hibah dan wasiat dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum positif
Tulisan ringkas ini terinspirasi dari diskusi yang manis dengan rekan-rekan dosen di lantai 6 unit 5 dan diskusi di reboan at tawazun
Dalam perjalanan hidup seringkali kita tidak bisa lepas dari masalah yang menyangkut harta keluarga. Harta yang bisa dimanfaatkan selama masih hidup ataupun setelah meninggal dunia oleh anak keturunan kita. Salah satu persoalan yang berkaitan dengan harta keluarga adalah menyangkut hibah atau hadiah dan juga wasiat. Kedua persoalan ini diatur secara jelas baik dalam koridor hukum Islam maupun koridor hukum positif.
1. Perihal Hibah dan hadiah
a. Didalam Hukum Islam antara hibah dengan hadiah dibedakan pengertiannya. Hibah lebih kepada kerelaan seseorang untuk melepas harta miliknya yang dikuasai secara sempurna dan biasanya benda tetap kepada orang atas dasar iba atau pertimbangan kemanusiaan (ketimbang alasan mencari ridho/pahala dari Allah). Sedangkan hadiah merujuk pada pemberian atas benda tidak bergerak yang mudah dipindahkan/diserahkan dan berdasarkan Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan dishahehkan oleh syaik Al Albani, bahwa hadiah diberikan karena mengharapkan Allah menurunkan dan menautkan hati dengan cinta kepada orang yang saling memberi hadiah….kalimatnya yang jelas adalah: saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai. Berdasarkan pengertian diatas maka hibah ataupun hadiah diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang juga masih hidup
Hibah ataupun hadiah tidak bisa ditarik kembali bahkan didalam hadis Nabi dinilai sangat hina orang yang memberikan hibah atau hadiah kemudian ditarik kembali….seperti anjing yang menjilat muntahnya.
b. Sedangkan didalam Hukum Posistif, perihal hibah atau hadiah hampir memiliki pengertian yang sama dan diatur secara jelas didalam KUHPerdata.Didalam Pasal 1666 sd 1693 KUHPerdata diatur persoalan hibah. Pengertian didalam KUHPerdata tersebut, bahwa hibah adalah persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu, penghibahan tersebut adalah bagi kepentingan para pihak yang masih hidup
Yang juga penting diperhatikan dalam hibah menurut Hukum Positif adalah bahwa hibah dilakukan oleh orang yang sdh dewasa (bisa benda tetap maupun benda bergerak) dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat dinotaris. Bahkan ketentuan didalam KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan PP No. 24/1997 tentang pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan dihadiri oleh dua orang saksi. Ketentuan ini sangat jelas karena telah terjadi peralihan hak dan dengan demikian maka hibah (atas benda tetap) menurut Hukum Positif tidak dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan pemberian berupa hibah yang menyebabkan “terdzolimi” hak ahli waris dapat dibatalkan (Lihat pasal 881) KUHPerdata. Hak ahli waris masuk kedalam kategori “legitieme portie” yaitu bagian mutlak atas warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak ahli waris dan dilindungi oleh Undang Undang (didalam Hukum Islam pemberian Hibah dibatasi yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang ada—ini bertujuan untuk melindungi hak ahli waris dan jika melebihi ketentuan yang ada maka ahli waris dapat mengugat untuk membatalkan hibah dimaksud-Lihat Quran Al Ahzab/QS 33: 4-5 dan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam/KHI). Untuk menghindari gugatan dikemudian hari, biasanya notaris meminta persetujuan para ahli waris terhadap hibah yang akan dibuatkan aktanya.
2. Perihal wasiat
a. Wasiat didalam hukum Islam berasal dari bahasa arab yang telah menjadi bahasa Indonesia baku. Memiliki pengertian yang luas , yaitu bisa menjadi pengertian sebagai nasihat/pesan penting untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Biasanya wasiat diberikan saat seseorang akan meninggal dunia atau akan melakukan perjalan jauh. Selain wasiat memiliki pengertian pesan maka yang sering diartikan adalah sebagai wasiat terhadap harta yang akan ditinggalkan.
Didalam hukum Islam, memberikan wasiat menjadi wajib bagi seseorang yang akan meninggal atau bepergian jauh terhadap hal-hal yang prinsip misalnya atas hutang yang belum dibayarkan atau terhadap barang titipan yang diamanahkan kepadanya atau terhadap harta berlimpah yang dimilikinya (sementara ahli warisnya hidup berkecukupan,–hal-hal seperti ini wasiat masuk kedalam kategori wajib). Kewajiban memberikan wasiat disebut didalam QS 2:180, QS 4: 11 dan QS5:106. Bahkan para Fuqoha (ahli fiqih) menyatakan bahwa hukum wasiat adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat kuat untuk dilakukan)
Wasiat harta didalam Hukum Islam sangat jelas aturannya yaitu tidak boleh melebihi 1/3 harta peningalan (total kekayaan), hal ini untuk menjaga hak ahli waris sebagaimana sabda Nabi:…meningalkan ahli waris dalam keadaan berkecukupan lebih baik dibandingkan meningalkannya dalam keadaan miskin dan akhirnya mengemis ngemis meminta kepada orang lain (HR Bukhari dan HR Muslim), bahkan ada anjuran agar wasiat terhadap harta dikurangi dari 1/3 dan haram hukumnya memberikan wasiat harta kepada ahli waris karena ahli waris memang telah memiliki hak sebagaimana yang ditetapkan:…sesungguhnya Allah telah memberikan kepada semua yang memiliki hak apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi orang yang mendapatkan warisan (HR Abu Daud dan dishahehkan oleh Syaikh AL Albani).
b. Di dalam Hukum Positif juga dikenal istilah hibah wasiat (testamen). Hibah wasiat didalam pasal 875 KUHPerdata disebutkan sebagai suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Dengan demikian testamen adalah pernyataan kehendak yang berlaku setelah pembuat testamen meninggal dunia. Isi testamen pada umumnya tentang pengangkatan waris (untuk menerima harta peninggalannya) sebanyak yang ditentukan dalam testamen dan “kedudukan ahli waris” seperti ini sama posisinya dengan kedudukan ahli waris karena ditetapkan oleh Undang Undang. Selain testamen penetapan ahli waris maka testamen jenis lain adalah testamen untuk menentukan pemberian barang-barang tertentu (barang bergerak atau dalam kasus tertentu untuk barang tidak bergerak) kepada seseorang atau bahkan memberikan hak pakai atau memberikan hasil atas harta tertentu kepada seseorang sesuai yang disebutkan didalam testamen.
Adapun bentuk testamen bisa ditulis sendiri dan disimpan oleh notaries. Testamen secara umum dibuat oleh pewaris dihadapan notaris dan dihadiri oleh dua orang saksi dan akta notaris seperti ini merupakan akta otentik.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa dari sudut pandang hukum Islam maupun Hukum Positif (merujuk pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata/KUHPerdata yang notabene berasal dari Hukum Barat) menunjukkan bahwa harta (benda tetap maupun benda bergerak) dapat beralih dengan berbagai cara, namun perlu disadari bahwa hak ahli waris adalah utama dan hibah atau hadiah atau wasiat dilakukan sebagai jalan lain untuk memberikan hak perolehan kepada pihak lain. Maka saling memberi hadiahlah niscaya akan saling mencintai dan saling berwasiatlah untuk suatu kebaikan. Allohu a’lam