Akhlaq Dalam Ajaran Islam

Dalam ajaran Islam akhlaq menempati posisi yang sangat vital setelah iman, karena di dalam mendakwahkan ajaran Islam akhlaq begitu penting sehingga dalam membuat daya tarik yang luar biasa efektifnya , Nabi SAW dan Shahabat-shahabatnya sering menampilkan akhlaq yang mulia dan mempesona bagi mereka yang belum memahami ajaran Islam.

Pengertian akhlaq yang dikutip oleh M Nipan Abdul Halim dalam bukunya yang berjudul Menghias diri dengan Akhlaq Terpuji dari Prof. Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Al- Akhlaaq sbb.:

Terjemahnya adalah sbb.:

“Sementara orang membuat definisi Akhlaq, bahwa yang disebut akhlaq adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya apabila kehendak itu membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlaq.”

Di dalam sebuah riwayat diceritakan seorang pelacur diperkenankan memasuki surga dan menjadi penghuninya hanya karena dia telah berakhlaq baik kepada seekor hewan yang jilatan lidahnya termasuk kategori najis mugholadoh.

Standar Ukuran Akhlaq.

Yang menjadi standar ukuran akhlaq dikatakan baik atau buruk, hina atau mulia, tinggi atau rendah adalah menurut Allah dan RosulNya, yang tercermin dari apa yang yang termaktub dalam Al Qur’an atau Al Hadits.

Ada pun jika ada yang mengatakan adanya standar lain yang bukan mengacu kepada Allah dan RosulNya, mungkin istilahnya lain, seperti misalnya : budi pekerti.

Pengertian insan kamil.

Insan kamil kalau diterjemahkan menjadi istilah manusia sempurna mungkin agak rancu karena yang sempurna hanya Allah Subhaahu Wata’ala saja.

Jadi pengertian  sempurna ini hanyalah sebatas kesempurnaan yang dapat dicapai oleh seorang manusia dengan segala keterbatasan atau kekurangannya.

Manusia berada pada dua level derajat kedudukannya ditinjau dari sudut pandang Akhlaq, yaitu disatu sisi dapat seperti binatang dan bahkan lebih rendah lagi dari itu. Di sisi lain dapat seperti malaikat bahkan lebih tinggi dari itu.

Akhlaq menjalin hubungan baik secara vertical maupun horizontal.

Al Qur’an mengajarkan perlunya menjaga hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Dalam Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 112: Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman yang artinya:

“Mereka senantiasa diliputi kehinaan dimana pun berada, kecuali jika mereka menjaga hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama manusia.”(QS. 3:112)

Jadi manusia yang berakhlaq sempurna adalah manusia yang dapat menjalin hubungan yang sebaik-baiknya dengan kholiq (penciptanya) dan juga menjalin hubungan yang sebaik-baiknya dengan makhluq ciptaan kholiqnya.

Dari sudut pandang seseorang yang dikatakan insan kamil adalah justru dia akan senantiasa memandang dirinya penuh dengan kekurangan-kekurangan dan dia berusaha senantiasa memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik, sesuai dengan sabda Nabi SAW yang mafhumnya: Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah  dia orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama saja dengan hari kemarin adalah dia orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah dia orang yang celaka. Berikut ini marilah sejenak kita lihat nasihat Nabi SAW kepada sahabatnya yaitu Abu Dzar ra.

Abu Dzar ra berkata bahwa Rosuulullah SAW bersabda: “ Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah kepada Allah, karena ia adalah induk segala urusan. Selalulah membaca Al Quran dan berdzikir kepada Allah, karena dengannya namamu akan diingat di langit dan menyebabkan terpancar nur bagimu di langit. Perbanyaklah waktu untuk diam, janganlah berbicara kecuali berbicara kebaikan. Yang demikian itu akan melindungi dari gangguan Syaithon dan memudahkan pengamalan agama. Jangan terlalu banyak tertawa karena hati akan mati dan memudarkan nur wajah. Teruslah berjihad karena itu adalah kebanggaan ummatku. Cintailah orang miskin, dan perbanyaklah duduk bersama mereka. Perhatikanlah kaum dhu’afa, dan jangan memandang  orang yang lebih tinggi derajatnya darimu, karena yang demikian itu dapat menyebabkan kamu tidak mensyukuri nikmat Allah SWT. Sambunglah tali kekeluargaan walaupun mereka memutuskannya. Katakanlah yang benar walaupun pahit. Jangan hiraukan hinaan dalam bermuraqabah kepada Allah SWT. Pandanglah aib sendiri, jangan memandang aib orang lain. Janganlah marah atas kesalahan orang lain, sedangkan kita juga melakukannya. Hai Abu Dzar tidak ada kebijaksanaan yang lebih bernilai selain dari tindakan yang sewajarnya, dan menghindari perkara yang dilarang, adalah ketakwaan yang paling baik. Selain akhlak yang mulia tidak ada lagi kemuliaan yang melebihinya. (dikutip dari Kitab Fadhilah Amal Mengenai Hadits-hadits Tentang Dzikir)

Akhlaq Kepada Pencipta

Akhlaq kepada pencipta adalah berupa pengakuan mutlaq dalam bentuk Syahadah (penyaksian/ kesaksian) bahwa tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Dia saja yang menciptakan kita semua ini.

Semakin bersih seseorang di dalam bersyahadah (dalam arti tidak mengambil tuhan-tuhan lain sebagai sesembahan semakin murni tauhid seseorang).

Tauhid disini nampaknya seolah-olah tauhid uluhiyah saja, karena kalimat Laa ilaaha illallaah, disini ada kalimat (atau kata dalam bahasa Indonesia) ilah.

Tetapi dalam berakhlaq yang sempurna kepada pencipta juga berarti penyempurnaan juga tauhid rububiyah, dalam arti bahwa seorang yang berakhlaq (baik) kepada Sang Kholiq, tidaklah bergampang-gampang menganggap bahwa yang memberi rizki adalah segala sesuatu yang nampak (yaitu makhluq).

Dan sebagai implikasi dari tauhid rububiyah bahwa akhlaq yang sempurna kepada Kholiq tidak menggampang-gampangkan pula mengharap apalagi meminta bantuan makhluq dalam arti untuk pemenuhan kebutuhan jasmani atau keselamatan jasmaniah duniawiyahnya.

Sebagai contoh Nabi Ibrahim alahi salam tidak mudah menerima tawaran Malaikat Jibril alaihi salam, ketika dirinya terancam oleh Raja Zolim Namrud yaitu akan dilempar ke dalam kobaran api dunia yang dahsyat.

Hal ini karena sikap Nabi Ibrohim didasarkan pula pada keyakinannya yang kuat kepada Allah secara tauhid rububiyah yaitu tiada Yang dapat menyelamatkan secara  haqiqiyah melainkan ALLAH.

Begitu juga lisan Nabi Ibrohim dalam bentuk doa: “Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’mannashiir” bukan hanya di bibir atau di lisannya saja tetapi sudah mendarah daging dalam sikap dan perbuatannya.

Karena itu lisannya mengucap do’a yang mafhumnya : “Cukup hanya Allah lah yang mencukupi dan dan hanya Allah yang menolong.” Dia buktikan juga dengan sikap penolakkan terhadap tawaran Malaikat Jibril alaihi salam, dan ini bukan karena sombong apalagi takabur tetapi hanya karena kekuatan tauhid rububiyahnya yang hanya absolut yakin kepada Allah saja pada haqiqatnya Yang dapat mencukupi dan menyelamatkan.

Dan juga termasuk dalam akhlaq yang baik kepada pencipta juga berbuat baik kepada makhluqnya.\

Akhlaq kepada makhluq.

Allah juga mengajarkan berakhlaq baik kepada makhluq, kesempurnaan cinta yang benar kepada Pencipta selain bertauhid yang betul, beribadah yang betul dan baik tetapi juga bermuamalah kepada sesama makhluq Allah dengan baik, bermuasyarah dengan baik dan berakhlaq kepada semua makhluq Allah termasuk haiwan dan benda-benda mati sekalipun. Pembahasan Akhlaq kepada makhluq sebetulnya juga begitu luas namun dalam penulisan ini dibuat sedemikian ringkas.

Dalam hal ini Nabi SAW melarang memasuki kota Mekkah sewaktu Futhu Mekkah untuk memetik tumbuh-tumbuhan atau juga tindakan merusak lainnya.

Pentingnya peranan akhlaq sebagai penguasa dan bahayanya tidak ber akhlaq.

Yang dikhawatirkan jika tidak berakhlaq dalam arti yang dituntut menurut ajaran Islam, walaupun kita telah meraih kekuasaan, yaitu sebagai presiden, ketua parlemen, gubernur atau menteri,  atau apa saja maka hal itu (kekuasaan / politik) menjadi sia-sia, bahkan hanya akan terjadi “pembusukkan” dalam arti tidak berdampak positif bagi penyebaran ajaran Islam bahkan menjadi bumerang karena kita bukan memberikan informasi yang benar tentang ajaran Islam kepada mereka yang belum mengetahuinya tetapi malah memberikan disinformasi ajaran Islam dalam arti secara demonstratif mempertotonkan perilaku muslim yang korup, zolim, congkak dan takabur.

Begitu juga jika kita telah berhasil meraih gelar, atau meraih suatu kemampuan teknologi yang supercanggih, atau kita telah menguasai ekonomi atau kekayaan yang super melimpah, hal ini hanya menambah potensi kemudaratan yang tinggi jika tidak dibarengi dengan akhlaq yang baik.

Jadi tanpa kesempurnaan akhlaq semuanya yang kita miliki ( kekuasaan, teknologi, ekonomi bahkan umur dan status kemanusiaan sebagai makhluq tertinggi di jagad raya) menjadi sia-sia.

Pujian Allah kepada Nabi SAW.

Nabi dikenal sebagai Nabi yang Cerdas (fathonah), tampan, gagah, tetapi Al Quran yaitu Allah dalam Firman-firmanNya tidak menampakkan pujian kepada Nabi SAW dalam hal cerdas atau gagah atau tampannya Nabi, tetapi yang Allah tampakkan pujianNya kepada Nabi dalam hal akhlaqnya.

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS:68:4)

Dari Anas ra., ia berkata: “Rosuulullah SAW. Adalah orang yang paling baik akhlaqnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketinggian akhlaq Nabi SAW yang diikuti oleh akhlaq shahabat Nabi SAW, kemudian dibandingkan dengan akhlaq ummat saat ini sangat memprihatinkan, jika jaman dahulu (jaman Nabi SAW) begitu mudahnya orang tertarik dan akhirnya mudah memahami dan akhirnya memeluk Islam, tetapi sayang di jaman ini figur utama yang telah sukses dalam memperagakan ajaran Islam telah tiada.

Kini tinggal yang ada ummat yang terkebelakang dalam hal keimanan, akhlaq dan ilmu agama. Oleh karena itu sulit untuk saat ini diharapkan ketertarikan orang di luar Islam terhadap Islam lewat pengamatan atau interaksi dengan perilaku ummat sehari-hari.

Hal mendesak yang tidak kalah pentingnya untuk saat ini adalah pembenahan akhlaq ke dalam. Yaitu bagaimana perilaku yang santun antar sesama muslim yang beda mazhab, aliran, paham atau organisasi keagamaan, harokah, partai dan lain sebagainya.

 




THE SUBPRIME MORTGAGE CRISIS: ISLAMIC ECONOMICS PERSPECTIVE By Hayu Susilo Prabowo and Hidajat Sofjan

INTRODUCTION

The financial market turmoil in 2007 and 2008 has led to the most severe financial crisis since the Great Depression and threatens to have large impacts on the real economy. The bursting of the housing bubble forced banks to write down several hundred billion dollars in bad loans caused by mortgage delinquencies. At the same time, the stock market capitalization of the major banks declined by more than twice as much. While the overall mortgage losses are large on an absolute scale, they are still relatively modest compared to the $8 trillion of stock market wealth lost between October 2007, when the stock market reached an all-time high, and October 2008 (Brunnermeier, 2008)

So what does all this mean? It means two main things. Firstly, there is a significant concern about the conventional financial system and indeed the model used by many investment banks (Lehman Brothers) and retail banks has been questioned. Secondly, these indicators show that there is a large flight to quality, with gold prices surging and money managers facing mounting challenges of buying Treasury bills.

Confidence and trust, two of the most precious commodities, are at record low following the bailout of Fannie Mae, Freddie Mac and AIG. The collapse of Lehman Brothers, Bear Stearns and Merrill Lynch’s takeover by Bank of America makes this crisis arguably the worst since 1929. This chaos has led many observers perplexed, with the BBC asking: Where now for capitalism?

From Islamic economics point of view, no doubt, riba (interest, usury) and maysir (gambling, speculative activities similar to gambling) are the major factors leading to the current financial crisis. Islam’s prohibition of Riba and Maysir along with Islamic values and morals, and recognizing others’ interest in one’s economic fortunes, if adhered to, could not have lead the world to the present day financial crisis. Keeping individuals and Society free form financial and economic crises can clearly be seen as one of the objectives of such institutions. While the conventional financial system disintegrates, Islamic banking seems to be flourishing, accounting for 17% of Qatari and 15% of Malaysian banking assets and impressively, over 95% of banking activity in Saudi Arabia conforms to Islamic principles.

Given this level excitement around this fledgling, but promising industry – we must ask ourselves “What are the main challenges facing the industry and what can we learn from the credit crisis (Brunnermeier, 2008)?”

 

THE UNFOLDING OF THE CRISIS

Brunnermeier (2008) said that to understand these threads, it is useful to recall some key factors leading up to the housing bubble. The U.S. economy was experiencing a low interest-rate environment, both because of large capital inflows from abroad, especially from Asian countries, and because the Federal Reserve had adopted a lax interest rate policy. Asian countries bought U.S. securities both to peg the exchange rate on an export-friendly level and to hedge against a depreciation of their own currency against the dollar, a lesson learned from South-East Asia crisis in the late 1990s. The Federal Reserve Bank feared a deflationary period after the bursting of the Internet bubble and thus did not counteract the buildup of the housing bubble. At the same time, the banking system underwent an important transformation. The traditional banking model, in which the issuing banks hold loans until they are repaid, was replaced by the – “originate and distribute” – banking model, in which loans are pooled, trenched and then resold via securitization. The creation of new securities facilitated the large capital inflows from abroad.

Brunnermeier (2008) indicates that two trends in the banking industry contributed significantly to the lending boom and housing frenzy that laid the foundations for the crisis. First, instead of holding loans on banks‘ balance sheets, banks moved to an ―originate and distribute – model. Banks repackaged loans and passed them on to various other financial investors, thereby off-loading risk. Second, banks increasingly financed their asset holdings with shorter maturity instruments. This left banks particularly exposed to a dry-up in funding liquidity. The trigger for the liquidity crisis was an increase in subprime mortgage defaults, which was first noted in February 2007. Figure 1 shows the ABX price index, which is based on the price of credit default swaps. As this price index declines, the cost of insuring a basket of mortgages of a certain rating against default increases. On May 4, 2007, UBS shut down its internal hedge fund, Dillon Read, after suffering about $125 million of subprime-related losses. Later that month, Moody’s put 62 tranches across 21 U.S. subprime deals on ―downgrade review, indicating that it was likely these tranches would be downgraded in the near future. This led to a deterioration of the prices of mortgage-related products.

Source: LehmanLive (Brunnermeier, 2008)

Figure 1: Rising Losses on Mortgage Credit Default Swaps.

 

The ABX index is based on a basket of 20 credit default swaps referencing asset-backed securities containing subprime mortgages (rated, for example, BBB-). An investor seeking to insure against the default of the underlying securities pays a periodic fee (spread) which – at initiation of the series – is set to guarantee an index price of 100. As the price of the ABX drops, the protection buyer has to pay an additional fee of (100 – ABX price), when purchasing the default insurance.

Rating downgrades of other tranches by Moody’s, Standard & Poor’s, and Fitch unnerved the credit markets in June and July 2007. In mid-June, two hedge funds run by Bear Stearns had trouble meeting margin calls, leading Bear Stearns to inject $3.2 billion in order to protect its reputation. Then a major U.S. home loan lender, Countrywide Financial Corp., announced a 12 earnings drop on July 24 and on July 26, an index from the National Association of Home Builders revealed that new home sales had declined 6.6 percent year-on-year, and the largest U.S. home builder reported a loss in that quarter. Ever since then, house prices and sales have continued to drop.

Umer Chapra quoted by Ghafour (2008) says that the Islamic finance system, which introduces greater discipline into the economy and links credit expansion to the growth of the real economy, is capable of minimizing the severity and frequency of financial crises. Islamic finance can also reduce the problem of subprime borrowers by providing them loans at affordable terms. This will save billions of dollars that are spent to bail out the rich bankers. Chapra estimated the derivatives market at $600 trillion, more than 10 times the size of the world economy. George Soros described derivatives as hydrogen bombs while Warren Buffett called them financial weapons of mass destruction. The derivatives include credit default swaps (CDS) worth $54.6 trillion.

 

OVERVIEW OF SECURITIZATION

Securitization is the process of packaging designated pools of assets with or without credit enhancement into securities, and the sale of these securities to the appropriate investors. The process involves the creation of homogenous assets – both in kind and in underwriting criteria – and then pooling them into a significant saleable size. Generally, a pool, on the whole, has a better credit characteristic (through diversification of credit risk, transaction size, geography, etc.) than an individual asset. The process may also involve the provision of additional protection for the investors against late payments, pre-payments, potential write-offs, as well as cash-flow timing mismatches.

The collapse of the securitization market and the ensuing market turbulence, however, have cast serious doubt on this economic proposition of unbundling, transforming and re-distributing credit risk via structured finance instruments. In view of sweeping fiscal intervention in the financial sector, a widespread retrenchment of mortgage exposures, and substantial liquidity injections by central banks to support inter-bank money markets, both the scale and persistence of the current credit crisis, seem to suggest that pervasive securitization — together with improvident credit origination, inadequate valuation methods, and insufficient regulatory oversight — can perpetuate market disruptions, with potentially adverse consequences for financial stability and economic growth.

The growth of securitization is basically driven by four factors; first, the imposition of capital adequacy ratios and reserve requirements on financial institutions by the regulatory agencies have made financial institutions safer place to invest in. However, these restrictions have “costs” as they either add direct cost or restrict the ability of these financial institutions to increase their volume of business. Securitization enables these institutions to efficiently remove assets from their balance sheet. It allows them to monetize previously illiquid assets, recycle cash to be reinvested and, hence, expand the volume of their business without a corresponding increase in their equity capital. In simple terms, securitization allows financial institutions to serve more customers without having to raise new funds in the form or either equity or deposits. Second, whenever the global cost of capital increases, securitization helps financial institutions to raise cheaper capital for their businesses at the asset level instead of the enterprise level. Third, there is a growing convergence of many capital markets into one, as the barriers between them were removed. As all segments of the economy now compete for the same capital, efficient, low cost of financing have become more necessary. Fourth, increased ability to generate and utilize information through popular use of rapidly improving computer technology has resulted in significant gains for the securitization business. It is now possible to obtain credit and liquidity information on millions of financial assets, enabling the market players to isolate certain types of assets with the objective of making them self-financing. The availability of information enables institutions to remove certain assets from their balance sheets and obtain better credit than what the originators could command in the market, and, hence, lower cost of funding.

 

The Subprime Mortgage Credit Securitization

Until very recently, the origination of mortgages and issuance of mortgage-backed securities (MBS) were dominated by loans to prime borrowers conforming to underwriting standards set by the Government Sponsored Agencies (GSEs). Outside of conforming loans are non-agency asset classes that include Jumbo, Alt-A, and Subprime. Loosely speaking, the Jumbo asset class includes loans to prime borrowers with an original principal balance larger than the conforming limits imposed on the agencies by Congress; the Alt-A asset class involves loans to borrowers with good credit but include more aggressive underwriting than the conforming or Jumbo classes (i.e. no documentation of income, high leverage); and the Subprime asset class involves loans to borrowers with poor credit history.

Table 1 documents origination and issuance since 2001 in each of four asset classes. In 2001, banks originated $1.433 trillion in conforming mortgage loans and issued $1.087 trillion in mortgage-backed securities secured by those mortgages, shown in the “Agency” columns of Table 1. In contrast, the non-agency sector originated $680 billion ($190 billion subprime + $60 billion Alt-A + $430 billion jumbo) and issued $240 billion ($87.1 billion subprime + $11.4 Alt-A + $142.2 billion jumbo), and most of these were in the Jumbo sector. The Alt-A and Subprime sectors were relatively small, together comprising $250 billion of $2.1 trillion (12 percent) in total origination during 2001.

 

Table 1: Origination and Issue of Non-Agency Mortgage Loans

Souce: Brunnermeier (2008)

A reduction in long-term interest rates through the end of 2003 was associated with a sharp increase in origination and issuance across all asset classes. While the conforming markets peaked in 2003, the non-agency markets continued rapid growth through 2005, eventually eclipsing activity in the conforming market. In 2006, non-agency production of $1.480 trillion was more than 45 percent larger than agency production, and non-agency issuance of $1.033 trillion was larger than agency issuance of $905 billion.

Interestingly, the increase in Subprime and Alt-A origination was associated with a significant increase in the ratio of issuance to origination, which is a reasonable proxy for the fraction of loans sold. In particular, the ratio of subprime MBS issuance to subprime mortgage origination was close to 75 percent in both 2005 and 2006. While there is typically a one-quarter lag between origination and issuance, the data document that a large and increasing fraction of both subprime and Alt-A loans are sold to investors, and very little is retained on the balance sheets of the institutions who originate them. The process through which loans are removed from the balance sheet of lenders and transformed into debt securities purchased by investors is called securitization.

The securitization of mortgage loans is a complex process that involves a number of different players. Figure 2 provides an overview of the players, their responsibilities, the important frictions that exist between the players, and the mechanisms used in order to mitigate these frictions. An overarching friction which plagues every step in the process is asymmetric information: usually one party has more information about the asset than another. Ashcraft and Schuermann (2007) discuss the seven frictions and evaluating the mechanisms designed to mitigate and understand how the securitization of subprime loans could generate bad outcomes:

 

Figure 2: Key Players and Frictions in Subprime Mortgage Credit Securitization

 

 

Source: Ashcraft and Schuermann (2007)

  1. Frictions between the mortgagor and originator: Predatory lending

The process starts with the mortgagor or borrower, who applies for a mortgage in order to purchase a property or to refinance and existing mortgage. The originator, possibly through a broker (yet another intermediary in this process), underwrites and initially funds and services the mortgage loans.

The first friction in securitization is between the borrower and the originator. In particular, subprime borrowers can be financially unsophisticated. For example, a borrower might be unaware of all of the financial options available to him. Moreover, even if these options are known, the borrower might be unable to make a choice between different financial options that is in his own best interest. This friction leads to the possibility of predatory lending, defined by Morgan as the welfare-reducing provision of credit. The main safeguards against these practices are federal, state, and local laws prohibiting certain lending practices, as well as the recent regulatory guidance on subprime lending.

 

  1. Frictions between the originator and the arranger: Predatory lending and borrowing

The pool of mortgage loans is typically purchased from the originator by an institution known as the arranger or issuer. The first responsibility of the arranger is to conduct due diligence on the originator. This review includes but is not limited to financial statements, underwriting guidelines, discussions with senior management, and background checks. The arranger is responsible for bringing together all the elements for the deal to close. In particular, the arranger creates a bankruptcy-remote trust that will purchase the mortgage loans, consults with the credit rating agencies in order to finalize the details about deal structure, makes necessary filings with the SEC, and underwrites the issuance of securities by the trust to investors. The arranger is typically compensated through fees charged to investors and through any premium that investors pay on the issued securities over their par value.

The second friction in the process of securitization involves an information problem between the originator and arranger. In particular, the originator has an information advantage over the arranger with regard to the quality of the borrower. Without adequate safeguards in place, an originator can have the incentive to collaborate with a borrower in order to make significant misrepresentations on the loan application, which, depending on the situation, could be either construed as predatory lending (the lender convinces the borrower to borrow “too much) or predatory borrowing (the borrower convinces the lender to lend “too much”).

There are several important checks designed to prevent mortgage fraud, the first is the due diligence of the arranger. In addition, the originator typically makes a number of representations and warranties (R&W) about the borrower and the underwriting process. When these are violated, the originator generally must repurchase the problem loans. However, in order for these promises to have a meaningful impact on the friction, the originator must have adequate capital to buy back those problem loans. Moreover, when an arranger does not conduct or routinely ignores its own due diligence, as suggested in a recent Reuters piece by Rucker, there is little to stop the originator from committing widespread mortgage fraud.

 

  1. Frictions between the arranger and third-parties: Adverse selection

There is an important information asymmetry between the arranger and third-parties concerning the quality of mortgage loans. In particular, the fact that the arranger has more information about the quality of the mortgage loans creates an adverse selection problem: the arranger can securitize bad loans (the lemons) and keep the good ones (or securitize them elsewhere). This third friction in the securitization of subprime loans affects the relationship that the arranger has with the warehouse lender, the credit rating agency (CRA), and the asset manager.

  1. Frictions between the servicer and the mortgagor: Moral hazard

The trust employs a servicer who is responsible for collection and remittance of loan payments, making advances of unpaid interest by borrowers to the trust, accounting for principal and interest, customer service to the mortgagors, holding escrow or impounding funds related to payment of taxes and insurance, contacting delinquent borrowers, and supervising foreclosures and property dispositions. The servicer is compensated through a periodic fee by paid the trust.

Moral hazard refers to changes in behavior in response to redistribution of risk, e.g., insurance may induce risk-taking behavior if the insured does not bear the full consequences of bad outcomes. Here we have a problem where one party (the mortgagor) has unobserved costly effort that affects the distribution over cash flows which are shared with another party (the servicer), and the first party has limited liability (it does not share in downside risk). In managing delinquent loans, the servicer is faced with a standard moral hazard problem vis-à-vis the mortgagor. When a servicer has the incentive to work in investors’ best interest, it will manage delinquent loans in a fashion to minimize losses. A mortgagor struggling to make a mortgage payment is also likely struggling to keep hazard insurance and property tax bills current, as well as conduct adequate maintenance on the property. The failure to pay property taxes could result in costly liens on the property that increase the costs to investors of ultimately foreclosing on the property. The failure to pay hazard insurance premiums could result in a lapse in coverage, exposing investors to the risk of significant loss and the failure to maintain the property will increase expenses to investors in marketing the property after foreclosure and possibly reduce the sale price. The mortgagor has little incentive to expend effort or resources to maintain a property close to foreclosure.

In order to prevent these potential problems from surfacing, it is standard practice to require the mortgagor to regularly escrow funds for both insurance and property taxes. When the borrower fails to advance these funds, the servicer is typically required to make these payments on behalf of the investor. In order to prevent lapses in maintenance from creating losses, the servicer is encouraged to foreclose promptly on the property once it is deemed uncollectible. An important constraint in resolving this latter issue is that the ability of a servicer to collect on a delinquent debt is generally restricted under the Real Estate Settlement Procedures Act, Fair Debt Collection Practices Act and state deceptive trade practices statutes. In a recent court case, a plaintiff in Texas alleging unlawful collection activities against Ocwen Financial was awarded $12.5 million in actual and punitive damages.

  1. Frictions between the servicer and third-parties: Moral hazard

The servicer can have a significantly positive or negative effect on the losses realized from the mortgage pool. Moody’s estimates that servicer quality can affect the realized level of losses by plus or minus 10 percent. This impact of servicer quality on losses has important implications for both investors and credit rating agencies. In particular, investors want to minimize losses while credit rating agencies want to minimize the uncertainty about losses in order to make accurate opinions. We have a similar problem as in the fourth friction, namely where one party (here the servicer) has unobserved costly effort that affects the distribution over cash flows which are shared with other parties, and the first party has limited liability (it does not share in downside risk).

 

  1. Frictions between the asset manager and investor: Principal-agent

The investor provides the funding for the purchase of the mortgage-backed security. As the investor is typically financially unsophisticated, an agent is employed to formulate an investment strategy, conduct due diligence on potential investments, and find the best price for trades. Given differences in the degree of financial sophistication between the investor and an asset manager, there is an obvious information problem between the investor and portfolio manager that gives rise to the sixth friction.

In particular, the investor will not fully understand the investment strategy of the manager, has uncertainty about the manager’s ability, and does not observe any effort that the manager makes to conduct due diligence. This principal (investor)-agent (manager) problem is mitigated through the use of investment mandates, and the evaluation of manager performance relative to a peer benchmark or its peers.

As one example, a public pension might restrict the investments of an asset manager to debt securities with an investment grade credit rating and evaluate the performance of an asset manager relative to a benchmark index. However, there are other relevant examples. The FDIC, which is an implicit investor in commercial banks through the provision of deposit insurance, prevents insured banks from investing in speculative-grade securities or enforces risk-based capital requirements that use credit ratings to assess risk-weights. An actively managed collateralized debt obligation (CDO) imposes covenants on the weighted average rating of securities in an actively-managed portfolio as well as the fraction of securities with a low credit rating.

As investment mandates typically involve credit ratings, it should be clear that this is another point where the credit rating agencies play an important role in the securitization process. By presenting an opinion on the riskiness of offered securities, the rating agencies help resolve the information frictions that exist between the investor and the portfolio manager. Credit ratings are intended to capture the expectations about the long-run or through-the-cycle performance of a debt security. A credit rating is fundamentally a statement about the suitability of an instrument to be included in a risk class, but importantly, it is an opinion only about credit risk. It follows that the opinion of credit rating agencies is a crucial part of securitization, because in the end the rating is the means through which much of the funding by investors finds its way into the deal.

 

  1. Frictions between the investor and the credit rating agencies: Model error

The rating agencies are paid by the arranger and not investors for their opinion, which creates a potential conflict of interest. Since an investor is not able to assess the efficacy of rating agency models, they are susceptible to both honest and dishonest errors on the agencies’ part. The information asymmetry between investors and the credit rating agencies is the seventh and final friction in the securitization process. Honest errors are a natural byproduct of rapid financial innovation and complexity. On the other hand, dishonest errors could be driven by the dependence of rating agencies on fees paid by the arranger (the conflict of interest).

Some critics claim that the rating agencies are unable to objectively rate structured products due to conflicts of interest created by issuer-paid fees. Moody’s, for example, made 44 per cent of its revenue last year from structured finance deals. Such assessments also command more than double the fee rates of simpler corporate ratings, helping keep Moody’s operating margins above 50 per cent.

Beales, Scholtes and Tett (quoted by Ashcraft and Schuermann,2007) write in the Financial Times:

The potential for conflicts of interest in the agencies’ “issuer pays” model has drawn fire before, but the scale of their dependence on investment banks for structured finance business gives them a significant incentive to look kindly on the products they are rating, critics say. From his office in Paris, the head of the Autorité des Marchés Financiers, the main French financial regulator, is raising fresh questions over their role and objectivity. Mr Prada sees the possibility for conflicts of interest similar to those that emerged in the audit profession when it drifted into consulting. Here, the integrity of the auditing work was threatened by the demands of winning and retaining clients in the more lucrative consultancy business, a conflict that ultimately helped bring down accountants Arthur Andersen in the wake of Enron’s collapse. “I do hope that it does not take another Enron for everyone to look at the issue of rating agencies,” he says.

