Lenggang Jakarta – Menyusuri Jejak Kemashyuran Masa Lalu

Diantara jeda waktu yang sangat ketat, karena deadline laporan penelitian, saya pikir perlu sejenak mengambil waktu untuk menuliskan sesuatu yang menyegarkan. Mumpung belum begitu lama, terpikir untuk menuliskan hasil jelajah di seputar Glodok dan Petak Sembilan, Jakarta Barat.

Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia, menyimpan banyak tempat cantik dan eksotik untuk dikunjungi. Jadi kalau waktu terbatas, dana terbatas, jangan kuatir, ada beberapa alternatif murah meriah untuk menyegarkan pikiran dari kepenatan pekerjaan sehari-hari. Saya mulai dari Glodok dulu. Aksesnya mudah, bisa naik bis Trans Jakarta jurusan Kota, turun halte Glodok. Atau naik CL turun Stasiun Kota, kemudian naik angkot sebentar menuju Glodok. Saya janjian dengan beberapa teman dengan meeting point Pantjoran Tea House, sala satu gedung tua di kawasan Glodok yang dijadikan restoran ala minum teh jaman dulu. Kemudian kita jalan menuju belakang, masuk ke salah satu gang kecil yang dulu bernama Gang Gloria. Ada salah satu resto jadul yang mashyur nian sejak tahun 1927, Tak Kie namanya. Terkenal dengan es kopi dan nasi timnya. Datanglah sejak pagi kalau ingin mencicipi nasi tim yang terkenal itu. Sambil menunggu beberapa teman lain bergabung, kami pun mencoba mie ayam dan beberapa jajanan jadul seperti, kue bulan “Sin Hap Hoat” rasa kedjoe, kue so pia (bakpia) “Sin Yen”, dan lo poh phiang isi jeruk kietna, plus permen susu. Acaranya makin seru karena pemilik Tak Kie ikut bergabung, dan bercerita sejarah resto ini.

Selanjutnya kami bergerak menuju resto yang gak kalah jadul “Wong Fu Kie”, dengan menu yang hot yaitu ayam jahe. Peer banget menemukan resto yang terletak di Gang Perniagaan Timur II ini. Menyusuri pertokoan sepanjang Petak Sembilan, yang penuh dengan apotik tradisional, jajanan, peralatan jadul, dan bersaing dengan segala macam jenis kendaran lalu lalang plus bongkat muat barang. Finally ketemu…., di gang kecil, eksotik, dan penampakannya gak kliatan banget kayak restoran. Mana dapurnya di depan boo…, lucu ya. Langsung pemilik menawarkan beberapa menu spesial yang menjadi andalan resto ini, akhirnya terpilih gurame, mie pangsit, lindung (belut), pokcay, dan ayam rebus. Nama versi Cina-nya susah ya, enggak apal….. Kalau mau pilih yang non halal pun ada :D. Begitu makanan lengkap disajikan, langsung diserbu abis akibat laper banget, lanjut foto-foto dengan pemilik resto yang mengatakan bahwa resto ini sudah berdiri sejak 60 tahun lalu.

Dari Wong Fu Kie, kami bergerak ke Pempek 99 nan mashyur di belakang pertokoan Asemka. Karena perut sudah kenyang, maka pempek cukup dibungkus, lagian restonya penuh sekali, tidak menyisakan tempat satupun yang kosong. Langsung pulang? Belum waktunya…, mampir dulu ke warung mie kangkung, yang ternyata sudah tutup karena abis dan kesorean. belum rejeki deh… Akhirnya setelah beli beberapa jajanan dan sovenir lucu-lucu, kami berpisah dan merencanakan kemana next trip buat Geng Ayam Jahe berikutnya.

Tunggu episode berikutnya pada Edisi Lenggang Jakarta yaaa…., selamat piknik.




Ketika Tuhan Sedang Tertawa Lebar

Ketika saya mengunggah foto di media sosial, seorang teman bertanya, kalau Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, lalu tempat yang kamu kunjungi diciptakan Tuhan ketika sedang apa? Tertawa lebar, itu jawab saya spontan. Nah gara-gara itu maka muncullah ide untuk menulis catatan perjalanan tempat-tempat yang saya kunjungi, tempat-tempat indah yang diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum lebar. Ada 3 tempat yang akan saya tulis di sini, Pantai Ora di Pulau Seram, Maluku; Sailing di Taman Nasional Komodo, NTT; dan Explore Takabonerate, Sulawesi Selatan. Siapa tahu tulisan ini menjadi referensi buat teman-teman yang berencana untuk travelling, khususnya ke Indonesia bagian timur.

1. Pulau Seram yang sama sekali tidak seram.
Sayup-sayup lagu Indonedia Tanah Air Beta lirih terdengar di telinga, ketika pilot memberikan pengumuman bahwa tak lama lagi pesawat akan mendarat di Ambon. Rasanya tak sabar buat melanjutkan travelling ke salah satu pulau besar di Kepulauan Maluku ini. Pulau Seram, adalah tujuan travelling saya di tahun ini. Pulau yang menyimpan keindahan pantainya, dan kini akan saya kunjungi adalah Pantai Ora di daerah Sawai. Pantai cantik dengan air yang sangat bening ini sangat terkenal di kalangan traveller jelajah Indonesia. Pantai yang dikenal dengan Maldive-nya Indonesia.

