TANYA – JAWAB FILSAFAT ILMU Bagian Kedua (Habis)

Tanya :

Bagaimanakah sejarah perkembangan ilmu hukum, dari sejak awal ditemukan hingga sekarang? Jelaskan dinamika perkembangannya dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya ?

Jawab :

Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum berasal dari Bangsa Romawi, karena bangsa ini telah dianggap mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna bila dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara lain. Konsekuensinya perkembangan dan penyempurnaan hukum di negara- negara lain selalu dipengaruhi oleh Hukum Romawi.

Pada tahun 534 M naskah – naskah Hukum Romawi kuno yang hebat untuk pertama kali dikodifikasi di Romawi pada masa kekuasaan Caesar Iustinianus yang dinamakan Corpus Juris-Civilis. Kodifikasi hukum tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kepastian hukum  di masyarakat. Hukum Romawi tersebut kemudian sejak Tahun 1087 untuk pertama kali secara sistematis diajarkan di Universitas Bologna di Italia oleh Guarnerius, dan peristiwa itu dicatat sebagai awal mula sejarah ilmu hukum. Selanjutnya hukum Romawi tersebut diajarkan di Universitas-universitas di Eropa Barat.

Dalam dinamika perkembangan selanjutnya Hukum Romawi yang dipandang sebagai suatu sistem hukum yang merefleksikan peradaban yang tinggi maka Hukum Romawi itu menjadi obyek studi hukum secara sistematis dengan menggunakan metode analisis dan sintesis yang biasa disebut metode skolastik. Seiring berjalannya waktu, kurikulum di Universitas Bologna, Paris, Oxford dan Universitas-universitas lain di Eropa diperluas bukan hanya Corpus Juris Civilis saja, melainkan juga meliputi Hukum Kanonik yang ditetapkan oleh Paus dan Dewan, yang kemudian dikenal sebagai metode skolastik.  Dari studi tersebut diketahui doktrin – doktrin hukum mengandung celah-celah dan kontradiksi-kontardiksi. Untuk menutupi celah-celah dan mengatasi kontradiksi tersebut maka diselesaikan dengan metode dialectica.

 

Tanya :

Apa yang menjadi dasar ilmu hukum untuk menyatakan kebenaran?

Jawab :

Menurut Prof. Utrech hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib kehidupan masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat. Selain Prof. Utrech banyak sarjana yang memberikan definisi mengenai hukum, namun berbagai definisi tentang hukum tersebut dapat diringkas menjadi beberapa pengertian yaitu; Pertama, hukum di artikan dengan peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.

Kedua, hukum diartikan sebagai undang-undang, aturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Ketiga, hukum diartikan patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu.

Adapun ilmu adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berpikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Jadi yang dimaksud ilmu hukum dalam tulisan ini adalah ilmu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis berdasarkan metode yang ilmiah, telah teruji dan berlaku umum, yang objeknya adalah hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya serta mempelajari semua semua seluk beluk mengenai hukum.

Untuk mengetahui dasar ilmu hukum untuk menyatakan kebenaran harus dikaitkan dengan teori kebenaran berdasarkan Koherensi, Korespondensi, atau Pragmatisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Teori kebenaran Koherensi adalah Teori  Koherensi/Konsistensi (The Consistence/ Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan -pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

Menurut Teori Kebenaran Korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika terdapat (korespondensi) kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan fakta, dengan situasi aktual atau dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori kebenaran  Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, dengan kata lain suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.

Apakah yang menjadi dasar kebenaran menurut ilmu hukum jika di lihat dari teori kebenaran Korespondensi? Dalam banyak hal hukum dipandang hitam putih, benar atau salah berarti kebenaran itu hanya satu yaitu berdasarkan pada Teori Kebenaran Korespondensi yang dalam hal ini maksudnya adanya kesesuaian sanksi hukum dengan peristiwa hukum. Jika demikian halnya maka hukum yang dilihat pada aspek kepastian yaitu kesesuaian legalitas dengan fakta-fakta hukum. Sebagai contoh dalam hal majelis hakim menjatuhkan vonis, apakah vonis hakim yang dijatuhkan

sudah mempunyai dasar kebenaran maka dalam sudut pandang ilmu hukum harus dilihat apakah ada kesesuaian (korespondensi) antara putusan hakim sebagai suatu ‘pernyataan’ dengan peristiwa atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh terdakwa atau tergugat sebagai fakta – fakta. Kebenaran dalam hukum merupakan kebenaran legalitas, artinya penerapan hukum terhadap sebuah perkara didasarkan pada fakta -fakta hukum yang terdapat pada peristiwa tersebut.