 

This friction is minimized through two devices: the reputation of the rating agencies and the public disclosure of ratings and downgrade criteria. For the rating agencies, their business is their reputation, so it is difficult – though not impossible – to imagine that they would risk deliberately inflating credit ratings in order to earn structuring fees, thus jeopardizing their franchise. Moreover, with public rating and downgrade criteria, any deviations in credit ratings from their models are easily observed by the public

 

FIVE FRICTIONS THAT CAUSED THE SUBPRIME CRISIS

Ashcraft and Schuermann (2007) believe that five of the seven frictions discussed above help to explain the breakdown in the subprime mortgage market.

The problem starts with friction #1: many products offered to sub-prime borrowers are very

complex and subject to misunderstanding and/or misrepresentation. This opened the possibility of both excessive borrowing (predatory borrowing) and excessive lending (predatory lending).

At the other end of the process, we have the principal-agent problem between the investor and asset manager (friction #6). In particular, it seems that investment mandates do not adequately distinguish between structured and corporate credit ratings. This is a problem because asset manager performance is evaluated relative to peers or relative to a benchmark index. It follows that asset managers have an incentive to reach for yield by purchasing structured debt issues with the same credit rating but higher coupons as corporate debt issues. The fact that the market demands a higher yield for similarly rated structured products than for straight corporate bonds ought to provide a clue to the potential of higher risk.

Initially, this portfolio shift was likely led by asset managers with the ability to conduct their own due diligence, recognizing value in the wide pricing of subprime mortgage-backed securities. However, once the other asset managers started to under-perform their peers, they likely made similar portfolio shifts, but did not invest the same effort into due diligence of the arranger and originator.

This phenomenon worsened the friction between the arranger and the asset manager (friction #3). In particular, without due diligence by the asset manager, the arranger’s incentives to conduct its own due diligence are reduced. Moreover, as the market for credit derivatives developed, including but not limited to the ABX, the arranger was able to limit its funded exposure to securitizations of risky loans. Together, these considerations worsened the friction between the originator and arranger, opening the door for predatory borrowing and provides incentives for predatory lending (friction #2). In the end, the only constraint on underwriting standards was the opinion of the rating agencies. With limited capital backing representations and warranties, an originator could easily arbitrage rating agency models, exploiting the weak historical relationship between aggressive underwriting and losses in the data used to calibrate required credit enhancement.

The inability of the rating agencies to recognize this arbitrage by originators and respond appropriately meant that credit ratings were assigned to subprime mortgage-backed securities with significant error. The friction between investors and the rating agencies is the final nail in the coffin (friction #7). Even though the rating agencies publicly disclosed their rating criteria for subprime, investors lacked the ability to evaluate the efficacy of these models.

Saqlain (2008) observes that the collapse of Bear Stearns had ironically little to do with sub prime mortgage meltdown, in which it was a major stakeholder. It collapsed as a result of plummeting market value for ultra safe assets, such as the triple A rated bonds by Freddie Mac and Fannie Mae. Peloton, Carlyle Capital and many other hedge funds, which had absurd level of leverage, were forced to sell their ultra safe assets, after banks became reluctant to roll over short term loans held by these hedge funds. This was followed by a fall in the prices of the triple A rated assets, even though there was little change in the probability of default for many of these bonds. Given the fall in prices of these “safe” assets and multiplied by the leverage, many hedge funds went bankrupt. Bear Stearns was a significant holder of these ultra safe assets, which were used as collateral to fund its obligations to other banks. Following these price falls, other banks were simply not willing to accept the triple A value of Bear’s collateral. The latter point was confirmed by a Standard and Poor’s research note before the collapse of Bear Stearns, which reiterated that most of the subprime losses had been realized. Therefore, the final “knock out” came from the lack of liquidity for these triple A rated assets, rather than sub prime losses.

From an Islamic banking perspective – liquidity risk is one of the key concerns, which has been given extra heat by recent events around the credit crisis. Of course, the money market is out of reach for Islamic banks, due to Shariah constraints. In addition, surplus liquidity cannot simply be given to conventional banks, since the interest revenue would be prohibited. Having said this, it is possible for exchange of funds between Islamic banks, by the use of Mudarabah and Musharakah instruments. The effectiveness of this depends on number and diversity of Islamic banks. It is promising to see some of the most respected names in Islamic banking playing an important role in this area, such as the Islamic Development Bank, Bahrain Monetary Agency and Bank Negara Malaysia. Currently, the focus is on learning from some of the liquidity management schemes operating in Bahrain. In addition, Bank Negara Malaysia has introduced a PLS scheme for Islamic banks to obtain short term funds. With the credit crisis in mind, efforts that are currently underway, need to be extended.

 

Islamic Securitization

An Islamic economic and financial system is a rule-based system comprising a set of rules and laws, collectively referred to as Shariah governing economic, social, political and cultural aspects of Muslim societies. Shariah originates from the rules dictated by the Quran, from the practices of the Prophet Muhammad, and further elaboration of the rules by scholars in Islamic jurisprudence through the process of deduction (Qiyas) and consensus (Ijma’). Over time, four different schools of thought – Hanafi, Maliki, Shafei and Hanbali have emerged with some variations on the rules depending on respective interpretations.

Islamic finance is limited to financial relationships involving entrepreneurial investment subject to the moral prohibition of (i) interest earnings or usury (riba) and money lending, (ii) haram (sinful activity), such as direct or indirect association with lines of business involving alcohol, pork products, firearms, tobacco, and adult entertainment, (iii) speculation, betting, and gambling (maisir), including the speculative trade or exchange of money for debt without an underlying asset transfer, (iv) the trading of the same object between buyer and seller (bay’ al inah), as well as (v) preventable uncertainty (gharar) such as all financial derivative instruments, forwarding contracts, and future agreements (Jobst, 2007)

These distinctive properties derive from two religious sources predicated on the creation of an equitable system of distributive justice and the promotion of permitted activities (halal) and public goods (maslaha): (i) the Shari’ah (or Shariah) which comprises the qur’an (literally, “the way”) and the sayings and actions of the prophet Mohammed recorded in a collection of books known as the sahih hadith, and (ii) the figh, which represents Islamic jurisprudence based on a body of laws deducted from the Shariah by Islamic scholars.

As opposed to conventional finance, where interest represents the contractible cost for funds tied to the amount of principal over a pre-specified lending period, the central tenet of the Islamic financial system is the prohibition of riba, whose literal meaning “an excess” is interpreted as any unjustifiable increase of capital whether through loans or sales. The general consensus among Islamic scholars is that riba covers not only usury but also the charging of interest and any positive, fixed, predetermined rate of return that are guaranteed regardless of the performance of an investment. Since only interest-free forms of finance are considered permissible in Islamic finance, financial relationships between financiers and borrowers are governed by shared business risk (and returns) from investment in lawful activities (halal). Islamic law does not object to payment for the use of an asset, and the earning of profits or returns from assets is indeed encouraged as long as both lender and borrower share the investment risk together. Profits must not be guaranteed based on assumption and can only accrue if the investment itself yields income. Any financial transaction under Islamic law assigns to investors clearly identifiable rights and obligations for which they are entitled to receive commensurate return. Hence, Islamic finance literally “outlaws” capital-based investment gains without entrepreneurial risk. In light of these moral impediments to “passive” investment and secured interest as form of compensation, Shariah compliant lending in Islamic finance requires the replication of interest-bearing, conventional finance via more complex structural arrangements of contingent claims. The permissibility of risky capital investment without explicit interest earning has spawned several finance techniques under Islamic law. We distinguish among three basic forms of Islamic financing methods for both investment and trade finance: (i) synthetic loans (debt-based) through a sale-repurchase agreement or back-to-back sale of borrower or third party-held assets, (ii) lease contracts (asset-based) through a sale-leaseback agreement (operating lease) or the lease of third-party acquired assets with purchase obligation components (financing lease), and (iii) profit-sharing contracts (equity-based) of future assets. As opposed to equity-based contracts, both debt- and asset-based contracts are initiated by a temporary transfer of existing assets from the borrower to the lender or the acquisition of third-party assets by the lender on behalf of the borrower.

In defining securitization we need to focus on processes – the process of pooling assets, the process of packaging them into securities, and the process of distributing securities to investors. As Islamic institutions are more concerned with the Islamic acceptability of the securitization business, their focus is more on the content of the “package” rather than the process of packaging. Therefore, they tend to ensure that the assets in the package – and not the package alone – are Islamically acceptable.

Banks operating under Islamic law are predisposed to adopt “buy-and-hold” (as opposed to “originate-and-distribute” under conventional banks) investment strategies and carry excess short-term reserves for lack of sufficient long-term reinvestment opportunities, which has inhibited efficient financial intermediation and capital-market deepening. Nonetheless, financial institutions have been able to develop various forms of Islamic finance instruments that are virtually identical to their conventional counterparts in substance. However, these securities are not surrogates for conventional interest-based securities that mimic the interest rate structure.

Global securitization market has been driven by several factors. The major among which are the case that the cost of capital is tending to be tremendously increasing especially in those countries which have a low credit rating class (where major Arab countries listed), in addition to capital regulatory requirements imposed by monetary and supervisory bodies. So, it’s inevitably for institutions there to resort to another innovative, cheaper sources of capital, and the securitization can help actively in this connection. Also, alongside with the growing convergence of capital markets through global financial dynamism, and ongoing technological advancement, the barriers among such markets were removed, so severe competition for efficient type of capital has been aggravated made the reliance upon new sources is inevitably art for business survival.

Another important dimension that made securitization very appreciable industry for Islamic institutions is that it can be viewed as a viable bridge for those institutions to money market environment. This merit, and others, allows Muslim investors to deal successfully in money market instruments, and permitting corporate institutions to manage their A/L actively. Considering the fact that bond issuance and trading are important means of investment in the modern economic systems, Muslim jurists are striving to find alternatives. As Islamic jurisdiction prohibit dealings through interest-based transactions, so all financial and credit dealings under Islamic philosophy tend to relate finance to assets, asset-backed securities (ABS) become islamically possible to be structured as long as it conveyed to Islamic principles. Therefore, the use of securitization will bring in much needed liquidity to these institutions by enabling them to free part of their capital which is tied-up with these illiquid assets into short, partnership-based unpre-determined rate of return instruments. Obviously, we cannot ignore the huge benefit that realized to the macro economy form the evolvement of securitization process.

According to the above mentioned constrains that bound the working of Islamic entities, there are several regulatory issues that organize securitization process, such issues include,

 

The type of assets to be securitized:

As securitization is evolved tremendously in non-Islamic world, the ABS generated there does not necessarily conform to Islamic principles (Interest -bearing credit and receivables, etc.) So according to prescribed guidance, the assets to be securitized might include leasing contracts -can be used in different business lines – equity ownership, murabahah and other sales contracts, in addition to current tangible assets that generate systematic cash flows, which acceptable to be traded by Islamic investors.

 

The securitization structure:

The structure of securitization under Islamic philosophy in its features does not differ greatly from that of conventional type. The major player composed of the originator, trustee, Servicer, special purpose vehicle (SPV), investment bankers, Credit Enhancer and rating agency. Without keeping close specifications of their functions in securitization process, we confine merely to describe the differences in their roles under Islamic philosophy as follows:

  1. The securities that issued by SPV are claims on assets held by the issuer SPV. Such that claims are closely attached to the ownership of such assets.
  2. Accordingly, ABS does not guarantee a pre-determined rate of return but variable one alongside with the performance of the assets under securitization.
  3. The credit enhancer provide that required credit (if needed) could be either part of the fund generated from asset cash flows, or collateral pledged to support assets, or guarantee in order to obtain sound credit rating.
  4. The pass – through securitization structure can be visualized as closest arrangement that satisfy Islamic principles.
  5. The transfer of assets from an originator to an SPV should be in true sale basis, in some securitization cases that related to productive investment project, the originator has a right to compete in the repurchasing of the assets underlying after selling it to an SPV, when securitization deal is finalized. This always done in securitizing government productive assets where the public interest dictate the retention of Govt. ownership to specific strategic venture.

 

The major securitization experiences in Arab and Muslim countries is adopted under the case of financing specific-contained project through securities (with variable return according to the asset performance, for short duration backed by the expected flows of such specific project. As the most Arab and Muslim countries are banking-based economies rather than financial-based economies, this made securitization and financial instruments transaction very rarely used. So, at first glance to Arab and Muslim financial statistics we can realize that their ratio of market capitalization to GDP is almost not more than 10 percent generally, where in an emerging market tends to approach more that 50 percent. Probably the securitization would be in Arab region as low as compared to that of advance economies. Such situation, can be attributed to several factors, the important among which are:

  • As Islamic entities conduct their major part of businesses in Muslim world. Being a regulating-driven process, securitization, however, is prevalent only in countries with developed regulatory framework with adequately institutional settings, like that of most advanced countries, in addition to few emerging countries i.e. Malaysia and Taiwan. While Islamic institutions, therefore can easily securitize the assets they own in most developed economies, they may not easily do the same with the bulk of their assets in Muslim world due to insufficient organizational arrangements
  • In addition, securitization process requires availability of sophisticated credit and financial information on the underlying assets, and existence of proper accounting standards which might not be adequate under Arab region.
  • Most of Arab and Muslim countries are creditably unrated, and this might jeopardize their chances in promoting securitization products esp. abroad.
  • One of the main factors that hinder spreading of securitization know-how practices in Arab economies, is the poor financial structures and consciousness among individuals and institutional bodies.

 

THE EFFECT OF SUBPRIME MORTGAGE TO ISLAMIC BANKS

Al-Hamzani (2008) noted that a number of experts and officials of Islamic banks and financial institutions have confirmed that Islamic banks have not been affected by the global financial crisis, and that any effects would be limited due to the nature of Islamic banking. Islamic banks are untouched by the current crisis due to the nature of Islamic banking especially that it does not deal in debt trading and distances itself from market speculation that takes place in European and American banks.

CEO of the Bahraini-based Albaraka Banking Group Adnan Ahmed Yousif stated that Islamic banks do not rely on bonds or stocks, and are not involved in the buying and selling of debt unlike most conventional European and US banks. He noted that Islamic banking is distinguished by the fact that it is prohibited from buying debts under Islamic Shariah law; therefore, Islamic banks are safe from the effects of the global financial crisis.

Adnan Yousif, who also chairs the Union of Arab Banks, reiterated that Islamic banks are largely sheltered from this crisis; however, it is inevitable that they will be affected to a certain degree as they are part of the wider global financial system and consequently will be affected by all global financial dealings, even if only in an indirect manner. Yousif predicted that this global crisis will continue for two years or more. He argued that Islamic banks have become a safe haven for secured liquidity and are in a good position. The success of Islamic banking will lead to serious consideration of Islamic economics, which continues to realize numerous achievements, as a viable alternative to the current global economic system which continues to be hit by these crises. The expected losses to be incurred by a number of banks in the Gulf region and Arab countries will not be declared, as major banks and investment funds, and sovereign wealth funds in particular, have investments in Europe and America.

General Manager and board member of the Arab Finance House Dr. Fouad Nadim Matraji explained that Islamic banks have not been affected by the mortgage crisis that afflicted the international financial markets and that they are largely immune against such crisis thanks to inherent factors within Islamic banking. The most important of these factors is the prohibition of debt trading, taking precautions against money laundering, as well as the official and professional restraints upon which banks are based such as caution against embarking upon projects that entail financial difficulties and risks. Islamic banks have several alternatives to conventional banking products such as Ijarah Bitamlik (a renting contract that ends in ownership), Murabaha etc. which demonstrates that Islamic banking is a sound and systematic alternative banking system that others should take as an example. Islamic finance is expected to increase on the international level and its number of customers is also expected to rise as they search for an alternative banking system. Islamic banking is distinguished by a commitment to uphold integrity and its distancing from risky projects. The crisis has caused significant global inflation in world banks because they buy debts and enlarge accounts without tangible transactions taking place or without brokers being aware of them, highlighting that Islamic banks do not engage in such ventures. Only the profits of Islamic banks could be affected by the international financial crisis, but not the capital, which is protected by Islamic banking unlike conventional banks.

 

 

THE CURRENT STATE OF ISLAMIC CAPITAL MARKET SECURITIES (SUKUK)

Of all the rapidly growing Islamic capital market securities none is gaining in popularity as much as sukuk. The Islamic finance industry has grown by about 15 percent on average over the last three years in response to a profusion of investment products, which has been fueled by an increasing demand for investments that comply with Islamic law. Currently, more than US$800 billion are lodged in Islamic banks, mutual funds, insurance schemes (takaful), and Islamic branches of conventional banks (Jobst et al., 2008). The most popular form of Islamic finance is commonly referred to as sukuk, which are wholesale, asset-based capital market securities. Recent years have witnessed a surge in the issuance of sukuk by corporate and public sector entities amid growing demand for alternative investments.

Sukuk do not pay interest, but generate returns through actual transactions, such as profit-sharing or leasing. While sukuk are structured in a similar way to conventional asset-backed securities (ABS) or covered bonds, they can have significantly different underlying structures and provisions. Most importantly, sukuk—like Islamic financial instruments in general—need to comply with Shariah, which prohibits the receipt and payment of interest and stipulates that income must be derived from an underlying real business risk rather than as a guaranteed return from a loan. Thus, sukuk do not provide an explicit return guarantee or investment protection. As such, investors own the underlying asset(s) via a special purpose vehicle (SPV), which funds unsecured payments to investors from direct investment in real, religiously-sanctioned economic activity.

Sukuk commoditize the proceeds from asset transfers between capital providers and users of different Islamic finance contracts. Issuers of sukuk substitute capital market investors for traditional lenders as source of funding by converting the expected proceeds from bilateral risk sharing between borrowers and lenders in Shariah-compliant finance contracts—such as lending transactions (installment sale) or trust-based investments in existing or future assets—into marketable securities. Hence, sukuk usually refinance the assets of one (or a combination) of three basic forms of Islamic finance3—synthetic loans (murabaha), sale-leasebacks (ijara), or profit-sharing arrangements (musharaka or mudharabah).

Although the current level of sukuk issuance remains a fraction of the global issuance of conventional bonds and ABS, the market for sukuk has been growing rapidly despite the global financial crisis triggered by the collapse of the U.S. subprime market. At the end of 2007, outstanding sukuk globally exceeded US$90 billion. Gross issuance of Islamic structured securities has quadrupled over the past two years, rising from US$7.2 billion in 2004 to close to US$39 billion by the end of 2007 (Table 1 and Figure 3)—despite the financial market fallout of the U.S. subprime mortgage market crisis.

 

Figure 3. Global Issuance of Islamic Bonds (sukuk), 2004–07 (in US$ billions)

 

Source: Jobst, et al., 2008

 

The number of sukuk transactions rose to 119 (up from 109 in 2006), while the average transaction size increased to about US$270 million from US$175 million. Based on current trends, the total amount of issued sukuk is likely to exceed US$200 billion by 2010. Total issuance in 2007 was equivalent to roughly a quarter of conventional securitization in emerging markets but only two percent of conventional (local and foreign) bond issuance during the period. Although the issuance of sukuk has slowed to US$2.3 billion in the first quarter of 2008 (down by almost half from the first quarter in 2007), the prevailing market uncertainty and the retrenchment of real estate exposures worldwide has created a significant backlog of planned sukuk issues, which could see a restoration over the course of this year.

Recent excesses in conventional financial markets have shed light on Islamic finance as an alternative framework for securitization. Predatory lending, deteriorating underwriting standards, and a series of incentive problems that have infested the conventional securitization process belie fundamental Islamic principles of not extending beyond one’s means and the supremacy of public interest in social justice. Moreover, any financial transaction under shariah law implies direct participation in asset performance and assigns to financiers clearly identifiable rights and obligations for which they are entitled to receive commensurate return in the form of state-contingent payments. Profits are earned in line with shariah prescriptions and cannot be guaranteed ex ante but accrue only if the investment itself yields income. Thus, investment is not guaranteed but secured, mitigating adverse selection and moral hazard of both lenders and borrowers.

Sukuk might be a viable source of funds that could help stabilize the securitization market, as they already contain many contractual features that are now being considered instrumental to a resolution of inherent conflicts of interest in the conventional securitization model. While sukuk are structured in a similar way, risk-sharing and the full participation of both issuers and investors in the capital structure of the transaction offer an alternative mechanism to establish incentive compatible behavior.

There are several Islamic principles of sukuk, which could potentially resolve many conflicts of interest and valuation problems that infested the conventional securitization process:

  • between asset manager and investor (“principal-agent dilemma”):
  • The religious prohibition of both gambling (maisir) and speculation (gharar) prevents excessive risk taking (asset substitution) and commands clear object characteristics and/or delivery results as part of contractual certainty.
  • The trading activity of asset managers is restricted to bona fide merchant transactions on real debt while investor return must be derived from defined asset value associated with effective (or intended) ownership interest.
  • Since there is no mutual deferment of contractual obligations (and/or absence of actual and direct transfer of asset as object of unconditional sale) in Islamic finance, any contingency risk from unfunded claims is limited to pre-defined timing mismatch of delivery or payment in accepted contracts (salam/istisna vs. bay al’ajal/bay bithaman ajil)
  • Asset managers cannot create leverage on the underlying asset portfolio as unilateral gains (i.e., benefit from moral hazard in response to redistribution of risk/no consequence of bad outcomes) are limited to the nominal value of the reference portfolio in asset-based contracts or the scope of distribution of profit in equity-based contracts respectively.

 

  • between originator and issuer:

The shari’ah approval and certification process promote adequate disclosures underpinned by a solid foundation of religious standards.

 

  • between issuer and investor:

Investor return derived from effective (or intended) ownership of real asset(s) underlying the securitization structure (after actual and direct transfer as object of an unconditional sale) generates indebtedness and amounts to direct recourse.

 

  • between servicer and investor/asset manager:

Contract certainty rules out potential of inflated, back-loaded (and variable) servicer expenses (and cannot be prioritized due to prohibition of provisions aimed at creating unilateral gains from interim changes in asset characteristics and valuation). Servicer fees are fixed and defined ex ante.

 

 

  • between borrower and originator:

The Islamic principle of social benefit as public interest (maslaha) and the precept of supporting a system of distributive justice would preclude any moral hazard of originators (“predatory lending” or borrowers (“walking away”). Moreover, the shari’ah prohibits debt modification and unilateral gains (which are considered exploitation).

 

  • between arranger and guarantor:

Guarantees must not establish the possibility of mutual deferment of contractual obligations without actual transfer of asset. Thus, only funded agency contracts with pre-specified terms would be deemed sufficient to rule out contingency risk of payment and actual delivery.

 

 

 

CONCLUSION

 

  1. Two trends in the banking industry contributed significantly to the lending boom and housing frenzy that laid the foundations for the crisis. First, instead of holding loans on banks‘ balance sheets, banks moved to an – originate and distribute – model. Banks repackaged loans and passed them on to various other financial investors, thereby off-loading risk. Second, banks increasingly financed their asset holdings with shorter maturity instruments. This left banks particularly exposed to a dry-up in funding liquidity.

 

  1. The Islamic system does not allow the creation of debt through direct lending and borrowing. It rather requires the creation of debt through the sale or lease of real assets by means of its sales- and lease-based modes of financing such as murabaha, ijara, salam, istisna and sukuk. The asset which is being sold or leased must be real, and not imaginary or notional; the seller must own and possess the goods being sold or leased; the transaction must be genuine with the full intention of giving and taking delivery; and the debt cannot be sold and thus the risk associated with it cannot be transferred to someone else. The conditions set by the Islamic system would help eliminate most of speculative transactions. Financing extended through the Islamic products can expand only in step with the rise of the real economy and thereby help curb excessive credit expansion. This is the significance of the condition that prevents a creditor from transferring the risk to someone else by selling the debt that will help eliminate a great deal of speculative and derivative transactions where there is no intention of giving or taking delivery. It will also help prevent an unnecessary explosion in the volume and value of transactions and the debt from rising far above the size of the real economy.

 

  1. The sukuk market has expanded dramatically over the recent past and continues to generate strong interest by new issuers in Muslim and non-Muslim countries alike. Given the existing intensity of investor interest in Shariah-compliant assets, the potential of sukuk is likely to strengthen, especially given increasing opportunities from financial innovation. Sovereign sukuk are likely to gain popularity as more governments in both Muslim and non-Muslim countries explore options to diversify their traditional debt portfolios.

 

  1. Securitization and structured finance is an inevitably financial technology that any institutions should adopt for their survival. This rule can be generalized to Islamic financial and business institutions where they are working, always in a risky environment. In spite of that, major Arab and Muslim countries are striking progressively toward setting the relevant institutional and regulatory structures for locating such new dynamic technology.


REFERENCES

 

 

 

Al-Hamzani, M. (2008). Islamic Banks Unaffected by Global Financial Crisis. Asharq Al-Awsat, Riyadh. http://www.asharq-e.com/print.asp?artid=id14245

 

Ashcraft, A. B. and Schuermann, Til. (2007). Understanding the Securitization of Subprime Mortgage Credit. Federal Reserve Bank of New York

 

Brunnermeier, M. K. (2008). Deciphering the Liquidity and Credit Crunch 2007-08. Princeton University: Princeton, New Jersey.

 

Dualeh, S. A. (1998). Islamic Securitisation: Practical Aspects. The World Conference on Islamic Banking, Geneva.

 

Ghafour, A. P.K. (2008). Islamic Finance Panacea For Global Crisis: Chapra. Arab News, Jeddah. http://www.arabnews.com/

 

Jobst, A. A. (2007). The Economics of Islamic Finance and Securitization. IMF Working Paper, WP/07/117

 

Jobst, A., Kunzel, Peter, Mills, Paul, and Sy, Amadou. (2008). Islamic Bond Issuance-What Sovereign Debt Managers Need to Know. IMF Discussion paper, PDP/08/3.

 

Khan, M. F.. (2008). World Financial Crisis: Lesson form Islamic Economics. http://www.twocircles.net/2008oct11/world_financial_crisis_lesson_form_islamic_economics.html

 

Khan, T. (2000). Islamic Quasi Equity (Debt) Instruments And The Challenges Of Balance Sheet Hedging: An Exploratory Analysis. Islamic Economic Studies, Vol. 7, Nos. 1 & 2. the Islamic Research and Training Institute (IRTI), Islamic Development Bank (IDB), Jeddah.

 

Saqlain, S. (2008). Islamic Banking: Lessons from the Credit Crisis. Articles on Islamic Banking. http://www.islamicbanker.com/creditcrisislessons.htm

 

Salih, F. A.M. Securitization Under Islamic Philosophy: An Innovative Industry in a global dynamic market. http://www.vinodkothari.com/secart.htm

 

 

 

 




SEJUMLAH KENDALA DAN TANTANGAN FIQIH MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN SYARIAH DALAM RANGKA MEMENANGKAN KOMPETISI GLOBAL

Pendahuluan

Berdasarkan pandangan Ekonomi Islam, tidak diragukan bahwa suku bunga dan maysir (gambling, kegiatan spekulatif sejenis perjudian) adalah merupakan faktor-faktor utama yang membawa kepada krisis keuangan dewasa ini. Menjaga individu maupun masyarakat terbebas dari berbagai bentuk krisis keuangan dapat jelas terlihat sebagai satu dari tujuan-tujuan lembaga tersebut. Sementara sistem keuangan konvensional mengalami kehancuran, perbankan Islam tampak sedang mengalami kecerahan, data secara accounting 17% dari aset perbankan di Qatar, 15% di Malaysia, dan secara mengesankan lebih dari 95%  dari kegiatan perbankan di Saudi. (Hayu, dan Sofjan, 2009)

Adanya sistem keuangan Islam atau sistem keuangan berdasarkan prinsip syariah dapat merupakan suatu peluang sekaligus tantangan ke depan dalam rangka menghadapi kompetisi global masa kini. Khan dan Ahmed (2008) mengatakan bahwa sepanjang tiga decade terakhir, industri keuangan syariah telah menunjukkan peran dan keberadaannya dalam panggung sejarah. Namun demikian, masa depan dari industri keuangan ini akan sangat bergantung pada kemampuannya meresponse perubahan dalam dunia keuangan. Dengan adanya  globalisasi dan revolusi teknologi informasi, scope  lembaga keuangan telah melampaui batas-batas perundang-undangan suatu negara.

Ghozali (2007) mengatakan bahwa aktivitas perusahaan sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari aktivitas mengelola risiko, selanjutnya dia mengatakan risiko usaha adalah semua risiko yang berkaitan dengan usaha perusahaan untuk menciptakan keunggulan bersaing dan memberikan nilai bagi pemegang saham. Dalam bidang keuangan dan perbankan, kegiatan  usaha perbankan secara terus menerus selalu berhubungan dengan berbagai bentuk risiko.

Khan dan Ahmed (2008) mengatakan bahwa salah satu  fungsi dasar lembaga keuangan adalah untuk mengelola risiko yang muncul untuk transaksi keuangan secara efektif. Untuk dapat memberikan penawaran layanan keuangan dengan biaya rendah, lembaga keuangan konvensional telah mengembangkan berbagai jenis kontrak, proses, instrumen, dan lembaga untuk memitigasi risiko. Namun demikian, masa depan dari lembaga keuangan syariah akan sangat bergantung pada lembaga-lembaga tersebut dalam mengelola risiko yang muncul dalam beroperasinya.

Dalam penulisan singkat ini akan dicoba dibahas mengenai sejumlah kendala dan tantangan fiqih di bidang manajemen risiko perbankan syariah dalam rangka untuk menstimulasi para pakar dan para praktisi untuk menjawab tantangan tersebut dengan melakukan berbagai kegiatan sebagai solusi ke depan untuk menghadapi kompetisi global saat ini.

Manajemen Risiko Bank Syariah

Definisi Risiko Bank

Darmawi (2010) mengatakan  risiko dapat didefinisikan secara sederhana adalah mengenai kemungkinan  akan terjadinya akibat buruk atau akibat yang merugikan, seperti kemungkinan kehilangan, cedera, kebakaran, dan sebagainya. Tidak ada metode apa pun yang dapat menjamin seratus persen bahwa akibat buruk itu setiap kali dapat dihindarkan, kecuali kalau kegiatan yang mengandung risiko tersebut tidak dilaksanakan. Untuk itu, agar risiko tidak menghalangi kegiatan perusahaan, maka seharusnyalah risiko itu dimanage dengan sebaik-baiknya, sehingga muncul istilah manajemen risiko.

Risiko dapat diartikan sebagai suatu potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat mengakibatkan kerugian. Risiko adalah suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan kerugian jika tidak diantisipasi serta tidak dimanage bagaimana seharusnya. Risiko dalam bidang perbankan merupakan suatu kejadian potensial baik yang predictable yaitu dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang bersifat unpredictable (unanticipated) yang berdampak negatif pada pendapatan maupun permodalan bank. Risiko-risiko tersebut memang sesungguhnya  tidak dapat dihindari namun dapat dimanage dan dikendalikan.