Dari bandara Pattimura Ambon, perjalanan dilanjutkan menuju ke Pelabuhan Tuhelu dan mampir ke Pantai Natsepa untuk menikmati sarapan nasi kuning khas Ambon. Sampai di Pelabuhan Tulehu perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Amahai di Masohi yang ditempuh sekitar 2 jam dengan kapal cepat. Dari Pelabuhan Amahai, lanjut perjalanan darat kurang lebih 2 jam dengan kondisi jalan yang penuh dengan tikungan dan tanjakan. Apalagi pak supir sepertinya mantan pembalap F1 semua, sehingga rute tersebut pun dilalui dengan nyaris tanpa mengurangi kecepatan. Sampai akhirnya sampailah kita di Desa Saleman. Dari Desa Saleman, kita masih lanjut dengan kapal boat sekitar 20 menit untuk sampai di lokasi. Tapi semua itu terbayar sudah…., rasa takjub dan puji syukur yang luar biasa setelah sampai ke pantai Ora yang dikelilingi oleh pegunungan Manusela yang tampak gagah dan penuh dengan pepohonan hijau. Lautnya sangat bening, sampai koral di dasarnya pun kelihatan. Pantai di sekitarnya memiliki gradasi warna yang keren, putih, kuning, hijau, dan biru. Sebagian pantai memiliki gugusan karang yang tak kalah cantik, dan sumber air tawar yang ada di tepi pantai, seru!!!

Pantai Ora1
Landscape Pantai Ora

Disana ada beberapa penginapan yang dapat dipilih, Ora Resort Beach, Lisar Bahari, dan lain sebagainya. Kesamaannya adalah penginapan ini dibangun di atas laut, dengan air yang jernih sehingga bias berenang kapan saja. Kalau kita tebarkan makanan dari atas maka ikan-ikan beraneka warna akan muncul berebutan, suatu pemandangan yang luar biasa buat kita yang setiap hari didera dengan keruwetan kota besar. Selain bersantai di pantai, kegiatan lain yang bisa dilakukan disana adalah snorkeling, trekking di desa Saleman untuk melihat keindahan pantai dari atas, menjelajahi gua sepanjang gugusan karang, dan mabok lobster hihihi….. Disana lobster murah banget, silakan puas-puasin deh. Dan karena posisi pantai ini ada di teluk, maka kondisi air relatif tenang, karena hampir sepanjang hari kegiatan kita selalu menggunakan kapal boat, jadi cukup tenanglah untuk manusia darat seperti kita.

Pantai Ora2
Trekking di Saleman

Yang perlu diantisipasi, listrik disini hanya nyala dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Air tawar tersedia sangat cukup. Dan disini sinyal lancar loh, jadi tetap bisa mantau e-learning dan tetep bisa liburan. Jadi bu dosen tetap bisa liburan dan mahasiswa bahagia. Jangan lupa nikmati kuliner khas Maluku, papeda dan kuah ikan kuning, plus jus gandaria untuk menyegarkan perjalanan yang cukup jauh ini.

Pantai Ora3
Laut yang sangat bening di Sawai

2. Bertabur bintang di Langit Komodo
Tinggal di kapal, digoyang-goyang ombak? Itu pertanyaan awal saya sebelum memutuskan untuk Live on Boat saat sailing di Taman Nasional Komodo. Mabuk gak ya? Tapi sudahlah, mabuk urusan belakangan, landscape cantik yang terbentang sepanjang taman nasional itu jauh lebih menarik. Perjalanan ini diawali dengan kecemasan karena beberapa penerbangan dari Bandara Ngurah Rai dibatalkan karena erupsi dari anak gunung Rinjani. Tapi akhirnya pesawat take off tepat waktu dari bandara Ngurah Rai, Denpasar, dan setelah 1 jam dan 35 menit, ukul 7.45 sampailah kita di terminal kedatangan Bandara Komodo. And the journey start here….

Pulau pertama yang dikunjungi adalah Pulau Kanawa. Panas dari musim kemarau yang cukup panjang di tahun ini tidak menyurutkan niat menikmati pemandangan di pulau ini. Untuk dapat melihat lanscape keseluruhan pulau maka kita harus trekking ke atas bukit. Kebayang ya, tanjakan terjal dan panas menyengat, tapi maju terus pantang mundur. Sampai di atas kita bisa pemadangan yang indah, tampak dari jauh Pulau Flores yang dikelilingi oleh air laut yang biru. Pulau Kanawa ini dikelola oleh perorangan. Tapi pengunjung boleh berfoto dan menikmati pemandangan di pulau tersebut. Turun trekking kami lanjut snorkeling. Salah satu guide menemani saya snorkeling dan menunjukkan arah dimana tempat terumbu karang yang bagus.

Setelah makan siang yang sedap, kapal berjalan lagi menuju pulau kedua yaitu Gili Lawa. Sebelum berangkap trip saya sudah browsing sedikit mengenai medan trekking Gili Lawa ini. Sepertinya akan jadi medan terberat selama perjalanan. Agak menjelang sore kapal bersandar di tepi pulau Gili Lawa. Akhirnya satu persatu dari kami turun ke pantai dan terlihat jelaslah rute trekking yang aduhai itu. Awalnya sih rada ragu-ragu ya buat lanjut ke atas, tapi no way return lah. Rutenya memang aduhai, bahkan sering tidak menyisakan tempat landai untuk berdiri tegak. Dan, finally…., sampailah kita pada puncak Gili Lawa tersebut. Landscape yang terhampar bener-bener kece badai…, sepadan dengan perjuangannya. Kita di atas sampai sunset tiba, pelan-pelan matahari turun, walaupun tidak sempurna karena tertutup awan. Tapi sensasinya luar biasa, warna orange, merah, dan biru membaur membuat lukisan yang luar biasa indah, hihihi…tiba-tiba jadi romantis ya. Malam benar-benar turun ketika kami tiba di kapal. Sampai kapal kami istirahat sambil menunggu makan malam disiapkan. Ada seekor rusa yang turun ke pantai untuk minum, ada hamparan bintang, paket lengkap!!! Setelah makan satu persatu gantian mandi, bebersih, dan bersiap untuk tidur. Mabuk kah karena kapal goyang-goyang? Kayaknya udah gak sempat mikir mabuk deh, capek, jadi lanjut tidur aja. Kekuatiran saya pun tidak terbukti.

