BELAJAR BERPIKIR OUT OF THE BOX

BELAJAR BERPIKIR OUT OF THE BOX
I Hardhy Winarta

Seorang Guru yang akan mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila, mengawalinya dengan membuat garis lurus sepanjang 10 cm di papan tulis, kemudian meminta murid-muridnya untuk menemukan cara bagaimana memperpendek garis tersebut.
Murid pertama maju ke depan lalu menghapus sekitar 2 cm pada garis tersebut, sehingga menjadi sekitar 8 cm. Murid-murid yang lain menganggukkan kepala, tanda mereka menyetujui tindakan murid tersebut. Guru tersebut lalu mempersilakan dua murid berikutnya. Kedua murid tersebut melakukan hal yang sama, yaitu masing-masing menghapus 2 cm dari garis yang masih tersisa, sehingga akhirnya tinggal tinggal 4 cm.
Kemudian Guru tersebut bertanya apakah ada acara lain bagaimana memperpendek garis tersebut selain dengan cara menghapusnya sedikit demi sedikit seperti yang telah dilakukan oleh ketiga orang murid tersebut. Kebanyakan murid menggelengkan kepala, menandakan bahwa mereka tidak lagi mengetahui cara lain yang diminta sang Guru tersebut.
Secara tidak disangka-sangka majulah seorang murid perempuan ke depan kelas. Ia tidak menghapus garis yang masih tersisa, namun ia membuat garis yang lebih panjang sejajar dengan garis pertama yang tinggal 4 cm itu.
Melihat apa yang dilakukan murid perempuan tersebut, murid-murid yang lain terpana. Kemudian Guru itu pun berkata: “Kau memang bijak. Untuk membuat garis itu menjadi pendek, tak perlu menghapusnya, namun cukup dengan cara membuat garis yang lebih panjang. Dengan cara begitu, garis pertama akan menjadi lebih pendek dengan sendirinya.”

Bermula dari pengalaman itu, Guru tersebut kemudian meneruskan pelajaran hari itu dengan menyampaikan pesan moral yang dapat dipetik dari peristiwa tadi. Pancasila, kata Guru tersebut, memuat ajaran moral bahwa dalam kehidupan bersama, kita tidak dibenarkan untuk mengecilkan orang lain, apalagi menghapus keberadaannya. Menghapus garis lurus tadi ibarat mengecilkan atau menghapus eksistensi orang lain. Untuk menjadikan “lebih besar” dibandingkan dengan orang lain, tidak harus dengan “mengecilkan” orang lain, melainkan dengan “memperbesar” diri kita.  Kalau terpaksa kita harus menunjukkan bahwa perbuatan, tindakan atau pekerjaan orang lain itu masih banyak kekurangannya, kita cukup melakukan perbuatan yang lebih baik, maka perbuatan orang lain yang kita anggap kurang baik tersebut akan nampak ketidakbaikannya atau kekurangannya. Untuk tidak membuat lingkungan hidup kita menjadi lebih kotor, kita tidak selalu harus dengan menyapunya seperti yang dilakukan oleh petugas kebersihan, namun sekurang-kurangnya kita tidak membuang sampah seenaknya di lingkungan tersebut. Menjaga kebersihan lingkungan tidak harus dengan menunggu terciptanya sistem pembersihan yang canggih, namun dapat dimulai dengan menumbuhkan kesadaran pada diri sendiri untuk tidak menambah sampah di lingkungannya sendiri. Sayangnya kebanyakan dari kita, terutama generasi muda kita, justru lebih cenderung untuk melakukan hal yang sama atau bahkan meniru apa yang telah dilakukan orang terdahulu, padahal kita tahu bahwa hal itu tidak benar.

Proses pendidikan, melalui pembelajaran di kelas, sebetulnya merupakan upaya untuk mengubah cara berpikir peserta-didik. Istilah kerennya, mengubah mindset atau paradigma. Dengan adanya perubahan berpikir dari yang biasanya, kita berharap akan terjadi pula perubahan tidakan atau perbuatan yang lebih baik.

Upaya menumbuhkan cara berpikir out of the box sering saya lakukan pada mahasiswa melalui proses perkuliahan. Pada setiap pertemuan pertama matakuliah Manajemen Strategik di awal semester, kepada mahasiswa saya minta untuk mengisi kotak-kotak berikut ini dengan angka atau bilangan yang tepat agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.