Risiko dapat dibedakan atas dua kelompok besar yaitu risiko yang sistematis (systematic risk), yaitu risiko yang diakibatkan oleh  adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan situasi pasar, situasi krisis atau resesi, dan sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum; dan Risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk) yaitu risiko yang unik, yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja. Macam-macam Risiko yang dihadapi oleh bank adalah sebagai berikut (Ghozali, 2007):

(1).Risiko Kredit

Risiko Kredit didefinisikan sebagai suatu risiko kerugian yang dikaitkan dengan kemungkinan kegagalan klien dalam membayar kewajibannya atau risiko dimana debitur tidak dapat membayar hutangnya.

(2). Risiko Pasar

Risiko yang timbul akibat adanya perubahan variabel pasar, seperti: suku bunga, nilai tukar, harga equity dan harga komoditas sehingga nilai portofolio/aset yang dimiliki bank menurun.

(3). Risiko Likuiditas

Risiko likuiditas pasar dimana risiko yang timbul karena bank tidak mampu melakukan offsetting tertentu dengan harga karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau terjadi gangguan di pasar. Risiko likuiditas pendanaan dimana risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.

(4). Risiko Operasional

Risiko akibat kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan.

(5). Risiko Hukum

Risiko hukum adalah terkait dengan risiko bank yang menanggung kerugian sebagai akibat adanya tuntutan hukum, kelemahan dalam aspek legal atau yuridis. Kelemahan ini diakibatkan antara lain oleh ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat-syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.

(6). Risiko Reputasi

Risiko yang timbul akibat adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau karena adanya persepsi negatif terhadap bank.

(7). Risiko Strategik

Risiko yang timbul karena adanya penetapan dan pelaksanaan strategi usaha bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan-perubahan eksternal.

(8). Risiko Kepatuhan

Risiko kepatuhan timbul sebagai akibat tidak dipatuhinya atau tidak dilaksanakannya peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang telah ditetapkan baik ketentuan internal maupun eksternal.

Risiko-Risiko Yang Dihadapi Bank Syariah:

Pada umumnya, risiko yang dihadapi perbankan syariah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Yakni risiko yang bersifat umum yang sama-sama dengan yang dihadapi baik oleh bank konvensional, maupun yang dihadapi oleh bank syariah dan risiko yang mempunyai keunikan tersendiri karena harus complied dengan  prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko benchmark, risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko hukum, juga sama mesti dihadapi bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah, risiko-risiko yang dihadapi bank syariah juga menjadi tidak sama.

Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan bank syariah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Ada pun risiko-risiko lainnya tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Withdrawal risk merupakan bagian dari spektrum risiko bisnis. Risiko ini sebagian besar dihasilkan dari tekanan kompetitif yang dihadapi bank syariah dari bank  konvesional sebagai counterpart-nya. Bank syariah dapat terkena withdrawal risk (risiko penarikan dana) disebabkan oleh deposan bila keuntungan yang mereka terima lebih rendah dari tingkat return yang diberikan oleh rival kompetitornya.
  2. Fiduciary risk sebagai risiko yang secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran kontrak investasi baik ketidaksesuaiannya dengan ketentuan syariah atau salah kelola (mismanagement) terhadap dana investor.
  3. Displaced commercial risk adalah transfer risiko yang berhubungan dengan simpanan kepada pemegang ekuitas. Risiko ini bisa muncul ketika bank berada di bawah tekanan untuk mendapatkan profit, namun bank justru harus memberikan sebagian profitnya kepada deposan akibat rendahnya tingkat return.

Risiko-risiko tersebut merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah. Adapun risiko yang dihadapi bank syariah dalam operasional yang terkait dengan produk pembiayaan yang dijalankan oleh bank syariah yaitu meliputi :

  1. a) Risiko Terkait Produk

(1) Risiko Terkait Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Countracts (NCC)

Yang dimaksud dengan analisis risiko pembiayaan berbasis natural certainty countracts (NCC) adalah mengidentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan natural certainty countracts, seperti murabahah, ijarah, ijarah mutahia bit tamlik, salam dan istisna’. Penilaian risiko ini mencakup 2 (dua) aspek, yaitu sebagai berikut :

1)      Default risk (risiko kebangkrutan).

Yakni risiko yang terjadi pada first way out yang dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

  1. Industry  risk yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut:
  • karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan
  • riwayat eksposur pembiayaan yang bersangkutan di bank konvensional dan pembiayaan yang bersangkutan dengan bank syariah, terutama perkembangan non performing financing jenis usaha yang bersangkutan.
  • Kinerja keuangan jenis usaha yang bersangkutan (industry financial standard).
  1. Kondisi internal perusahaan nasabah, seperti manajemen, organisasi, pemasaran, teknis produksi dan keuangan.
  2. Faktor negatif lainnya yang mempengaruhi perusahan nasabah, seperti kondisi group usaha, keadaan force majeur, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off balance sheet (L/C impor, bank garansi) market risk (forex risk, interest risk, security risk), riwayat pembayaran (tunggakan kewajiban) dan restrukturisasi pembiayaan.

2)      Recovery risk (risiko jaminan).

Yakni risiko yang terjadi pada second way out yang dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

  1. Kesempurnaan pengikatan jaminan.
  2. Nilai jual kembali jaminan (marketability jaminan).
  3. Faktor negatif lainnya, misalnya tuntutan hukum pihak lain atas jaminan, lamanya transaksi ulang jaminan.
  4. Kredibilitas penjamin (jika ada).

(2) Risiko Terkait Pembiayaan Berbasis Natural Uncertainty Countracts (NUC)

Yang dimaksud dengan Analisis Risiko Terkait Pembiayaan Berbasis Natural Uncertainty Countracts (NUC) adalah mengidentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memeperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis NUC, seperti mudharabah dan musyarakah. Penilaian risiko ini mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu sebagai berikut:

  1. a)      Business risk (risiko bisnis yang dibiayai)

Adalah risiko yang terjadi pada first way out yang dipengaruhi oleh :

  1. Industri risk yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh:
  • Karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan
  • Kinerja keuangan jenis uasaha yang bersangkutan (industry financial standard)
  1. Faktor negative lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah, seperti kondisi group usaha, keadaan force majeure, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off balance sheet (L/C impor, bank garansi), market risk (forex risk, interest  risk, security risk), riwayat pembayaran (tunggakan kewajiban) dan restrukturisasi pembiayaan.
  2. Shirinking risk (resiko berkurangnya nilai pembiayaan) adalah risiko yang terjadi pada second way out yang dipengaruhi oleh:
  1. a)      Unusual business risk yaitu risiko bisnis yang luar biasa yang ditentukan oleh :
  • Penurunan drastis tingkat penjualan bisnis yang dibiayai
  • Penurunan drastis harga jual barang/jasa dari bisnis yang dibiayai
  • Penurunan drastis harga barang/jasa dari bisnis yang dibiayai
  1. b)      Jenis bagi hasil yang dilakukan, apakah profit and loss sharing atau revenue sharing
  • Untuk jenis profit and loss sharing, shirinking risk muncul bila terjadi loss sharing yang harus ditanggung oleh bank
  • Untuk jenis revenue sharing, shirnking risk terjadi bila nasabah tidak mampu menanggung biaya (nafaqah) yang seharusnya ditanggung nasabah, sehingga nasabah tidak mampu melanjutkan usahanya.
  1. c)      Disaster risk yaitu keadaan force majeure yang dampaknya sangat besar terhadap bisnis nasabah yang dibiayai bank.
  1. Character risk (risiko karakter buruk mudharib) yaitu risiko yang terjadi pada third way out yang dipengaruhi oleh hal berikut:
  1. a) Kelalaian nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank
  2. b) Pelanggaran ketentuan yang telah disepakati sehingga nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank tidak lagi sesuai dengan kesepakatan
  3. c) Pengelolaan internal perusahaan, seperti manajemen, organisasi, pemasaran, teknis produksi, dan keuangan, yang tidak dilakukan secara profesional sesuai dengan standar pengelolaan yang disepakati antara bank dan nasabah.

Untuk mengatasi character risk, bank menetapkan kovenan khusus pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Bila terjadi kerugian yang disebabkan oleh character risk, kerugian akan dibebankan kepada nasabah. Untuk menjamin agar nasabah mampu menanggung kerugian akibat risiko tersebut, maka bank menetapkan adanya jaminan (collateral).

  1. b) Risiko Terkait Korporasi

Kompleksitas dan volume pembiayaan korporasi menimbulkan risiko tambahan selain risiko yang terkait dengan produk. Analisis risiko yang terkait dengan pembiayaan korporasi meliputi:

1)      Risiko yang timbul dari perubahan kondisi bisnis nasabah setelah pencairan pembiayaan.

Terdapat setidaknya tiga risiko yang dapat timbul dari perubahan kondisi bisnis nasabah setelah pencairan pembiayaan, yaitu sebagai berikut:

–  Over trading

Over trading terjadi ketika nasabah mengembangkan volume bisnis yang besar dengan dukungan modal yang kecil (too much business volume with too little capital). Keadaan ini akan menimbulkan krisis cash flow.

–  Adverse trading

Adverse trading terjadi ketika nasabah mengembangkan bisnisnya dengan mengambil kebijakan melakukan pengeluaran tetap (fixed costs) yang besar setiap tahunnya, serta bermain dipasar yang tingkat volume penjualannya tidak setabil. Perusahaan yang mempunyai karakterstik seperti ini merupakan perusahaan yang secara potensial berada dalam posisi yang lemah serta berisiko tinggi.

Liquidity run

Liquidity run terjadi ketika nasabah mengalami kesulitan likuiditas karena kehilangan sumber pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang disebabkan oleh alasan yang tidak terduga. Kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya kepada pihak bank. Sekalipun tidak dapat memprediksi arus likuiditas  sebuah perusahaan, bank dapat menaksir apakah perusahaan tersebut memiliki likuiditas yang cukup atau dapat memperoleh dana tambahan untuk mempertahankan  cash flow seperti sedia kala.

2)      Risiko yang timbul dari komitmen kapital yang berlebihan

Sebuah perusahaan mungkin saja mengambil komitmen kapital yang berlebihan dan menandatangani kontrak untuk pengeluaran berskala besar. Apabila tidak mampu untuk menghargai komitmennya, bank dapat dipaksa untuk dilikuidasi. Bank maupun supplier pembayaran perdagangan sering kali tidak mampu untuk mengontrol suatu pengeluaran yang berlebihan  dari sebuah perusahaan. Namun demikian, bank dapat mencoba untuk memonitornya dengan melakukan analisis, misalnya, neraca perusahaan tersebut yang terakhir dipublikasikan, dimana komitmen pengeluaran kapital harus diungkap.

3)      Risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank

Terdapat tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank, yakni sebagai berikut:

  1. a)      Analisis pembiayaan yang keliru

Dalam konteks ini, terjadi bukan karena perubahan kondisi nasabah yang tak terduga, tetapi dikarenakan memang sudah sejak awal nasabah yang bersangkutan berisiko tinggi. Keputusan pembiayaan bisa jadi adalah keputusan yang tidak valid. Kesalahan dalam pengambilan keputusan ini biasanya bersumber dari informasi yang tersedia kurang akurat. Untuk mengatasi hal ini, bank memerlukan staf  yang terlatih dan berpengalaman dalam menyusun suatu pendekatan pembiayaan.

  1. b)      Creative accounting

Creative accounting merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan akuntansi perusahaan yang memberikan keterangan yang menyesatkan tentang suatu laporan posisi keuangan perusahaan. Dalam kasus ini, keuntungan dapat dibuat agar terlihat lebih besar, aset terlihat lebuh bernilai, dan kewajiban dapat disembunyikan dari neraca keuangan.

  1. c)      Karakter nasabah

Terkadang nasabah dapat memperdaya bank dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet. Bank perlu waspada  terhadap kemungkinan  ini dengan mencoba untuk membuat suatu keputusan berdasarkan informasi objektif tentang karakter nasabah.

Manajemen Risiko Perbankan Syariah dan Sistem Keuangan Global

Yousef (1996) dalam Ibrahim (2006) mengatakan bahwa Islamic banking adalah merupakan suatu segmen yang tertinggi tingkat pertumbuhannya, yaitu pangsa pasar dari asetnya telah meningkat dari 2% di akhir tahun 1970an mencapai 15% sampai pada pertengahan tahun 1990an

Di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah juga semakin pesat. Krisis keuangan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah, khususnya di Indonesia. Masyarakat dunia, para pakar dan para pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi mereka juga ingin menerapkan konsep syariah secara lebih serius.

Selain itu prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di Indonesia, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang. Perkembangan industri lembaga keuangan syariah ini diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Harapan tersebut memberikan suatu optimisme melihat penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.

Namun demikian masa depan dari industri perbankan syariah, akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk meresponse perubahan dalam dunia keuangan. Fenomena globalisasi dan revolusi teknologi informasi, menjadikan ruang lingkup perbankan syariah sebagai lembaga keuangan telah melampaui batas perundang-undangan suatu negara. Implikasinya adalah, sektor keuangan pun menjadi semakin dinamis, kompetitif dan kompleks. Terlebih lagi adanya tren pertumbuhan merger lintas segmen, akuisisi, dan konsolidasi keuangan, yang membaurkan risiko unik tiap segmen dari industri keuangan tersebut.

Lebih lanjut terdapat kecenderungan perkembangan sistem pencatatan, matematika keuangan dan inovasi teknik manajemen risiko yang tidak dapat diprediksi. Perkembangan tersebut disinyalir akan semakin menambah tantangan yang dihadapi oleh perbankan syariah, terutama dengan masuknya lembaga keuangan konvensional yang juga menawarkan produk-produk keuangan syariah.

Di samping itu risiko dalam menghadapi sistem keuangan global bukanlah sekedar kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang terlebih penting adalah hilangnya kepercayaan dan kredibilitas mengenai bagaimana operasional kerjanya. Oleh karena itu perbankan syariah perlu dibekali dengan kemampuan manajemen sistem operasi yang mutakhir untuk menyikapi perubahan lingkungan. Salah satu faktor utama yang dapat menentukan kesinambungan dan pertumbuhan industri perbankan syariah adalah seberapa intens lembaga ini dapat mengelola risiko yang muncul dari layanan keuangan syariah yang diberikan

Sejumlah Kendala dan Tantangan Fiqih

Ketidakhadiran instrumen derivatif bagi bank syariah merupakan penghalang utama bagi mereka untuk mengelola risiko pasar, jika dibandingkan dengan bank konvensional. Selain itu bank syariah juga memiliki pesaing langsung yaitu hadirnya windows syariah dari bank konvensional. Terutama dengan adanya kendala norma syariah, bank syariah tidak bisa masuk ke dalam pasar bank konvensional, sementara bank konvensional dapat menawarkan produk syariah dan konvensional secara simultan (Khan, dan Ahmed, 2008).

Selanjutnya Khan dan Ahmed (2008) juga mengatakan bahwa regulator telah membuat ketetapan bahwa permodalan yang dimiliki masing-masing bank (baik di bank syariah maupun konvensional) harus dapat dijadikan buffer (penopang) atas risiko-risiko yang dihadapi. Ketika permodalan menjadi upaya puncak untuk memproteksi risiko, adalah kebijakan yang prudent bagi bank syariah untuk mengelola risiko di level organisasi.

Terutama instrumen derivatif yang digunakan untuk tujuan hedging lebih dipergunakan untuk mengontrol risiko pada level grup organisasi perbankan daripada digunakan secara terpisah bagi aktivitas tiap unit yang berbeda. Dalam hal ini tidak adanya suatu mekanisme yang efektif yang dapat mencegah bank konvensional untuk menggunakan instrumen derivatif untuk mengelola risiko produk syariah mereka. Sebagai akibatnya persaingan antara bank syariah dengan windows syariah dari bank konvensional berjalan tidak sehat karena adanya instrumen derivatif. Hal ini menghadapkan bank syariah pada persaingan yang tidak sebanding.

Untuk mengatasi default pembayaran kredit bank konvensional  biasanya menggunakan instrumen derivatif kredit. Sedangkan bagi bank syariah, instrumen derivatif kredit ini tidak tersedia. Selanjutnya, ketika terjadi default bank syariah tidak dapat menjadwal ulang atas utang yang berdasarkan tingkat mark up. Selain itu bank syariah juga lebih berpotensi mengalami default yang dipicu oleh adanya perubahan suku bunga, jika dibandingkan dengan bank konvensional (Khan, dan Ahmed, 2008)

Mengenai risiko likuiditas Khan dan Ahmed (2008) juga mengatakan bahwa bagaimana pun, dengan menyebutkan beberapa alasan sebagai berikut, bank syariah dihadapkan pada risiko likuiditas yang cukup serius:

Terdapat larangan fiqih bagi bank syariah untuk melakukan sekuritisasi asetnya, yang umumnya berupa utang. Dengan demikian, aset bank syariah menjadi tidak likuid jika dibandingkan dengan aset bank konvensional. Dengan lambatnya pengembangan instrumen keuangan bank syariah tidak akan mampu mendapatkan dana dari pasar secara cepat. Persoalan ini menjadi begitu serius pada saat ketika belum terdapat pasar uang antar bank syariah.

Bank syariah membutuhkan Lender of Last Resort (LLR)  sebagai fasilitas untuk menyediakan fasilitas dalam kondisi darurat. Namun sayangnya fasilitas LLR yang ada berbasiskan bunga, dimana bank syariah tidak dapat menikmati fasilitas ini. Dengan belum adanya persoalan likuiditas sampai saat ini, bank syariah belum memiliki sistem manajemen likuiditas secara formal.

Ada pun teknik-teknik yang dapat dipakai dalam rangka mengidentifikasi, melakukan pengukuran, dan pengelolaan risiko pada bank syariah dapat dibagi menjadi dua macam. Sepert misalnya: teknik-teknik standar yang dipakai dalam bank konvesional, dengan catatann tidak bertentangan dengan prinsip syariah, dapat diaplikasikan pada bank syariah. Hal itu antara lain: GAP analysis, maturity matching, internal rating sistem, dan risk adjusted return on capital (RAROC).

Di sisi lain bank syariah bisa mengembangkan teknik baru yang harus konsisten dengan prinsip-prinsip syariah. Ini semua dilakukan dengan harapan bisa mengantisipasi risiko-risiko lain yang sifatnya unik tersebut.
Survei yang dilakukan Islamic Development Bank (2001) terhadap 17 lembaga keuangan syariah dari 10 negara mengimplikasikan, risiko-risiko unik yang harus dihadapi bank syariah lebih serius mengancam kelangsungan usaha bank syariah dibandingkan dengan risiko yang dihadapi bank konvensional. Survei tersebut juga mengimplikasikan bahwa para nasabah bank syariah berpotensi menarik simpanan mereka jika bank syariah memberikan hasil yang lebih rendah daripada bunga bank konvensional. Lebih jauh survei tersebut menyatakan, model pembiayaaan bagi hasil, seperti diminishing musyarakah, musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli, seperti salam dan istishna’, lebih berisiko ketimbang murabahah dan ijarah (Yulianti, 2007)

Dalam perkembangan ke depan, perbankan syariah menghadapi tantangan yang tidak sedikit sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini seperti, pemilihan instrumen finansial yang comply dengan prinsip syariah termasuk juga instrumen pasar uang yang dapat digunakan untuk melakukan hedging (lindung nilai ) terhadap risiko (Chapra dan Khan, 2000). Oleh karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel Accord II, maka dari itu penguasaan yang betul-betul mumpuni di bidang manajemen risiko perbankan konvensional sangat diperlukan dalam menerapkan manajemen risiko perbankan pada bank syariah.

Khan dan Ahmed (2008) mengatakan bahwa ada dua aksioma atau kaidah fiqih sehubungan dengan risiko yaitu: al kharaj bil dhaman dan al ghunmu bil ghurmi. Kedua kaidah return yang didapatkan dari aset, secara intrinsic terkait dengan tanggung jawab atas kerugian yang muncul dari aset tersebut.

Kaidah ini sangat bertentangan dengan konsep keuangan yang berbasiskan bunga. Konsep bunga memisahkan antara return dengan tanggung jawab untuk menanggung kerugian, pemilik modal akan tetap mendapatkan return tanpa harus menanggung risiko. Hal ini dilakukan dengan menentukan return yang fixed atas nominal dana yang dipinjamkan.

Konsep keuangan Islam melarang adanya pemisahan ini. Pemisahan tanggung jawab risiko kerugian atas return yang didapatkan, risiko yang ada tidak dapat dipindahkan dan dibebankan pada satu pihak, tetapi harus ditanggung dan dibagi kepada dua pihak (risk sharing). Khan dan Ahmed (2008)  juga menyebutkan    bahwa manajemen risiko merupakan pembahasan yang kurang mendapatkan perhatian dalam keuangan syariah, akan tetapi masih ada beberapa tantangan lagi di bidang ini dari beberapa penyebab:

Pertama, beberapa teknik manajemen risiko belum tersedia bagi bank syariah yang sesuai dengan tuntunan syariah, khususnya derivatif kredit, swaps, pasar derivatif untuk manajemen risiko, garansi komersial, instrumen pasar uang, asuransi komersial, dan lainnya. Selain itu riset untuk menemukan teknik yang lebih efisien juga dirasakan masih kurang.

Kedua, terdapat beberapa pandangan syariah yang berdampak langsung pada proses manajemen risiko. Di antaranya adalah, tidak terdapatnya cara yang efektif yang terkait dengan default yang secara sengaja dilakukan nasabah, larangan jual beli utang, larangan transaksi forward dan futures mata uang, kecuali untuk tujuan hedging (Smolarski, Schapek dan  Tahir, 2006: 425)

Ketiga, tidak adanya standardisasi akad keuangan syariah, juga merupakan suatu tantangan yang cukup berarti.

Refleksi Ke Depan.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan berbagai pesoalan yang berupa kendala dan tantangan dari sudut pandang fiqih (pemahaman keagamaan dari alim-ulama yang berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi Shallallahu alaihi Wassallam). Untuk itu perlu digarisbawahi  beberapa point sbb.:

Pertama, melihat pertumbuhan bank syariah yang merupakan “the fastest growing segment in the banking system” sebenarnya bank syariah memiliki potensi yang besar untuk dapat keluar sebagai pemenang (The Winner) dalam memenangkan suatu kompetisi di dunia persaingan yang sudah meliputi berbagai sektor, terutama sektor keuangan khususnya perbankan, untuk itu perbankan syariah yang lebih dikenal dengan Islamic banking, dalam hal ini harus juga lebih “membenahi” berbagai faktor penentu kemenangan tersebut, di antaranya adalah di bidang manajemen risiko syariah.

Kedua, di bidang manajemen risiko perbankan syariah terdapat sejumlah kendala dan tantangan dari sudut pandang fiqih khususnya di bidang fiqih muamalat yang mana, kendala dan tantangan ini memerlukan berbagai “inovasi” atau terobosan yang bersifat terus menerus (berkelanjutan) agar dapat menjawab berbagai kendala dan tantangan tersebut di masa kini dan terutama di masa mendatang.

Ketiga, bidang studi manajemen risiko perbankan syariah adalah suatu bidang studi yang masih cukup baru, sejalan dengan usia Islamic banking, memerlukan berbagai temuan dari hasil riset dan juga membutuhkan tenaga-tenaga SDM (sumber daya manusia/insani) yang sangat mumpuni di bidang fiqih muamalat dan juga betul-betul menguasai berbagai permasalahan di bidang risk management. Sebagai misalnya telah ditemukan (dari hasil penelitian dengan menggunakan puluhan ribu simulasi untuk mendapatkannya) yaitu Islamic Pricing Benchmark, manajemen risiko perbankan syariah masih memerlukan berbagai riset lainnya misalnya pula untuk dapat mengembangkan berbagai teknik manajemen risiko yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Keempat, pengembangan manajemen risiko perbankan syariah merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dan disadari oleh segenap para penanggungjawab di bidang keilmuan (para pakar) dan pihak-pihak manajemen (para praktisi) mengingat dunia persaingan yang semakin mengglobal dan ketat, jika Islamic banking tidak mau keluar sebagai underdog alias kalah dalam persaingan, walaupun selama ini telah berhasil menunjukkan tingkat pertumbuhannya yang cukup spektakuler.  Pihak manajemen (para praktisi) di bidang ini harus dapat meng-create suasana lingkungan yang dapat mengidentifikasi tujuan dan harus dapat menciptakan  strategi dan sistem yang pada gilirannya dapat dilakukan  identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengelolaan perubahan-perubahan sebagai akibat dari adanya risiko yang bervariasi.

Kelima,  jika semua point di atas dipenuhi maka dengan penguasaan di bidang manajemen perbankan syariah yang betul-betul mumpuni, maka diharapkan pada gilirannya Islamic banking melalui sustainable innovation di bidang fiqih muamalat dan  risk management, dapat mengantongi “tiket” untuk ikut kompetisi global dan sekaligus memenangkan kompetisi tersebut dan keluar sebagai The Winner.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka.

Al Quran dan Terjemahnya, 1413H. Mujamma’ Khadim al Haramain. Medinah

Munawwarah.

Chapra, Umer and Tariqullah Khan, 2000 (1421H). “Regulation and Supervision

            of Islamic Banks”. Islamic Development Bank.  Islamic Research and

Training Institute.

Darmawi, Herman. 2010. “Manajemen Risiko”. Bumi Aksara, Jakarta.

Ghozali, Imam. 2007. “Manajemen Risiko”. Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang.

Hayu, S.P., & Sofjan, H., 2009. The Subprime Mortgage Crisis: Islamic

Economics Perspective. Perbanas Quarterly Review. Vol. 2. Iss. 1; pg. 51

Ibrahim, Badr El Din A.   2006 The “missing links” between Islamic development

objectives and the current practice of Islamic banking – the experience of

the Sudanese Islamic banks (SIBs)Humanomics.  Vol.22, Iss. 2;  pg. 55.

Khan,  Tariqullah., & Ahmed, Habib. 2008. “Manajemen Risiko Lembaga

            Keuangan Syariah” . Bumi Aksara, Jakarta.

Omar, M.A., & Noor, A.M., & Meera, A.K.M. 2010. Research Paper: “Islamic

            Pricing Benchmark”  http//www.iefpedia.com/ English/

wp-co content/upload/2010/07/ISLAMIC-PRICING-BENCHMARK

diakses 1 Februari 2011 pukul 15.08

Smolarski, J., & Schapek, M., & Tahir, M.I. 2006.   Permissibility and Use of

Option for Hedging Purposis in Islamic Finance. Thunderbird

           International Business Review. Vol. 48, Iss. 3; pg. 425

 




Corporate Social Responsibility dan Akuntansi Islam, Konvergensi atau Bertentangan?

Corporate Social Responsibility

 CSR sebagai suatu konsep berkembang luas yang berdampak pada kepentingan stakeholder perusahaan, dalam hal ini masyarakat umum, sudah menjadi suatu

istilah yang banyak dibahas dalam bidang keilmuan di banyak perguruan tinggi.

Dalam hal ini tidak luput juga menjadi istilah yang banyak disebut-sebut dalam dalam praktek akuntansi syariah atau lebih tepatnya akuntansi Islam.

Namun perlu kiranya diperjelas antara apakah arti CSR itu sendiri, beserta beberapa hal yang berkenaan dengannya di satu pihak kemudian apakah akuntansi Islam beserta beberapa hal yang berkenaan dengannya, lantas jika ada dimanakah letak keterkaitan antara keduanya?

Apa itu pengertian atau definisi dari CSR?

Menurut Hartanti (2006) definisi CSR sejatinya telah diuraikan semenjak tahun 1950an. Semenjak itu definisi CSR berkembang luas di kalangan bisnis. Namun demikian kalangan akademisi dan pendidikan memandang perlu untuk melakukan kajian ilmiah terhadap CSR karena terlihat bahwa CSR sebagai suatu konsep berkembang luas yang berdampak pada kepentingan stakeholder perusahaan, dalam hal ini masyarakat umum.

Sedangkan menurut Karsten (2006) CSR sebagai suatu konsep dapat ditelusuri kembali di awal abad ke 19 di Belanda dan pada awal abad 20 di Amerika Serikat. Walaupun ada banyak ambiguitas dan perbedaan yang mungkin berlaku di berbagai negara, CSR secara bertahap menjadi konsep yang bersifat global, dimulai dengan adanya beberapa perusahaan MNC (multinational corporation) yang menaruh perhatian terhadap reputasi mereka. Pengalaman di Belanda menunjukkan bahwa walaupun CSR dimulai oleh sedikit sekali perusahaan, tetapi pemerintah (Belanda) telah menaruh perhatiaannya untuk mengembangkan konsep ini dalam rangka antisipasi terhadap perkembangan dunia.

Dari sisi akademisi, definisi paling tua mengenai CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen (Hartanti, 2006) dalam bukunya “Social Responsibility of the Businessman”. CSR berdasarkan Bowen adalah kewajiban dari seorang pebisnis untuk mengusahakan dan melaksanakan tindakan-tindakan dalam kerangka tujuan dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Seorang pebisnis haruslah berpikir lebih luas ketimbang angka-angka keuntungan dan kerugian. Pada saat itu, 85% pebisnis setuju dengan pendapat Bowen ini. Semenjak definisi CSR oleh Bowen ini, ada banyak versi dan definisi CSR. Namun umumnya definisi yang dianggap paling utuh adalah yang diketengahkan oleh Caroll (1979). Menurut Caroll, idealnya sebuah perusahaan memiliki empat macam tanggung jawab sosial, yaitu: ekonomi, hukum, etika dan diskresioner. Tanggung jawab ekonomi umumnya akan menempati urutan teratas dikarenakan sifat alami sebuah perusahaan adalah bergerak di bidang ekonomi/ bisnis. Walau begitu, masyarakat akan menuntut agar perusahaan senantiasa memenuhi tanggung jawab ekonominya tetap dalam kerangka hukum. Tanggung jawab etika adalah sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat untuk diterapkan oleh perusahaan diluar batassbatas hukum. Semen tara tanggung jawab diskresioner adalah bagian dari aktivitas filatropi perusahaan yang biasanya dilakukan secara sukarela.

Setelah definisi CSR oleh Caroll Inl, tidak ada pengembangan lebih lanjut mengenai definisi dan konsep CSR di bidang akademis. Definisi oleh Caroll ini selanjutnya senantiasa dijadikan titik awal untuk mengembangkan dan melakukan analisa empiris atas aktivitas dan kinerja tanggung jawab sosial perusahaan. Sebagai contoh: Aupperle, Carroll dan Hatfield serta Pinkston dan Caroll melakukan penelitian atas keempat dimensi CSR Caroll di Amerika serikat pada tahun 1985 dan 1996. Hasil penelitian empiris tersebut memperlihatkan bahwa bagi kalangan bisnis di negara tersebut tanggung jawab ekonomi menempati posisi yang paling penting, disusul dengan tanggung jawab hukum, etika dan diskresioner. Menariknya hasil penelitian dua dekade yang berbeda tersebut tetap memperlihatkan bahwa aktivitas philantrophy tetap dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontroversi dan oleh karenanya dihindari oleh perusahaan-perusahaan.

Sejarah Perkembangan CSR.