Komodo1
Pulau Gili Lawa

Dalam perjalanan menuju Pulau Komodo, kita bertemu dengan serombongan ikan pari manta. Ikan ini dikenal ramah dengan manusia, akan tetapi yang boleh turun untuk snorkeling adalah yang lancar berenang, karena arus dan laut yang cukup dalam. Sampai di pulau Komodo, yang dikenal dengan nama Loh Liang (Teluk Komodo) kami sudah siap ditemani oleh beberapa ranger, yang akan menemani tour sepanjang pulau ini. Kita ambil medium trek, dari 3 tipe trekking yang ditawarkan. Beberapa kali kita berpapasan dengan komodo selama trekking. Ngeri-ngeri sedap ya ternyata melihat komodo secara aslinya. Pemandangan pantai seputar pulau Komodo ini luar biasa indah. Bukit coklat akibat musim kemarau bersanding dengan pantai dengan air warna biru tosca, eksotis!!! Selain pulau Komodo, pulau Rinca adalah juga pulau habitat asli komodo yang dikenal dengan nama Loh Buaya (Teluk Buaya). Jadi di pulau ini selain harus waspada dengan komodo, juga harus waspada dengan buaya. Ini adalah trekking paling uji nyali, karena udah ngos-ngosan tetap harus waspada, karena bisa sewaktu-waktu bertemu komodo atau buaya, ahaaa!!!!!

Komodo2
Pemandangan eksotis Pulau Komodo

Pink Beach, adalah tujuan berikutnya untuk snorkeling. Pantainya warna merah muda, karena ada serpihan karang warna merah yang terhampar sepanjang pantai. Sehingga dari jauh kliatan warna pink. Pasir pantainya halus, airnya bening. Visibility-nya juga bagus, air jernih, sehingga sesi foto underwater pun cakep disini.

Salah satu highlight sailing di Taman Nasional Komodo ini adalah Pulau Padar. Rute trekking Pulau Padar tidak securam di Gili Lawa, relatif lebih landai. Ada beberapa tempat yang berpasir sehingga harus tetap hati-hati. Begitu sampai atas, masya allah cantiknya. 3 teluk yang membentuk lekukan cantik ini bener-bener membuat capeknya ilang deh. Keren bangeett….. Dari Pulau Padar kami beranjak ke Pulau Kelor, sebelum kembali ke Labuhan Bajo. Island hopping di pulau-pulau seputaran taman nasional ini memang keren, dan cukup menguras tenaga. Selama sailing air tawar yang tersedia terbatas, listrik hanya nyala malam hari saat generator kapal dinyalakan. Sinyal telepon seluler lancar.

Komodo3
Trekking di Pulau Padar

3. Takabonerate, surga yang jatuh ke bumi
Pernah dengarkah Takabonerate? Yang pasti di peta gak ada. Takabonerate adalah salah satu atol tercantik di dunia, yang masih masuk dalam wilayah Kepulauan Selayar, propinsi Sulawesi Selatan. Takabonerato merupakan taman laut yang memiliki atol tercantik setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Tahu atol kan? Gugusan pulau yang membentuk cincin, dan di situlah keindahan under water berada. Berhubung saya gak bisa diving, cukuplah dengan snorkeling ajah. Itupun sudah sangat cantik sekali.

Taka1
Island hopping di Taman Nasional Takabonerate

Perjalanan ke Takabonerate ini asli gokil banget deh. Dari Jakarta pesawat ke Makassar, dan dari Makassar lanjut pesawat ke Selayar. Penerbangan ke Selayar dari Makassar hanya ada 3x seminggu, selasa, kamis, sabtu dengan waktu tempuh sekitar 35 menit. Sebenarnya bisa aja menggunakan kapal dari Tanjung Bira menuju Dermaga Pattumbukang, tapi jauh lebih lama. Dari Dermaga Pattumbukang menuju pulau Rajuni di Takabonerate itu 4 jam dengan perahu kayu bermotor, seperti kapal kayu yang biasa kita lihat di Muara Angke. Tambah 1 jam lagi untuk menuju ke Pulau Tinabo. Jadi siapkan segala amunisi untuk menghalau kebosanan selama perjalanan ini.

Taka2
Pulau Tinabo, airnya sempurna!

Highlight dari Takabonerate adalah taman bawah laut dan pantainya yang luar biasa indah. Mengingat lokasi yang jauh, maka pengunjung masih jarang, sehingga keindahan pulau dan terumbu karangnya masih terjaga dengan baik. Terumbu karang yang berwarna-warni, dan ikan yang beraneka warna menambah indahnya taman bawah laut di Takabonerate ini. Island hopping di Taman Nasional Takabonerate ini sangat indah. Air laut relatif tenang, sehingga acara snorkeling di seputar pulau Tinanja menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Taman laut yang indah, dengan kombinasi wall dan terumbu karang yang beraneka bentuk dan warna. Pantai pasir timbul menjadi salah satu tujuan untuk bersantai selanjutnya. Serasa pantai pribadi, dengan laguna panjang dan tenang. Kalau beruntung, kita dapat bertemu dengan rombongan ikan lumba-lumba. Atau bermain dengan baby shark sepanjang pantai di pulau Tinabo.

Taka3
Sebagian dari keindahan taman laut Takabonerate

Sunset dan sunrise –nya sempurna. Sebagai orang yang nyaris tidak pernah memandang langit. Bangun pagi menjemput matahari, dan menemaninya kembali ke peraduan di sore hari adalah kemewahan. Secangkir kopi pun tanpa terasa abis. Air tawar disini sangat terbatas sekali, dan yang pasti tanpa sinyal. Tempat yang tepat untuk istirahat dan melepaskan diri dari hiruk pikuk kota. Best place to escape!!!

