Hukum + Ekonomi = Hukum Ekonomi?

Prof. DR. Abdul Manan mengatakan bahwa globalisasi ekonomi dewasa ini telah melahirkan banyak hal baru dalam perkembangan ekonomi dunia, antara lain terjadinya era pasar bebas internasional, interdepedensi sistem, baik dalam bidang politik maupun ekonomi serta budaya dan tekhnologi, lahirnya berbagai lembaga ekonomi internasional, dan lain sebagainya. Dalam kaitan dengan ini diperlukan kaidah-kaidah hukum yang dapat mengatur mekanisme hubungan agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam pembangunan ekonomi bangsa.
Hukum disamping untuk menjaga ketertiban, juga diperlukan sebagai rambu-rambu dalam pembangunan ekonomi, sehingga terdapat kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pelaku ekonomi.

Sampai saat ini belum ada satupun definisi hukum yang disepakati dipergunakan oleh semua kalangan karena setiap ahli hukum memberikan definisi hukum berdasarkan sudut pandangnya masing-masing, misalnya hakim akan memandang hukum dari sudut profesi yang diembannya, demikian juga ilmuwan akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuannya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Emmanuel Kant bahwa tidak ada seorang yuris-pun yang mampu membuat satu definisi hukum yang tepat.

Sebagaimana ilmu hukum, ilmu ekonomi juga demikian yaitu tidak adanya kesamaan dari para ahli ekonomi dalam memberikan definisi yang kongkret. Menurut M. Manulang bahwa ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran adalah suatu keadaan dimana manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum ekonomi menurut Rachmad Soemitro adalah sebagian dari keseluruhan norma yang dibuat oleh Pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan ekonomi masyarakat yang saling berhadapan.

Hukum ekonomi lahir karena semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional maupun internasional. Hukum dipergunakan bukan hanya untuk mengatur kegiatan ekonomi tetapi juga agar perkembangan ekonomi tidak merugikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, hukum bukan hanya mengatur aktivitas ekonomi tetapi bagaimana pengaruh ekonomi terhadap hukum.

Selanjutnya, Prof. DR. Abdul Manan mengatakan bahwa hubungan hukum dengan ekonomi bukan hubungan satu arah tapi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Bahkan sering disebutkan bahwa hubungan hukum dengan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi. Kegiatan ekonomi yang didukung oleh hukum akan menyebabkan terjadinya kekacauan sebab apabila pelaku ekonomi dalam mengejar keuntungan tidak dilandasi dengan norma hukum maka akan menimbulkan kerugian salah satu pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi. sementara itu, era globalisasi membuat pergaulan masyarakat dunia semakin terbuka. Batas-batas Negara dalam pengertian ekonomi dan hukum semakin erat. Kedua hal ini selalu berjalan bersamaan. Oleh karena itu, segala hal yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yang telah dibahas di dalam GATT, WTO dan lembaga-lembaga ekonomi internasional lainnya harus menjadi pertimbangan serius di dalam membangun hukum ekonomi Indonesia.

Istilah dan kajian hukum ekonomi memang masih menjadi perbincangan, namun istilah hukum ekonomi (economic law, wirthafrecht) kenyataannya telah dikenal di Inggris sejak Tahun 1760-an dan hukum ekonomi telah berkembang di negara-negara Eropa lainnya. Di Perancis telah dilakukan unifikasi dan kodifikasi hukum dagang Perancis kedalam code civil dan code du commerce serta pengkodifikasian hukum pidana kedalam code penal. Demikian juga yang terjadi di Belanda mengambl alih code Napoleon dan paham-paham yang didasarinya ke dalam Burgerlijke Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (1838), dan ketika Belanda menjajah Indonesia maka BW dan WvK diberlakukan di Indonesia sejak 1848.  Meskipun hukum Ekonomi telah dikenal dalam BW dan WvK namun Hukum Ekonomi masih merupakan bidang kajian hukum yang relatif masih baru. Pada Tahun 1978, para ahli hukum telah mengkonstatir laporan simposium Pembinaan Hukum Ekonomi Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman RI dengan suatu kesimpulan bahwa mengenai pengertian dan ruang lingkup hukum ekonomi Indonesia masih terdapat perbedaan kecuali penggunaan istilah hukum ekonomi sebagai wadah pengelompokkan cabang Ilmu Hukum yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi.