Masih menurut Hartanti (2006) Di Indonesia, isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) mulai mengemuka lima tahun belakangan ini. Umumnya kalangan pengusaha menerjemahkan konsep CSR sebagai bentuk “berbagi kepada masyarakat sekitar / kalangan tertentu”, atau sebagai bagian dari kedermawanan sosial. Sehingga tak heran banyak pula yang menyatakan CSR tak lebih dari sekedar philantrophy. Padahal, makna CSR seharusnya lebih dari sekedar philanthropy semata. Jelas, bahwa makna CSR sudah bergeser dari sisi ilmiahnya menjadi lebih kepada trend sosial yang mudah-mudahan tidak hanya berlangsung sekejap saja. Ada baiknya jika kita pahami apa dan bagaimana CSR sebenarnya.

Secara philosophy, konsep CSR dapat dikategorikan dalam tiga paradigma; Pristine Capitalist, Enlightened Self-Interest dan Social Contract. Pandangan yang pertama merupakan perwakilan sistem ekonomi liberal dan kapitalis, dengan Milton Friedman sebagai tokohnya. Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab sosial bagi sebuah bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, untuk tumbuh, berkembang dan melaksanakan efisiensi ekonomi dengan penggunaan sumberdaya sedemikian rupa selama tetap menaati peraturan, yaitu tidak berlaku curang dalam sebuah sistem kompetisi bebas dan terbuka. Sehingga semua konotosi tanggung jawab sosial di luar definisi di atas dianggap sebagai penyalahgunaan dana pemegang saham.

Di sisi pandang yang lain, Sosial Contract berpendapat bahwa sebuah perusahaan dapat berusaha dalam perekonomian karena adanya kontrak sosial (social contract) dengan masyarakat dan oleh karenanya bertanggungjawab atau terikat dengan keinginan masyarakat tersebut. Sehingga dalam pandangan kelompok ini dengan adanya kontrak sosial tersebut perusahaan bertindak sebagai agen moral (moral agent), konsekuensinya perusahaan harus memaksimumkan manfaat keuntungan sosial bagi masyarakat. Akan halnya Enlightened Self-Interest berada di sisi pertengahan, dimana menurut pandangan ini stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya akan dapat dicapai jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggungjawab sosial kepada masyarakat, paling tidak dalam tingkat yang minimal.

Dari ketiga uraian di atas, jelas terlihat bahwa definisi CSR bisa berbeda-beda tergantung bagaimana kita berpihak dalam ketiga sudut pandang tersebut. Idealnya suatu perusahaan memilki etika dalam visi dan misinya. Dalam era dimana kesadaran akan tanggung jawab sosial semakin meningkat, argumentasi bahwa tanggung jawab perusahaan hanyalah untuk menghasilkan keuntungan bagi para pemegang sahamnya adalah sesuatu yang absurd atau tidak pas. Sebuah perusahaan bagaimanapun juga adalah sebuah subsistem yang membutuhkan subsistem lain (dalam hal ini stakeholders) untuk beroperasi dan mencapai tujuannya. Tetap berargumentasi bahwa perusahaan harus memaksimumkan keuntungan sosial juga dapat dianggap berlebihan. Posisi jalan tengah (Enlightened Self-Interest) pada akhirnya dianggap memberikan solusi yang terbaik. Namun pandanngan ini juga tidak beresiko. Masalahnya, unsur reward dan penalty amat berperan dalam pemilihan level CSR yang diingini bagi penganut paham ini. Jika perusahaan merasa tidak tidak ada tekanan untuk berperilaku sosial maka, sebagaimana karakteristik perusahaan yang bersifat memaksimumkan laba, perusahaan akan bertindak tak bertanggung jawab. Phenomena inilah yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang (Shiraz, 1998)

 

Perkembangan CSR, Citra dan Kepedulian Manajer Puncak (CEO).

Sejak awal perkembangannya hingga kini, konsep dan definisi mengenai CSR pada hakekatnya senantiasa berubah baik dari sisi masyarakat bisnis maupun akademisi. Salah satu alasan adalah karena adanya pengaruh dari ketiga pandangan di atas. Alasan lain ialah karena berubahnya permintaan/harapan dari masyarakat terhadap peranan perusahaan terkait dengan tanggung jawab sosialnya. Sebagai contoh di Amerika, karena pengaruh pandangan Milton Friedman dalam hal tanggung jawab sosial, selama beberapa periode adalah sebuah hal yang illegal bagi perusahaan untuk melakukan sumbangan/donasi bagi kegiatan-kegiatan sosial. Sesuatu yang amat berbeda jika dibandingkan dengan era sa at ini.

Berkut ini menurut Pambudi (2006) CSR dapat dijalankan melalui tiga pilar yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Kegiatan yang dilakukan dalam berupa community development yang kemudian dikembangkan untuk mencapai citra yang baik di mata para stakeholders perusahaan. Adanya beberapa pihak yang masih memandang pelaksanaan CSR dalam konteks profitabilitas perusahaan merupakan tantangan tersendiri, karena seyogyanya perusahaan juga harus memperhatikan orang dan Lingkungan sekitarnya. Di sini kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan CSR.

“Sebuah perusahaan kecil adalah kekayaan pribadi seseorang, tapi ketika perusahaan itu menjadi besar, ia menjadi kekayaan semua pekerja.

Dan ketika perusahaan itu berkembang lebih lanjut, ia milik masyarakat, menjadi milik negara.” (Chung Ju-Yung, pendiri Hyundai)

MAK adalah perusahaan papan atas bisnis hospital equipment di Tanah Air yang juga sudah merambah pasar mancanegara. Gempa 27 Mei 2006 bukan cuma menghancurkan sejumlah fasilitas pabriknya di kawasan Sleman, tapi juga meluluhlantakkan sekitar 200 rumah karyawannya yang tersebar di kawasan bencana itu. Tiga hari setelah tragedi itu, Buntoro, pimpinan perusahaan MAK meminta karyawannya masuk kerja dan melupakan kesedihan yang melanda, termasuk rumah mereka yang telah rata dengan tanah. “Saya bilang sama mereka, ‘Kerjalah, jangan terus bersedih. Anda cari uang. Rumah, biar saya yang bereskan. You do your job, I do my job’,” ujar lelaki yang sedikitnya menderita kerugian hingga Rp 2 miliar akibat gempa.

Bagi Buntoro, apa yang dilakukannya merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan CSR (corporate social responsibility). CSR? Ya. Sebabnya, ia melakukan apa yang melebihi tugasnya sebagai pemimpin perusahaan. la tak sekedar mencari profit untuk kemudian memberikan remunerasi melebihi upah minimum yang ditentukan, tapi juga memperhatikan nasib karyawannya, pada saat yang mengenaskan sekalipun. Total karyawan MAK sendiri mencapai 350 orang.

Tentu saja kita boleh setuju ataupun tidak dengan pemahaman di atas. Pemahaman apakah itu CSR, atau filantropi (kecintaan pada manusia) seorang Buntoro terhadap nasib karyawannya, membuka ruang debat. Namun, yang jelas, rasanya langkah itu jauh lebih bermartabat ketimbang apa yang terjadi pada PT Lapindo Brantas yang menimbulkan bencana di kawasan Porong, Sidoardjo, Jawa Timur. Demi mencetak profit tapi tanpa diimbangi langkah operasi yang prudent, lumpur panas perusahaan ini telah menghancurkan bukan hanya manusia beserta kegiatan ekonominya, tapi juga ekosistem di sekitarnya. Dan yang menyedihkan, manajemen perusahaan itu tampak sempat bingung untuk menunjukkan tanggung jawabnya. Masyarakat yang menjadi stakeholders-nya dibiarkan mengatasi sendiri lumpur panas yang menghancurkan lingkungan tempat mereka tinggal.

Kembali pada Buntoro. Mesti diakui, CSR kini menjadi salah satu konsep yang tengah “genit”, tak terkecuali dengan pelesetannya; celebrity social responsibility merujuk pada aktifnya Bono U2, Angelina Jolie, Brad Pitt, dan selebritas lain – termasuk artis skala lokal – dalam aktivitas sosialnya masing-masing. Di dunia, Edward Teach dari CFO Magazine pernah mencatat bahwa kata CSR mencapai 4.680.000 hits di Google. Jauh meninggalkan “shareholder value” yang mencapai 2.340.000 hits.

Saking populernya, di Tanah Air, bahkan banyak para pemimpin bisnis yang seperti tak ingin “ketinggalan kereta” bila tak menyebut CSR sebagai salah satu nilai-nilai yang dianut perusahaannya. Atau, setidaknya sebagai “bendera” aktivitas sosial yang pernah dilakukannya. Mereka seperti khawatir tak menjadi good citizen (warga negara yang baik) ketika tak pandai melafalkannya, dan tak menyebutkan tiga huruf itu tatkala mengiklankan aktivitas kedermawanannya.

Padahal, yang menarik, manakala Indonesia tengah mulai demam konsep ini, di mancanegara, telah menyusul konsep lain yang berupaya menyempurnakannya. Ya, menyempurnakannya, lantaran CSR dipandang too corporate centric. Terlalu mengarah pada korporasi. Sebagai citizen (warga negara), perusahaan dipandang sudah cukup menjadi warga negara yang baik dengan cara taat pajak dan berperilaku etis, seperti tidak menyuap, terlibat korupsi, serta menciptakan produk yang bertanggung jawab, atau berproduksi dengan penuh tanggung jawab. Kasus Lapindo Brantas, di luar faktor “X” – katakanlah sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan -, alhasil merupakan contoh perusahaan yang bukan good citizen.

Konsep yang berupaya menyempurnakannya itu adalah social responsibility yang tengah diarahkan menjadi ISO. Dalam konsep ini, bukan hanya perusahaan yang punya tanggung jawab sosial, tapi juga pemerintah serta individu. Semua komponen ini punya tanggung jawab sosial yang sama. Artinya, bukan cuma perusahaan dan para pemimpinnya yang bertanggung jawab sosial. Seluruh komponen dalam sebuah millieu bernama negara, punya kesetaraan tanggung jawab untuk menjaga planet dan keharmonisan kepentingan seluruh stakeholders tempat mereka tinggal.

Tren para CEO atau pengelola korporasi yang merasa pentingnya CSR sebagai bagian dari aktivitas perusahaannya, sepengamatan penulis bukanlah isapan jempol. Dari sisi komponen tanggung jawab sosial perusahaan, para pengelola korporasi ini berusaha mempraktikkan komponen CSR dengan upayanya masing-masing.

Akuntansi dan Berbagai Permasalahan di Bidangnya

Berbagai Permasalahan di bidang Akuntansi (konvensional) a.l.:

 

Sebelum masuk kepada Akuntansi Islam, maka perlu diketahui adanya berbagai

 

permasalahan  dari akuntansi (konvensional) sebagai suatu profesi, sebagaina yang

 

diuraikan oleh Harahap (2007: 27-30) dalam bukunya yang berjudul Krisis Akuntansi

 

Kapitalis a.l  sbb:

 

Earning Management:

Mengatur laba ini dalam kamus akuntansi dikenal dalam berbagai istilah: ada yang menyebut “window dressing” atau “lipstick accounting” untuk menciptakan laporan keuangan lebih cantik. Ada istilah cooked book atau Income smoothing untuk mengatur laba dengan menu yang diinginkan sponsor atau terakhir dipakai istilah earning management. Semua istilah itu berkonotasi negatif karena ingin menciptakan angka laba yang distortif inflatif tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak memberikan informasi yang akurat dan reliable lagi bahkan dinilai menjadi “fuzzy numbers” atau angka yang membingungkan.

 

Upaya mengatur laba ini kadang bisa didukung oleh standar akuntansi yang dipakai. Artinya dengan menerapkan standar akuntansi yang diterima umum pun saat ini kita bisa memanaj laba supaya sesuai dengan keinginan sponsor. Sifat akuntansi yang banyak mengandung taksiran (estimasi), pertimbangan (Judgment) dan sifat accrual membuka peluang untuk bisa mengatur laba. Taksiran penyusutan, bad debts, nilai persediaan, pemilihan standar penilaian persediaan misalnya FIFO, LIFO, standar penyusutan misalnya straight line, double declining, dan sebagainya bisa mengubah angka laba. Sistem akrual bisa mempengaruhi alokasi waktu dari hasil dan biaya yang menimbulkan perubahan laba periodik. Ini semua bisa menjadikan laba menyesuaikan diri dengan keinginan penyaji (cooked book) apalagi KAP (Kantor Akuntan Publik) nya tidak independen dan memiliki kepentingan serta moral hazard maka lengkaplah penipuan dibidang profesi akuntan itu yang belakangan ini banyak kita dengar. Sejauh ini profesi akuntan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya dalam tataran imbauan dan penerapan kode etik yang longgar paling tidak di Indonesia. Praktik-praktik earning management di BEJ Jakarta menurut beberapa penelitian menunjukkan eksistensinya. Jika hal ini terjadi maka profesi akuntan yang modalnya adalah kepercayaan masyarakat berada dalam situasi bahaya. Karena kontrak sosialnya bisa putus karena dia melupakan tanggungjawab sosialnya.

 

 

Di kalangan akademisi sendiri sebenarnya ada upaya untuk keluar dari konvensi standar akuntansi yang ada sekarang. Tom Lee misalnya menganjurkan “cash flow accounting” atau akuntansi berbasis kas yang tidak menggunakan basis akrual untuk menghindari earning management melalui sistem akrual. Dengan sistem ini diharapkan laba akuntansi lebih riel kendati pun sebenarnya hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. Belakang ini ada upaya dari beberapa perusahaan untuk merubah standar akuntansi yang dapat memberi peluang untuk mendistorsi laba seperti pencatatan bonus plan atau pension plan dan sebagainya. Bahkan yang lebih radikallagi beberapa perusahaan seperti Verizon Comlnunication Incorporation mencoba membuat standar akuntansi sendiri dan ternyata menghasilkan laporan laba yang lebih keeil dari laba menurut standar akuntansi yang berlaku. Kita di Indonesia sudah selayaknya memikirkan hal ini sebelum kasus ENRON, WorldCom, Adelphia Com, Merck, Lippo. Kimia Farma merambah dan menambah banyaknya kasus skandal akuntansi di Tanah air.

 

Menurunnya Pamor Akuntansi di Amerika

 

Profesi akuntan sudah ada sejak kehadiran manusia selaku makhluk sosial dimuka bumi. Pasang surut peranannya juga sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pada zaman pra sejarah mung kin peranannya lain dengan peranannya pada zaman Romawi Yunani, berbeda pula pada era kejayaan Islam, dan juga dengan era dominasi Barat Kapitalis saat ini.

 

Di era Islam profesi akuntan ini disebut “muhasabah” atau kelembagaannya disebut “muhtasib”. Pada periode ini akuntan memiliki fungsi jamak bukan hanya bertanggung jawab menilik, mengawasi aspek keuangan individu dan lembaga masyarakat tetapi juga aspek-aspek lain seperti: mengawasi kelayakan bangunan, menjaga kesehatan makanan (baik yang haram. yang membahayakan, yang tidak jujur), kualitas yang berbeda dari yang disampaikan, iklan yang tidak jujur, pelaksanaan kontrak, pelaksanaan ibadah seperti mereka yang tidak shalat, tidak puasa, dan tidak bayar zakat, serta berbagai kecurangan seperti korupsi, ketidakefisienan, dan praktik-praktik pemborosan lainnya. Cakupan fungsi muhtasib era itu sangat luas dan tidak membedakan antar aspek keuangan dan non-keuangan, aspek ibadah dan muamalat (non-ibadah), aspek dunia dan akhirat.

 

Di era saat ini Profesi akuntan difokuskan pada fungsi pemberian informasi, dan penyajian informasi yang reliable sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan proses pengambilan keputusan. Dalam sivilisasi Barat Kapitalis saat ini akuntan adalah merupakan kepercayaan publik sebagai informan atau penyaksi informasi sehingga informasi yang disajikan penyaji laporan dianggap memenuhi kualitas reliable dan relevan.

 

Namun kenyataannya banyak ditemukan laporan-laporan yang tidak sesuai dengan harapan itu. Laporan keuangan dianggap hanya sebagai laporan yang ditukangi, laporan yang memakai kosmetik, laporan yang dimasak, income smoothing, dan creative accounting. Para akuntan yang melakukan perbuatan tercela ini telah mencoreng nama akuntan baik di level internasional maupun nasional. Kasus Arthur Anderson yang hancur karena kasus Enron, dan praktik skandal korporasi lainnya yang mengemuka belakangan ini memukul telak profesi akuntan. Profesi akuntan ini hanya hidup di atas kepercayaan publik. Jika kepercayaan publik ini hilang maka secara otomatis sebenarnya eksistensinya secara substantive hilang. walaupun masih dipakai itu hanya sekedar memenuhi  persyaratan yang diwajibkan lembaga tertentu, misalnya bank atau atas faktor paksaan lainnya.

 

Menurunnya kepercayaan publik ini sudah mulai terasa, walaupun Amerika misalnya telah melakukan beberapa perbaikan untuk mengembalikan kepercayaan itu seperti keluarnya Sarbanes Oxley Act (SOA), aturan lain dalam peningkatan good corporate governance dan proses pengadilan dari mereka pelaku kejahatan korporasi tersebut. Walaupun demikian ternyata penurunan kepercayaan ini terjadi juga dalam penurunan di sektor pendidikan dan akademik bidang Akuntansi.

 

Demikian uraian yang saya cuplik dari Harahap (2007: 27-30) yang intinya adalah

bahwa akuntansi kapitalis sebagai suatu profesi sedang mengalami berbagai krisis

yang sifatnya “profesional multidimensional”.

 

Akuntansi Dalam Islam

 

Mengenai latar belakang, pengertian dan apa itu akuntansi dalam Islam saya juga mengutip dari buku Harahap (2007:350-376) yang berjudul Teori Akuntansi Edisi Revisi, sbb.:

 

Menurut Harahap (2007) salah seorang penulis Barat mengungkapkan bahwa dengan runtuhnya Uni Soviet bersama ideologi Leninisme Komunisme, ideologi yang tinggai hanya kapitalisme dan Islam. Kemudian, penulis ini melanjutkan bahwa ternyata Islam memiliki tingkat compatibility yang sangat dekat dengan Islam. Di dalam buku Akuntansi Pengawasan dan Manajemen· Dalam Perspektif Islam (Harahap, 1992), disimpulkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan di Barat, ternyata konsepsi Islam yang diturunkan kepada manusia oleh Allah Swt. meialui Rasulullah Saw. ternyata merupakan suatu sistem way of life yang utuh, sesuai dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan serta fenomena alam yang ada. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai sudut dan disiplin ilmu seperti ilmu alam, astrologi, sosiologi, medical, psikologi, ekonomi, dan juga akuntansi. Dalam bab ini kita mencoba bagaimana konsep Islam pada akuntansi.

Penelitian dan penulisan yang mengkaji akuntansi dalam Islam sudah mulai merebak, baik di Baratmaupun di tanah air sendiri. Literatur yang membahas topik ini di tanah air dapat dilihat dalam buku Akuntansi Pengaawasan dan Manajemen dalam Perspektif Islam (Harahap, 1992), Akuntansi Islam (Harahap, 1999), Organisasi dan Akuntansi Syariah (Triwiyono,2000) dan sebagainya. Pembahasan akuntansi dalam Islam ini tidak mengada-ada dan tidak bersifat apologia, tetapi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan sumber referensinya yang sah. Akuntansi dalam Islam dapat kita lihat melalui pedoman suci umat Islam, AlQuran sebagai berikut. Dalam AlQuran Surat Al-Baqarah ayat 282 merupakan ayat terpanjang dalam Alquran adalah sebagai berikut.

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarrkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. jika yang berutang itu orang yang lemah akal atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah wakilnya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki laki di antara kamu. jika tidak ada dua orang laki-laki maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa seorang lagi mengingatkannya. janganlah saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menuliskan utang itu, baik kecil maupun besar sampai waktu membayarnya. :Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan. (Tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalahmu itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara leamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan yang demikian itu maka sesungguhnya hal itu adalah kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. (Lihat AlQuran dan Terjemahannya, YPPA, PT Bumi Restu Kemudian), dalam catatan kakinya, “muamalah” diartikan seperti kegiatan berjual-beli, berutang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya. Berutang-piutang tentu mempunyai pengertian yang luas dalam bisnis. Pendirian perusahaan oleh pemilik modal menyangkut utang-piutang antara dia dengan manajemennya. Pengelolaan harta pemilik modal oleh manajemen merupakan hubungan kerja sarna, utang-piutang (atau agency relationship). Hubungan transaksi dagang maupun bentuk bisnis lainnya se1alu mempunyai konteks utang-piutang, pinjaman kepada lembaga keuangan mempunyai hubungan utang-piutang. Oleh karena itu, setiap iembaga perusahaan sarat dengan kegiatan muamalah sebagaimana diimaksudkan ayat 282 tadi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pemeliharaan akuntansi wajib hukumnya dalam suatu perusahaan bahkan juga pribadi.

Dalam Islam selalu ditekankan jangan melakukan kecurangan dan menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Ketentuan ini harus ditegakkan dengan cara apa pun. Harus ada sistem yang dapat menjaga agar semua hak-hak stakeholders termasuk sosial dan pemerintah dijaga dan jangan sampai ada yang dirugikan dalam kontrak kerja sarna apakah dalam bidang jua! beli, mudharabah, atau musyarakah.

Prof. Dr. Hamka dalam tafsir AI-Azhar juz 3 tentang surat AI-Baqarah ayat 282 ini mengemukakan beberapa hal yang relevan dengan akuntansi sebagai berikut.

Perhatikanlah tujuan ayat! Yaitu kepada sekalian orang yang

beriman kepada Allah supaya utang piutang itu ditulis, itulah dia yang berbuat sesuatu pekerjaan karena Allah, karena perintah Allah dilaksanakan. Sebab itu, tidaklah layak berbaik hati kepada kedua belah pihak lalu berkata tidak perlu dituliskan karena kita sudah percaya mempercayai. Padahal umur kedua belah pihak sama-sama ditangan Allah. Si Anu mati dalam berutang, tempat berutang menagih pada warisnya yang tinggal. Si waris bisa mengingkari utang itu karena tidak ada surat perjanjian.

Beliau mengungkapkan secara jelas betapa wajibnya memelihara tulisan.

Dan perintah inilah yang selalu diabaikan umat Islam sekarang ini. Bahkan yang lebih parah sudah sampai pada suatu situasi seolah-olah menuliskan transaksi seperti ini menunjukkan kekurangpercayaan satu sarna lain, padahal ini merupakan perintah Allah Swt. kepada umatnya yang tentunya harus dipatuhi.

Buya Hamka melanjutkan lagi:

… dan apabila dibelakang hari perlu dipersaksikan lagi sudah ada hitam diatas putih tempat berpegang dan keragu-raguan hilang, sebab sampai sekecil-kecilnyapun dituliskan. Mengomentari tentang transaksi kontan Buya Hamka menulis sebagai

berikut:

… di zaman kemajuan sebagai sekarang, orang berniaga sudah lebih teratur sehingga membeli kontan pun dituliskan orang juga, sehingga si pembeli dapat mencatat berapa uangnya keluar pada hari itu dan si penjual pada menghitung penjualan berapa barang yang laku dapat pula menjumlahkan dengan sempurna. Tetapi yang semacam ini terpuji pada syara.’ Kalau dikatakan tidak mengapa (dalam Alquran. pen) tandanya ditulis lebih baik.

Pendapat Buya Hamka ini menunjukkan bahwa sebenarnya syara’ pun menganjurkan pencatatan baik yang tunai maupun yang masih accrual sebagaimana yang sekarang diterapkan dalam akuntansi.

Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam Islam, sejak munculnya peradaban Islam sejak Nabi Muhammad Saw. telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanannya adalah untuk tujuan kebeenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan antara dua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi. (Lihat sejarah akuntansi Bab 2). Dengan perkaataan lain, clapat kita sebutkan bahwa Islam mengharuskan pencatat:ln untuk tujuan keadilan dan kebenaran. Sementara itu, pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diharuskan. Akan tetapi, menurut Buya Hamka justru karena sesuai syara’, mungkin ketidakwajiban ini disebabkan hal ini sudah merupakan urusan yang sifatnya tidak perlu diatur oleh Suatu kitab suci. Dan mengenai hal ini Rasulullah mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu.” Urusan dunia (dalam tanda kutip) yang diserahkan bulat-bulat kepada manusia meruupakan bukti kebebasan berpikir sekaligus membuktikan “kedinamisan” Islam, dan menjaga agar AlQuran tetap up to date dan tidak pernah ketingggalan karena perubahan dan kemajuan cara berpikir man usia. Tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pencatatan sebagai berikut.

 

  1. Menjadi bukti dilakukannya transaksi (muamalah) yang menjadi dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya.

 

  1. Menjaga agar tidak terjadi manipulasi atau penipuan, baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu (laba). Bagaimana menurut akuntansi? Dalam akuntansi tujuan pencatatan adalah: pertanggungjawaban (accountability) atau sebagai bukti transaksi; penentuan pendapatan (income determination); informasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan, dan lain-lain. Akuntansi juga merupakan upaya untuk menjaga terciptanya keadilan dalam masyarakat karena akuntansi memelihara catatan sebagai accountaability dan menjamin akurasinya. Pentingnya keadilan ini dapat dilihat dari AlQuran surat AI-Hadid ayat 24 sebagai berikut.

 

Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.

 

Dalam Alquran surat AI-Syuraa’ ayat 182-183 berbunyi sebagai berikut. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.

 

Penggunaan sistem akuntansi jelas merupakan manifestasi dari pelaksaanaan perintah itu karena sistem akuntansi dapat menjaga agar aset yang dikelola terjaga accountability-nya sehingga tidak ada yang dirugikan, jujur, adil, dan kepada yang berhak akan diberikan sesuai haknya. Upaya untuk mencapai keadilan, baik dalam pelaksanaan utang-piutang maupun dalam hubungan kerja sarna berbagai pihak seperti dalam persekutuan, musyarakah, mudharabah memerlukan sarana pencatatan yang menjaga agar satu sarna lain tidak dirugikan sebagaimana spirit ayat di atas. Dari usul fiqih disebutkan untuk mencapai sesuatu yang diwajibkan, sarana untuk menncapainya pun menjadi wajib. “Mala yummitul wajibu ila bihi fahuwa wajibun.” jika untuk melaksanakan sesuatu yang hukumnya wajib harus dengan dia, dia itu pun menjadi wajib. Oleh karena itu, dapat disebutkan memelihara pencatatan baik sebagai informasi, untuk penyaksian, untuk pertanggungjawaban, untuk pemeliharaan hak, atau untuk keadilan, hukumnya termasuk menjadi wajib.

 

Benar dan Wajar

Di atas sering penulis menggunakan perkataan wajar dan juga perkataan benar, dalam tulisan ini penulis ingin mengingatkan kita tentang pemakaian kata ini. Dalam permulaan sejarahnya sampai sekitar abad XX, laporan keuangan masih dikatakan benar atau true. Namun, akhirnya, laporan keuangan tidak dikatakan benar lagi, tetapi dipakai istilah wajar, layak atau fairly stated. Keadaan ini menunjukkan bahwa akuntansi konvensional dengan berbagai instrumen dan sifat-sifatnya merasa tidak bisa menjamin “kebenaran” output akuntansi itu. Akuntansi Islam harus bisa menjamin bahwa informasi yang disusun dan disajikan harus benar dan bebas dari unsur penipuan dan ketidakadilan, bebas dari pemihakan kepada kepenntingan tertentu. Informasi yang diberikan harus transparan, teruji, dan dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Setelah skandal Enron ada kecenderungan akan kembali ke konsep benar. Hal ini clapat dilihat bunyi pernyataan akuntan sebagai berikut.

 

Akuntansi Islam: State of the Art

 

Dari sisi lain, Islam disifati juga sebagai Rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk sekalian alam. Kalau sebelumnya agama, kitab atau kepercayaan yang dibawa para nabi dan tokoh agama lainnya bersifat lokal, bangsa atau primordial. Misalnya Nabi Daud as., Luth as., Ibrahim as., Musa as., Isa (Yesus) as. Semuanya hanya untuk kaumnya. Islam mengayomi semua makhluk itu. Kalau kapitalisme memiliki kaum pemilik modal dan komunis memayungi kaum buruh, Islam memayungi keduanya bahkan semuanya termasuk segala makhluk yang ada di bumi ini.

 

Persepsi masyarakat terhadap agama seperti itulah yang terbawa dalam pemikiran intelektual Barat terhadap agama Islam sampai sekarang. Islam dianggap memiliki wilayah sendiri yang sangat kecil seperti peran agama waktu dulu. Sehingga bagaimana mereka memperlakukan dan memahami fungsi agama waktu itu begitulah mereka menganggap fungsi dan peran agama Islam ini. Bahkan dalam hal-hal tertentu mereka menganggap lebih jelek lagi karena mengapa membikin agama yang bam lagi? Mengapa kita menerima agama mereka yang terjajah atau dari negara miskin? Dan hal ini ditambah lagi oleh perlawanan yang dilakukan oleh sebagian oknum Muslim yang juga ada yang bersifat destruktif, teror, kekerasan, pembunuhan, dan sikap lainnya yang mengurangi ketenangan hidup bangsa Eropa yang sudah mapan. Islam dianggap mengganggu sifat konsumerisme, hedonisme, demokrasi, liberalisme, dan sifat bebas lainnya termasuk free sex, hippies, dan lain sebagainya. (Montgomary Watt, 1985)

 

Akuntansi Islam dalam Sejarah

 

Dalam buku-buku teori akuntansi masalah sejarah ini telah banyak dibahas. Vernon Kam (1990) dalam buku Accounting Theory-nya menyatakan sebagai berikut.

 

Menurut sejarahnya, kita mengetahui bahwa sistempembukuan double entry muncul di Italia pada abad ke-13. Itulah catatan yang paling tua yang kita miliki mengenai sistem akuntansi double entry sejak akhir abad ke-13 itu, namun adalah mungkin sistem double entry sudah ada sebelumnya.

Kita menggaris bawahi kalimat terakhir ini. Artinya, ada kemungkinan akuntansi khususnya akuntansi Islam sudah ada sebelum Pacioli. Pendapat ini banyak didukung oleh berbagai penemuan sebagai berikut.

 

  1. Muhammad Khir (Harahap, 1991)

 

Dalam menanggapi pendapat di atas menyatakan sepenuhnya setuju sikap itu.

Namun, ia menyatakan sebagai berikut.

 

Saya ingin membahas lebih lanjut pemahaman terhadap pertummbuhan double entry ini dari zaman dulu sampai zaman sekarang ini. Sebagian besar para akuntan dan para ekonom setuju bahwa faktor utama sebagai penyebab perkembangan teknologi akuntansi adalah akibat pembentukan pertumbuhan perusahaan dalam lingkungan pasar yang demikian kompleks.

 

Pertanyaan lainnya adalah apa kekuatan yang menimbulkan dan menndorong pembentukan dan pertumbuhan perusahaan, jawabnya adalah:

 

  1. Jiwa kapitalis

 

  1. Aspek sosial

 

  1. Tujuan akhir bukan laba, tetapi kepuasan masyarakat.

 

Pendapat ini juga dapat menjadi dasar untuk menyatakan bahwa akuntansi sudah ada sebelum Pacioli.