Sejauh ini, belum pernah ada mahasiswa kita yang dapat memecahkan atau mengerjakan soal tersebut dengan cepat dan benar. Agaknya mahasiswa terbiasa berpikir secara linier dan jarang sekali yang berpikir secara out of the box. Barangkali karena hasil yang diharapkan berupa bilangan yang utuh, mereka lupa bahwa ada bentuk bilangan decimal.  Ketika saya katakan bahwa mereka perlu mencoba cara berpikir yang lain atau secara lebih kreatif, bahkan dengan cara yang keluar dari batas-batas kerangka pemikirannya; mereka pun belum mampu menemukan caranya. Setelah mereka menyatakan menyerahkan, kemudian diberitahukan cara pemecahannya atau jawaban berikut ini.

Reaksi atas solusi atau cara memecahkan persoalan tersebut bisa bermacam-macam. Ada mahasiswa yang menyesal kenapa cara tersebut tidak terpikirkannya, ada mahasiswa yang heran kepada bisa demikian, namun ada pula yang terkesan bersikap biasa saja.

Bermula dari sikap tersebut, kemudian dapat dijelaskan pengertian strategi, pentingnya strategi bagi suatu perusahaan, juga pentingnya belajar Manajemen Strategik. Mereka perlu disiapkan untuk belajar berpikir secara strategik atau berpikir secara out of the box, baru kemudian dapat belajar Manajemen Strategi, karena pada dasarnya strategi itu, meminjam istilah yang dikemukakan oleh Michael E. Porter (1985), bahwa “Strategy is about making necessary choices to perform different activities from rivals’ or perform similar activities in different ways.”




KUTANG atau ISINYA?

 

KUTANG ATAU ISINYA?

 

Dalam konsep pemasaran, salah satu atribut produk adalah kemasannya. Tidak sedikit konsumen yang memandang kemasan sebagai unsur penting yang perlu dipertimbangkan dalam membuat keputusan pembeliannya.  Oleh karena itu, banyak produsen yang merancang kemasan produk sebagai daya tarik minat beli calon konsumennya atas produk yang ditawarkannya.

Calon konsumen yang memandang kemasan sebagai unsur penting dalam membuat keputusan pembelian suatu produk, kerapkali juga menjadi lupa akan isi kemasan itu sendiri. Hal serupa terjadi pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam kehidupan ini banyak hal yang bersifat “kemasan”, sementara isi atau hakikatnya masih harus kita temukan di balik kemasannya.  Sedemikian menariknya “kemasan”, seringkali membuat kita lupa akan hakikat, isi, atau value dari yang ada dalam kemasan tersebut, apalagi jika kemasan itu menimbulkan asosiasi yang menjauhkan pikiran kita dari inti atau isi yang ada dalam kemasan tersebut.

 Sehubungan itu, saya menjadi ingat apa yang pernah ditulis oleh Emha Ainun Nadjib. Berkaitan dengan “bungkus dan Isinya” beliau pernah menulis demikian:

Hidup akan sangat melelahkan. Sia-sia & menjemukan bila Anda hanya menguras pikiran untuk mengurus *BUNGKUS*-nya saja dan mengabaikan *ISI*-nya. Maka, bedakanlah apa itu *”BUNGKUS”*-nya & apa itu *”ISI”*-nya.

  •  “Rumah yg indah” hanya bungkusnya, “Keluarga bahagia” itu isinya.
  • “Pesta pernikahan” hanya bungkusnya, “Cinta kasih, Pengertian, & Tanggung jawab” itu isinya.
  • “Ranjang mewah” hanya bungkusnya, “Tidur nyenyak” itu isinya.
  • “Kekayaan” itu hanya bungkusnya, “Hati yang gembira” itu isinya.
  • “Makan enak” hanya bungkusnya, “Gizi, energi, dan sehat” itu isinya.
  • “Kecantikan dan Ketampanan” itu bungkusnya; “Kepribadian dan Hati” itu isinya.
  • “Bicara” itu hanya bungkusnya, “Kenyataan” itu isinya.
  • “Buku” hanya bungkusnya; “Pengetahuan” itu isinya.
  • “Jabatan” hanya bungkusnya, “Pengabdian dan pelayanan” itu isinya.
  • “Pergi ke tempat ibadah” itu bungkusnya, “Melakukan Ajaran Agama” itu isinya.
  • “Kharisma”* hanya bungkusnya, *”Karakter”* itu isinya.
  • “Rejeki” itu itu hanya bungkusnya, “keberkahan” itulah isinya.

 Oleh karena itu, janganlah melihat judul tulisan ini, tetapi perhatikan isinya … ?   ihw.




