Ada sebuah pelajaran moral yang patut disimak untuk menjadi arif di dalam menyikapi kejadian-kejadian yang berkembang di dalam masyarakat kita yang dewasa ini, yaitu mudahnya orang mengambil kesimpulan dari peristiwa yang dilihat atau didengar olehnya.
TENGGELAMNYA KAPAL PESIAR
Seorang guru menceritakan sebuah kisah kepada murid-muridnya di kelas. Kisahnya dimulai dengan sebuah kapal pesiar yang mengalami kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. Sepasang suami istri berlari menuju skoci untuk menyelamatkan diri. Sampai di sana, mereka menyadari bahwa anak mereka sudah berada di skoci, dan hanya ada tempat untuk satu orang yang tersisa. Segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu. Sang istri hanya dapat menatap kepada suaminya sambil meneriakkan sebuah kalimat sebelum skoci menjauh dan kapal itu benar-benar menenggelamkannya.
Setelah menceritakan kisah itu, guru itu bertanya pada murid-muridnya, “Menurut kalian, apa yang sang istri itu teriakkan kepada suaminya?”
Sebagian besar murid-murid itu menjawab,
“Aku benci kamu!”
“Kamu tahu aku buta!!”
“Kamu egois!”
“Tidak tahu malu!”
Namun, guru itu kemudian menyadari bahwa ada seorang murid yang diam saja. Guru itu meminta murid yang diam itu untuk menjawab. Kata si murid, “Guru, saya yakin si istri pasti berteriak, ‘Tolong jaga anak kita baik-baik.”
Guru itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu sudah pernah mendengar cerita ini sebelumnya?”
Murid itu menggeleng. “Belum. Namun, hal itu yang dikatakan oleh ibu saya kepada ayah saya sebelum dia meninggal karena penyakit kronis.”
Guru itu menatap seluruh kelas dan berkata, “Jawaban ini benar.”
Kemudian, sang guru melanjutkan kisahnya. Kapal itu kemudian benar-benar tenggelam dan sang suami membawa pulang anak mereka sendirian.
Bertahun-tahun kemudian setelah sang suami meninggal, anak itu menemukan buku harian ayahnya. Di sana dia menemukan kenyataan bahwa, saat orangtuanya naik kapal pesiar itu, mereka sudah mengetahui bahwa sang ibu menderita penyakit kronis dan akan segera meninggal. Oleh karena itu, pada saat darurat itu, ayahnya memutuskan untuk mengambil satu-satunya kesempatan untuk bertahan hidup. Dia menulis di buku harian itu, “Betapa aku berharap untuk mati di bawah laut bersama denganmu. Tapi demi anak kita, aku harus membiarkan kamu tenggelam sendirian untuk selamanya di bawah sana.” Cerita itu selesai. Dan seluruh kelas pun terdiam.
Guru itu tahu bahwa murid-murid sekarang mengerti moralitas dari cerita tersebut, bahwa kebaikan dan kejahatan di dunia ini tidak sesederhana yang sering kita pikirkan. Ada berbagai macam komplikasi dan alasan di baliknya yang terkadang tidak mudah untuk dimengerti. Oleh karena itulah, kita sebaiknya jangan pernah melihat setiap peristiwa hanya dari luar dan kemudian langsung menghakimi, apalagi tanpa tahu apa-apa.
Mereka yang sering membayar untuk orang lain, mungkin bukan berarti mereka kaya, melainkan karena mereka lebih menghargai hubungan daripada uang.
Mereka yang bekerja tanpa ada yang menyuruh, mungkin bukan karena mereka bodoh, melainkan karena mereka lebih menghargai konsep tanggung jawab.
Mereka yang minta maaf duluan setelah bertengkar, mungkin bukan karena mereka bersalah, melainkan karena mereka lebih menghargai orang lain.
Mereka yang mengulurkan tangan untuk menolongmu, mungkin bukan karena mereka merasa berhutang, melainkan karena menganggap kamu adalah sahabat.
Mereka yang sering mengontakmu, mungkin bukan karena mereka tidak punya kesibukan, melainkan karena kamu ada di dalam hatinya.
Mereka yang sering menyanjungmu setinggi langit, mungkin bukan karena engkau pahlawan, melainkan mungkin karena mereka memaafkan keburukanmu.
Mereka yang selalu menghinamu dan menghakimimu, mungkin bukan karena mereka membencimu, melainkan karena mereka ingin menguji ketulusan cintamu.