 

  1. DR. Ali Shawki Ismail Shehata

 

Menanggapi soal ini, Shehata (Khir dalam Harahap, 1991) menyatakan:

 

“Suatu pengkajian selintas terhadap sejarah Islam menyatakan bahwa akuntansi dalam Islam bukanlah merupakan seni dan i!mu yang baru,” sebenarnya bisa dilihat dari peradaban Islam yang pertama yang sudah memiliki Baitul Maal yang merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai “Bendahara Negara” serta menjamin kesejahteraan sosial. Muslim sejak itu telah memiliki jenis akuntansi yang disebutkan dalam beberapa karya tulis umat Islam. Tulisan ini muncul lama sebelum double entry ditemukan oleh Lucas Pacioli di Italia tahun 1494.”

 

  1. Hendriksen

 

Seorang guru besar akuntansi berkebangsaan Amerika menulis sebagai berikut: ” …. the introduction of Arabic numerical greatly facilitated the growth of accounting” (Harahap, 1995 dan lihat Hendriksen dalam bukunya Accounting Theory terbitan RD Irwin Inc. Illinois). (Penemuuan angka Arab sangat membantu perkembangan akuntansi) kutipan ini menandai bahwa anggapan tadi dapat kita catat bahwa penggunaaan angka Arab (1,2,3, dan seterusnya) mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu akuntansi. Artinya besar kemungkinan bahwa dalam peradaban Arab sudah ada metode pencatatan akuntansi.

 

  1. Kitab Suci AlQuran

 

Pendapat di atas ternyata didukung oleh kitab suci umat Islam. Dalam AlQuran surat Al-Baqarah ayat 282 dapat kita baca sebagai berikut.

 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi ….. (lihat AlQuran dan terjemahannya, YPPA, PT Bumi Restu).

 

Kemudian, dalam catatan kakinya muamalah diartikan seperti kegiatan jual-beIi, berutang piutang, sewa menyewa dan sebagainya.

 

Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam Islam sejak munculnya peradaban Islam sejak Nabi Muhammad SAW. Telah ada perintah untuk kebenaran, keadilan antara dua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi (tren sekarang disebut accountability). Sementara itu, pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diharuskan karena ini sudah dianggap merupakan urusan yang sifatnya tidak periu diatur oleh suatu kitab suci. Dan mengenai hal ini Rasulullah mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu”. Kesimpulan lain akuntansi bagi Islam adalah kewajiban dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof Islam terkenal 700 tahun kemudian tidak me”ngenal akuntansi.

 

  1. Robert Arnold Russel

 

Russel (Harahap: 1995a) sewaktu menjelaskan perkembangan seorang pengusaha sukses di Italia yang bernama Alberto pada zaman medival (pertengahan) pada saat Pacioli menerbitkan bukunya mengatakan bahwa kemajuan ekonomi pada masa itu terletak pada penerapan sistem akuntansi double entry Arab yang lebih canggih. Ia menyatakan (Harahap, 1993), sebagai berikut.

 

Success of the new multiagent, long distance trading and banking business depended on the adoption of the new accounting system. By changing over from the old paragraph style of entry of the small business age to the Arab’s more sophisticated double entry system, merchant were able to keep an accurate picture sophissticated double entry system, of the various dealings, keep track of a score of agents, and use their capital to the best advantage. It took the Albert nearly a generation to get on top off the new system, but once it was mastered, it made sure every florish was working for the firm.”

 

(Keberhasilan bisnis rnultiagen, perdagangan dan perbankan jarak jauh tergantung pada penerapan sistem akuntansi yang bam. Dengan mengubah dari metode lama yang diterapkan pada era bisnis skala kecil ke metode (sistem) akuntansi double entry Arab yang lebih canggih, pedagang telah mampu menyusun gambaran yang tepat ten tang berbagai transaksi dagang, mampu mericatat posisi masing-masing agen, dan mampu menggunakan modalnya untuk investasi (kegiatan) yang lebih menguntungkan. Hampir satu generasi keluarga Albert baru dapat menguasai sistem baru ini, tetapi sekali sistem itu telah dikuasai maka dapat menjamin semua sistem yang ada akan bekerja untuk kepentingan perusahaan).

 

  1. W. Montgemory Watt

 

Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1972, 1995) tampaknya sependapat dengan Russel. Pengakuannya adalah sebagai berikut.

 

Ketika kita menyadari segala keluasan eksperimen, pikiran dan tulisan orang Arab

kita akan berpendapat bahwa tanpa orang Arab, ilmu pengetahuan dan filsafat orang Eropa tidak akan bisa berkemmbang seperti ketika dulu mereka pertama kali mengembangkannnya. Orang-orang Arab bukanlah sebagai penyalur pikiran-pikiran Yunani, tetapi pencipta-pencipta sejati yang mempertahankan disiplin-disiplin yang telah mereka ajarkan dan meluaskannya.

 

Penemuan yang di Barat termasuk akuntansi tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Arab.

 

  1. Zakat dan Baitul Maal

 

Kewajiban zakat bagi Muslim merupakan bukti nyata betapa pentingnya peranan akuntansi bagi masyarakat, perusahaan lembaga atau perseeorangan. Dalam konteks ini akuntansi akan dapat memberikan sumbangan dalam proses perhitungan zakat yang tepat baik zakat maal, penghasilan, profesi, perdagangan, laba, dan lain sebagainya. Nilai aset yang mana yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan zakat. Bagaimana mungkin kita mengetahui beban zakat tanpa bantuan dari akuntansi? Justru dalam Islam dituntut lagi bidang-bidang khusus akuntansi seperti Akuntansi Pertanian, Akuntansi Peternakan, Akuntansi Sosial, Akuntansi Jaminan Sosial, Akuntansi Sumber Daya Manusia, dan lain-lain untuk dapat menyelesaikan kewajiban kita sebagai Muslim. Demikian juga masalah pengukuran efisiensi dan pemborosan (yang dilarang keras dalam Islam) tidak akan dapat diketahui tanpa pencatatan atau peran akuntansi.

 

Pengelola kekayaan negara melalui lembaga terkenal seperti Baitul Maal juga memerlukan akuntansi yang lebih teliti karena menyangkut harta masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan. Pembagian hak seperti dalam pembagian dividen, hasil likuidasi memerlukan catatan yang adil yang dapat membagi hak-hak mereka yang berkongsi atau berserikat secara adil. Semua ini mendukung hipotesis yang menyatakan akuntansi sangat mudah dalam Islam. Mustahil Islam tidak memilikinya.

 

Allah sendiri menjelaskan bagaimana Dia memelihara catatan tentang manusia dengan dua orang “akuntan” Malaikat Raqib dan Atid yang selalu bertugas mencatat setiap kegiatan manusia baik yang baik maupun yang jahat, sampai pada yang sekecil kecilnya, bahkan sebesar zarrah pun tidak luput dari pencatatannya. Dan di akhirat catatan ini akan menjadi bahan laporan serta pertanggungjawaban manusia dihadapan Allah dan akan menentukan apakah ia akan merasakan kebahagiaan (sorga) atau pendeeritaan (neraka).

 

Dari bukti-bukti ini jelaslah bahwa akuntansi sebenarnya wajib diterapkan oleh Islam baik di lembaganya, di keluarga, di perusahaan, di negaranya bahkan dalam perseorangan pun. Semua ini mendukung hipotesis yang menyatakan akuntansi sangat rnudah dalam Islam.

 

Kesimpulan berbagai fakta sejarah ini sudah cukup kuat untuk rnenyatakan bahwa akuntansi sudah dikenal pada masa kejayaan Islam artinya peradaban Islam tidak mungkin tidak memiliki akuntansi. Permasaalahannya adalah pemalsuan sejarah yang dilakukan beberapa oknum di Barat dan ketidakmampuan umat Muslim untuk menggali khazanah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri.

 

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan dua hal:

 

  1. akuntansi sudah ada sebelum Pacioli, bahkan mungkin sebelum peradaban Islam;
  2. mustahil sistem akuntansi Islam tidak ada semasa kejayaannya dari 610 -1250 M.

 

  1. Konsep Akuntansi Islam

 

Dalam menganalisis ini kita kesulitan dalam mendapatkan bahan literatur yang tersedia dalam materi pustaka. Kemungkinan besar telah termasuk dalam literatur yang dibakar oleh tentara Gengis Khan. Saat ini hanya diperoleh dari hasil penelitian arkeologi dan untuk ini juga kita belum ban yak menghasilkan hasil konkret. Pendekatan yang akan kita pakai adalah rationing atau pendekatan logika.

 

Akuntansi sebenarnya merupakan domain muamalah dalam kajian Islam. Artinya diserahkan pada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun, karena pentingnya permasalahan ini maka Allah Swt. bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Alquran surat AI-Baqarah ayat 282. Penempatan ayat ini juga unik dan relevan dengan sifat akuntansi itu. Ia ditempatkan dalam surat Sapi Betina sebagai lambang komoditi ekonomi. Ia ditempatkan dalam surat ke-2 yang dapat dianalogikan dengan double entry, ditempatkan di ayat 282 yang menggambarkan angka keseimbangan atau Neraca. Bahkan juga bisa dikaji relevansi ayat berikut dalam konteks double entry atau sifat berpasangannya:

 

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (Al-Dzariyat: 49) .

dan juga surat Yasin ayat 36:

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

Inilah beberapa kemungkinan yang kebenarannya hanya Allah yang Maha mengetahui,Wallahu ‘alam bishawab.

Bahkan jika dikaji sistem jagad dan manajemen alam ini ternyata peran atau fungsi akumansi sangat besar. Allah memiliki akuntan malaikat yang sangat canggih, yaitu Rakib dan Atid, malaikat yang menuliskan / menjurnal transaksi yang dilakukan manusia, yang menghasilkan buku / neraca yang nanti akan dilaporkan kepada kita (owner) di akhirat. Coba kita baca surat AI-Infithar (82) ayat 10-12 sebagai berikut.

“Padahal sesungguhnya pada kamu ada malaikat yang memonitor pekerjaanmu (10). :Yang mulia di sisi Allah dan yang mencatat pekerjaanmu itu (11). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan “(12).

Laporan ini didukung bukti(evidence) di mana satu pun tidak akan ada transaksi yang dilupakan kendatipun sebesar zarrah seperti dilihat dari surat AI-Zalzalah ayat 7-8:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun niscaya dia akan melihatnya (7). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun dia akan melihatnya” (8).

Karena akuntansi ini sifatnya urusan muamalah maka pengembangannnya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Alquran dan Sunnah hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, keadilan, kejujuran, terpercaya, bertanggung jawab, dan sebagainya.

 

Dalam Al Quran surat AI-Baqarah kita melihat bahwa tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pencatatan adalah:

 

  1. menjadi bukti dilakukannya transaksi (muamalah yang menjadi dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya).
  2. menjaga agar tidak terjadi manipulasi, atau penipuan baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu (laba).

 

Penekanan ini didukung lagi oleh ratusan ayat yang dapat dijadikan sumber moral akuntansi seperti kewajiban bertakwa, berlaku adil, jujur, menyatakan yang benar, memilih yang terbaik, berguna, menghindari yang haram, jangan boros, jangan merusak, dan jangan menipu. Instrumen kualitas ini sebenarnya sudah cukup sebaga: landasan teoretis dari akunntansi Islam. Sementara itu, yang sifatnya teknis diserahkan sepenuhnya kepada umatnya untuk merumuskannya sesuai kebutuhannya.

 

  1. Pengakuan Barat terhadap Peran Akuntansi Islam

 

Seorang guru besar Akuntansi berkebangsaan Amerika menulis sebagai berikut: ” … the introduction of Arabic numerical greatly facilitated the growth of accounting” (lihat Hendrickson, 1992) dalam bukunya Accountting Theory. Penulis sengaja mengutip ucapan seorang penulis Barat dalam membahas topik bab ini. Hal ini dilakukan karena mengingat suatu anggapan bahwa penulis Timur khususnya yang beragama Islam hanya mencocok-cocokkan kemajuan teknologi yang dicapai sekarang dengan konsep Islam itu sendiri. Kutipan ini menandai bahwa anggapan tadi dapat kita catat bahwa penggunaan angka Arab (1,2,3, dan seterusnya) mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu akuntansi.

Dalam bab ini terdapat dua kata “akuntansi” dan “Islam.” Yang kita maksudkan dengan akuntansi dalam tulisan ini adalah comprehensive accounting yang hakibtnya adalah sistem informasi, penentuan laba, pencatatan transaksi yang sekaligus pertanggungjawaban (accountability). Sementara itu, Islam dalam konteks ini dihubungkan dengan sifat-sifat keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan yang dibawanya yang sesuai dengan ketentuan Ilahi. Antara akuntansi dan nilai Islam terdapat hubungan dan kaitan yang erat dan mempunyai tujuan dan arah yang saling mendukung atau komplementer.

Akuntansi kapitalis adalah alat ideologi kapitalis untuk mencapai tujuannya khususnya mencapai kesejahteraan material yang diinginkannya. Akuntansi kapitaiis lahir dari masyarakat kapitalis dengan sistem ekonomi kapitalis dan ideologi sekuler rasional yang dianutnya. Jika awalnya sistem ekonomi kapitalisme merupakan sistem ekonomi saja, namun pada saat ini sistem ini sudah merambah ruang politik, kenegaraan dan bahkan ideologi atau tata cara kehidupan. Akuntansi kapitalis sejalan dengan ide kapitalisme untuk mengakumulasi kekayaan dan memaksima!kan kekayaan untuk kepentingan pemodal. Dengan pandangan hidup ini, kapitalis pasti memiliki perbedaan yang mencolok dengan sistem ideologi lainnya misalnya yang berbasis agama sehingga dapat dipastikan bahwa kapitalisme tidak sesuai dengan sistem ekonomi agama mana pun.

 

  1. Spirit Islam dalam Akuntansi

 

Kalau kita katakan Islam dalam Akuntansi maksudnya adalah apakah comprehensive accounting itu kelengkapan yang sama sesuai dengan tujuan dan hakikat Islam.Di muka telah dibatasi bahwa Islam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai yang mendorong menciptakan keadilan dan kebenaran dalam pencatatan dan menjaga keadilan dalam berbisnis dan bekerja sarna atau berutang piutang. Jadi pertanyaan kita adalah apakah dalam akuntansi itu kita temukan keadilan dan kebenaran? Untuk mennjawab pertanyaan ini tentu kita perlu membahas lebih dalam sifat dan ciri Akuntansi. Namun, dalam bab ini penulis hanya memberikan poin-poinnya saja yang merupakan dasar bagi kita untuk menjawab pertanyaan tadi.

 

  1. Transaksi yang dicatat oleh akuntansi adalah transaksi (muamalah).

Transaksi adalah the occurrence of an event or of a condition that must be recorded

atau segala sesuatu yang mengakibatkan perubahan dalam aktiva dan passiva perorangan atau perusahaan.

  1. Dasar pencatatan transaksi adalah bukti (evidence) atau disebut juga business paper seperti faktur, surat utang, cheque, dan kuitansi. Yang dianggap sebagai bukti adalah bukti yang didukung oleh sifat-sifat kebenaran tanpa ada penipuan. Ini menu rut Islam. Dalam akumansi ada jenis dan tingkatan bukti yang menandakan kuat-tidaknya suatu bukti, yaitu sebagai berikut.

Real evidence, yaitu bukti fisik;

Testimonial evidence, yaitu bukti yang berasal dari kesaksian pihak luar.

Indirect evidence, yaitu bukti yang diperoleh secara tidak langsung.

Bukti yang diperoleh dari luar perusahaan lebih kuat dibandingkan bukti yang diperoleh dari dalam sendiri. Bukti yang diperoleh dari sistem internal control perusahaan yang baik lebih kuat dari yang diperoleh dengan internal control yang lemah dan bukti yang diperroleh secara langsung oleh akuntan lebih kuat dari bukti yang diperoleh secara tidak langsung. Islam menginginkan bukti yang benar sejajar dengan keinginan akuntansi yang hanya mencatat bukti yang sah (valid).

  1. Bukti yang menjadi dasar pencatatan akan diklasifikasikan secara teratur melalui “Aturan Umum” atau General Accepted Accounting Principle (GAAP), yang di Indonesia disebut Stanciar Akuntansi Keuangan Indonesia. Standar akuntansi dilahirkan melalui suatu panitia ahli melalui berbagai tahap pengujian sampai menjadi prinsip yang diterima umum. Proses kelahiran prinsip ini teruji dan tetap didasari oleh keadilan dan objektivitas. Proses pencatatan, sampai kepada klasifikasi akan menghasilkan Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi) yang merupakan output dari manajemen. Hanya masalahnya, dalam akuntansi kadang ada tuduhan bahwa standar akuntansi selalu memerhatikan kelompok perusahaan besar.
  2. Akuntansi berprinsip pada substance over form. Artinya akuntansi lebih menekankan pada kenyataan atau subsistensinya bukan formulimya. Artinya kendatiipun bukti menurut form misalkan Rp1.000,00 namun nilai yang sebenarnya form Rp800,00 maka yang harus dicatat adalah Rp800,00 bukan Rp 1.000,00 berdasarkan form.

 

  1. Tahap kelahiran laporan keuangan di atas masih belum sampai pada titik “dipercaya”. Untuk sampai kepada titik dipercayai, laporan itu masih perlu diuji at au disaksikan lagi oleh pihak tertentu yang dianggap independent (tidak memihak) melalui pemeriksaan Laporan Keuangan yang disebut audit atau general audit. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Akuntan Publik Terdaftar. Akuntan pemeriksa akan memberikan laporan mengenai pemeriksaannya apakah laporan yang disajikan manajemen tadi wajar atau tidak, atau ada sesuatu pos yang tidak wajar atau sama sekali tidak wajar. Opininya ini ada empat, yaitu:

 

  1. Opini wajar (unqualified);
  2. Opini wajar dengan syarat (qualified);
  3. Opini tidak wajar (adversed opinion);
  4. Tidak ada opini (disclaimer of opinion).

 

Dasar pemberian opini ini adalah sampai di mana laporan keuangan menaati standar akuntansi, pengungkapan, konsistensi, dan syarat-syarat lainnya.

Demikianlah proses yang kita temukan dalam comprehensive accounting dalam melakukan pencatatan sampai kepada laporannya dan laporan pihak lainnya sehingga menjadi konsumsi umum. Dan jelas kita lihat bahwa “secara ideal formal” betapa ketatnya sistem itu menjaga agar output akuntansi tetap dalam sifat kebenaran, keadilan, dan kejujuran (objektivitas), sebagaimana halnya keinginan Islam. Kalau semua berjalan secara benar maka sistem akuntansi juga menciptakan kebenaran dan keadilan.

 

Islam adalah ideologi, pedoman dan pandangan hidup yang mengatur tata cara hidup dan merumuskan tujuan hidup pula yang berbeda dengan ideologi kapitalisme. Islam adalah satu sistem hidup yang ditentukan Tuhan untuk menghadapi semua permasalahan hidup di dunia dan juga setelahnya yaitu di akhirat. Islam memiliki aturan tentang sistem ekonomi dantentunya juga sistem bisnis, manajemen, dan akuntansiharus juga mengacu pada sistem ideologi Islam itu. Akuntansi juga harus bisa menopang dan sejalan dengan ideologi itu. Karena Islam berbeda dengan ideologi kapitalisme, sudah dapat dipastikan bahwa sistem akuntansinya juga akan berbeda dengan sistem akuntansi kapitalis kendatipun perbedaannya tentu tidak pada semua level. Barangkali dari aspek teknik tidak banyak perbedaan modalnya dalam hal melakukan pencatatan. Namun, dalam tataran filosofi dan prinsip tentu akan memiliki perbedaan mendasar.

 

Namun, di sinilah permasalahannya apakah internal sistem akuntansi sendiri sampai sekecil-kecilnya mampu melahirkan keadilan dan kebenaran pada kondisi di mana filsafat ilmu atau epistemologi akuntansi konvensional itu adalah value free (bebas nilai) tidak ada yang mengontrol di luar sistem itu. Jawabannya relatif. Namun, kenyataan yang kita lihat berbagai permaasalahan profesi akuntan masih selalu muncul, baik kasus pemalsuan, peniipuan, kesalahan, bahkan kerja sarna antara akuntan publik dengan kliennya yang merugikan masyarakat. Salah satu alasan kemunculan Akuntansi Islam sebagaimana yang dijelaskan Triyuwono (2000) adalah mendobrak hipotesis yang menyatakan bahwa akuntansi itu adalah bebas nilai. Menurut Triyuwono, akuntansi itu bukan bebas nilai, ia dipengaruhi oleh oknum-oknum yang ada dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan dan kebenaran hakiki seyogianya akuntansi itu harus diwarnai oleh etika, ukuran moral sehingga tercipta akuntansi dan informasi yang benar dan adil.

 

Beberapa Pemikiran Teori dan Konsep Akuntansi Islam

 

Gambling dan Karim (Harahap, 1992) menarik hipotetis karena Islam memiliki syariah yang dipatuhi semua umatnya, wajarlah bahwa masyarakatnya memiliki lembaga keuangan dan akuntansinya yang diserahkan melalui pembuktian sendiri sesuai landasan agama. Mereka merumuskan tiga model antara lain Colonial Model yang menyebutkan jika masyarakatnya Islam, mestinya pemerintahnya akan menerapkan syariat Islam dan mestinya teori akuntansinya pun akan bersifat teori akuntan Islami. Mereka juga menekankan bahwa sesuai sifatnya, mestinya Islam harus memiliki akuntansi karena pentingnya penekanan pada aspek sosial dan perlunya penerapan sistem zakat dan baitul maal.

 

Akuntansi Islam merupakan konsep, sistem, dan teknik akuntansi yang membantu suatu lembaga atau organisasi untuk menjaga agar tujuan, fungsi dan operasionalnya berjalan sesuai dengan ketentuan syariah, clapat menjaga hak hal stakeholders yang ada di dalamnya, dan mendorong menjadi lembaga yang dapat mencapai kesejahteraan hakiki dunia dan akhirat.

 

  1. Scott (Harahap, 1993, 1995) adalah seorang penulis yang banyak memerhatikan masalah etika dan moral dalam melahirkan teori akuntansi. Ia seialu menggunakan kriteria keadilan dan kebenaran dalam merumuskan setiap teori akuntansi, model ini disebut Ethical Theory of Accounting. Menurut beliau dalam penyajian laporan keuangan, akuntan harus memerrhatikan semua pihak (user) dalam memperiakukannya secara adil dan benar. Dan memberikan data yang akurat jangan menimbulkan salah tafsir dan jangan pula bias.

 

Dalam buku yang sama Harahap (1991) mengemukakan bahwa akunntansi Islam itu pasti ada. Ia menggunakan metode perbandingan antara konsep syariat Islam yang relevan dengan akuntansi dengan konsep dan ciri akuntansi kontemporer (dalam nuansa komprehensif) itu sendiri, sehingga ia menimbulkan bahwa niIai-niIai Islam ada dalam akuntansi dan akuntansi ada dalam struktur hukum dan muamalat Islam. Menurutnya keduanya mengacu pada kebenaran kendatipun kadar kualitas dan dimensi clan bobot pertanggungjawabannya bisa berbeda. Dan juga penekanan pada aspek tanggung jawab dan aspek pengambilan keputusan berbeda.

 

Shaari Hamid, Russel Craig, dan Frank Clarke (1993) dalam artikel mereka yang berjudul Religion: A Confounding Cultural Element in the Interrnational Harmonization of Accounting mengemukakan dua hal berikut.

 

  1. Islam sebagai agama yang memiliki aturan-aturan khusus dalam sistem ekonomi keuangan (misalnya free interest banking system) pasti memerlukan teori akuntansi yang khusus pula yang dapat mengakoomodasi ketentuan syariah itu.

 

  1. Kalau dalam berbagai studi disimpulkan bahwa aspek budaya yang bersifat lokal (national boundaries) sangat banyak memengaruhi perkembangan akuntansi, Islam sebagai agama yang melampaui batas negara tidak boleh diabaikan. Islam dapat mendorong internasionalisasi dan harmonisasi akuntansi.

 

Dalam artikel tersebut dibahas dikemukakan bahwa etika dan perilaku bisnis didasarkan pada tradisi dan filosofi Barat. Ada penulis yang menganggap bahwa tradisi ini dipengaruhi etika Yahudi dan Kristiani, ada yang menganggap dipengaruhi oieh etika Protestan, ada yang menganggap hanya tradisi Barat. Perilaku bisnis melahirkan prinsip dan teknik akunntansi. Kalau konsep dasar bisnis berbeda, mestinya prinsip dan konsep dasar akuntansinya juga harus berbeda. Menurut penulis banyak konsep bisnis Barat yang tidak sesuai dengan syariat Islam sehingga konsep dan praktik akuntansinya juga ada yang tidak sesuai dengan Islam. Artinya akuntansi berdasarkan Islam harus ada.

 

Toshikabu Hayashi (1989) dalam tesisnya yang berjudul: On Islamic Accounting membahas dan mengakui keberadaan akuntansi Islam. Dalam tulisannya yang berasal dari tesisnya mengambil S2, beliau mengisahkan akuntansi barat yang dinilainya memiliki sifat yang dibuat sendiri dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme. 5ifat-sifat akuntansi Barat ini menurut dia kehilangan arah bila dihubungkan dengan aspek etika dan sosial dan bebas nilai. 5ementara itu, trendnya harus bernuansa sosial sebagaimana yang dimiliki akuntansi Islam dan diakui oleh Gambling dan Karim. Dalam akuntansi Islam dia katakan bahwa ada meta rule yang berada diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhinya, yaitu hukum syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan man usia. (Harahap, 1997)

 

Memirut beliau akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial. Dalam tulisannya, Hayashi menjelaskan bahwa konsep akuntansi sudah ada dalam sejarah Islam yang sangat berbeda dari konsep konvensional sekarang. Dia menunjukkan istilah muhtasib sebagai seseorang yang dibeerikan kekuasaan besar dalam masyarakat untuk memastikan setiap tindakan ekonomi berjalan sesuai syariah. Ia menerjemahkan akuntansi sebagai muhasabah. Bahkan beliau menjelaskan bahwa dalam konsep Islam ada perrtanggungjawaban di akhirat, di mana setiap orang akan mempertanggunggjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan. Dan Tuhan memiliki akuntan (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja bidang ekonomi, tetapi sosial dan pelaksanaan hukum syariah lainnya.

 

Dalam hal zakat ia mengemukakan bahwa dalam menghitung zakat sebagai kewajiban Muslim memiliki beberapa konsep pengukuran, penggakuan, dan pelaporan yang berbeda dari konsep akuntansi Barat, seperti penilaian persediaan yang harus menggunakan harga pasar, memakai konsep accrual basis, dan konsep time period yang tegas. Dalam kesimmpulannya beliau menyatakan sebagai berikut.

 

Akuntansi Islam yang memiliki makna implisit bidang ekonomi, politik, agama, memiliki kas yang besar untuk menunjukkan kunci ke arah akuntansi pasca Newtonian (pasca kemajuan Barat, pen).

 

Muhammad Akram Khan (Harahap, 1992) merumuskan sifat akuntansi Islam sebagai berikut:

 

1.Penentuan Laba Rugi yang Tepat

 

Walaupun penentuan laba rugi agak bersifat subjektif dan bergantung nilai, kehati-hatian harns dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (atau dalam Islam sesuai dengan syariah) dan konsisten sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua pihak pemakai laporan dilindungi.

 

2.Mempromosikan dan Menilai Efisiensi Kepemimpinan

 

Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijakksanaan-kebijaksanaan yang baik.

 

3.Ketaatan kepada Hukum Syariah

 

Setiap aktivitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dinilai halal haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi.

 

4.Keterikatan pada Keadilan

 

Karena tujuan utama dalam syariah adalah penerapan keadilan dalam masyarakat seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan (selanjutnya mencegah) setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidakadilan dalam masyarakat.

 

5.Melaporkan dengan Baik

 

Telah disepakati bahwa peranan perusahaan dianggap dari pandangan yang lebih luas (pada dasarnya bertanggung jawab pada masyarakat secara keseluruhan). Nilai sosial ekonomi dari ekonomi Islam harus diikuti dan dianjurkan. Informasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk meIaporkan hal ini.

 

6.Perubahan dalam Praktik Akuntansi

 

Peranan akuntansi yang demikian luas dalam kerangka Islam memerrlukan perubahan yang sesuai dan cepat dalam praktik akuntansi sekarang. Akuntansi harus mampu bekerja sarna untuk menyusun saran-saran yang tepat untuk mengikuti perubahan ini.

 

Iwan Triyuwono (2000), telah membuktikan bahwa ilmu akuntansi itu bukan bebas nilai. Akuntansi konvensional saat ini sudah diwarnai oleh nilai-nilai kapitalisme yang didasari oleh filsafat kapitalisme, yang materialis dan sekular. Islam sebagai suatu agama yang memiliki nilai-nilai juga memiliki akuntansi jika penganutnya memiliki organisasi yang dikelola dengan dasar-dasar syariah itu.

 

Profesi Akuntan Publik

 

Bidang akuntansi melahirkan profesi akuntan. Profesi ini lahir karena anggapan bahwa penyaji laporan keuangan, yaitu manajemen dianggap tidak akan dapat berlaku adil dan objektif dalam melaporkan hasil prestasinya. Oleh karena itu, diperlukan pihak penyaksi independen yang menilai seberapa jauh laporan yang disusun manajemen sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang ada.

 

Dalam konteks inilah maka Alquran (Al-Nisa’: 135) memberikan pedoman yang diberikan kepada para akuntan publik sebagai pelaku attest function sebagai berikut.

 

Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapakmu, kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

 

Ayat ini jelas menerangkan kualitas penyaksian yang diinginkan yaitu independen dan objektif.

 

Tren Akuntansi

 

Pada tahun 1994 di Adelaide, Australia dilaksanakan International Conference dengan topik menarik dan sangat conform dengan Akuntansi Islam, topiknya adalah Accountability: Our Challenge. Salah satu artikel yang menjawab topik ini adalah tulisan Prof. Lee D. Parker dengan judul Here’s to an Accountable Future. Isu ini sebenarnya sudah dikenal pada tahun 1972 Melalui Trueblood Report yang membahas tentang Tujuan Laporan Keuangan (Harahap, 1994). Dalam satu babnya dijelaskan bahwa salah satu tujuan laporan keuangan adalah sebagai berikut.

 

Laporan Keuangan bertujuan memberikan informasi yang berguna untuk menilaikernampuan manajemen menggunakan kekayaan perusahaan secara efektif (accountability) dalam mencapai tujuan utama perusahaan.

 

Tujuan ini mengharuskan laporan keuangan menyajikan aspek accountability manajemen dalam mengelola perusahaan. Namun, dalam laporan ini porsi accountability masih sedikit.

 

Pada konferensi tersebut aspek accountability ini menjadi sorotan dan topik utama. Dalam artikel tersebut Parker mengemukakan bahwa ternyata akuntansi konvensional dengan berbagai penambahan standar tetapi problema crash, bankruptcy, depresi terjadi juga. Bahkan Ahmed Belkaoui (1989) dalam bukunya yang menyentak, berjudul: The Coming Crisis in Accounting mengemukakan betapa besarnya masalah yang dihadapi profesi akuntan khususnya dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap fungsi dan profesinya. Ia menjelaskan berbagai penyelewengan dan peristiwa yang merusak kepercayaan masyarakat, menurunnya proses kerja dalam akuntansi, iklim dalam organisasi kantor akuntan, dan problema produksi ilmu pengetahuan daIam akuntansi.