Taka4
Sunset di Tinabo

Cantik!!!! Cuma itu yang bisa diungkapkan. Percaya kan kalau Tuhan menciptakan tempat ini ketika sedang tertawa lebar. 😀




Cuilan Surga yang Jatuh ke Bumi

Eh emang ada gitu surga yang jatuh ke bumi? Klo buat saya sih ada ya, salah satunya tuh Takabonerate. Pernah dengar kah Takabonerate? Hihihihi…pasti belum ya. Yang pasti di peta gak ada. Takabonerate adalah salah satu atol tercantik di dunia, yang berlokasi di Sulawesi Selatan. Tahu atol kan? Gugusan pulau yang membentuk cincin, dan di situlah keindahan under water berada. Berhubung saya gak bisa diving, cukuplah dengan snorkeling ajah. Itupun sudah sangat cantik sekali.

Cuma, perjalanan ke Takabonerate ini asli gokil banget deh. Dari Jakarta pesawat ke Makassar, dan dari Makassar lanjut pesawat ke Selayar. Penerbangan ke Selayar dari Makassar hanya ada 3x seminggu, selasa, kamis, sabtu dengan waktu tempuh sekitar 35 menit. Sebenarnya bisa aja menggunakan kapal dari Tanjung Bira menuju Dermaga Pattumbukang, tapi lamanya itu, sekitar 2 jam, lebih hemat waktu dengan pesawat. Nah dari Dermaga Pattumbukang menuju pulau Rajuni di Takabonerate itu 4 jam dengan perahu kayu bermotor, seperti kapal kayu yang biasa kita lihat di Muara Angke. Tambah 1 jam lagi untuk menuju ke Pulau Tinabo. Dengan beberapa kali goyang dumang karena ombak tinggi, hahhahha…., apa boleh buat kita nikmati saja ya.

Highlight dari Takabonerate adalah taman bawah laut dan pantainya yang luar biasa indah. Mengingat lokasi yang jauh, maka pengunjung masih jarang, sehingga keindahan pulau dan terumbu karangnya masih terjaga dengan baik. Terumbu karang yang berwarna-warni, dan ikan yang beraneka warna menambah indahnya taman bawah laut di Takabonerate ini.




Mengenal Malware

Wah komputerku kena virus nie….., sound familiar kan dengan kalimat tersebut. Buat kita yang sering berselancar di dunia maya, virus mungkin menjadi salah satu hal yang sering banget ditemui. Dari mulai virus iseng sampai yang benar-benar ditujukan untuk merusak sistem.

Apa sih sebenarnya itu Virus? Virus merupakan salah satu contoh Malware (berasal dari kata malicious dan software) adalah perangkat lunak yang diciptakan untuk atau merusak sistem komputer atau jaringan komputer tanpa izin dari pemilik. Virus merupakan salah satu saja malware yang banyak bertebaran di dunia maya. Mari kita kenal lebih jauh malware apa saja yang juga perlu mendapat perhatian, dan bagaimana mengatasinya.

1. Viruses
Rogue software program that attaches itself to other software programs or data files in order to be executed

Cara kerjanya sama seperti virus penyakit. Dengan mudah akan berpindah dari satu media ke media yang lain. Salah satu cara untuk mencegah virus adalah memutakhirkan anti virus yang sudah diinstal, dan berhati-hati dengan segala media yang akan digunakan di sistem komputer kita.

2. Worms
Independent computer programs that copy themselves from one computer to other computers over a network.

Cara kerjanya menyerupai namanya, cacing. Worm akan bergerak secara independen, ketika ada port yang terbuka maka akan segera masuk. Untuk itu selalu aktifkan dan perbaharui anti worm.

3. Trojan horses
Software program that appears to be benign but then does something other than expected.

Nama malware ini terinspirasi dari kuda troy, kuda yang dijadikan hadiah bagi raja, akan tetapi diisi dengan prajurit di dalamnya. Trojan lebih berbahaya, kadang kala masuk dengan diam-diam, dan akan mulai beraksi kemudian seperti bom waktu. Untuk itu berhati-hatilah pada saat berselancar, karena trojan bisa masuk melalui iklan, survei online, ataupun cookies.

4. Spyware
Small programs install themselves surreptitiously on computers to monitor user Web surfing activity and serve up advertising.

Atau istilah mudahnya mata-mata. Malware ini akan masuk ke komputer kita dan mencatat segala macam tindakan kita, termasuk akun, dan karakter pada password yang kita gunakan. Pastikan bahwa halaman web yang kita kunjungi aman untuk mencegah mata-mata ini masuk ke komputer kita.

Walaupun demikian, tidak perlu kuatir untuk berselancar di dunia maya, selama kita tahu risiko dan bagaimana mengatasinya.

Happy surfing 😀




LITERASI MEDIA “be smart user with your smartphone”

LITERASI MEDIA
be smart user with your smartphone

Musim hujan sudah mulai menampakkan dirinya. Ada satu kata yang pasti sangat fenomenal di kalangan warga Jakarta dan sekitarnya yaitu “banjir”. Tapi saya tidak akan membahas mengenai “banjir” ini, tapi fenomena aksi media termasuk media sosial dalam menyingkapi “banjir” ini. Sebelum masuk ke banjir, mari kita amati dulu kondisi persungaian di Jakarta ini. Kalau kita perhatikan kondisi sungai di Jakarta sudah mulai dibenahi. Tapi apakah Anda cukup sering menerima atau membaca info-info terkini soal ini? Saya yakin, tidak. Info-info seperti itu akan jarang bahkan tidak akan kita dapati di media-media mainstream baik tv, koran cetak maupun online, karena mungkin tidak laku untuk dijual.

Hasilnya akan berbeda kalau hujan turun 5 menit saja, secara serentak dan terus menerus media-media ini akan menayangkan info dengan tagline dan foto yang bombastis, dari mulai ‘genangan’, ‘banjir besar’, ‘terendam’, dll sampai sanggup membuat ibu saya SMS untuk menanyakan ‘mba Anna gpp kah, moga-moga gak kena banjir’. Sms ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh media untuk menggiring opini masyarakat. Giliran saya yang kaget baca sms, memang ada apa di Jakarta bu?

