melakukan apapun terhadap karyanya tersebut antara lain untuk menyebarkannya ditengah masyarakat, mengumumkan atau mendapatkan keuntungan materi dari karya cipta tersebut.

Berdasarkan UU tersebut terlihat bahwa Negara telah memberikan perlindungan bagi setiap individu yang melahirkan karya cipta dan hak cipta tersebut mengandung nilai ekonomi dan kemanfaatannya. Namun, ironisnya teryata berdasarkan informasi dari Republika online yang diupload pada 25 Januari 2012 dikatakan bahwa Indonesia sering dibilang surga bagi para pengedar barang-barang bajakan atau tiruan mulai dari barang elektronik sampai aneka garmen. Bahkan pada Tahun 2007, Indonesia tercatat sebagai negara yang masuk kedalam lima besar negara yang banyak melakukan pelanggaran HKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas umat islam, perlu mengedepankan aspek bermuamalah dalam perspektik hukum islam, dalam hal ini yang hendak diangkat adalah tentang perlindungan terhadap HKI dalam perspektif Hukum Islam. Ternyata persoalan HKI telah menjadi perhatian bagi para ulama, terbukti dengan keluarnya Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 1/MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang HAKI, bahkan sebelumnya ada fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta.

Fatwa tersebut lahir, tentu diawali dengan pengkajian yang mendalam dari aspek dalil atau landasan hukum. Salah satu dalil dalam melahirkan fatwa tersebut adalah sebagaimana disebutkan didalam QS An Nisa :29 dan QS As Syu’ara: 183 yang secara umum menjelaskan adanya larangan untuk memakan harta orang lain secara batil dan larangan mengurangi hak-hak orang lain.

Berdasarkan ayat tersebut diatas, jelas terlihat bahwa karya cipta merupakan hal yang bermanfaat dan berhasil guna bagi pemiliknya (sekaligus mengandung hak bagi penciptanya untuk mendapatkan perlindungan baik secara moral maupun secara ekonomi), sehingga melakukan pembajakan terhadap karya cipta seseorang masuk kedalam kategori pelanggaran dan dzolim terhadap hak orang lain. Bahkan secara tegas MUI menyebutkan bahwa karya cipta termasuk kedalam kategori hak kekayaan yang memerlukan perlindungan hukum.

Dengan demikian sangat pantas jika seorang pembuat karya cipta berhak atas hasil karya ciptanya. Dengan kata lain, ia berhak memperoleh manfaat hasilnya dan ia juga memiliki hak istimewa atas karya cipta tersebut dimana hak tersebut dilindungi oleh syara’ dan karena merupakan hak pribadi maka setiap orang yang akan memanfaatkan karyanya memerlukan izin terlebih dahulu dari pencipta karya tersebut. Pelanggaran terhadap perlindungan hak cipta ini tentu bukan hanya masuk kedalam kategori pelanggaran Hukum namun juga sekaligus melanggar larangan Allah untuk melindungi hak orang lain atau tidak merugikan manusia karena mengurangi hak-haknya. Wallahu a’lam.