 

Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana mengatasinya? Dan jawaban yang diberikan Parker (1984) adalah perlunya laporan akuntansi:

 

  1. menyajikan informasi yang bersifat non-accounting data;

 

  1. menyajikan proyeksi anggaran;

 

  1. c. lebih berdimensi sosial;

 

  1. mengemukakan kepatuhannya pada aturan yang berlaku;

 

  1. agar lebih mengurangi porsi penimbangan subjektif, harus lebih ilmiah;

 

  1. harus menyajikan informasi apakah manajemen melakukan penyelewengan;

 

  1. harus menggunakan bahasa yang biasa yang lebih dimengerti publik.

 

Untuk mencapai ini, akuntan masa depan harus akuntan yang beretika dan bertanggung jawab, jujur, membela kebenaran, dan dipercaya.

 

Konsep ini ternyata sejalan dengan mega accounting trendnya Enthoven (1985), yaitu sebagai berikut.

 

  1. Mengidentifikasi, mengukur, dan melaporkan informasi yang relevan.

 

Informasi yang dibutuhkan para pemakai tidak hanya menyangkut finansial, tetapi menyangkut yang dibutuhkan oleh pemakai sesuai tujuannya.

 

  1. Mengukur efisiensi dan produktivitas. Akuntansi bukan hanya mengukur earningpower (kemampuan) perusahaan menciptakan laba, tetapi juga kemampuan perusahaan atau lembaga lainnya dalam hal efisiensi dan produktivitas.

 

  1. Akuntansi harus lebih terpadu dan saling terkait dengan disiplin lain seperti budaya, agama, atau kepercayaan, psikologi, politik, ilmu penggambilan keputusan, dan lain-lain.

 

Demikian uraian yang dikutif dari Harahap (2007:350-376) yang menggambarkan

 

secara jelas mengenai apa itu akuntansi dalam Islam, beberapa pemikiran, teori dan

 

konsepnya serta bagaimana profesi akuntan publik dan bagaimana  Tren akuntansi itu

 

sendiri.

 

Akuntansi Sosial Ekonomi dalam Konteks Saat ini (masa sekarang).

Akuntansi Sosial Ekonomi

 

Berikut ini saya nukilkan bagaimana Harahap (2007: 389-401) dalam bukunya Teori akuntansi, Edisi Revisi mengenai Akuntansi Sosial Ekonomi:

Menurut Harahap (2007) selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memmberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Ia bisa memberikan kesempatan kerja, menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat untuk dikonsumsi, ia membayar pajak, memberikan sumbangan, dan lain-lain. Karenanya perusahaan mendapat legitimasi bergerak leluasa melaksanakan kegiatannya. Namun, lama kelamaan karena memang perusahaan ini dikenal juga sebagai “binatang ekonomi” yang mencari keuntungan sebesar-besarnya, akhirnya semakin disadari bahwa dampak yang dilakukannya terhadap masyarakat cukup besar dan semakin lama semakin besar yang sukar dikendalikan seperti polusi, keracunan, kebisingan, diskriminasi, pemaksaan, kesewenang-wenangan, produksi makanan haram, dan sebagainya. Bahkan gempa bumi, banjir, Tsunami dinilai disebabkan oleh kegiatan manusia khususnya korporasi yang mengeksploitasi bumi secara besar-besaran hanya untuk mengejar target ROI, ROA dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dampak luar ini disebut externalities.

 

Karena besarnya dampak externalities terhadap kehidupan masyarakat, masyarakat pun menginginkan agar dampak ini dikontrol sehingga dampak negatif, external diseconomy atau social cost yang ditimbulkannya tidak semakin besar. Dari sini berkembanglah ilmu akuntansi yang selama ini dikenal hanya memberikan informasi tentang kegiatan perusahaan dengan pihak kedua. Dengan adanya tuntutan ini, akuntansi bukan hanya merangkum informasi tentang hubungan perusahaan dengan pihak kedua (partner bisnisnya), tetapi juga dengan Iingkungannya pihak ketiga.

 

Hubungan perusahaan dengan lingkungannya bersifat non-reciprocal artinya transaksi itu tidak menimbulkan prestasi timbal-balik dari pihak yang berhubungan. Ilmu akuntansi yang mencatat, mengukur, melaporkan externalities ini disebut dengan Socio Economic Accounting (SEA). Istilah lain bisa juga dipakai misalnya Environmental Accounting, Social Responsibility Accounting, dan lain sebagainya.

 

Dalam akuntansi konvensional yang menjadi fokus perhatiannya adalah pencatatan dan pengukuran terhadap kegiatan atau dampak yang timbul akibat hubungan antara perusahaan dengan pelanggan atau lembaga lainnya. Sedangkan Socio Economic Accounting menyoroti aspek sosial atau dampak (externalities) dari kegiatan pemerintah dan perusahaan. Bidang ini terasa penting saat ini khususnya bagi kita di Indonesia karena banyaknya kegiatan pemerintah maupun perusahaan yang justru ada yang menimbulkan penyakit sosial seperti kerusakan ekosistem, polusi, kriminal, monopoii, keterbelakangan desa, meningkatnya utang, diskriminasi, kemiskinan, dan lain-lain. Dan hal ini sangat disadari dan diperhatikan sekarang khususnya oleh gerakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) seperti Greenpeace di Eropa dan Amerika.

 

Ilmu Socio Economic Accounting (SEA) ini merupakan bidang ilmu akuntansi yang berfungsi dan mencoba mengidentifikasi, mengukur, menilai, melaporkan aspek-aspek social benefit dan social cost yang ditimbulkan oleh lembaga. Pengukuran ini pada akhirnya akan diupayakan sebagai informasi yang dijadikan dasar dalam proses pengambilan kepuutusan untuk meningkatkan peran lembaga, baik perusahaan atau yang lain untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan.

 

Timbulnya Socio Economic Accounting

 

Kemajuan industri setelah Perang Dunia II dan munculnya negara sebagai aktor dalam peningkatan kualitas hidup menimbulkan berbagai macam isu yang justru dapat juga merusak kualitas hidup. Hal ini menjadi sorotan para ahli dan para pengambil keputusan. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam menilai penyakit sosial ini adalah ketiadaan media pengukur arithmetic of quality. Hal ini tergambar dari pernyataan A.W. Clausen, bekas direktur World Bank sebagai berikut.

 

Saya sampaikan bahwa salah satu alasan yang paling kuat atas ketiadaan respon, kita terhadap isu penyakit sosial itu dan  penyebab kebingungan kita terhadap penyelesaiannya adalah ketiadaan ukuran kualitas (Belkaoui, SEA, hIm. 3).

 

Ukuran itu penting sehingga setiap unit pemerintah maupun peruusahaan mengetahui berapa jauh efek kegiatan lembaganya memengaruhi kualitas hidup manusia, apakah berdampak positif atau negatif. Berapa kontribusi perusahaan untuk meningkatkan pendidikan pegawainya ataupun masyarakat? Berapa jauh pengaruh polusi, pengrusakan lingkungan yang ditimbulkannya? Hal-hal inilah mestinya yang diukur oleh SEA sebagai salah satu ukuran kualitas.

 

Definisi SEA

 

SEA masih merupakan fenomena baru dalam ilmu akuntansi, dan sering ditafsirkan sama dengan Social Accounting yang dihubungkan dengan National Income Accounting. Para ahli juga telah banyak memberikan definisi dan dalam tulisan ini saya akan kutip definisi dari Ahmed Belkaoui, dalam bukunya tentang Socio Economic Accounting. Beliau menyatakan sebagai berikut:

 

SEA timbul dari penerapan akuntansi dalam ilmu sosial, ini menyangkut pengaturan, pengukuran analisis, dan pengungkapan pengaruh ekonomi dan sosial dari kegiatan pemerintah dan perusahaan. Hal ini termasuk kegiatan yang bersifat mikro dan makro. Pada tingkat makro bertujuan untuk mengukur dan mengungkapkan kegiatan ekonomi dan sosial negara mencakup social accounting dan reporting peranan akuntansi dalam pemmbangunan ekonomi. Pada tingkat mikro bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap lingkungannya, mencakup: financial dan managerial social accounting, social auditing.

 

Ada juga yang menyebutkan Socio Economic Accounting sebagai Social Responsibility Accounting. SEA ini tidak sarna dengan Social Accounting yang pengertiannya adalah pengukuran mengenai bagaimana efisiensi suatu sistem ekonomi berfungsi dan memberikan data periodik yang menyangkut indikasi posisi suatu negara menyangkut ukuran externalities itu. Social Accounting ini sering juga disebut National Income Accounting atau Macro Socio Economic Accounting.

 

Dalam kaitannya dengan sistem ekonomi, SEA sangat diperlukan clalam Suatu sistem ekonomi yang bercirikan sintese, dari sistem ekonomi antara

 

Social Economy dan Institutional Economy. Social Economy mempunyai komitmen yang dalam terhadap kesejahteraan manusia dan keadilan, sedangkan institutionalis mempunyai komitmen yang besar terhadap pragmatisme dalam menganalisis sosial ekonomi masyarakat. Negara kita adalah negara yang memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya, karena itu SEA ini penting diterapkan bahkan diharuskan untuk diterapkan oleh semua perusahaan dan lembaga di negara kita.

 

Pendorong Munculnya SEA

 

Literatur dalam ilmu sosial, ilmu sosiologi, dan khususnya kegiatan-kegiatan sosial merupakan saksi dan penyebab yang mendorong timbulnya SEA. Seperti perubahan sikap para ahli dan pengambil keputusan terhadap peranan bisnisdan unit pemerintahan dalam kaitannya dengan efek sosial yang ditimbulkannya. Adanya kecenderungan beralihnya perhatian pada kesejahteraan individu ke arah kesejateraan sosial. Kecenderungan yang bergerak dari kegiatan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa melihat efek sampingnya ke arah mencari lab a yang berwawasan lingkungan. Timbulnya departemen (unit) pemerintahan yang mengurus lingkungan hidup, juga sejalan dengan kemunculan SEA. Kecenderungan ini sernua dapat kita lihat dari beberapa paradigma berikut ini.

 

  1. Kecenderungan terhadap Kesejahteraan Sosial

 

Sejarah menunjukkan bahwa kelangsungan hidup manusia, kesejahteeraan masyarakat yang sebenarnya hanya dapat lahir dari sikap kerja sama antar unit-unit masyarakat itu sendiri. Negara tidak bisa hidup sendiri tanpa partisipasi rakyatnya, perusahaan juga tidak akan maju tanpa dukungan langganannya maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan ini semakin disadari dan semakin dibutuhkan pertanggungjawabannya. Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang keterkaitan saling pengaruh memengaruhi antara negara dan rakyatnya, antara perusahaan dan masyarakatnya, SEA ini sangat berperan.

 

  1. Kecenderungan terhadap Kesadaran Lingkungan

 

Dalam literatur paradigma ini dikenal dengan the human exceptionalism paradigm menuju the new environment paradigm. Paradigma yang pertama menganggap bahwa manusia adalah makhluk unik di bumi ini yang rnemiliki kebudayaan sendiri yang tidak dapat dibatasi oleh kepentingan makhluk lain. Sebaliknya, paradigma yang terakhir menganggap bahwa manusia adalah makhluk di antara bermacam-macam makhluk yang mendiami bumi yang saling mempunyai keterkaitan dan sebab-akibat, dan dibatasi oleh sifat keterbatasan dunia itu sendiri, baik sosial, ekonomi, atau politik. Sekarang manusia semakin menyadari bahwa paradigma yang belakangganlah yang benar dan yang menjadi pedoman sehingga perhatian kepada lingkungan semakin besar. Namun sayangnya, ada juga kita lihat gejala baru yang justru akan mengganggu kesejahteraan sosial, yaitu perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan binatang peliharaan dan kesayangan, dan mengabaikan kesejahteraan makhluk manusia sendiri. Kesadaran akan kebenaran environment paradigm merupakan salah satu pendorong munculnya SEA.

 

  1. Perspektif Ekosistem

 

Orientasi yang terlalu diarahkan kepada pembangunan ekonomi, efisiensi, profit maximization menimbulkan krisis ekosistem. Gejala ini menaruh perhatian para ahli sehingga muncul kelompok-kelompok yang menamakan dirinya penyelamat lingkungan seperti Greenpeace, lembaga konsumen, dan lain-lain. Salah satu kelompok tingkat dunia yang menaruh perhatian terhadap ekosistem ini adalah Club of Rome yang terkenal dengan pendapatnya Limits to Growth, salah satu putra terbaik kita, Almarhum Dr. Soedjatmoko, mantan Rektor Universitas PBB di ]epang, termasuk salah satu anggotanya. Walaupun pendapat Club of Rome ini dikeluarkan tahun 1975, namun hal ini masih segar dan relevan buat kita masa kini. Beberapa sarannya yang penting adalah stabilisasi antara kelahiran dan kematian, stabilisasi investasi dengan penyusutan barang modal, penguurangan konsumsi sumber-sumber alam, pengutamaan pendidikan dan konsumerisme, penurunan polusi industri, dan lain-lain. Tanpa pembatasan terhadap tingkah laku manusia tampaknya yang timbul hanya kehancuran dan kekacauan termasuk gempa bumi dan tsunami. Perspektif terhadap ekosistem ini mendorong SEA.

 

  1. Ekonomisasi vs Sosialisasi

 

Ekonomisasi mengarahkan perhatian hanya kepada kepuasan indiviidual sebagai suatu unit yang selalu mempertimbangkan cost dan benefit  tanpa memperbatikan kepentingan masyarakat. Sebaliknya sosialisasi memfokuskan perhatiannya terhadap kepentingan sosial dan selalu mempertimbangkan efek sosial yang ditimbulkan oleh kegiatannya. Walaupun sosialisasi ini belum tampak nyata, namun pengaruh pemeerintah dan tekanan sosial cenderung menguntungkan kepentingan sosial. Akhirnya, perlu alat ukur sampai seberapa jauh pengaruh perusahaan terhadap masyarakat.

 

Sikap Mengatasi Penyakit Sosial

 

Penyakit sosial yang ditimbulkan oleh pengaruh kegiatan negara dan business perlu ditanggulangi secara tepat dan terarah, salah satu upaya ke arah itu adalah perlunya standar atau ukuran tentang kualitas pengaruh kegiatan itu. Di samping itu tentunya sikap baru yang muncul belakangan ini yang cenderung ke arah memperhatikan kesejahteraan sosial perlu didukung dan dimantapkan, bahkan perlu diratifikasi dan diinstitusionalisasi. Hubungan perusahaan masyarakat perlu diserasikan dengan jalan keterlibatan perusahaan untuk memperbaiki ketimpangan sosial masyarakat. Hal ini sudah banyak dimulai oleh banyak perusahaan di Indonesia, antara lain keterlibatan perusahaan dalam pembersihan air limbah akibat industrinya, keterlibatannya dalam kegiatan olahraga, dakwah, pendidikan, bantuan terhadap bencana alam, memberikan beasiswa, dan sebagainya. Dan hal ini telah diatur oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup yang sudah diberlakukan itu.

 

Memang masih banyak lagi yang belum terlibat bahkan masih meIaahirkan kerusakan lingkungan. Sayangnya ukuran untuk menilai mana yang paling banyak memberikan kontribusi positif ataa dampak negatif terhadap sosial atas kegiatan ini belum ada. Disinilah peranan SEA dan social responsibility perusahaan diharapkan untuk baik melakukan kegiatan sosial yang mempunyai pengaruh social economy maupun melaporkan, mengukur, dan menilai kontribusi perusahaannya terhadap sosial yang bersifat diseconomy. Berapa social cost yang ditimbulkan industrinya, dan berapa pula keuntungan yang telah ditimbulkannya. Dengan adanya ukuran semacam ini perusahaan dan pemerintah akan dapat mengambil kebiijaksanaan, keputllsan terhadap dampak externalities ini. Penilaian terhadap variabel ini semua merupakan bidang dari social auditing.

 

Konsep Pengukuran SEA

 

Konsep pengukuran, penilaian dalam SEA ini masih dalam proses pembahasan para ahli. Dan FSAB sendiri pun belum mengambil sikap yang tegas dalam persoalan ini. Namun SEA, khususnya tentang polusi telah mewajibkan perusahaan untuk menyajikan pengungkapan. Di pihak lain AAA, AICPA telah membentuk komite dan telah mengeluarkan laporan yang lumayan lengkap tentang SEA. Di USA kantor akuntan Ernst & Ernst telah melakukan penelitian sejak 1971 tentang keterlibatan sosial perusahaan yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Beberapa hal yang diungkapkan adalah sebagai berikut.

 

Lingkungan:

-polusi

-pencegahan kerusakan lingkungan, konservasi sumber-sumber alam, dan lain-lain

 

Energi:

-konservasi energi penghematan, dan lain-lain

 

Praktik usaha yang fair:

-merekrut pegawai dari minoritas dan peningkatan kemampuannya penggunaan

tenaga wanita sebagai karyawan

-pembukaan unit usaha di luar negeri, dan lain-lain

 

Sumber tenaga manusia:

-Kesehatan dan keamanan pegawai training, dan lain-lain

-Keterlibatan terhadap masyarakat: kegiatan masyarakat sekitar bantuan kesehatan

-pendidikan

-seni, dan lain-lain

 

Produksi:

-Keamanan produksi mengurangi polusi keracunan, dan lain-lain

 

Di samping variabel di atas, penulis lain banyak lagi yang menyinggung antara lain:

 

Keterlibatan dengan kegiatan pemerintah, kejujuran terhadap  konsumen, meningkatkan informasi mengenai perusahaan dan produk, peningkatan pendidikan masyarakat, menghargai hak asasi, pembangunan prasarana kota/desa, pembangunan tempat rekreasi, peningkatan perhatian terhadap kebudayaan dan seni, dan lain-lain.

 

Hal ini semua dapat kita manfaatkan untuk mengukur keterlibatan perusahaan dalam kegiatan masyarakat dan tentu dapat ditambah Iagi sesuai keadaan kita di Indonesia, seperti peningkatan prestasi olahraga, kegiatan keagamaan dan dakwah, pendirian lembaga sosial dan pendidikan, dan sebagainya.

 

Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

 

Pertanyaan yang selalu muneul dalam debat ilmiah tentang peran bisnis adalah apakah perusahaan sebagai suatu lembaga unik yang tujuannya menncari laba dan kadang disebut sebagai “binatang ekonomi” wajib memiliki etika dan tanggung jawab sosial sebagaimana manusia yang beragama; bagaimana menurut paham kapitalis; dan bagaimana pula paham kita sebagai negara Pancasila? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan suatu hal yang akan menentukan kemungkinan eksistensi SEA dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, dalam masyarakat yang berpaham bahwa perusahaan tidak perIu memiliki etika dan tanggung jawab sosial, maka SEA relatif tidak perIu. Sebaliknya, paham yang menganggap perusahaan memiliki etika dan tanggung jawab sosial berpendapat bahwa SEA mempunyai peranan yang cukup penting. SEA sebagaimana dijelaskan di muka, merupakan penerapan akuntansi dalam ilmu sosial yang menyangkul pengaturan, pengukuran, analisis, dan pengungkapan pengaruh ekonomi dan sosial dari kegiatan pemerintah dan perusahaan. Apabila perusahaan tidak mau tahu dengan sosial dan dari akibat tindakannya serta tidak ada kemauannya untuk mengobati penyakit sosial, maka SEA relatif tidak perIu. Walaupun secara konsepsional paham yang demikian masih ada, kecenderungan menunjukkan sekalipun di negara kapitalis, perusahaan masih dianggap punya etika dan tanggung jawab sosial.

 

Perusahaan dan Keterlibatan Perusahaan

 

Ada beberapa model dan kecenderungan tentang keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial. Sepanjang penelitian kepustakaan ada 3 pandangan atau model yang menggambarkan keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial. Ketiga model itu adalah sbb.:

 

  1. Model Klasik

 

Pendapat ini, yang berkembang pada abad ke-19, bertitik-tolak pada konsep persaingan sempurna, di mana perilaku ekonomi terpisah dan berbeda dengan bentuk dan jenis perilaku yang lain. Tujuan perusahaan hanya untuk mencari untung yang sebesar-besarnya. Kriteria keberhasilan perusahaan diukur oleh daya guna dan pertumbuhan. Menurut pendapat ini, usaha yang dilakukan perusahaan semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan pasar dan mencari untung yang akan dipersembahkan kepada pemilik modal. Seorang fundamentalis di bidang ini, Milton Friedman menyatakan:

 

Ada satu dan hanya satu tanggung jawab perusahaan, yaitu mengggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk meningkatkan laba sepanjang sesuai dengan aturan main yang berlaku dalam suatu sistem persaingan bebas tanpa penipuan dan kecurangan (Milton Friedman, Capitalism and Freedom, 1962).

 

Jelasnya perusahaan, menurut pendapat ini, tidak perlu memikirkan efek sosial yang ditimbulkan perusahaannya dan tidak perlu memikirkan usaha untuk memperbaiki penyakit sosial itu bukan urusan bisnis, tetapi urusan pemerintah.

 

  1. Model Manajemen

 

Pendapat ini timbul sekitar tahun 1930, setelah muncul tantangan baru dari perusahaan yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan keadaan sebelumnya yang diwarnai oleh pemikiran model klasik. Menurut pendapat ini perusahaan dianggap sebagai lembaga permanen yang hidup dan punya tujuan tersendiri. Manajer sebagai orang yang dipercayai oleh pemilik modal menjalankan perusahaan untuk kepentingan bukan saja pemilik modal, tetapi juga mereka yang terlibat langsung dengan hidup matinya pernsahaan seperti karyawan, langganan, supplier, dan pihak lain yang ada kaitannya dengan perusahaan yang tidak semata-mata didasarkan atas adanya hubuungan kontrak perjanjian (Frank X. Suttin et. al. 1956). Dengan demikian, manajer sebagai tim yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup perusahaan terpaksa memilih kebijakan yang harus mempertimbangkan tanggung jawab sosial perusahaan mengingat ketergantungannyadengan pihak lain (masyarakat) yang juga punya andil dalam pencapaian tujuan perusahaan yang tidak hanya memikirkan setoran buat pemilik modal.

 

  1. Model Lingkungan Sosial

 

Model ini menekankan bahwa perusahaan meyakini bahwa kekuasaan ekonomi dan politik yang dimilikinya mempunyai hubungan dengan ke. pentingan (bersumber) dari lingkungan sosial dan bukan hanya semata dari pasar sesuai dengan teori atau model klasik. Konsekuensinya perusa. haan harus berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan penyakit sosial yang berada di lingkungannya seperti sistem pendidikan yang tidak bermutu, pengangguran, polusi, perumahan kumuh, transportasi yang tidak teratur, keamanan, dan lain-lain. Kalau model klasik punya tujuan utama untuk menyejahterakan pemilik modal dan model manajemen menyejahterakan manajemen, dalam model ini perusahaan harus memperluas tujuan yang harus dicapainya yaitu yang menyangkut kesejahteraan sosial secara umum (Ahmed Belkaoui, 1980). Dengan demikian, dalam memilih proyek yang akan dibangun, di samping memerhatikan persentasi laba, juga harus memperhatikan keuntungannya dan kerugian yang mungkin akan diderita oleh masyarakat. Berdasarkan pengamatan sepintas, baik karena pengaruh tuntutan masyarakat melalui tangan pemerintah maupun perubahan sikap manusia dalam perusahaan saat ini. Hal ini berlaku, baik di negara kapitalis, sosialis, apalagi di negara kita.

 

  1. Ke Arah Eksistensi Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

 

Dalam literatur telah banyak dibahas tentang sikap perusahaan terhadap etika dan tanggung jawab sosial. Mulai dari tanpa keterlibatan, keterlibatan terbatas, sampai kepada keterlibatan total terhadap lingkungan sosialnya. Ahmed Belkaoui dengan cara sistematis mengelompokkan batasan ini dalam lima kategori yang seirama dengan ketiga model yang disajikan di atas (Ahmed Belkaoui, SEA, 1984). Berikut ini kita sajikan berturut-turut.

 

Pertama: Tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada usaha mencari laba yang maksimal. Jika perusahaan clapat mengumpulkan laba yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan efek sosialnya, berarti perusahaan sudah memenuhi panggilan tugasnya sebagai badan usaha. Menurut kategori ini, apabila perusahaan diwajibkan

 

untuk memerhatikan lingkungan sosial masyarakatnya, maka akan merusak sendi-sendi ekonomi persaingan bebas. Keadaan ini sarna dengan model klasik di atas.

 

Kedua: Di samping tujuan mencari untung, perusahaan juga harus memperhatikan pihak-pihak tertentu dengan siapa ia mempunyai kepentingan. Hal ini dicontohkan dengan perbaikan kesejahteraan karyawan, manajemen, menjalin hubungan baik dengan kelompok masyarakat tertentu, dan lain-lain.

 

Ketiga: Perusahaan melepaskan diri dari tujuan hanya mencari laba dengan memperluas tanggung jawab manajemen, McGuire menggambarkan potret perusahaan sebagai berikut:

 

Ide tanggung jawab sosial di sini dimaksudkan bahwa perusahaan tidak hanya punya tanggung jawab ekonomi dan hukum, tetapi juga tanggung jawab tertentu terhadap sosial di luar kewajiban utamanya. Perusahaan harus punya perhatian terhadap politik, dalam mensejahterakan masyarakatnya, dalam memperbaiki pendidikan, dalam mensejahterakan karyawan, dan hallain yang bersangkut-paut dengan itu. Rasanya hal ini berarti bahwa perusahaan harus berperilaku sebagaimana seorang penduduk yang baik. (Joseph W. McGuire, Business and Society, 1963). Sebagai penduduk yang baik maka perusahaan mestinya juga bertindak seperti penduduk yang memperhatikan etika sosial.

 

Keempat: Dalam kelompok ini, tanggung jawab sosial perusahaan mencakupi hal yang bersifat ekonomi dan nonekonomi Dalam kategori ini dikenal tiga pusat lingkaran:

 

Lingkaran dalam, mencakup tanggung jawab dasar dalam melaksanakan fungsinya dengan efisien, seperti fungsi produksi, penyediaan job, dan pertumbuhan ekonomi.

 

Lingkaran tengah, mencakup tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomisnya dengan penuh kesadaran akan perubahan nilai dan prioritas yang berlaku dalam masyarakat, seperti konservasi lingkungan, perbaikan kualitas hidup, hubungan dengan karyawan dan lingkungan perusahaan.

 

Lingkaran luar, mencakup tanggung jawab yang baru muncul dan masih berkembang, di mana perusahaan harus secara luas terlibat secara aktif untuk memperbaiki lingkungan sosial (Gacobi, Corporate Power and Social Responsibility, 1973).

 

Kelima: Tanggung jawab sosial diperluas melewati batas tanggung jawab dan mencakupi keterlibatan total terhadap tugas-tugas sosial. Prakash Sethi merumuskan bentuk ini dalam tiga dimensi:

 

Social obligation, merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap permintaan pasar sesuai dengan ketentuan hukum.

 

Social responsibility menggerakkan perusahaan sehingga segala tindakannya sesuai dengan norma, nilai, dan harapan masyarakat yang berlaku.

 

Social responsiveness merupakan respon perusahaan untuk menjawab isu yang akan timbul di masa datang (S. Prakash Sethi, Academy of Management Review, 1979).

 

Keenam: Kategori keenam ini merupakan variasi semua pengertian yang diliput oleh literatur tentang bentuk dan batasan tanggung jawab sosial perusahaan di atas. Kita di Indonesia tentu belum punya batasan yang jelas tentang tanggung jawab sosial ini yang mestinya perlu dipikirkan. Namun yang jelas, tampaknya terlepas apa motifnya, di Indonesia sudah  banyak perusahaan yang punya perhatian dan keterlibatan dengan lingkungan sosialnya. Hal ini tentu perlu dipupuk, dimonitor, dan bila perlu ditunjang dengan insentif dan penghargaan yang berarti. Ketentuan perpajakan baru yang tertuang dalam UU Perpajakan yang tidak mengakui sumbangan sosial sebagai sesuatu yang dapat mengurangi pajak sebenarnya, bertentangan dengan sikap kita sebagai negara yang memperhatikan aspek sosial yang sebenarnya tidak hanya monopoli pemerintah. Anehnya di negara kapitalis umumnya seperti USA, sumbangan kepada kepentingan sosial, agama, seni, dan lain-lain diakui sebagai yang dapat mengurangi (tax deductible) pendapatan kena pajak.

 

Bradshaw mengemukakan ada tiga bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebagai berikut.

 

  1. Corporate philanthropy, di sini tanggung jawab perusahaan itu berada sebatas kedermawanan atau kerelaan belum sampai pada tanggung jawabnya. Bentuk tanggung jawab ini bisa merupakan kegiatan amal, sumbangan atau kegiatan lain yang mungkin saja tidak langsung berhubungan dengan kegiatan perusahaan.

 

  1. Corporate responsibility, di sini kegiatan pertanggungjawaban itu sudah merupakan bagian dari tanggung jawab perusahaan bisa karena ketentuan UU atau bagian dari kemauan atau kesediaan perusahaan.

 

  1. Corporate policy, di sini tanggung jawab sosial perusahaan itu sudah merupakan bagian dari kebijakannya.

 

Di Indonesia menurut beberapa UU perusahaan ikut bertanggung jawab mensejahterakan masyarakat.

 

Pro-Kontra TanggungJawab Sosial Perusahaan

 

Persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggung jawab sosial atau tidak, masih terus merupakan perdebatan ilmiah. Masing-masing mengemukakan pendapat dan dukungannya dan mengklaim bahwa idenyalah yang benar. Berikut ini adalah alasan para pendukung agar perusahaan memiliki etika dan tanggung jawab sosial.

 

  1. Keterlibatan sosial merupakan respon terhadap keinginan dan harapan masyarakat terhadap peranan perusahaan. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menguntungkan perusahaan.

 

  1. Keterlibatan sosial mungkin akan mempengaruhi perbaikan lingkungan, masyarakat, yang mungkin akan menurunkan biaya produksi.

 

  1. Meningkatkan nama baik perusahaan, akan menimbulkan simpati langganan, simpati karyawan, investor, dan lain-lain.

 

  1. Menghindari campur tangan pemerintah dalam melindungi masyarakat.

 

Campur tangan pemerintah cenderung membatasi peran perusahaan. Sehingga jika perusahaan memiliki tanggung jawab sosial mungkin dapat menghindari pembatasan kegiatan perusahaan.

 

  1. Dapat menunjukkan respon positif perusahaan terhadap norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sehingga mendapat simpati masyarakat.

 

  1. Sesuai dengan keinginan para pemegang saham, dalam hal ini publik.

 

  1. Mengurangi tensi kebencian masyarakat kepada perusahaan yang kadang-kadang suatu kegiatan yang dibenci masyarakat tidak mungkin dihindari.