Lalu tanggung jawab siapakah Literasi media ini? Pemerintah pasti, karena yang berwenang menyusun regulasi. Dosen, guru, orang tua pun juga perlu banyak belajar, memilah info mana yang layak untuk dijadikan referensi, karena mereka akan menjadi orang-orang terdekat bagi generasi muda dan anak-anak. Hanya melihat foto dan membaca judul saja tidak cukup, mari telusuri dulu sumbernya, sebelum suatu informasi/foto tersebut dibagikan. Apalagi dengan kemudahan teknologi “mobile” dan maraknya penggunaan media sosial, informasi/foto akan sangat mudah untuk dibagikan. Be smart user with your smartphone.

Foto ini mungkin menjadi salah satu contoh yang bisa kita lihat betapa literasi media-media yang wara wiri itu tidak bisa begitu saja kita percayai. Cuma kok ya saya kasihan juga sama si ibu ini yaa.., kemana pun pindah, kotanya kok ya kebanjiran…:D

Literasi Media

Marilah menjadi pengguna yang cerdas untuk ponsel cerdas kita.




Yuuk…, nulis yuukkk….

Mau nulis apa sih? Gak ada ide deh. Hadeuhh…., stuck nie. Sering banget ya kita denger kata-kata itu. Apalagi kalau sudah ada kewajiban yang ada hubungannya dengan tulis menulis. Wah bisa mati kutu ya. Apalagi klo nulisnya kudu yang serius. Yang pake referensi panjang, butuh semedi dulu buat memahami, baru kemudian menuangkannya dalam tulisan.

Susah gak sih nulis itu. Jawabnya gampang-gampang susah. Dibilang gampang juga enggak. Tapi mo dibilang susah harusnya sih enggak ya. Pengalaman pribadi nie, sebenarnya sejak sekolah sudah sering banget nulis. Beberapa kali pernah mewakili Kecamatan Cepu untuk lomba mengarang sampai tingkat Karesidenan Pati. Lumayan kan hihihi…. Tapi ya gitu deh suka kumat malesnya.

Belajar dari Prof. Eko, bahwa menulis itu dapat diawali dengan yang paling sederhana. Misal nulis status di media sosial, yang awalnya mungkin hanya sekian karakter. Kemudian bisa nambah lebih banyak, micro blog, blog atau apalah itu. Trus Prof. Eko juga bilang, jangan pusing-pusing dengan ide, tulis aja. Tulislah sesuatu yang kamu suka. Yang gak pake baca buku pun sudah akan mengalir berkata-kata. Yang dekat dengan keseharian kita. Nah, suatu saat mungkin bisa meningkat. Ditambah dengan beberapa referensi, maka kualitas tulisan akan meningkat. Awalnya dari kebiasaan, ngomongin dulu masalah kuantitas, baru selanjutnya meningkat dari sisi kualitas.

Nah, itu yang sekarang sedang saya praktekkan. Berhubung saya suka jalan-jalan, maka saya coba menuangkan pengalaman jalan-jalan ini dalam tulisan. Bahasanya pun saya sesuaikan dengan bahasa ala-ala jalan-jalan. Simpel dan mudah dipahami. Niat awalnya cuma mau menuliskan pengalaman selama perjalanan, mumpung masih fresh, kejadian-keadian yang mungkin tidak tergambarkan dalam foto, bisa dituangkan dalam tulisan. Mungkin suatu saat dapat dibaca kembali, klo lagi kangen ngetrip (tapi gak punya ongkos). Biasanya tulisan pengalaman perjalanan ini juga saya tautkan ke link media sosial saya. Siapa tahu ada yang butuh referensi perjalanan yang pernah saya lakukan.

Menulis ini juga berbanding lurus dengan membaca. Karena kebiasaan membaca ini akan membuat kita punya banyak referensi untuk menulis. Saya memang lebih suka baca majalah karena isinya lebih bervariasi. Sekarang lagi belajar menulis artikel-artikel traveling yang biasanya dimuat di majalah. Siapa tahu suatu saat nanti pengalaman perjalanan saya dapat dimuat di majalah (ngarep :D). Sumber bacaan sekarang juga luar biasa banyak loh, baik yang hardcopy atau softcopy. Dengan modal jempol aja kita bisa menjelajahi dunia maya, yang sarat dengan info bermanfaat.

Selanjutnya adalah konsisten. Kebiasaan menulis sebaiknya memang dilakukan secara terus menerus. Itu sebabnya saya mencoba untuk terus menulis di blog dosen Perbanas ini. Temanya pun beragam, dari yang sesuai dengan background saya, sampai dengan tulisan santai ala perjalanan saya. Tiap bulan saya targetkan ada 1 ato 2 tulisan. Yang bener-bener tulisan ya, bukan sekedar copas link dari internet, trus dimasukkin ke blog. Karena disinilah sebenarnya konsistensi kita diuji. Dan saya nulis juga buka ngarep dapat reward (tapi kalo dapat ya alhamdulillah, bisa buat nambah ongkos jalan-jalan saya hahahhaha…). Reward nomor sekian lah, karena selama ini saya melihat tidak pernah ada yang rugi dalam menulis.

Jadi, yuukkk nulis yukk.., gak usah yang susah-susah dulu, yang belum-belum sudah bikin parno. Mulai dari sekarang, mulai dari tulisan yang paling sederhana, makin tambah referensi suatu saat kualitas tulisan kita pun akan bertambah. Peer besar saya sekarang adalah nulis yang bener-bener serius, yang memang menjadi tuntutan akan profesi saya sebagai dosen. Memang butuh usaha yang besar, selain harus mengumpulkan referensi yang berkualitas, juga membutuhkan waktu untuk memahaminya. Entah kenapa ya klo baca majalah dan novel itu bisa tahan berjam-jam. Coba deh baca jurnal, baru 5 menit mata langsung berasa 5 watt hahhaha…. Tapi tetep kudu cemunguuuttt….