 

Apakah yang menjadi dasar kebenaran menurut ilmu hukum jika di lihat dari teori kebenaran koherensi? Suatu pernyataan dalam wujudnya sebagai suatu peraturan atau rule dapat dianggap benar apabila norma tersebut sudah sesuai dengan pernyataan -pernyataan atau pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar misalnya keadaran hukum masyarakat. Sebagai contoh dalam Pasal 2 UU Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Apakah benar bahwa korupsi merugikan keuangan negara atau perekenomian negara? Pernyataan bahwa korupsi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dianggap benar jika sebelum lahirnya UU Tindak Pidana telah ada pemahaman atau kesadaran hukum dalam masyarakat bahwa korupsi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Telah ada pernyataan – pernyataan di masyarakat misalnya melalui media massa bahwa Perekonomian Indonesia dirugikan oleh tindakan korupsi. Jadi pernyataan dalam bentuk peraturan konsisten dengan apa yang dianggap benar dalam masyarakat.

Apakah yang menjadi dasar kebenaran menurut ilmu hukum jika di lihat dari teori kebenaran pragmatis?  Peraturan dibuat untuk untuk mengatur agar tercapai ketertiban dalam masyarakat. Kebenaran pernyataan-pernyataan yang dituangkan sebagai norma dalam undang-undang adalah benar jika norma tersebut dalam praktiknya nyata-nyata bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai contoh norma-norma dalam undang-undang lalu lintas dibuat agar para pengguna jalan raya dapat menggunakan jalan raya secara tertib dan aman, tidak menimbulkan atau setidaknya meminimalkan tabrakan, kecelakaan, kemacetan dan lain sebagainya . Norma-norma lalu lintas dianggap benar jika norma tersebut dirasakan memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna jalan raya yaitu tertibnya penggunaan jalan raya dan minimnya tebrakan, kecelakaan, kemacetan dan sebagainya.

 

Tanya :

  1. Dapatkah ilmu hukum mensisntesiskan ketiga Teori Kebenaran menjadi satu kesatuan pandangan sehingga dihasilkan satu kesimpulan bahwa yang benar adalah menunjukkan keteraturan pikiran (koherensi), sesuai dengan fakta (korespendensi), dan bermanfaat (pragmatis)?

Jawab :

Untuk menjawab pertanyaan ini akan dikemukakan dengan contoh yang konkrit yaitu Undang – Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty yang baru saja pada 28 Juni 2016. Materi (sebagai pernyataan-pernyataan) dalam bentuk norma-norma dalam UU tersebut adalah bahwa adanya Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak penghasilan, membawa dan menyimpan dananya di luar negeri, jika dana telah di tempatkan di luar negeri diinvestasikan kembali di Indonesia Wajib Pajak tersebut tidak akan dikenakan sanksi atas pelanggaran perpajakannya masa lalu. Tujuan dari UU dan norma-norma ini agar ada aliran dana masuk untuk investasi di Indoensia guna menggerakkan perekonomian Indonesia.

Dalam pembuatan UU Tax Amnesty harus mempunyai dasar kebenaran yang komprehensif yang mencakup kebenaran Korespondensi, Koherensi, Pragmatis. Pembuatan UU Tax Amnesty dapat dianggap benar jika ada kesesuaian (korespondensi) antara norma-norma dalam UU tersebut yang obyeknya adalah pelarian dana ke luar negeri guna menghindari atau mengemplang pajak dengan fakta-fakta bahwa di masyarakat telah terjadi peristiwa hukum tersebut. Jika ada kesesuaian maka berdasarkan teori kebenaran Korespondensi pembuatan UU Tax Amnesty adalah benar.

Selain itu pembuatan UU Tax Amnesty harus benar menurut perspektif teori kebenaran Koherensi. Jika norma-norma dalam UU Tax Amnesty yang mengatur pemberian pengampunan (pembebasan) sanksi perpajakan bagi pelanggarnya, menyebabkan masuknya kembalinya dana yang telah ditempatkan di luar negeri.

Demikian pula pembuatan UU Tax Amnesty harus benar menurut perspektif teori kebenaran Pragmatis. Pembuatan UU Tax Amnesty adalah benar jika setelah diterapkan ternyata sungguh-sungguh bermanfaat yaitu kembalinya dana dan meningkatnya perekonomian Indonesia.