 

  1. Membantu kepentingan nasional, seperti konservasi alam, pemeliharaan barang seni budaya, peningkatan pendidikan rakyat, lapangan kerja, dan lain-lain.

Demikian uraian yang diuraikan Harahap dalam bukunya Teori Akuntansi, Edisi Revisi (2007:389-401).

 

Kesimpulan

 

Corporate Social Responsibilty dengan segala bentuk teori dan praktek perkembangannya sebagaimana telah dibahas di muka, ditambah lagi konsep socio economic accounting merupakan suatu hal yang positif dari sudut pandang akuntansi Islam walupun itu semua timbul dari perkembangan konsep ilmu pengetahuan dan prakteknya yang terjadi di dunia konvensional, tetapi selama itu masih bersesuaian, dan tidak bertentangan maka mengapa harus kita tolak?. Dalam zaman Nabi SAW sendiri semua praktek kebiasaan yang ada di masyarakat Arab jahiliah, segala hal yang bersifat positif, seperti nama-nama orang, kebiasaan berkhitan, kebiasaan berpoligami, dll.nya selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW masih diteruskan sampai saat ini dan dianggap merupakan bagian dari ajaran Islam. Untuk nama-nama orang seperti: Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, tidak dirubah oleh Nabi SAW, dan sekarang ini nama-nama tersebut oleh kita semua dianggap sebagai nama-nama orang Islam padahal mereka memiliki nama tesebut dapat dikatakan sejak zaman mereka belum memeluk Islam, kalau tidak mau dusebut sebagai Warisan zaman jahiliah.

Begitu juga kebiasaan berkhitan, hal ini bukan hanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetapi sangat mendukung praktek pelaksanaan ajaran Islam lainnya, misalnya seseorang berkhitan akan lebih mudah untuk berthoharoh, jika dia mudah bersuci atau berthoharoh, maka akan mudah pula baginya untuk berwudhu dan bersholat, dan seterusnya. Begitu juga kebiasaan berpoligami, ternyata hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW, cuma saja oleh Nabi dibatasi, jumlahnya menjadi maksimal empat saja untu suatu waktu yang bersamaan.

Begitu juga nama-nama hanya boleh yang tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, jadi untuk nama seperti: Abdul Uzza, Abdul Lata atau Abdul Manat tentu dilarang.

Dalam konteks pembahasan ini CSR dan Socio Economic accounting tidak hanya sekedar tidak bertentangan tetapi juga besesuaian dengan ajaran Islam.

Akuntansi Islam yang kita tengah kembangkan bersama saat ini dapatlah  diartikan sebagai akuntansi dalam perspektif Islam yang diharapkan agar mampu menjawab bagaimana seharusnya profil akuntansi Islam dalam situasi saat ini dimana system yang berlaku di berbagai bidang kehidupan di dunia ini semuanya masih berada di bawah hegemoni Barat  yaitu system kapitalis yang dasar filosofinya berbeda, karena pada dasarnya mereka bersumber pada thoghut jadi sudah pasti bertentangan dengan sistem nilai Islam yang bersumber kepada Allah SWT.

Akutansi Islam saat ini mau tidak mau harus memakai struktur ilmu akuntansi yang ada, karena untuk merubah strutktur yang sudah terbentuk selama ini kita juga terpaksa mengadopsi berbagai jargon kapitalis untuk sekedar menyamakan bahasa agar dalam proses perubahan (yang bersifat bertahap ini) menjadi dapat dikomunikasikan dengan bahasa yang juga dapat difahami oleh mereka yang selama ini sudah menekuni bidang akuntansi ini.

Sehingga setelah akuntansi konvensional dikonversi dengan teknik dan prinsip nilai Islam sekemampuan yang kita dapat disampaikan kembali kepada mereka setelah disesuaikan dengan konteksnya.

Dalam konteks saat ini respons kita terhadap Akuntansi Sosial Ekonomi  adalah  bukan hanya menyetujuii tetapi juga bersifat menerima dan memberi dukungan untuk diterapkan sehingga pada suatu saat oleh semua pihak dapat disadari keterbatasan  dan berbagai kekurangan akuntansi kapitalis ini dan pada akhirnya dapat diterapkan Akuntansi Islam secara totalitas  dan  bersifat integrative.

Berbagai perkembangan saat ini dapat dianggap terjadinya suatu konvergensi yang semakin mengarah dan mengerucut ke arah akuntansi Islam, terutama setelah adanya akuntasi sosial ekonomi di Barat.

Proyeksi ke depan.

Dengan adanya konsep CSR maka pengungkapan kinerja CSR sejalan dengan konsep akuntansi sosial ekonomi dimana hal ini bersesuaian dengan kosep Islamic Accounting reporting yaitu ada tiga:

  1. Laporan Ketaatan pada Syariah.
  2. Laporan Kinerja Keuangan.
  3. Laporan Tanggung Jawab Sosial yang dalam CSR ada yang disebut sebagai Laporan Bekelanjutan (Sustainability Report), yang di dalam prakteknya misalnya berupa (Darwin, 2006):
  • CSR Report
  • Social Report
  • Environmental report
  • Social & Environmental Report

Jadi Konsep CSR sangat sejalan dengan konsep Akutansi Islam yang semua ini secara konvergen masih melalui proses dalam rangka  menuju akutansi Islam yang sesungguhnya dimana semua elemn yang ada harus berfungsi membantu penegakkan syariah.

Dalam konteks Akuntansi Islam isu yang diangkat oleh konsep CSR dan konsep Akuntansi Sosial Ekonomi sangat relevan. Hal ini bisa dilihat dari definisi Muhasabah (akuntansi) dan fungsi lembaga Muhtasib (Akuntan Pemerintah) yang sangat luas yang mencakup etika dan kepatuhan terhadap syariah Islam. Akuntansi Islam harus bisa mencakup semua aspeknya terutama aspek sosial dan keadilan bahkan semua ketentuan lainnya  yang diperntahkan oleh Allah SWT  dalam Al Quran yang berdimensi ganda yanitu dunia-akhirat, dimana dalam prakteknya tidak ada dikhotomi atau pemisahan sebagaimana pihak atau golongan yang selama ini mengikuti faham-faham sekuler. Namun dalam konteks sekarang, Akuntansi Islam harus juga mampu menyesuaikan diri untuk kepentingan yang lebih besar dan bersifat jangka panjang.

 

 

Daftar Pustaka

Ali Darwin Ak., MSc. (Ketua IAI-KAM) Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR Bagi Perusahaan  Di Indonesia. EBAR, Edisi III. September-Desember 2006

 

Dwi Hartanti (Staf Pengajar FEUI). Makna Corporate Social Responsibility: Sejarah dan Perkembangannya. EBAR, Edisi III. September-Desember 2006

 

Elvia Sunityo-Shauki (Staf Pengajar FEUI) Stakeholders Pressure Of Long Term Sutainability Of Drinking Water Company, EBAR, Edisi III. September-Desember 2006

 

Harahap, Sotyan Syafri (1991), Akuntansi, Pengawasan, Manajemen Dalam Perspektif Islam, FE Trisakti, Jakarta.

 

Harahap, Sofyan S (2001), Kritik Terhadap Pendekatan Kajian Ekonomi Islam, Media Ekonomi, Vol 78 No 1 April 2001, pp 73-83

 

Harahap, Sotyan S (2001a), Akuntansi Islam: munculnya era Baru Epistomologi Islam, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol 1 No 2 Agustus, pp 93-102.

 

Harahap, Sotyan S (2002), Perfectual Revolution, Media Akuntansi, Edisi 27 Juli-Agustus 2002.

 

Harahap, Sofyan Syafri (1997), Akuntansi Islam, Bumi aksara, Jakarta.

 

Harahap. Sotyan Syafri (2001 b), “Menuju Perumusan TeoriAkuntansi Islam- Penerbit quantum, Jakarta.

 

Harahap, Sofyan Syafri (2007), Krisis Akuntansi Kapitalis. Penerbit Quantum, Jakarta.

 

Harahap, Sotyan Syafri (2007), TeoriAkuntansi, Edisi Revisi.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

Harahap, Sotyan Syafri (1994b), TeoriAkuntansi. Jakarta: Radjawali Press

 

Harahap, Sofyan Syafri (1989), On Islamic Accounting, its Future Impact on western Accounting, Working Papers # 18, the Institute of Middle.

 

IAI (2002) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No 59, Jakarta

 

Lucien Karsten (Profesor Fakultas Manajemen dan Organisasi, Rijksuniversiteit, Groningen, Belanda) Corporate Social Responsibility: A Popular Management Concept. EBAR, Edisi III. September-Desember 2006

 

Noke Kiroyan (Presiden Direktur PT Newmont Pacific Nusantara) Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR): Adakah Kaitan di Antara Keduanya? EBAR, Edisi III. September-Desember 2006

 

Omerold, Paul (1994) “The death of Economics” London.

 

Petersen John L (1994), The Road to 2015, Profil of he Future, waite Group Press, Carte Madera, California.

 

Peter, Thomas J and Waterman Jr, Robert H (1984) “In Search of Excellent”, Harper and Row Publisher, New York.

 

Peters, Tom (1985), A Passion for Excellence, the Leadership Diffference, Random House.

 

Peter, Thomas J (1994) “Tom Peters Seminar”. Crazy Time for Crazy Organizations MacMillan London.

 

Rahendrawan (Penulis Majalah LEAD Indonesia) Corporate Social Responsibility: A Mere Charity Cost For Company.  EBAR, Edisi III. September-Desember 2006

 

Riahi-Belkaoui, Ahmed (1994), International and Multinational Acccounting, The Dryden Press, HBJ co, London.

 

Setiabudi, Hendry Y dan Iwan Triwiyono (2002), Akuntansi Ekuitas Dalam Narasi Kapitalisme, Sosialisme dan Islam, Jakarta Penerbit SaJemba.

 




ISLAMIC BANKING IN INDONESIA: Islamic Banking The Banking System Being Credible Alternative

With intention of maximizing  and  the aptitude of financing  for many sectors in the national economy, the Islamic banking system should have  synergy with conventional banks to provide  and  mobilize public funds more broadly (BI, diakses 2016).  Due to the fact that, Indonesia  has been well known as the biggest of population moslem country, it leads a very big potential market for Islamic banking  in the regional and the globe including  Moslem and Non-Moslem countries. Being different with its neighbor Malaysia, Indonesian government doesn’t make Islamic banking as a tool for growing in her  economic growth, but Indonesian Islamic Bankers  together with  Indonesian government seem to practice Islamic Banking System in Indonesia to be more compliance with Islamic values. Choudhury (2014) in his paper explains  that the process-oriented model named  as the shuratic process or the expansively interactive, integrative and evolutionary process (called IIE-learning process) is revealed to be crucial as the approach  of the circular causativeness and steadiness model of integrated actuality in Islamic political economy.

Ullah (2015) explained in his paper how an Islamic banking product (is able to) progresses into numerous  service practices in dissimilar circumstances of its submission. In the  model, there is an argument that a service should continuously expand into various practice environments and  to fulfil the requirements of several contexts and sustainable.  State Bank of Pakistan is the best illustrative to exhibit  how the regulators adopted an evolutionary regulatory framework that calls for designing and developing  Islamic banking products that  improve into the evolving market needs. The advanced  structure of   our thoughtful is the break-through of an Islamic banking product  which is developed  into the practiced atmosphere  of banks.  Therefore, it will be continued  to be more excellent and can be  authorized as development  of  regulatory frameworks in the Islamic banking industry.

The mutual benefits can be profited for  both the public and the bank as well, because of the feature of Islamic banking operation, that based on partnership and shared benefits principle. Justice in transaction and fair investment are the aspects that will be given primacies by Islamic Banking Operation System(BI, Sharia Banking, to be accessed 2016).

By highlighting the values of inseparableness and partnership in production, and side-stepping  any notional activity in financial transaction. To afford various products and banking services supported by numerous  financial schemes, Indonesian Islamic Banking along with the verse of Al Quran, it is said that, in Surah Al Anbiya’ verse 107: “And We have not sent you, [O Muhammad], except as a mercy to the worlds” (The Noble Quran,to be accessed 2016). Based on this ayat (verse) Allah Subhaanahu wa ta’ala told to the Prophet Muhammad Peace Be Upon Him that whatever he brought in this world are the mercy to the world, so all of all Indonesian people without exemption can be profited  by Islamic banking as a credible alternative (BI, Sharia Banking, to be accessed 2016)

Reference:

BI, Sharia Banking:Islamic Banking in Indonesia in Brief, http://www.bi.go.id/id/perbankan/syariah/Contents/Default.aspx to be accessed on September 20th 2016

Choudhury, Masudul Alam. “Islamic Political Economy: An Epistemological Approach.” Social Epistemology Review and Reply Collective 3, no. 11 (2014): 53-103.

Ullah, Karim. 2016.  Evolutionary Islamic Banking Service. Journal of Islamic banking and Finance Vol 3 No 2 December 2015  http://jibfnet.com/vol-3-no-2-december-2015-abstract-9-jibf to be accessed on September 22th 2016

The Noble Quran, https://quran.com/21 to be accessed on September 22th 2016




Apa Arti Kemenangan Dalam Islam?

Apa Arti kemenangan

Dalam bahasa Al Quran ada kata Fath: Kemenangan (AlQuran Surat An Nashr (Al Quran Surat 110)

ayat 1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. 2. Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong manusia masuk agama Allah, 3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepadaNYa, sungguh Ia Penerima Taubat(Terjemah AlQuran Per Kata, Tajwid Warna Robbani, PT. Surya Prisma Plangi, 1433 H)

Pertama-tama yang patut disepakati apa tujuan kemenangan Islam? Kemenangan Islam adalah bukan kemenangan orang perorang (individu) ataupun bukan pula kemenangan suatu ras atau etnis tertentu, tetapi dalam AlQuran surat 110, kemenangan Islam adalah kemenangan kemanusiaan yaitu berduyun-duyunnya ummat manusia memperoleh hidayah Allah SWT tujuan kemenangan Islam sejalan dengan tujuan perjuangan dakwah para nabi dan RosulNya Allah SWT, apa tujuan dari perjuangan para Nabi dan Rosul wabilkhusus Rosul SAW, adalah agar ummat manusia memperoleh nikmat Allah yang tertinggi atau terbesar apakah gerangan itu? yaitu memperoleh sesuatu hal yang tidak akan pernah dapat diberikan oleh siapa pun melainkan hanya Allah SWT dalam hal ini adalah maksudnya hidayah Allah SWT, kemudian timbul pertanyaan berikutnya: siapakah penentu satu-satunya kemenangan Islam? AlQuran Surat Ali Imran ayat:160: in yanshurkullah falaa ghooliba lakum wa in yakhdzulkum faman dzalladzii yanshurkum min ba’dihi wa ‘alallahi fal yatawakkalilmu’miniiin, artinya: Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkan kamu, tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. Dalam ayat ini Allah secara jelas dengan gaya bahasa dialog dan retoris menyatakan bahwa Dia adalah sebagai satu satunya Yang dapat memberikan dan menetukan kemenangan bagi ummat (maksudnya ummat Islam), yaitu Allah SWT.

Konsep  Apa yang diinginkan dan diajarkan oleh Sang Penentu mengenai kemenangan Islam? Apakah kita ummat Islam saat ini, sudah layak dimenangkan atas lawan-lawan kita?

Konsep konsep kemenangan selain konsep Islam juga ada konsep konsep kemenangan di luar konsep Islam, maka pertanyaannya adalah: kita sebagai muslim mau pilih konsep yang mana?

AlQuran Surat Ali Imran berbicara tentang orang yang beruntung (Faaz) ayat 185: Faman zuhziha ‘anninnaari wa udkhilaljannata faqod faaz, artinya: Dan barangsiapa yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan kedalam surga sunnguh ia memperoleh kemenangan. (Terjemah AlQuran per kata, Tajwid Warna Robbani, PT. Surya Prisma Plangi, 1433 H)

Sering dalam benak atau pemikiran seseorang yang mengaku muslim, bahwa hakekat, motivasi serta tujuan yang sebetulnya dari kemenangan Islam, tidak sekedar,  tidak difahami  oleh orang-orang non muslim saja seperti misalnya orang orang Barat, yang menyangka bahwa kemenangan Islam itu adalah hanya sekedar peperangan dalam arti pertempuran yang satu ke pertempuran lainnya semata hanya dalam arti fisik seperti misalnya yaitu sebatas gerakan untuk mengangkat senjata atau  pedang, migrasi besar besaran  sebagian manusia ke wilayah-wilayah taklukan atau jajahan untuk dikuasai dan dijarah semua apa yang ada padanya  termasuk tawanan tawanan wanitanya untuk dijadikan hamba sahaya (malakat aimanakum), dan kemajuan fisik duniawi yang dimotivasi semata-mata oleh jiwa haus dan rakus  akan pangkat, jabatan dan kekuasaan, namun ternyata  hal ini bahkan juga tidak difahami  oleh sebagian besar orang–orang yang mengaku sebagai kaum Muslimin itu sendiri, yaitu orang-orang yang menganggap bahwa suatu ekspansi wilayah atau perluasan daerah kekuasaan saja ke dalam wilayah  kekuasaan Islam itu  adalah  merupakan kemenangan yang hakiki dalam Islam, dan hal ini dianggap sebagai suatu tindakan yang penuh jasa bagi para mujahid-mujahid Islam di sepanjang masa.

Orang-orang non Muslim atau orang-orang Barat dan orang Islam yang beranggapan  sedemikan berpersepsi yang sama dalam hal ini mengenai artim yang hakiki dari kemenangan Islam. Mereka dalam hal ini memiliki pendirian yang sama sama jauhnya dari penjelasan yang  sesumgguhnya dari Allah Subhaanahu wata’ala tentang hakekat kemenangan Islam. Dan jika manggapan mereka benar penjelasan Allah dalam AlQuran bukan termaktub sbb.: Pada ayat yang kedua dari Surat ini: Dan kamu lihat manusia berbondong –bondong masuk agama Allah, tentu berubah ayat ini menjadi: Dan kamu lihat wilayah wilayah yang ditaklukan menjadi semakin besarnya. Jika kita mau sedikit berfikir yaitu dengan menanyakan: mengapa kemenangan menurut konsepnya Allah berbeda dengan konsepnya  manusia?

Jawabnya tentunya adalah jika kita bandingkan konsep orang tua dengan anaknya yang belum dewasa saja sudah berbeda seperti misalnya : Sang Anak merasa menang bahagia jika dia dibebaskan dari tugas hari hari harus besekolah, belajar mengaji, rajin mengerjakan tugas atau PR atau tugas lainnya di sekolah, dia akan bahagia dan merasa mendapat kemenangan hakiki jika dapat mengalahkan kemauan orang tuanya untuk harus bersekolah dan dibiarkan bermain dan bermain sepuasnya, entah apa itu main anak2an, orang2an, rumah2an, sekolah2an, guru2an, orang kaya-orang kayaan, dlsb.

Mengapa Kemenangan Islam Diartikan Dengan Turunnya Hidayah Atas ummat Manusia?

Kembali ke pertanyaan mengapa Allah artikan kemenangan dalam bentuk berbondong-bondongnya manusia masuk agama Allah? Mengapa bukan dengan bertambah luasnya wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam. Atau bertambah kayanya kaum muslimin dengan bertambah  banyaknya hamba-sahaya hamba sahaya non muslim yang ditawan yang pada gilirannya, dapat diperjualbelikan di pasar budak dengan harga yang sangat  tinggi? Tetapi mengapa kemenangan menurut Allah itu seakan dibukakan pintu hidayah sehingga manusia berduyun-duyun memperoleh hidayah sehingga mereka dapat berbondong-bondong menikmati hidayah dengan memasuki agama Islam dengan penuh kesukarelaan tanpa paksaan? Pada hal kita tahu, Allah SWT berfirman:

“Tidak boleh ada paksaan dalam agama, yang benar itu telah jelas berbeda dari yang tidak benar.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256).

Jika dicoba dicari hikmahnya yaitu Allah berikan hidayah karena hidayah adalah suatu bentuk pemberian tertinggi yang dapat diberikan Allah  kepada hambanya, bukan harta benda, wilayah, pangkat, jabatan atau kedudukan, atau yang lain sebagainya. Bukankah kita sering mengulang-ulang ucapan bahwa kita patut bersyukur atas nikmat terbesar dari Allah SWT yaitu adalah nikmat iman dan Islam.

Coba bayangkan semua dapat diwariskan atau diberikan dari makhluk ke makhluk seperti kekuasaan, harta benda, wilayah dlsb. Namun iman atau hidayah hanya Allah sebagai satu-satunya Zat Yang mampu memberikan, bukan yang lain bahkan Nabi saw  sekalipun tidak akan pernah mampu untuk memilki kewenangan untuk itu (lihat kasus paman beliau Abu Tholib sampai sampai Allah sendiri yang menjelaskan mengenai perihal paman beliau sendiri). Jadi menangnya Ummat Islam menurut Allah yaitu merupakan perwujudan dari pemberian hadiah terbesar dari Allah SWT buat ummat manusia sesuai tujuan azasi atau tujuan hakiki perjuangan Nabi-nabi yaitu terselamatnya manusia secara berduyun-duyun dari ancaman nerakaNya Allah menuju SurgaNya Allah SWT. Fathul Mekkah dan kemenangan yang Allah sebutkan dalam surat An Nashr bukan sesuatu yang ujug ujug turun begitu saja tetapi hal ini merupakan suatu rangkaian panjang sejak perjuangan yang dilakukan oleh Nabi saw dari mulai beliau diutus terus selama 13 tahun perjuangan di bawah penindasan oleh kafir kafir Qureys, kemudian digenapi selama 10 tahun di Madinah Al Munawarah.

Hakikat Kemenangan Yang Diberikan Allah SWT

Kemenangan yang Allah berikan kepada Nabi kita dan Ummat Islam pada waktu itu khas tiada duanya maksudnya yaitu tidak sama dengan yang Allah beri kepada Nabi-nabi yang lain. Kemenangan yang ada di AlQuran buat Baginda Nabi saw adalah kemenangan hakiki dengan tersebarnya hidayah, bahkan hidayah juga tersebar ke lubuk lubuk hati yang telah begitu benci akan Islam seperti: Hidun, Abu Sofyan, Ikrimah bin Abi Jahal, Sofwan bin Umayah, Suheil bin Amr, dllnya.

Mungkin perlu diluruskan sedikit image Islam khususnya image tentang arti kemenangan Islam yang telah dikaburkan atau dirusak, dan hal ini tidak saja menyangkut tentang kemenangan-kemenangan Islam itu semata, tetapi juga mengenai pemikiran Islam itu sendiri. Kemenangan Islam adalah kemenangan agama Islam karena dengan terbukanya hidayah dari Allah SWT, maka terbuka pula lubuk-lubuk hati manusia untuk menerima Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan bagi seluruh ummat manusia yang terhidayah.

Allah SWT berfirman:“Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling berkenalan.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13)

Bahkan di jaman Nabi saw sendiri juga sudah beranekaragam motif dan tujuan orang-orang dalam suatu perjuangan bahkan dalam hal ini boleh jadi mereka juga ikut berjuang bersama Nabi saw juga, sehingga suatu ketika Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang:

“Orang yang berjuang untuk mencari harta rampasan, orang yang berjuang untuk mencari keharuman nama, orang yang berjuang agar dikagumi orang, manakah di antara mereka yang berjuang di jalan Allah?”

Beliau SAW menegaskan:“Siapa yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah yang tinggi, Ia berjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari)

Disini Al-Qur’an dan Hadis Nabi menegaskan kepada kita hakekat dan tujuan  peperangan dalam Islam dan hakekat  dan tujuan kemenangan Islam secara jelas.

Coba bandingkan dengan peperangan yang dilakukan oleh tentara salib pada waktu Perang Salib-nya yang terkenal itu, bukan saja dalam penindasan yang dilakukan orang  Spanyol terhadap orang-orang Islam di Andalusia, tetapi juga terjadi di Yerusalem ketika tentara salib menginvasi kota banyak bayi mati dibanting dengan kejam ke lantai atau ke tanah, banyak wanita diperkosa, dan pembantaian terjadi dimana-mana (sumber dari National geographic).

Islam sekali-kali tidak pernah mengajarkan bahwa peperangan dilancarkan, atau kemenangan dicapai, dengan maksud agar suatu bangsa atau rupa bentuk manusia berkuasa. AlQuran menyatakan bahwa manusia telah dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal, bukan untuk saling berbunuhan, bukan untuk saling menguasai (QS. Al-Hujurat [49] : 13). Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan segala macam peperangan dan kemenangan yang ditimbulkan atas dasar fanatisme kebangsaan, warna kulit atau bahasa, seperti yang diajarkan oleh Adolf Hitler. Saat ini bangsa yahudi yang telah pernah dijadikan proyek percontohan peperangan gaya Adolf Hitler malah mempraktekkan hal sama kepada bangsa Palestina.

Islam juga tidak mengajarkan peperangan dilakukan, atau kemenangan diraih, dengan tujuan semata untuk memperoleh ghonimah atau untuk mencari keuntungan materi. Oleh sebab itu Islam tidak mengajarkan praktek kolonialisme, Islam tidak pernah melakukan Occupation (pendudukan) tetapi Nabi saw dan para shahabatnya datang untuk melakukan liberation /pembebasan (Prof Moshe Sharon).

Islam diperjuangkan dan dimenangkan berdasarkan niat suci untuk mencari keridhoan Allah SWT.

“Siapa yang berjuang untuk ketinggian kalimat Tuhan yang tinggi, ialah yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi sangat jelas sudah hakekat kemenangan Islam  adalah sangat jauh berbeda antara kemenangan Islam itu dan kemenangan-kemenangan militer lain. Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-Imran [3] : 19)

Ada pun yang dimaksud dengan menjadikan kalimat Allah dan menjadikannya kalimat Allah tinggi mengandungi arti menjadikan Islam itu kepunyaan Allah, yaitu agama seluruh umat manusia, tanpa mengenal batas kebangsaan, ras, etnis, kesukuan dlsb. Islam bagi Allah saja (mukhlishiina lahuddiin) secara mutlak berarti mengikhlaskan hati untuk Allah saja, bukan untuk yang lain.  Allah memerintahkan kita dalam berdakwah:

“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nahl [16] : 125)

Hampir dapat dipastikan bahwa pemimpin muslim dalam peperangan-peperangannya yang pertama, juga dalam kebanyakan peperangan yang terjadi kemudian, mempunyai tujuan hanya semata-mata untuk menegakkan kalimat Allah, dan agar Islam itu menjadi  satu-satunya sistem kehidupan seluruh umat manusia, bukan dengan melalui paksaan, tetapi dengan melalui da’wah yang mencontoh dakwahnya Nabi saw. Allah SWT berfirman:“Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Tuhan adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13)

Ciri utama sistem Islam adalah sistem yang adil yang menjamin hak-hak yang sama untuk setiap muslim. Pemimpin yang berkuasa beserta setiap anggota keluarganya, atau suatu kelompok tertentu dalam masyarakat, tidak diberi privilege apa pun, melebihi hak-hak setiap orang yang menjadi rakyat jelata. Sistem Islam memberi jaminan keadilan mutlak dalam hubungan antara golongan dan antara bangsa. Islam menjamin keadilan antara bangsa apa pun di dunia ini.

“Dan janganlah sampai kebencian suatu kaum terhadapmu menjadikan kamu bertindak tidak adil. Selalulah bertindak adil, karena hal itu lebih mendekati ketaqwaan.” (QS. Al-Maidah [5] : 8)

“Kalau kamu berkata maka berkatalah dengan adil walaupun mengenai kaum kerabat sendiri” (QS. Al-An’am [6] : 152)

Kesimpulan yang dapat diambil adalah terwujudnya syariah Islam di muka bumi dan hanya kalimat Allah itu menjadi yang tertinggi.

Allah Berfirman: “Berlaku adillah kamu, sesungguhnya Allah suka kepada orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat [49] : 9)

“Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah, dan untuk kepentingan orang yang tertindas, laki-laki, wanita dan anak-anak yang berkata, ‘Hai Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari negara yang penduduknya aniaya ini. Jadikanlah bagi kami seorang pemimpin dari sisi-Mu. Jadikanlah bagi kami seorang penolong dari sisi-Mu’.” (QS. An-Nisa’ [4] : 75)

Kesimpulan

Kesimpulan dari seluruh pembahsan singkat ini, adalah bahwa peperangan dalam Islam dan kemenangan dalam Islam dapat diwujudkan sampai terwujudnya kebebasan da’wah dan kebebasan beragama, juga keadilan mutlak untuk seluruh manusia.

Jadi kemenangan Islam itu adalah kemenangan yang berlaku bagi seluruh umat manusia, yang belum pernah ada baik sebelumnya mau pun setelahnya fathul Mekkah. Kemenangan Islam bukanlah kemenangan menguasai suatu wilayah ataupun harta benda, tetapi merupakan kemenangan terhadap atas setiap hati nurani ummat manusia di suatu tempat mana pun di muka bumi.

Referensi:

  1. AlQuran, Terjemah Per Kata, Tajwid Warna Robbani, PT. Surya Prisma Plangi, 1433 H
  2. Sharon, Mose, Prof Moshe Sharon, youtube : Islamic Liberation https://www.youtube.com/results?search_query=prof+moshe+sharon diakses 31 Juli 2016 pukul 14.00
  3. Yerusalem, CD from National Geographic
  4. Yerusalem, CD from Discovery

 




Kisah Beberapa Entrepreneur Yang Dapat Menginspirasi

1.Mark Zuckerberg, adalah termasuk entrepreneur berusia muda, Mark memiliki kegemaran  mengotak-atik program pembuatan website dan dia kode orisinal Facebook telah berhasil dibuatnya dari kamar asramanya. Berkat banyaknya  keunggulan serta peminat yang sangat banyak, maka Facebook menjadi ‘komoditas’ yang begitu digemari. Jadi sangat masuk akal jika hal ini menjadikan  Microsoft juga menaruh minat atasnya.   Sebagai ilustrasi bahwa saham Facebook jika dikapitalisasi menjadi kurang lebihnya sebesar US$15 miliar! dengan nilai rupiah yaitu Rp.200 trilyun, angka sebesar ini didapat dari hasil kalkulasi dimana  1,6% saham facebook saja Microsoft mesti membayar US$ 240 juta. (berarti total kapitalisasi 100/1,6 X USD 240 juta=USD 15 milyar). Maka dari itu, kemudian Mark dijuluki sebagai miliarder termuda dalam sejarah yang memulai dari keringatnya sendiri.

2.Andrew Darwis, seorang anak muda berusia 33 tahun lulusan Master of Computer Science, dari Seattle University. Andrew Darwis berhasil mendirikan komunitas online terbesar di Indonesia, yang bernama Kaskus. Melalui situs yang semula bernama Kaskus.us (Saat ini menjadi Kaskus.co.id), Kini situsnya per Mei 2012 memiliki lebih dari 4,3 juta member.

Tiap-tiap bulannya rata-rata pendapatan iklan kaskus sudah Rp 2-3 miliar. Berdasarkan perkembangannya itu, kaskus telah dilirik oleh para investor asing. Kini konon kabarnya Kaskus telah ditawar oleh Google dan Yahoo senilai USD 50 juta (kurang lebihnya sebesar Rp 475 miliar).