Kamis, 21 Desember 2013
Nulisnya sambil nyemil combro dari mba Nani.




Overland Flores: Waerebo, Bena, and Kelimutu Crater Lake

Tulisan lanjutan saya trip selama Overland Flores dengan start di Labuan Bajo, Waerebo, Ruteng, Aimere, Bajawa, Bena, Ende, dan Kelimutu. Sayang ah klo gak dishare, berhubung belum punya blog sendiri, jd nempel dulu di blog ini hihihi…., selamat membaca.

Selesai 3 hari trip Sailing Komodo, kami berenam lanjut Overland Flores. Hari keempat jam 3 pagi kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Denge, yang masuk dalam Kabupaten Manggarai. Tujuan utama kita adalah Desa Waerebo, desa adat yang memiliki rumah khas kerucut yang dikenal dengan nama Mbaru Niang. Perjalanan dari Labuan Bajo ke desa Denge kurang lebih 6 jam dengan beberapa kali berhenti untuk foto, sarapan, atau mencari toilet. Jam 11 kita sampai di desa Denge, makan siang di salah satu resort yang ada di tengah sawah. Setelah istirahat sejenak, kita lanjut ke tempat terakhir dapat dilalui mobil. Kami bersiap untuk melakukan trekking sejauh 9 KM, jarak dari desa Denge ke desa Waerebo. Setelah semua persiapan siap, beberapa barang kami titipan ke 2 orang porter yang sudah kami sewa.

Sebelum berangkat saya sudah sempat browsing mengenai rute trekking ini, tapi tak satupun yang menulis seperti apa medannya. Ternyata dari 9 KM, 8 KM-nya adalah tanjakan, tersisa 1 KM yang jalan landai menuju desa. Ada 3 pos yang kami lalui, POS 1 berjarak 4,5 KM dari desa Denge. Ada 2 rute yang bisa dilewati, jalan lebar dengan bebatuan atau jalan setapak yang ternyata tidak terlalu menanjak (kami tahunya setelah menggunakan jalur itu ketika balik). Kami pilih jalur dengan jalan lebar dan berbatu. Menurut informasi rencana akan dilakukan pengaspalan jalan sampai dengan POS 1 ini. Lumayan loh, separo perjalanan. Akan tetapi sepertinya masih lama, karena sempat ngobrol dengan salah satu mandornya kalau mereka kesulitan untuk mendatangkan pasir kuliatas yang bagus.

Akhirnya dengan beberapa kali berhenti, minum, meluruskan kaki, sampai kita di POS 1 kurang lebih setelah berjalan 2 jam. Di POS 1 dilewati sungai dengan air jernih dan segar. Setelah istirahat cukup, cuci muka dan minum air sungai, mengisi botol air, kami pun melanjutkan perjalanan. Menuju POS 2 kami bertemu dengan pak Sabinus dan putrinya Yuyun, yang juga akan kembali ke desa Waerobo. Mereka membawa beberapa barang, termasuk ayam dengan bulu putih untuk Upacara Penti. Soal Upacara Penti nanti akan saya bahas di satu tulisan khusus ya.

Jalur ke POS 2 dan 3 ini menyisakan jarak yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Di beberapa tempat kami menemukan bungkus biskuit yang dibuang sembarangan. Nyebelin ya, apa sih susahnya buat dikantongin dulu, nanti sampai di tujuan baru dibuang. Akhirnya kami pungut bungkus tersebut dan kami simpan di tas, sampai di desa kami mencari tempat sampah untuk membuangnya. Selama perjalanan kami bertemu dengan sesama tamu yang akan turun kembali ke desa Denge. Dan mereka hanya cukup memberikan 1 kata “cemunguutt…..” hihihi…, dan kami pun tahu artinya 😀 Selain itu kami juga ketemu dan papasan dengan penduduk desa baik yang turun ataupun yang akan naik ke desa Waerebo. Duhh…., lincah sekali mereka ya, kitanya sudah ngos2an mereka mah nyantai, walaupun beberapa kali juga terlihat istirahat.

Oh iya, anak-anak desa Waerebo bersekolah di desa Denge. Mereka akan tinggal di Denge, akhir pekan mereka akan kembali ke Waerebo. Jadi tiap minggu setidaknya mereka akan jalan kaki PP Denge-Waerebo sejauh 18 KM. Wahh hebat ya semangatnya. Sempat kami berkelakar coba ada gojek lumayan kan hihihi… Finally, setelah 3,5 jam akhirnya kami ber 4 sampai juga di desa Waerebo. Desa yang kami sebut sebagai “Negeri di Awan”, nyuplik judul lagunya mas Katon. Desa Waerebo ini terletak di ketinggian 1200 Mdpl. Kami sempat berhenti untuk foto di jembatan bambu, sebagai penanda bahwa perjalanan ini sudah mendekati tujuan. Sampai di ujung desa kami mampir meluruskan kaki di Rumah Kasih Ibu, sambil menunggu rombongan berikutnya sampai. Disini pak Sabinus pun menawari kami untuk menunggu saja di rumahnya, sambil ngopi. Wah tawaran yang tidak boleh dilewatkan.

Setelah mengambil beberapa foto desa dari atas Rumah Kasih Ibu, kami pun mengikuti pak Sabinus ke rumahnya. Sampe rumah kami disuguhi kopi dan kue srabe bikinan bu Sabinus. Yang lucunya air yang digunakan untuk bikin kopi adalah air teh tawar, bukan air putih panas. Tapi ternyata tetep aja sedap loh, ditambah kue srabe bikinan bu Sabinus. Karena besok ada upacara Penti, warga desa Waerebo memang sedang mempersiapkan beberapa keperluan, termasuk makanan dan minuman untuk pesta besok pagi. Bu Sabinus tidak hanya menyediakan kopi dan kue, tetapi juga menawari kami makan. Karena sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menyambut dan memperlakukan tamu dengan sangat baik. Tapi kami menolaknya, rasanya kopi dan kue ini sudah sangat cukup menemani kami sambil menunggu teman rombongan berikutnya.