 

Tanya :

Jelaskan bagaimana Metode Hermeneutika dapat diterapkan pada produk hukum?

Jawab :

Pengertian secara umum Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi atau penafsiran makna. Menurut Hirsch penafsiran adalah pernyataan tentang niat pengarang. Selanjutnya masih menurut Hirsch makna sebuah teks (the meaning of a text) dan the signicifant of a text (apa yang diinginkan oleh pengarang) bagi para penafsir, satu sama lain bisa saja berbeda, baik karena kualitas penafsir atau disebabkan periode sejarahnya yang berbeda atau karena hal lain.

Suatu produk ilmu hukum dapat berupa teori-teori hukum yang kemudian dijadikan referensi dalam penyusunan peraturan tertulis yang berisi norma-norma yang bersifat perintah dan larangan. Perintah dan larangan tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat, terhadap pelanggarannya akan dikenakan sanksi yang tegas. Oleh karena hukum mengandung sanksi yang  tegas maka dalam penyusunannya harus seksama, demikian pula dalam penetrapannya harus hati-hati. Peraturan jika dibuat secara seksama dan diterapkan secara hati-hati niscaya akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat maupun  bagi ilmu hukum itu sendiri. Sebaliknya jika dibuat secara sembarangan dan penetrapannya kurang hati-hati justru akan membawa mudarat bagi individu dan masyarakat.

Peraturan yang berisi norma-norma sangat penting fungsinya dalam penyelesaian suatu masalah hukum, karena menjadi dasar bagi pembuatan keputusan apakah bersalah atau tidak seseorang yang diduga telah melanggar peraturan. Disinilah pentingnya penggunaan metode Hermeneutika dan anjuran E.D. Hirsch konsep  the meaning of a text dan signicifant of a text. Sesungguhnya dalam implementasi peraturan banyak pihak yang berprinsip bahwa isi peraturan tidak boleh ditafsirkan, karena penafsiran bersifat subjektif menurut kepentingan penafsir masing-masing. Sehingga yang dipedomani adalah the meaning of a text, peraturan itu harus dimaknai seperti apa teks yang tertulis. Dalam konteks ini Ilmu hukum mempunyai sifat khusus dari ilmu atau bidang sosial lainnya,   Jika teks peraturan memberikan peluang untuk penafsiran (the significant of a text) maka berpotensi terjadinya ketidak pastian hukum.

Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi peraturan adalah maksud dan tujuan dari pembentuk peraturan atau undang-undang yang di tuangkan dalam rumusan norma belum tentu dapat pahami oleh orang lain yang akan menggunakannya. Selain itu adanya kesenjangan waktu antara pembuatan peraturan dengan saat akan diterapkannya peraturan tersebut. Apabila kesenjangan waktu cukup lama maka mungkin sudah ada perbedaan kondisi sosial, budaya, kepentingan, dan paradigma hukum, sehingga jika peraturan tersebut tetap akan  digunakan memerlukan penafsiran signifikansi maupun konsepsi dalam norma tersebut sesuai kondisi atau paradigma saat implementasinya.

Namun untuk menghindari terjadinya ketidak pastian hukum maka menganut the significant of the text dalam produk ilmu hukum yang berupa peraturan sebelum disusunnya peraturan tersebut perlu dibuat naskah akademik. Selain hal tersebut, terhadap pasal-pasal dalam peraturan tersebut perlu dibuatkan Penjelasan pasal-pasal. Dengan demikian konsepsi the meaning of the text dapat digunakan sekaligus dengan the significant of the text.

 

Tanya:

Apa manfaat Metode Hermeneutika bagi pengembangan akademik ilmu hukum dan Masyarakat?

Jawab :

Metode Hermeneutika mempunyai manfaat yang cukup berarti bagi pengembangan ilmu hukum. Masalah yang biasa dihadapi dalam ilmu hukum khususnya di Indonesia adalah menyangkut konsepsi lama yang masih sering dipedomani maupun peraturan-peraturan lama yang masih berlaku sementara peraturan baru belum ada. Persoalannya adalah apakah konsepsi-konsepsi lama, peraturan lama masih dapat diterapkan saat ini. Suatu prinsip, konsepsi, peraturan yang dibuat oleh pencetusnya mempunyai arti atau makna tertentu. Namun dengan lampaunya waktu apakah makna tersebut dapat dipahami oleh orang-orang dikemudian hari, dan apakah makna tersebut relevan dengan kondisi saat ini. Maka dalam keadaan demikian diperlukan bekerjanya metode Hermeneutika untuk mendapatkan pemahaman yang memadai konsepsi, peraturan lama tersebut. Baik dalam pengertian the meaning of a text maupun the significant of the text.