PENTINGNYA PENGUKURAN KEPUASAN MAHASISWA

PERLUNYA PENGUKURAN KEPUASAN MAHASISWA

SEBAGAI PENGGUNA JASA PENDIDIKAN TINGGI

 

Globalisasi menjadikan masyarakat dunia semakin terhubungkan satu sama lain dalam berbagai kehidupan, berdimensi politik, teknologi, sosial budaya, dan ekonomi. Dampak globalisasi merambah ke dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan dan dunia perguruan tinggi. Tuntutan masyarakat terhadap mutu perguruan tinggi sebagai akibat globalisasi merupakan masalah konkrit, yang pemecahannya tidak bisa ditunda-tunda. Hal ini berarti, bahwa proses pembelajaran di perguruan tinggi harus bermutu dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Eksistensi dan tantangan sebuah perguruan tinggi tergantung pada penilaian stakeholders. Oleh karena alasan itu pula, perguruan tinggi perlu menjalankan proses penjaminan mutu terhadap pendidikan yang diselenggarakannya.

Komponen penentu mutu proses dan lulusan perguruan tinggi terdiri dari banyak komponen, di antaranya mutu program akademik, sumberdaya manusia, sarana prasarana, dan suasana akademik. Berbagai komponen mutu tersebut perlu ditingkatkan dalam rangka memenuhi standar nasional pendidikan. Pemerintah dengan Per-aturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 (Standar Nasional Pendidikan) pasal 2, menyatakan bahwa untuk penyelenggaraan setiap satuan pendidikan harus mengacu delapan standar mutu pendidikan, yakni: standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, standar pengelolaan, pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Globalisasi juga telah melahirkan berbagai tuntutan baru pada institusi pendidikan tinggi. Sejalan dengan tuntutan tersebut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menetapkan acuan   utama  dalam  kebijakan   dasar pengembangan pendidikan tinggi ke depan yakni Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi (Higher Education Long Term Strategy, HELTS) 2003-2010 yang diarahkan untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Berdasarkan klasifikasi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) sesuai dengan GATS/WTO-Central Product Classification/MTN. GNS/W/120,  pendidikan juga diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk bisnis jasa. Perguruan tinggi merupakan salah satu penyedia jasa pendidikan ini. Secara umum, tujuan penyelenggaraan pendidikan, termasuk di perguruan tinggi, adalah terciptanya sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Semua tujuan tersebut akan terakumulasi melalui proses belajar. Hasilnya adalah kemampuan peserta didik yang tergambar melalui prestasi belajarnya. Prestasi belajar ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Salah satu faktor eksternalnya adalah kualitas layanan yang diberikan lembaga pendidikan tinggi kepada para pengguna jasa pendidikan tinggi tersebut.

Organisasi Perguruan Tinggi (PT) memang bukan murni organisasi bisnis. Namun demikian,  ada kesamaannya dengan organisasi bisnis, yakni bahwa di dalam upaya meraih keberhasilan atau kinerja yang baik, keduanya  perlu menerapkan prinsip-prinsip pemasaran, yaitu upaya yang bertujuan untuk memuaskan pelanggan dan juga para pemangku kepentingan (stakeholders), melalui kegiatan menciptakan, mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai yang unggul kepada para pengguna jasa pendidikan tinggi tersebut. Oleh karena itu, dewasa ini banyak organisasi yang menjadikan tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggannya menjadi tolok-ukur kinerja organisasi.

Dalam kondisi bisnis yang  tingkat persaingannya tinggi dengan diferensiasi produk dan jasa yang begitu beragam, kepuasan dan loyalitas pelanggan menjadi  sangat penting untuk diketahui oleh manajemen perusahaan. Dengan mengagendakan program pengukuran kepuasan konsumen secara periodik akan memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, salah satu di antaranya adalah meningkatkan loyalitas para pelanggannya. Hal yang sama berlaku pula pada organisasi yang bergerak dalam jasa pendidikan.

Dalam jangka panjang, akan jauh lebih menguntungkan mempertahankan pelanggan yang loyal daripada terus-menerus menarik  atau mencari pelanggan baru. Pelanggan yang sangat puas   secara tidak langsung akan menjadi agen promosi bagi  perusahaan untuk menarik pelanggan baru. Sebaliknya, bila kualitas layanan yang dirasakan pelanggan/para mahasiswa tidak memadai, hal itu juga merupakan bad promotion mengenai Perguruan Tinggi tersebut. Selain itu, kualitas layanan juga merupakan bagian dari penjaminan mutu sebuah Perguruan Tinggi.