Setelah satu jam kami menunggu dan ngobrol-ngobrol dengan pak Sabinus, istrinya dan bapaknya, rombongan teman kami pun datang. Setelah mengucapkan dan terima kasih atas penerimaannya, kami pun pamit. Pak Sabinus pun mengantar kami ke rumah utama. Disana kami akan disambut dengan upacara sederhana, sebagai arti bahwa kita sudah diterima sebagai bagian dari warga desa Waerebo. Setelah itu kami diantar ke penginapan khusus tamu yang posisinya lebih di atas, disana sudah ada beberapa tamu yang tiba sehari sebelumnya.

Penginapan yang disediakan di desa Waerebo cukup representatif, tikar tebal dan selimut hangat. Air teh dan kopi yang diisi ulang setiap saat. Saatnya makan malam tiba, kami bergabung dengan beberapa tamu lain, dan bertukar info asal kota dan pengalaman seputar perjalanan ke Waerebo. Selama tinggal disini menunya nasi campur jagung, cah sawi yang ditanam sendiri oleh warga, lauknya ayam. Sambil makan sempat kita sedikit bercanda, daging ayamnya agak alot, maklum ayamnya naik turun gunung jadi berotot deh hihihi…

Ada 1 kamar mandi disana, airnya dingiiinn…, dialirkan langsung dari gunung. Ada 1 kamar mandi terbuka bisa untuk cuci muka, atau berwudhu. Dapur ada di belakang rumah penginapan ini. Apabila kita datang bukan di perayaan Penti, bisa menginap di salah satu Mbaru Niang yang ada di bawah. Tapi karena dalam perayaan ini banyak yang datang, maka kami pun diinapkan di rumah yang dibangun khusus untuk tamu. Sore dan malam hari tidak banyak kegiatan yang kami lakukan disana. Selain mencoba untuk mengabadikan desa Waerobo dari atas. Kadang-kadang apabila kabut datang, desa tidak nampak sama sekali. Persis seperti negeri di awan deh.

Pekerjaan penduduk desa Waerebo adalah bertani kopi, jagung, markisa, dan beberapa lainnya. Kopinya enak banget. Ada beberapa pilihan, saya pun membeli jenis robusta. Kata teman yang alergi minum kopi pagi, katanya kopi Waerebo gak bikin perut melilit. Klo sehari-hari saya hanya ngopi pagi aja, disini saya ngopi pagi dan sore, alhamdulillah sehat wal afiat. Klo buah markisa kita gak perlu beli, banyak warga yang menawarkan buah ini untuk dicicipi. Selain bertani, maka tenun juga menjadi kegiatan warga terutama ibu-ibu. Motifnya cantik, ada beberapa model seperti kain sarung, pasmina ato shawl. Di desa ini sudah ada semacam lembaga yang mulai melakukan pendampingan kepada warga untuk keberlangsungan ekonomi warga desa Waerebo. Berbagai brosur wisata Waerebo dan desa sekitar pun tercetak dengan rapi. Beberapa jenis kopi pun sudah dikemas dengan baik. Cakep buat oleh-oleh dan souvenir.

Besok paginya, hari kelima trip, kami bangun pagi2, karena tidak ingin ketinggalan sunrise yang muncul di desa Waerebo. Kita juga sempat ngobrol-ngobrol dengan anak-anak warga desa yang sangat welcome dengan tamu yang datang. Suasana desa pagi hari sangat luar biasa indah, udara dingin berganti segar. Perlahan-lahan matahari pun muncul, sinarnya bagaikan kilauan yang jatuh dari langit.

Setelah sarapan dengan menu yang hampir mirip dari menu semalam plus tambahan kerupuk (kebayang bahagianya saya ketemu kerupuk hihihi…), kami pun bersiap turun untuk mengikuti upacara Penti. Semua yang mengikuti upacara ini diwajibkan menggunakan baju yang sopan, celana/rok panjang atau sarung. Upacara Penti dimulai di rumah besar. Ketua memimpin semacam doa dan lagu-lagu yang tentunya saya gak tau deh artinya. Setelah selesai beberapa terbagi jadi 2 kelompok. Tiap-tiap kelompok menuju ke sumber mata air terdekat. Setelah membuka sesaji di altar, maka selanjutnya adalah acara potong ayam. Saya skip dong pastinya, wuiihh bisa kacau mood saya klo liat yang berdarah-darah, hiiii……….

Selesai acara ini, lanjutannya adalah sajian tari Caci. Tarian pecut yang dibawakan oleh penduduk desa Waerebo dan beberapa desa terdekat yang diundang di acara ini. Dari motif dan warna kainnya dapat dibedakan mana yang penduduk asli Waerebo dan tamu dari desa sekitar yang diundang. Tarian ini akan berlangsung sepanjang hari. Di sela-sela acara pun disuguhkan arak lokal. Saya mah gak nyoba lah, bisa langsung mengeluarkan api kyk naga gitu dah hahhahha…, ngayal.

Waktunya makan siang kami naik kembali ke penginapan, sesi foto pun sudah puas untuk segala pose dan background :D. Setelah itu kami pun siap-siap untuk turun kembali ke desa Denge. Siap untuk menjalani 9 KM dengan jalur turunan. Porter yang menemani kami kemarin sudah turun pukul 8 pagi, karena sore mereka akan mengikuti acara Penti ini. Sehingga dari pagi kami sudah menyiapkan barang apa saja yang akan dibawa turun porter dan dititip ke mobil yang menunggu di Denge. Tipnya, bawa barang seminimal mungkin lah, cukup untuk menginap semalam disana.