 

Tanya :

Dampak positif dan dampak negatif ilmu hukum yang mungkin terjadi pada masyarakat? Bagaimana cara mengatasi dampak negatif tersebut?

Jawab :

Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu menelaah terlebih dahulu ilmu hukum dan tujuan hukum.

Ilmu hukum adalah pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang yang benar dan tidak benar menurut harkat kemanusiaan. Ilmu   hukum  merupakan   nama   yang   diberikan   kepada   suatu   cara   untuk   mempelajari hukum, suatu   penyelidikan   yang   bersifat   abstrak, umum   dan   teoritis,   yang   berusaha mengungkapkan asas-asas yang pokok dari hukum.Teori ilmu hukum menyangkut pemikiran mengenai hukum atas dasar yang paling luas. Menurut Satjipto Rahardjo Ilmu hukum adalah setiap pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai semua tingkat kehidupan hukum, pemikiran itu  menjangkau  keluar batas pemecahan   terhadap suatu problem yang konkrit, jadi ilmu hukum meliputi semua macam generalisasi yang jujur dan dipikirkan masak- masak di bidang hukum. Adapun tujuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, dengan menciptakan ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat.

Demikian juga Soejono mengatakan bahwa hukum yang diadakan atau dibentuk membawa misi tertentu, yaitu keinsafan masyarakat yang kemudian dituangkan dalam hukum sebagai sarana pengendali dan pengubah agar terciptanya kedamaian dan ketentraman masyarakat.

Jika mengacu pada uraian di atas maka dampak positif ilmu hukum tidak terlepas dari pemahaman tentang filsafat ilmu khususnya pemahaman akan pengetahuan yang rasional dan pengetahuan empiris dan tahap penyusunan ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum sangat berguna dalam merumuskan peraturan bagi masyarakat. Perumusan peraturan yang baik terlebih dahulu didasarkan pada suatu penelitian untuk masalah yang akan dibuat aturannya. Oleh karena itu untuk menghasilkan suatu aturan yang baik dan berdampak positif perlu penelitian yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  1. merumuskan permasalahan;
  2. menggunakan landasan teor;
  3. menetapkan premis-premis;
  4. menetapkan hipotesis;
  5. uji hipotesis;
  6. generalisasi

Jika peraturan dibuat berdasarkan prosedur yang benar menurut ilmu hukum maka akan menghasilkan hukum yang berdampak positif bagi masyarakat. Dampak positifnya terhadap masyarakat adalah peraturan yang dihasilkan dari ilmu hukum tersebut membawa masyarakat kepada suatu kehidupan yang teratur, tertib dimana setiap anggota masyarakat dapat menjalankan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa terganggu oleh kehadiran individu lain disekelilingnya. Dengan adanya keteraturan tersebut dalam masyarakat dan terlindunginya hak-hak anggota masyarakat maka akan tercapai suatu kehidupan bersama dalam masyarakat yang nyaman, seimbang dan harmonis. Dengan tercapainya kenyamanan, keseimbangan dan kehidupan yang harmonis maka memungkinkan tercapainya peningkatan pendidikan, ekonomi, kesejahteraan yang pada akhirnya meningktakan kualitas hidup masyarakat.

Sebaliknya jika ilmu hukum tidak dihasilkan dari proses dan kaidah-kaidah ilmiah baik berdasarkan rasio ataupun indera pengalaman, tidak teruji validitasnya, tidak objektif maka akan melahirkan teori, konsep yang keliru hingga akhirnya akan menghasilkan produk hukum yang dapat menimbulkan ketidaktertiban (disorder) dalam masyarakat.

 

Tanya :

Bagaimanakah ilmu hukum memandang “keadilan” itu. Apakah lebih condong kepada teorinya John Rawls atau Karl Marx?

Jawab :

John Rawls menginginkan adanya suatu keadilan yang bisa dirasakan (fair). Menurut John Rawls ketidakadilan terjadi karena adanya keadaan golongan-golongan atau lapisan dalam masyarakat yang tidak fair, ada yang kuat dan ada yang lemah. John Rawls ingin adanya perbaikan struktur dasar masyarakat agar kondisinya sama dan bisa bersaing secara fair, karena tidak bisa ada persaingan yang fair kalau struktur dasar masyarakat tidak sama.