Prof. Sunaryati Hartono, menjelaskan bahwa hukum ekonomi Indonesia adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia. Bahkan Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat lintas sektoral dan interdisipliner karena ia tidak hanya bersifat hukum perdata, tetapi juga berkaitan erat dengan hukum administrasi Negara, hukum antar wewenang, hukum pidana dan juga tidak dapat mengabaikan hukum publik internasional dan hukum perdata internasional. Hukum ekonomi Indonesia juga memerlukan landasan pemikiran dari bidang non hukum seperti filsafat, sosiologi, administrasi pembangunan dan dari ilmu ekonomi itu sendiri.

Pembangunan Hukum dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri, serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakkan dan perlindungan Hukum. Di dalam RPJP ini tersirat eratnya hubungan antara hukum dan ekonomi.

Sebagai bagian dari pembangunan hukum, maka berbagai bentuk aktivitas ekonomi yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan jangka panjang menjadi perhatian dan kajian penting. Sebagai salah satu contoh, salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang tengah berkembang adalah ekonomi syariah. Kajian ekonomi syariah dibahas dalam dua disiplin ilmu yaitu Ilmu Ekonomi Islam/syariah dan ilmu Hukum Ekonomi Islam/syariah. Bicara mengenai Hukum Ekonomi Syariah maka tidak mungkin terlepas dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang lahir berdasarkan Perma No 2 Tahun 2008. Namun, dalam kerangka pembangunan Hukum Ekonomi maka pembangunan Hukum Ekonomi Syariah masih memerlukan upaya yang panjang. Wallahu a’lam.




TUJUAN HUKUM

Sejak hukum Hammurabi ada (disusun atas perintah raja Babylonia yaitu Raja Hammurabi pada abad ke-17 SM dan diyakini merupakan code hukum kuno tertua yang berbentuk tertulis-sampai saat ini masih terdapat peninggalannya dimuseum Perancis), tujuan hukum telah menjadi sesuatu yang penting diperhatikan.

Raja Hammurabi menganggap tujuan hukum adalah keadilan dalam rangka menjaga dan melindungi rakyatnya. Persepsi keadilan Raja Hammurabi barangkali tidak bisa dibayangkan dan disamakan dengan konsep keadilan saat ini. Sebagai contoh: Pada Hukum Hammurabi, ditetapkannya hukuman mati bagi perampokan dan pencurian (“kriminal biasa”)-sementara saat ini hukuman mati pelaku kejahatan-kejahatan besar bagi kemanusiaan yaitu terorisme, narkoba dan korupsi-masih menjadi perdebatan panjang). Hal ini secara tidak langsung memberi keyakinan kepada kita bahwa konsep keadilan sebagai tujuan hukum sampai kapanpun dan dengan cara apapun dikaji tidak pernah diperoleh standar yang pasti.

Dalam perkembangan hukum berikutnya, persoalan tujuan hukum tetap menjadi perhatian penting karena menjadi ruh bagi perumusan suatu peraturan. Berbagai teoripun muncul mengenai tujuan Hukum, misalnya:
1. Teori etis (etische theory) dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa tujuan hukum adalah untuk dicapainya keadilan, dan keadilan bukan berarti menyamaratakan atau tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama
2. Teori utilitas (utilities theory) dikemukakan oleh Jeremy Betham, bahwa tujuan hukum adalah untuk kemanfaatan dan kebahagiaan
3. Teori normative-dogmatif dikemukakan oleh John Austin, bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi pendapat dan teori yang dikemukakan para ahli hukum tentang tujuan hukum, namun secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk ketertiban, keamanan dan kebahagiaan manusia serta diperolehnya keadilan.