Pengukuran kepuasan pengguna jasa di suatu lembaga pendidikan tinggi perlu dilakukan secara periodik dalam rangka akreditasi Institusi Perguruan Tinggi, sebagaimana diamanatkan oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi).  Pada Buku III Pedoman Pengisian Borang Akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Standar 3 Mahasiswa dan Lulusan  butir 3.1.6 dan 3.1.6 (18-19),  Institusi Perguruan Tinggi wajib memiliki tata cara dan instrumen untuk mengetahui kepuasan mahasiswa terhadap layanan kemahasiswaan dan hasil pelaksanaan pengukuran kepuasan mahasiswa. Borang adalah alat untuk mengumpulkan dan mengungkapkan data dan informasi yang digunakan untuk menilai kelayakan dan mutu institusi perguruan tinggi. Sedangkan standar akreditasi  merupakan tolok ukur yang harus dipenuhi oleh institusi perguruan tinggi, yang digunakan untuk mengukur dan menetapkan mutu dan kelayakan institusi serta untuk mengukur  kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan.

Dengan demikian, pengukuran kepuasan mahasiswa, sebagai pengguna jasa pada suatu perguruan tinggi, sangatlah penting dan perlu dilakukan, karena berkaitan erat dengan kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Lebih dari itu, tingkat kepuasan pelanggan atas kualitas layanan pada suatu perguruan tinggi juga dapat dikaitkan dengan perkembangan jumlah calon mahasiswa yang masuk setiap tahunnya, dengan asumsi bahwa mahasiswa yang sangat puas   secara tidak langsung akan menjadi agen promosi bagi  perguruan tinggi yang bersangkutan untuk menarik calon mahasiswa baru. (ihw).




Memandang Sesuatu Secara Positif

MEMANDANG SEGALA SESUATU SECARA POSITIF

Matius 9 : 27-31

 

9:27 Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud.”

9:28 Setelah Yesus masuk ke dalam sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepada-Nya dan Yesus berkata kepada mereka: “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?” Mereka menjawab: “Ya Tuhan, kami percaya.”

9:29 Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: “Jadilah kepadamu menurut imanmu.”

9:30 Maka meleklah mata mereka. Dan Yesus pun dengan tegas berpesan kepada mereka, kata-Nya: “Jagalah supaya jangan seorang pun mengetahui hal ini.”

9:31 Tetapi mereka keluar dan memasyhurkan Dia ke seluruh daerah itu.

 

Renungan:

Penilaian kita terhadap keadaan sekitar kita ditentukan oleh cara pandang kita. Jika kita melihat segala sesuatu dengan cara positif, maka kita akan melihat hal-hal yang baik, benar dan suci. Sebaliknya, jika kita melihat segala sesuatu secara negatif, maka yang akan kita lihat adalah kekurangan, keburukan dan dosa orang lain.  Bayangkan, seandainya kita ingin membeli sebuah rumah tinggal yang terang dan cerah. Kalau kita selama mencari rumah tersebut menggunakan kaca mata hitam, maka tidak ada satu pun rumah yang kita lihat akan cocok dengan keinginan kita tersebut. Setelah kita melepas kaca mata hitam yang kita kenakan itu, maka kita baru melihat bahwa semua rumah yang pernah kita lihat ternyata adalah rumah yang terang dan cerah.

Bacaan Injil pada hari ini mengisahkan tentang dua orang buta yang karena imannya, dimelekkan matanya oleh Yesus. Dua orang buta dalam Injil hari ini adalah orang-orang yang menderita. Mereka menderita, baik secara fisik maupun secara batiniah. Secara fisik, mata mereka tidak bisa melihat dunia sekitarnya secara nyata dan jelas. Dunia yang indah dan terang benderang, bagi mereka merupakan sesuatu yang buram atau bahkan gelap. Secara bathiniah, mereka tidak bisa “melihat” dengan jelas karena dosa-dosa yang membelenggu mereka. Mata yang dikendalikan oleh si jahat dapat menjerumuskannya ke dalam dosa yang lebih besar.

Menyadari akan kedosaannya, kedua orang buta tersebut memohon belaskasihan Tuhan Yesus. Yesus kemudian membuat kedua orang buta tersebut dapat melihat, bukan karena belaskasihanNya semata, namun karena iman atau kepercayaan mereka. Setelah Yesus bertanya apakah mereka percaya bahwa Yesus dapat melakukan apa yang mereka inginkan, maka kemudian Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: “Jadilah kepadamu menurut imanmu.” (Mat 9:29).

Kita juga seringkali buta terhadap diri kita sendiri, terhadap sesama dan Tuhan. Mata kita kadangkala tertutup rapat terhadap kekeliruan dan dosa-dosa kita sendiri, namun terbuka lebar atau melek terhadap kesalahan sesama. Masa Adven yang kita jalani ini adalah saat istimewa penuh rahmat bagi kita untuk melepas cara pandang kita yang negatif. Kita diajak untuk jujur dan rendah hati melihat kesalahan dan dosa kita, untuk kemudian hidup secara lebih baik. Kita juga dituntun Tuhan untuk lebih rendah hati melihat kebaikan dan kelebihan orang lain.




Are You Angry with Someone?