Pokok-pokok pemikiran Karl Marx pertentangan kelas antara kelas borjuis sebagai kelas pemilik alat-alat produksi dengan kelas proletar sebagai kelas buruh berakhir dengan terbentuknya masyarakat tanpa perbedaan kelas yang bercirikan adanya kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi.

Hukum lahir karena adanya berbagai kepentingan, perbedaan, kebutuhan dalam masyarakat yang perlu mendapat pengaturan yang baik agar kehidupan anggota masyarakat tersebut nyaman dan aman. Secara alamiah struktur masyarakat akan tumbuh menjadi bersifat heterogen, terdiri dari beberapa lapisan sosial, kepentingan kelompok yang berbeda, karakter yang berbeda dan kemampuan yang berbeda pula.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup masing-masing terjadi persaingan, dan persaingan tersebut menimbulkan ketidak adilan dan tentunya menimbulkan ketidaktertiban dalam masyarakat. Untuk mengatasi ketidak adilan inilah diperlukan peranan hukum untuk melindungi atau membantu kelompok atau golongan yang lemah agar mempunyai kemampuan untuk bersaing. Terhadap golongan yang lemah perlu dibantu misalnya dalam hal pendidikannya, kesehatannya, dan lain – lain. Jadi dalam hal ini hukum diperlukan sebagai alat sosial (social tool) untuk memperbaiki struktur masyarakat agar anggota masyarakat mampu bersaing secara fair. Persaingan tetap dibutuhkan agar suatu masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai peningkatan kualitas. Oleh karena itu hukum lebih condong kepada teori John Rawls.




Tanya-Jawab Filsafat Ilmu (Bag. 1 dari 2)

Tanya:
Jelaskan bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan (knowledge) menurut pandangan : Rasionalisme, Empirisme, dan Transcendental Idealisme.
Jelaskan bagaimana dapat diperoleh pengetahuan tentang hukum, dan bagaimana pengetahuan tentang Hukum dapat berkembang menjadi Ilmu Hukum yang memenuhi kaedah-kaedah ilmiah.

Jawab:

Rasionalisme

Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki

Rasionalisme adalah paham yang menekankan pemikiran sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran . Menurut para penganut aliran Rasionalisme, manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengetahui struktur dasar alam semesta secara apriori. Maksudnya bahwa pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi atau dengan kata lain Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal atau ide . Akal bahkan dianggap dapat menemukan kebenaran sekalipun belum didukung oleh fakta empiris. Aliran Rasionalisme ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek . Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari kebenaran-kebenaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh akal

Tokoh utama yang memperkenalkan faham Rasionalisme adalah filsuf Perancis yang kemudian dikenal sebagai “bapak filsafat modern” yaitu Rene Descartes (1596-1650). Orisinalitas pemikiran Descartes terletak pada idenya tentang kesangsian (dubium methodicum), untuk memperoleh kebenaran yang tak tergoyahkan. Descartes mengklaim dirinya telah menemukan filsafat yang sangat tajam dan kritis, yaitu metode yang dimulai dengan menyangsikan segala-galanya. Akhir dari kesangsian metodis tersebut adalah kebenaran yang tak dapat disangsikan lagi oleh Descartes, yaitu “aku yang berfikir.” Dari proses kesangsian Descartes yang konon memerlukan waktu seminggu penuh berdiam diri di kamar, muncullah diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum: aku perfikir maka aku ada.”

Empirisme

Istilah “empirisme” berasal dari bahasa Yunani “empeira” yang berarti pengalaman. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Kaum empirisme menolak gagasan kaum Rasionalisme yang dipelopori oleh Descartes. Bagi penganut aliran Empirisme, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan manusia. Karena sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka metode yang diajukan adalah kaum empiris adalah metode pengamatan induktif.