Bagaimana dengan Hukum Islam? Sebagai suatu sistem hukum maka sudah pasti juga memiliki tujuan. Para ahli hukum Islam merumuskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudarat. Bicara tujuan Hukum Islam atau dikenal dengan istilah maqashid al-syariah adalah bicara mengenai kemashlahatan manusia sebagai tujuan hukum Islam, dan bicara mengenai kemashlahatan maka itu berarti ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan dalam kerangka kemashlahatan yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Kelima unsur pokok ini dipopulerkan oleh seorang pakar yang bernama Al-Syatibhi. Kajian mengenai hal ini sangat dalam dan tidak sederhana karena berkaitan dengan kajian ushul fikih, namun dapat dikatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum yang berasal dari Tuhan maka Hukum Islam tidak hanya menyentuh persoalan keduniaan semata. Oleh karena itu sangat logis apabila tujuan hukum Islam-pun tidak sebatas pada hal yang sifatnya duniawi, ada hal yang lebih fundamental lagi yaitu menyentuh persoalan yang lebih hakiki dan abadi yaitu kehidupan ukhrowi.

Islam meyakini bahwa keberadaan manusia tidak lain tujuannya adalah dalam rangka beribadah kepada Tuhan penciptanya (QS Dzariyat:56), oleh karena itu segala aktivitas hidup manusia selayaknya ditujukan dalam kerangka beribadah dan dengan demikian keberadaan hukum sebagai rambu-rambu yang mengatur aktivitas manusia diarahkan dalam rangka kemashlahatan agar “kerangka beribadah” itu dapat berjalan baik sehingga ujung perjalanan hidup berakhir dengan baik (khusnul khatimah).

Dengan demikian, didalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer (termasuk salah satunya adalah aktivitas ekonomi syariah –sebagai salah satu aktivitas bisnis yang sangat pesat perkembangannya dewasa ini) selayaknya perlu dikaji mendalam hakekat dari masalah serta meneliti sumber hukum yang akan dijadikan dalil atau dasar hukumnya agar tujuan hukum sebagaimana yang dikehendaki Tuhan semesta alam terpenuhi.




The Living Law

Istilah The Living Law  berarti hukum yang hidup ditengah masyarakat, dalam hal ini  yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat. The Living Law sebenarnya merupakan katalisator (positif atau negatif) dalam pembangunan Hukum Nasional. Salah satu hasil dari pembangunan hukum yang terus berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi adalah Hukum Bisnis atau Hukum Ekonomi.

Sebagai salah satu bentuk sumbangan positif dalam pengembangan Hukum Ekonomi adalah Hukum Bisnis Syariah yang saat ini terus dikaji dan dikembangkan, Kontribusi Hukum Islam dalam hal ini sangat kuat dan inilah yang dapat dikatakan bahwa The Living Law menjadi katalisator positif dalam pembangunan hukum.

Ekonomi Syariah yang saat ini tengah berkembang dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek hukum. Jika bicara dari aspek hukum maka itu berarti bicara mengenai norma dan berbagai perangkat peraturan yang mengiringi aktivitas bisnis/ekonomi syariah sehingga disiplin ilmu ini sekarang dikenal dengan Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Bisnis Syariah.

Berkaitan dengan norma hukum dalam Hukum Bisnis Syariah maka tidak heran apabila norma-norma di dalam Hukum Islam menjadi rujukan utama. Oleh karena Hukum Islam merupakan salah satu dari The Living Law di Indonesia maka kajian dalam disiplin Ilmu ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Istilah menyegarkan, mengingat kembali, mengkaji kembali dan mengembangkan nilai-nilai yang telah ada dan hidup ditengah masyarakat mestinya menjadi sesuatu yang mudah dan menarik.

Persoalan yang lebih mendasar sebenanya adalah bagaimana norma-norma tersebut diangkat dan menjadi Hukum Positif sehingga dapat menjadi payung bagi segala aktivitas bisnis yang bernuansa syariah? disinilah peran penting dari Hukum Ekonomi Syariah!