3. Elang Gumilang Sukses menjadi Raja Tanah

Bagi Elang Gumilang untuk menjadi pengusaha sukses serta mengelola sebuah  perusahaan dengan penghasilan besar tidaklah mesti menjadi tua telebih dahulu, ternyata dia dapat memulai karir bisnisnya sedari dia berusia yang sangat muda. Paling tidak dia dapat menjadikan mimpinya  menjadi  kenyataan. Di antara senarai nama pengusaha muda yang telah berhasil memulai karir bisnisnya selagi ‘usia dini’, Elang Gumilang (di usia 24 tahun) adalah salah satunya.

Elang memulai usahanya lewat menjual donat. CEO PT Dwikarsa Semestaguna ini merupakan  pengusaha muda yang telah berhasil di bisnis properti. Asetnya yang dimilikinya ditaksir sekitar 61 miliar rupiah.

4.Tung Desem Waringin, adalah seorang motivator dan pakar marketing terkemuka di Indonesia. Tung adalah juga seorang pembicara yang baik, dan juga merupakan trainer yang sukses. Tung juga seorang best seller book writer. Karyanya dengan judul “Financial Revolution” berupa sebuah buku yang memperoleh record MURI. Pada hari perdana diluncurkan telah mencapai penjualan sebanyak 10.511 buah, dan merupakan buku inspirasional pertama dengan record  penjualan sebanyak itu.

Setelah sukses dalam karya pertamnya itu, Tung Desem melakukan sebuah ‘nyeleneh” yang bersifat sensasional pada tahun 2008. Aksi tersebut adalah senilai Rp. 100  juta yang per lembarnya berupa uang Rp.100 ribu rupiah dari pesawat helikopter di daerah Serang,

4.Soichiro Honda adalah putra pertama seorang pandai besi yang tidak pernah mengikuti pendidikan formal yang cukup serta ia tidak pernah memiliki prestasi cemerlang di sekolah. Meskipun demikian Soichiro dikenal dengan  semangat dan cita-cita yang sangat tinggi.

Di usianya yang sangat muda, pada tahun 1922 dia bekerja sebagai tenaga cleaning service pada bengkel Art Shokai. Pekerjaannya tidak berhubungan dengan mesin secara langsung  seperti yang dia inginkan akan tetapi selain namun sebagai cleaning service, bahkan dia juga sekaligus menjadi pengasuh bayi dari pemilik bengkel tersebut.

5.Chung Ju-Yung (lahir 1915) dengan Hundainya.  Chung menyelesaikan Pendidikan dari Fakultas accounting di Kyongsung. Chung dikenal sangat bekerja  keras dan sangat  tekun dalam belajar. Di samping itu Chung juga gemar  membaca buku. Disebabkan keadaan di pedesaan bertambah parah, Chung beserta kawannya melarikan diri dari rumah akan tetapi kemudian mereka berpisah di Seoul. Chung meneruskan  “pengembaraanya” ke Inchon demi memperoleh pekerjaan serta dia bersedia bekerja apa saja di sana. Akhirnya dia bekerja sebagai tukang batu alias menjadi kuli bangunan. Kemudian dia meneruskan “perlombaan nasib”nya di Seoul. Di Seoul dia bekerja di toko sebagai pengirim barang ke konsumen dengan memperoleh gaji bulanan. Ketika  itu, yaitu pada tahun 1934 dia masih berusia di bawah 20 tahun. Bayangkan bagaimana susahnya perjalanan hidup Chung dan betapa bekerja kerasnya dia untuk menjadi seorang pendiri Hundai.

6.Bob Sadino (79 tahun), adalah seorang pengusaha sukses di bidang pangan dan peternakan. Bob pernah diminta untuk mengisi kuliah umum di program magister manajemen pertama di kampus UI Salemba, waktu itu dia hanya memakai celana pendek khasnya yang dipakainya kemana-mana, tanpa ada jahitan diujung-ujung kedua celananya.  Ia menceritakan pengalamannya sebagai pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick.  Konon dia menceritakan bahwa pekerjaan pertamanya setelah tidak bekerja sebagai karyawan adalah menyewakan mobil milik pribadinya, bahkan ia menyopiri mobilnya sendiri. Akhirnya usaha menyewakan mobilnya sendiri mengalami kecelakaan, sehingga mobilnya rusak parah. Oleh karena tak punya uang untuk memperbaikinya, akhirnya dia “alih profesi” jadi tukang batu. Ketika itu ia mengalami depresi.

Untuk mengatasi depresinya Bob menerima saran salah seorang temannya untuk memelihara serta berbisnis telur ayam negeri.  Bob menerima saran tersebut dan mulai mengembangkan usaha ternak ayam. Ketika itu, di Indonesia, ayam kampung masih mendominasi pasar. Bob adalah orang  yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya di Indonesia. Bob menjual telur-telurnya dari pintu ke pintu. Singkat cerita Bob meraih sukses tidak seperti orang membalik telapak tangan.

7.Sugiharto, mantan Komut Pertamina, dan mantan Meneg BUMN.

Beliau  adalah tokoh yang sangat menginspirasi banyak orang, terutama jika sedang mengisahkan pengalaman pribadinya sewaktu remaja. Beliau pernah menuturkan pengalamannya ketika mau berangkat sekolah saja harus menjadi kuli timba setelah itu baru beliau dapat berangkat sekolah untuk sekedar mendapatkan secebis uang saku untuk ongkos ke sekolah. Beliau juga pernah menuturkan pengalamannya jaga parkir di malam hari pada hal pagi harinya kadang-kadang harus berhadapan dengan ujian di sekolahnya. Semua pengalaman hidupnya dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketekunan yang luar biasa serta dibarengi dengan hati yang senantiasa bersyukur. Dalam suatu forum sharing dan diskusi kurikulum untuk postgraduate program di Perbanas Institute beliau menceritakan semua pengalamannya yang berujung kini menjadi seorang entrepreneur  yang sukses, beliau katakan jumlah pajaknya saja yang senantiasa beliau setorkan per tahun kurang lebih Rp. 3.5 milyar.

Demikian sekelumit kisah-kisah yang mungkin dapat menginspirasi para pemuda dan mahasiswa. Barangkali ada baiknya diceritakan sesekali di awal perkuliahan untuk memberikan inspirasi dan dorongan motivasi kepada para mahasiswa sebelum  mengawali perkuliahan di kelas.

Referensi:

  1. co.id dzephyr.wordpress.com aliongz.wordpress.com
  2. com profil.merdeka.com youtube.com slideshare.net
  3. google.com groups.google.com sites.google.com plus.google.com productforums.google.com plus.google.com answers.yahoo.com profiles.google.com
  4. Lalu Akmalul Hakim – Google+ plus.google.com Diawali Menjual Donat, Elang Gumilang Sukses Jadi Raja Tanah
  5. net slideshare.net kbtc.kadinbandung.org dompetdhuafa.org aktualita.co bisnis.news.viva.co.id faris.id ayopreneur.com hubslide.com

 




Adanya Perbedaan dalam Menyikapi haramnya Bay al inah

Definisi Bay Al Inah Secara Teknis

The selling of an asset with a mark up price on deferred payment, by the “nawaitu” or intention to sell the certain assetes which is the same one of the asset to the debtor with lower cash price, which is meant to settle Opinion of his debt.

Penjualan aset dengan mark up harga pada pembayaran yang ditangguhkan, dengan maksud untuk menjual aset yang sama kepada debitur dengan harga tunai yang lebih rendah, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan  utangnya.

Sekedar ilustrasi sebagai berikut :

Mula – mula Pihak Bank misalkan menjual sepeda montor dengan cicilan seharga Rp.10 juta(dicicil per bulan Rp.1juta dalam waktu 10 bulan) ke si A (Adul), kemudian oleh si Adul motor yang sama dijual lagi ke Bank seharga Rp. 8 juta, maka Adul dapat Rp 8juta cash tetapi Adul mesti bayar cicilan per bulan Rp 1 juta dalam tempo misalkan 10 bulan. Sebagai konsekuensi dari transaksi pertama A memang harus membayar cicilan tersebut perbulan Rp 1juta dalam tempo 10X 1bulan. Dalam hal ini Rp 8 juta sudah ada di tangan A, karena sebetulnya A tidak butuh motor tetapi A butuh duit. Jadi dengan duit cash Rp 8juta A ternyata harus mencicil Rp 1juta dalam tempoh 10 bulan.

Perbedaan dari Sudut Pandang Alim Ulama

The Opinion of Muslim scholars: Their opinion of that such a sale is permissible, because  based on analogy, the contract is just like to other sale and purchase contracts i.e.  that transfer of  ownership of the underlaying assets is taken place.  The majority of scholars view that such of akad of that kind of sale is forbidden. They are The Scholars of Al Imam Hanafi Fiqih Mazhab,  Imam Maliki Fiqih Mazhab, Imam Ahmad ibnu Hanbal Fiqih Mazhab, and some Shafi’is. According to the opinion of such scholars just like Imam Shafi’i,Imam Abu Dawud, Imam Abu Yusuf, and Imam Abu Thurmudzi are scholars of the view that this contract of sale is not contrary to Shariah principles.

Condition of Bay’ Al-’Inah

Dewan Peansihat Shariah dari Bank Negara Malaysia  resolved that bay’ al-inah is still necessary in Malaysian context. However market players are required to strengthen and enhance all of their operational processes and documentations to comply with the features of bay’ al-inah permitted.

Bay’ al-inah is permissible if those such conditions are followed:

The Akad of the transaction of bay’ al-’inah has to strictly follow the mechanism which is accepted by the Shafie school The transacted item must not a ribawi item. The buyer must receive (take possession) the good before selling it back to the original seller.

Opinion of Scholars (Pandangan Alim Ulama terhadap Bay Al-‘inah).

Scholars are divided into two group:

  1. Those that prohibit, Majority of the scholar including Hanafi, Maliki and Hanbali prohibit al-’inah transaction The same result adopted by the Shariah council of AAOIFI and majority of Shariah Advisory Council in Malaysia and Brunei
  2. Those that permit  Includes Imam Shafie and supported by Ibn Hazm and application Shariah Advisory Council of Bank Negara Malaysia

Justification of Those That Prohibit

It is hilah to riba definition

The underlying issue on bay’ al-inah is the difference between the muqtada al-’aqd and the actual motive of the contracting parties, whether to have a real contract of sale or as hilah for liquidity or monetary purposes. The polemic in the issue of permissibility of bay’ al-inah is the status of hilah. As far as hilah is deemed as demeaning the religion, bay’ al-inah will not be acceptable. However, if hilah is regarded as a mode to solve problems (makhraj) that is much needed by the people, bay’ al-inah transaction may be acceptable.

Justification of Those That Permit

Shafii approved bay’ al-’inah as financing mode.  A sale which is followed by a subsequent sale but without any intention to have al-’inah arrangement. Al-’Inah that involves two contracts of sale in which the price of each contract (either cash or deferred) is similar to the other. Al-’Inah which is concluded on an asset with a gap of time between the two contracts, the purchase and sale contracts. Al-’Inah which is concluded on an asset which has changed in certain aspect.

Bay’ al-inah has been used to construct numerous  financing product offered by the bank in Malaysia: Personnel financing Working Capital Financing:  Istisna’ between 2 parties,  BBA financing products, Islamic credit card, Sukuk Murabahah, Islamic Overdraft, Murabahah Trade Financing.




10 Pertanyaan Ujian Tertutup Disertasi

Pertanyaan:

  1. Coba saudara jelaskan dimana letak “kesyariahan” penelitian disertasi saudara?
  2. Bagaimana menurut saudara sesuatu riset atau penelitian dapat dikatakan syariah?
  3. Coba saudara jelaskan dimana letak keunggulan metodologi TSR dalam disertasi saudara?
  4. Dalam hasil pembahasan disertasi saudara pengaruh theta setelah screening process menjadi lebih kurang 3 kali lipat lebih besar, yaitu 63,54% dan 72,37% terhadap variabel log price dibanding pengaruh theta sebelum screening process terhadap variabel log price, yaitu 27,66% dan 23,67%, tetapi sebaliknya pengaruh theta setelah screening process menjadi berkurang menjadi hampir separuhnya yaitu dari 16,33% dan 16,79% terhadap variabel log vol dibanding theta sebelum screening process menjadi 8,56% dan 8,79%. Berdasarkan hasil tersebut apakah dapat dikatakan bahwa akibat adanya screening process pengaruh theta menjadi jauh lebih besar terhadap variabel log price dan menjadi lebih kecil terhadap variabel log vol?
  5. Tadi disebutkan dasar dari ayat Al Quran mengenai shuratic process dalam metodologi TSR, coba saudara tunjukkan dan jelaskan dimana letak shuratic process dalam pembahasa disertasi saudara!
  6. Coba saudara jelaskan bagaimana saudara menterjemahkan dari ayat alQuran sebagai dasar landasan syariah ke dalam bentuk angka-angka theta after and before screening process
  7. Coba saudara jelaskan kaitan antara TSR dan Screening process!
  8. Coba saudara jelaskan dimana letak perbedaannya antara syariah dan fiqih?
  9. Coba saudara jelaskan mengapa syariah harus ada keseragaman, jadi tidak mengenal batas negara atau pun batas waktu, sedangkan fiqih justru lebih dikenal dengan keragaman bukan keseragaman?
  10. Menurut saudara apa titik temu yang utama antara TSR Method dengan VAR Method?

Jawab:

  1. “Kesyariahan” penelitian disertasi saya yaitu saya mencoba melihat pengaruh fatwa DSN MUI terhadap Pasar Modal Indonesia tidak semata-mata dari methodologi yang bersifat konvensional saja yaitu hanya dengan menggunakan VAR Method saja tetapi juga menggunakan metodologi TSR.
  2. Sesuatu riset atau penelitian dapat dikatakan syariah jika data-data yang diteliti bersifat konvesional tetapi menggunakan metodologi syariah atau sebaliknya data-data syariah misalkan data-data saham JII tetapi diolah dengan menggunakan metode konvensional. Atau campuran dari keduanya yaitu data-data konvensional dan data syariah diolah secara metode konvensional dan syariah.
  3. Dengan metodolgi TSR dapat dilihat perbedaan besarnya pengaruh theta kaibat screening process dengan pengaruh theta sebelum screening process.
  4.  Dalam hasil pembahasan disertasi saya pengaruh theta setelah screening process menjadi lebih kurang 3 kali lipat lebih besar, yaitu 63,54% dan 72,37% terhadap variabel log price dibanding pengaruh theta sebelum screening process terhadap variabel log price, yaitu 27,66% dan 23,67%, tetapi sebaliknya pengaruh theta setelah screening process menjadi berkurang menjadi hampir separuhnya yaitu dari 16,33% dan 16,79% terhadap variabel log vol dibanding theta sebelum screening process menjadi 8,56% dan 8,79%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa akibat adanya screening process pengaruh theta menjadi jauh lebih besar terhadap variabel log price dan menjadi lebih kecil terhadap variabel log vol.
  5. Letak shuratic process dalam pembahasan penelitian disertasi saya yaitu dalam penelitian ini dicoba untuk diteliti seberapa besar adanya perbedaan pengaruh variabel theta setelah screening process dengan sebelum screening process dimana di dalam proses screening itu sendiri adanya proses menentukan sesuatu saham masuk saham syariah atau bukan dari sekian banyak saham konvensional yang ada. Proses menscreening saham-saham yang ada oleh para pakar untuk dijadikan saham syariah untuk dimasukkan menjadi JII Index, dapat dikatakan merupakan suatu shuratic process dimana dalam disertasi ini didapat hasil temuan besarnya perbedaan antara variabel theta sebelum process screening dan theta setelah process screening dan perbedaan pengaruhnya terhadap variabel kinerja pasar modal Indonesia yaitu terhadap variabel log price dan log vol dari IHSG.
  6. Ayat Al Quran diterjemahkan yang sebagai dasar landasan syariah ke dalam bentuk angka-angka theta after and before screening process, yaitu ayat mengenai musyawarah dimana dalam musyawarah terjadi IIE Process yaitu terjadi Interaksi antar Pakar (misalnya dalam DSN-MUI) kemudian terjadi Integrasi dan juga terjadi proses perubahan (evolusi). Dalam hal ini angka IHSG sebagai theta sebelum screening process dan JII diproxy sebagai theta setelah screening process.
  7. Kaitan antara TSR dan Screening process, dalam TSR atau Tauhid String Relation yaitu secara garis besarnya adalah bagaimana menerapkan konsep Tauhid atau konsep ketuhanan dalam setiap aspek kehidupan dalam konteks penelitian disertasi ini dicoba dimasukkan unsur-unsur kesyariahan dalam hal ini yang menjadi obyeknya adalah pasar modal Indonesia dimana komponen utama pasar modal Indonesia adalah saham yang ada dalam IHSG dan saham-saham tersebut untuk dipilih menjadi saham-saham yang merupakan komponen dari JII mengalami screening process.
  8. Perbedaan antara syariah dan fiqih yaitu Syariah bersifat mutlak(absolut), universal dan abadi, sedangkan fiqih bersifat belum tentu bersifat absolut, belum tentu bersifat universal dan belum tentu bersifat tetap atau abadi.
  9. Mengapa syariah harus ada keseragaman, jadi tidak mengenal batas negara atau pun batas waktu, karena sebagai contoh sholat, sholat yang 5 waktu diwajibkan atas semua ummat Islam dimana pun dia berada, tetapi ketika bagaimana sholat tata cara mengenai waktu sholat yang betul di tiap-tiap tempat tidak bisa sama waktu-waktunya.
  10. Titik temu yang utama antara TSR Method dengan VAR Method sama-sama tidak ada variabel yang bersifat betul-betul merupakan variabel bebas yang bersifat absolut, dalam kedua metode semua variabel menjadi variabel bebas dan terikat (dalam proses pengolahannya secara bergantian). Dalam konsep TSR dikenal ada yang namanya circular causation, dan dalam TSR satunya variabel yang bersifat bebas absolut yaitu Allah Subhaanahu wata’ala, jadi semua variabel yang menjadi obyek penelitian bersifat makhluk (tidak bersifat bebas).



10 Pertanyaan Ujian Tebuka Ujian Disertasi

Pertanyaan:

  1. Coba saudara jelaskan ayat-ayat dalam Firman Allah /Al Quran yang mendasari Tawheed String Relation Method? Saya minta saudara juga lengkapi dengan hadits-hadits Nabi SAW, dan juga pendekatan Fiqihnya terutama Fiqih Muamalah!

Jawaban ada di disertasi terbaru halaman 80-83

  1. Bagaimana menurut saudara sesuatu riset atau penelitian dapat dikatakan

syariah?

Jawab:

Jika data konvensional dilakukan olah data dengan metodologi

syariah atau data syariah walaupun diolah dengan metode konvensional atau

kombinasi antara keduanya.

Dalam hal ini riset saudara masuk ke kategori yang mana?

Jawab: Kategori yang ketiga

  1. Coba saudara jelaskan dimana letak keunggulan metodologi TSR dalam disertasi saudara? Apakah ini merupakan salah satu Temuan dari hasil riset disertasi saudara?

Jawab:

Ada di halaman 191 point 4 dan halaman 192 point 5.

  1. Mengapa saudara mengkombinasikan antara VAR Method dengan Methodologi TSR?

Jawab:

Halaman 83-84

  1. Dalam metodologi TSR ada shuratic process, coba saudara tunjukkan dan jelaskan dimana letak shuratic process dalam pembahasan disertasi saudara!

Jawab:

Dari mulai disertasi dibuat sudah terjadi proses Interaktif, Integratif dan Evolusi, yaitu interakti mulai dari proses perkuliahan dengan para dosen terutama untuk setiap subjek mata kuliah yang berhubungan dengan topik disertasi terutama methodologinya, setelah itu proses pembuatan proposal yang dibimbing oleh para promotor dan copromotor, kemudian pada saat ujian seminar proposal, mendapatkan berbagai masukan dari para penguji, secara berulang-ulang setelah terjadi proses interaktif dengan para dosen dan para promotor dan copromotor sekaligus terjadi proses integratif dalam bentuk proposal yang sudah diperbaiki, dilanjutkan dengan ujian seminar hasil penelitian terjadi lagi proses interaktif dengan para penguji, sementara hail penelitian juga terevolusi menjadi hasil penelitian yang telah diperbaiki untuk diujikan pada saat ujian tertutup, dan seterusnya proses IIE (interaktif, integratif dan evolusi) berlanjut sampai ujian promosi berbagai masukan juga merupakan  proses interaktif dengan para promotor dan copromotor dalam bentuk berbagai masukan, dan kesemua masukan para penguji diintegrasikan dalam bentuk disertasi yang telah disempurnakan.

  1. Coba saudara jelaskan kaitan antara TSR dan Screening process! Saya minta juga saudara sebutkan ayat-ayat Al Qurannya!

Jawab:

QS: 2:208, QS:3:159, QS:42:38

  1. Coba saudara jelaskan dimana letak perbedaannya antara syariah dan fiqih?

Jawab:

Syariah bersifat universal, absolut dan abadi, sedangkan fiqih

Belum tentu bersifat universal, absolut dan abadi.

  1. Coba saudara jelaskan mengapa syariah harus ada keseragaman, jadi tidak mengenal batas negara atau pun batas waktu, sedangkan fiqih justru lebih dikenal dengan keragaman bukan keseragaman?

Jawab:

Karena Syariah sebagai suatu sistem yang  diturunkan langsung dari Allah SWT melalui RosulNya SAW memang harus memiliki sifat sama dan seragam untuk semua bangsa di dunia, tetapi dalam penerapannya setelah terjadi proses pemahaman dari para alim ulama yang memiliki keberagaman dalam penerapan praktek pelaksanaan syariah itu sendiri ke berbagai belahan bumi dan masa yang berbeda-beda, maka terjadi keberagaman fiqih tetapi masih dalam koridor aqidah tauhid yang sama.

  1. Menurut saudara antara lain apa saja yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI No.80?

Jawab:

  1. Riba adalah tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang

ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas

pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak;

Tindakan yang termasuk dalam kategori riba, antara lain: Margin

       Trading (transaksi dengan tembiayaan), yaitu melakukan transaksi

       atas efek dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga (riba) atas

kewajiban penyelesaian pembelian efek;

  1. Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya;

        Taghrir adalah upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi; Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori taghrir antara lain:

1)      Wash sale (Perdagangan semu yang tidak mengubah kepemilikan) yaitu transaksi yang terjadi antara pihak pembeli dan penjual yang tidak menimbulkan perubahan kepemilikan dan/atau manfaatnya (beneficiary of ownership) atas transaksi saham tersebut. Tujuannya untuk membentuk harga naik, turun atau tetap dengan memberi kesan seolah-olah harga terbentuk melalui transaksi yang berkesan wajar. Selain itu juga untuk memberi kesan bahwa efek tersebut aktif diperdagangkan.

2)      Pre-arrange trade yaitu transaksi yang terjadi melalui pemasangan order beli dan jual pada rentang waktu yang hampir bersamaan yang terjadi karena adanya perjanjian pembeli dan penjual sebelumnya. Tujuannya untuk membentuk harga (naik, turun atau tetap) atau kepentingan lainnya baik di dalam maupun di luar bursa.

14.Bai’ al-Ma’dum adalah jual beli yang obyek (mabi’)-nya tidak ada

ada saat akad, atau jual beli atas barang (efek) padahal penjual tidak

memiliki barang (efek) yang dijualnya;

Bai’ al-Maksyuf adalah bentuk jual beli yang mengandung gharar; yaitu jual beli secara tunai atas barang (efek) yang bukan milik penjual dan penjual tidak diberi izin oleh pemilik untuk menjualkan, atau jual beli secara tunai atas barang (efek) padahal penjual tidak memiliki barang (efek) yang dijualnya; Tindakan yang termasuk dalam kategori bai’ al-ma’dum, antara lain: Short Selling (bai’ al-maksyuf/jual kosong), yaitu suatu cara yang digunakan dalam penjualan saham yang belum dimiliki dengan harga tinggi dengan harapan akan membeli kembali pada saat harga turun.

  1. 15. Jahalah adalah ketidakjelasan dalam suatu akad, baik mengenai obyek

      akad, kualitas atau kuantitas (shifat)-nya, harganya (tsaman), maupun

mengenai waktu penyerahannya;

Ihtikar adalah membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat pada saat harga mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjualnya kembali pada saat harganya lebih mahal; Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori Ikhtikar antara lain:

1)      Pooling interest, yaitu aktivitas transaksi atas suatu efek yang terkesan liquid, baik disertai dengan pergerakan harga maupun tidak, pada suatu periode tertentu dan hanya diramaikan sekelompok anggota bursa efek tertentu (dalam pembelian maupun penjualan). Selain itu volume transaksi setiap harinya dalam periode tersebut selalu dalam jumlah yang hampir sama dan/atau dalam kurun periode tertentu aktivitas transaksinya tiba-tiba melonjak secara drastis. Tujuannya menciptakan kesempatan untuk dapat menjual atau mengumpulkan saham atau menjadikan aktivitas saham tertentu dapat dijadikan benchmark.

2)      Kemudian ada upaya pembelian Cornering, yaitu pola transaksi ini terjadi pada saham dengan kepemilikan publik yang sangat terbatas. Terdapat upaya dari pemegang saham mayoritas untuk menciptakan supply semu yang menyebabkan harga menurun pada pagi hari dan menyebabkan investor publik melakukan short selling yang dilakukan pemegang saham mayoritas hingga menyebabkan harga meningkat pada sesi sore hari yang menyebabkan pelaku short sell mengalami gagal serah atau mengalami kerugian karena harus melakukan pembelian di harga yang lebih mahal.

  1. Ghabn Fahisy adalah ghabn tingkat berat, seperti jual-beli atas barang

dengan harga jauh di bawah harga pasar; Tindakan yang termasuk

dalam kategori Ghabn Fahisy, antara lain: Insider Trading

(perdagangan orang dalam), yaitu kegiatan ilegal di lingkungan pasar

finansial untuk mencari keuntungan yang biasanya dilakukan dengan

cara memanfanfaatkan informasi internal, misalnya rencana-rencana

atau keputusan-keputusan perusahaan yang belum dipublikasikan.

  1. Talaqqi al-rukban adalah bagian dari ghabn; yaitu jual-beli atas barang dengan harga jauh di bawah harga pasar karena pihak penjual tidak mengetahui harga tersebut.
  2. 19. Tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang

dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek

akad tersebut tidak cacat; Tindakan-tindakan yang termasuk dalam

kategori Tadlis antara lain:

1)      Front Running yaitu tindakan Anggota Bursa Efek yang melakukan transaksi lebih dahulu atas suatu Efek tertentu, atas dasar adanya informasi bahwa nasabahnya akan melakukan transaksi dalam volume besar atas efek tersebut yang diperkirakan mempengaruhi harga pasar, tujuannya untuk meraih keuntungan atau mengurangi kerugian.

2)      Misleading information (Informasi Menyesatkan), yaitu membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga efek di Bursa Efek.

  1. Tanajusy/Najsy adalah tindakan menawar barang dengan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang berminat membelinya; Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori Najsy antara lain:

1)      Pump and Dump, yaitu aktivitas transaksi suatu efek diawali oleh pergerakan harga uptrend, yang disebabkan oleh serangkaian transaksi inisiator beli yang membentuk harga naik hingga mencapai level harga tertinggi. Setelah harga mencapai level tertinggi, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kenaikan harga yang telah terjadi, melakukan serangkaian transaksi inisiator jual dengan volume yang signifikan dan dapat mendorong penurunan harga. Tujuannya adalah menciptakan kesempatan untuk menjual dengan harga tinggi agar memperoleh keuntungan.

2)      Hype and Dump, yaitu aktivitas transaksi suatu efek yang diawali oleh pergerakan harga uptrend yang disertai dengan adanya informasi positif yang tidak benar, dilebih-lebihkan, misleading dan juga disebabkan oleh serangkaian transaksi inisiator beli yang membentuk harga naik hingga mencapai level harga tertinggi. Setelah harga mencapai level tertinggi, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kenaikan harga yang telah terjadi, melakukan serangkaian transaksi inisiator jual dengan volume yang signifikan dan dapat mendorong penurunan harga. Pola transaksi tersebut mirip dengan pola transaksi pump and dump, yang tujuannya menciptakan kesempatan untuk menjual dengan harga tinggi agar memperoleh keuntungan.

3)      Creating fake demand/supply (permintaan/penawaran palsu), yaitu adanya 1 (satu) atau lebih pihak tertentu melakukan pemasangan order beli/jual pada level harga terbaik, tetapi jika order beli/jual yang dipasang sudah mencapai best price maka order tersebut di-delete atau diamend (baik dalam jumlahnya dan/atau diturunkan level harganya) secara berulang kali. Tujuannya untuk memberi kesan kepada pasar seolah-olah terdapat demand/suplpy yang tinggi sehingga pasar terpengaruh  untuk membeli/menjual.

  1. 21. Ghisysy adalah salah satu bentuk tadlis; yaitu penjual menjelaskan/

memaparkan keunggulan/keistimewaan barang yang dijual serta

menyembunyikan kecacatannya; Tindakan-tindakan yang termasuk

dalam kategori ghisysy antara lain:

1)      Marking at the close (pembentukan harga penutupan), yaitu penempatan order jual atau beli yang dilakukan di akhir hari perdagangan yang bertujuan menciptakan harga penutupan sesuai dengan yang diinginkan, baik menyebabkan harga ditutup meningkat, menurun atau pun tetap dibandingkan harga penutupan sebelumnya.

2)      Alternate trade, yaitu transaksi dari sekelompok Anggota Bursa tertentu dengan peran sebagai pembeli dan penjual secara bergantian serta dilakukan dengan volume yang berkesan wajar. Adapun harga yang diakibatkannya dapat tetap, naik atau turun. Tujuannya untuk memberi kesan bahwa suatu efek aktif diperdagangkan.

  1. Dharar adalah tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau

kerugian pihak lain.

Ketentuan Khusus dalam Fatwa DSN-MUI No.80, antara lain sbb.:

a..      Akad jual beli dinilai sah ketika terjadi kesepakatan pada harga serta jenis dan volume tertentu antara permintaan beli dan penawaran jual;

  1. Pembeli boleh menjual efek setelah akad jual beli dinilai sah sebagaimana dimaksud dalam huruf b, walaupun penyelesaian administrasi transaksi pembeliannya (settlement) dilaksanakan di kemudian hari, berdasarkan prinsip qabdh hukmi;
  2. Efek yang dapat dijadikan obyek perdagangan hanya Efek Bersifat Ekuitas Sesuai Prinsip Syariah;
  3. Harga dalam jual beli tersebut dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang mengacu pada harga pasar wajar melalui mekanisme tawar menawar yang berkesinambungan (bai’ almusawamah);
  4. Dalam perdagangan efek tidak boleh melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana yang tertera berikut ini.

Tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah:

Pelaksanaan perdagangan efek harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi, manipulasi, dan tindakan lain yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman, taghrir, ghisysy, tanajusy/najsy, ihtikar, bai’ al-ma’dum, talaqqi al-rukban, ghabn, riba dan tadlis.

  1. Apa saran saudara untuk para peneliti berikutnya:

Jawab:

Hal 195-196