Artikel selengkapnya: tanya-jawab-filsafat-ilmu-1-dari-2 (pdf)




Tribunal Fraud Perbankan

Setelah melewati tahun sulit 2015 dan triwulan pertama 2016 dimana perbankan menahan diri utk ekspansi dan lebih memilih melakukan konsolidasi guna menjaga stabilitas kinerjanya, pada triwulan kedua tahun 2016 perbankan mulai ekspansi kredit dengan target peningkatan kisaran 14 hingga 18.5%. untuk pendanaannya perbankan melalui Rencana Bisnis Bank (RBB) juga telah mulai menggenjot peningkatan Pengumpulan Dana Pihak Ketiga (DPK)
Hal yang perlu diingatkan dalam ekspansi kredit maupun pengumpulan dana adalah tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian bank ( banking prudentian principle).
Pengalaman sebagai AHLI Perbankan yang dimintai pendapat oleh Bareskrim Polri dalam Penyelidikan maupun Penyidikan dugaan tindak pidana perbankan memperlihatkan banyaknya terjadi dugaan tindak pidana atau fraud perbankan disebabkan pelanggaran terhadap banking prudential principle yang seharusnya menjadi rambu pengendali dalam agresifitas bank menjalankan kegiatan usahanya. Fraud terjadi dalam penyaluran kredit maupun dalam pengumpulan dana.
Berbagai hal yang menyebabkan terjadinya fraud perbankan di tengah agresifitas bank mengumpulkan dana maupun penyaluran kredit. Penyebab fraud bank yg dimaksud antara lain.
Integritas pegawai bank

  • Tuntutan utang
  • Tuntutan target yang harus dicapai
  • Kesadaran hukum pegawai bank
  • Pemahaman thd banking prudential principle
  • Pegawai pindahan (transfer employee)

Penyelesaian Hukum Fraud Perbankan

Sesuai dengan hukum positip yang berlaku di Indonesia jika terjadi fraud perbankan baik yang dikategorikan pidana maupun perdata penyelesaian hukumnya adalah secara litigasi di Pengadilan umum. Sekalipun jika terjadi sengketa perdata antara nasabah dengan bank dapat dilakukan melalui mediasi perbankan, namun Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi Perbankan hanya sengketa perdata yang menyangkut aspek transaksi keuangan setinggi-tingginya adalah Rp. 500 juta. Padahal fraud perbankan menyangkut kasus puluhan milyar bahkan di atas 100 miliar rupiah, sehingga harus diselesaikan melalui litigasi di Pengadilan umum. Penyelesaian hukum melalui litigasi di pengadilan umum mempunyai beberapa kelemahan antara lain:

  1. Proses yang menelan waktu relatif lama
  2. Lemahnya spesialisasi dan kurangnya pelatihan Jaksa, Hakim dan Advokat
  3. Proses pembuktian yang rumit

Jika memperhatikan masalah hukum yang lain misalnya masalah ketenagakerjaan penyelesaiannya melalui pengadilan khusus yaitu Pengadilan Hubungan Industrial, masalah utang-piutang dan sengketa Hak Kekayaan Intelektual penyelesaiannya melalui pengadilan khusus yaitu Pengadilan Niaga.

Saran pembentukan Pengadilan Khusus Pidana Perbankan

Dengan pendapat tsb di atas saya sarankan agar ke depan untuk meningkatkan efektifitas penyelesain hukum kasus fraud perbankan agar dibentuk pengadilan khusus perbankan. Tujuannya agar dapat mengatasi kelemahan di Pengadilan Umum.
Di negara lain (negara yang menganut sistem hukum common law/ anglo saxon), masalah hukum yang spesifik diselesaikan melalui pengadilan khusus yang dinamakan Tribunal. Keputusan Pengadilan Tribunal bersifat final & binding. Final artinya terhadap keputusan tersebut tidak tersedia upaya hukum banding dan atau kasasi. Binding artinya keputusan tersebut bukan merupakan perjanjian, tetapi merupakan putusan judisial sehingga harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk lembaga pemerintahan. Pengadilan khusus perbankan misalnya terdapat di Pakistan yang sudah cukup lama beroperasi.
Pembentukan pengadilan khusus perbankan pada kondisi saat ini memang sulit di wujudkan mengingat UU Perbankan No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan tidak mengatur adanya penyelesaian masalah perbankan melalui pengadilan khusus perbankan. Namun demikian peluang untuk maksud tersebut sebenarnya saat terbuka lebar.
Di DPR periode 2009-2014 telah membuat RUU Perbankan untuk menggantikan UU Perbankan yang sekarang, dan saat ini belum selesai. Pada tahun 2015 RUU Perbankan telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan sampai saat ini belum selesai. Oleh karena itu ada peluang untuk memasukkan klausula mengenai Pengadilan Khusus Perbankan.

SEKIAN