Yak, akhirnya kami pun pamit, sempat mampir ke rumah pak Sabinus, untuk membeli kopi yang sudah digiling oleh bu Sabinus. Mungkin karena turun medannya tidak secapek waktu naik. Tetapi tetap hati-hati, kan sebelah kanannya jurang. Di jalan kami papasan dengan beberapa tamu yang baru akan naik, dan seperti biasa satu kata yang terucap adalah “cemunguuuttt…”. Kali ini kami lebih semangat, tanpa terasa POS 3 dan POS 2 terlewati. Kami istirahat agak lama di POS 1, seperti biasa untuk cuci muka dan minum air segar dari sungai yang mengalir di dekat POS 1.

Dari POS 1 kami turun menggunakan jalur yang berbeda dengan waktu naik. Jalurnya hanya cukup untuk 1 orang saja, tp lebih nyaman sih, walau ada beberapa tempat yang perlu meloncati pohon atau batu besar. Akhirnya 3 jam kami tiba di Denge, sehingga total 18 KM kami tempuh dalam waktu 6,5 jam. Sambil menunggu teman yang belum sampai kami mampir ke penginapan pak Blasius, untuk beli kopi dan beberapa teman pun pesan mie instan rebus. Penginapan disini biasanya digunakan bagi yang ingin naik ke Waerebo pagi hari. Per orang semalam 250 ribu, dengan 3 kali makan. Setelah teman kami sampai juga, kami pun bersiap untuk kembali ke mobil. Bersyukur banget selama trip ke Waerebo ini cuaca terang. Karena sebelum naik mendung sudah mengantung. Rasanya medan akan makin berat kalau hujan, karena pasti licin.

Keluar dari Denge, kami disambut sunset di sepanjang jalan dengan pemandangan sawah menguning yang siap di panen. Dari pak supir dengar-dengar akan dilakukan panen raya yang menghadirkan menteri pertanian. Walaupun kemarau panjang, persediaan airnya masih cukup, dilihat dari sawah yang tetap hijau di sepanjang perjalanan. Disini barulah kami mendapat sinyal walau masih belum stabil. Karena selama di Waerebo tidak ada sinyal sama sekali. Gadget hanya berfungsi untuk foto aja.

Perjalanan dari Denge dilanjutkan ke Ruteng yang mencapai hampir 6 jam. Wooww….lumayan bingit, badan udah capek, keringeten, ditemani oleh Yudika dan Ari Lasso yang sudah pasti capek karena mengulang lagunya puluhan kali hahhaha…., sampe apal deh. Untung mba Detri akhirnya mengeluarkan stok lagu di iphone-nya, terselamatkan kita semua. Dalam perjalanan ke Ruteng kami nyaris tidak ketemu dengan mobil yang lain. Sekitar pukul 9 kami sampai Ruteng, mampir ke resto untuk makan malam. Karena sudah malam, kota Ruteng ini berasa sepi sekali, hampir sudah tidak ada kendaraan yang lewat. Ternyata kotanya ini dingin, jadi suguhan menu sup ikan yang hangat plus teh amnis anget cukup menawarkan rasa dingin.

Pagi hari keenam, wah rasanya tetap sayang klo melewatkan pagi dengan tidur. Keluar kamar untuk menikmati pemandangan sekitar penginapan yang ternyata di tepi sawah. Luar biasa ya, biasanya menghadapi riwehnya pagi di Jakarta, disini disuguhi hamparan sawah yang hijau dan sejuk di mata. Setelah mandi, dannnn……….. baru kali ini saya bisa keramas pagi hari hahhaha… (penting banget), kami pun sarapan. Setelah itu kami bersiap untuk beberapa tempat yang akan kami kunjungi selanjutnya.

Danau Ranamese, adalah persinggahan kami yang pertama di hari keenam ini. Asli deh sy dengernya tuh danau wese, mana baunya juga rada-rada pesing sih, kayaknya tempat mojok buat pipis juga neh. Ternyata danau yang kliatan jauh ini nama aslinya Ranamese, dulunya adalah kawah yang berair (hasil googling ni), dan kita hanya menikmatinya dari atas saja, tidak sampai turun ke bawah.

Aimere, adalah persinggahan berikutnya. Tempat pembuatan arak yang terkenal di Flores. Disini kami dapat melihat cara pembuatan arak. Dan disini pun disediakan tester berbagai jenis arak yang dihasilkan. Dari mulai Level 1, 2, 3 sampe Premium. Wuiddihh aku pun cukup numpang ke toilet dan foto aja hahhahha…, gak nyobain ntar takut jadi naga, nyembur api :D.

Dari Aimere, kami pun lanjut ke Bajawa, makan siang sebelum ke desa Bena. Menunya kali ini masakan Padang. Dari Bajawa ke Bena tidak jauh. Dan desa Bena ini letaknya ada di pinggir jalan utamanya. Jadi gak perlu trekking atau jalan kaki jauh. Lumayan lah ya kaki istirahat sehari sebelum lanjut trekking lagi besoknya. Desa Bena ini mengingatkan kita dengan desanya Asterix. Desa dengan batu-batu besar atau Menhir yang masih terawat. Beneran loh kayak di negara antah berantah deh. Kami berjalan sampai di ujung desa. Naik ke atas semacam gazebo yang sudah disiapkan. Dari atas, kami bisa melihat landscape desa keseluruhan. Di belakang gazebo ada beberapa batu besar yang kece buat foto. Awalnya sih saya ragu-ragu, karena kebetulan pake dress yang disebut daster oleh mba Dede hihihi…. kebayang aja bakal terbang-terbang terkena angin. Tapi karena sudah jauh, akhirnya teteplah saya berfoto yang diabadikan oleh para fotografer profesional yang ada di rombongan kami hahhaha….

Turun ke desa, kami mampir ke rumah Mama Tina. Mama Tina ini marketingnya oke bingit lah. Terjadi lah tawar menawar yang alot, kain pasmina dari warna alam pun dilepas dengan harga 250 ribu, dari harga 350 ribu yang ditawarkan. Untuk sarung 500 rb dari 600 ribu yang ditawarkan. Saya sih cukup menikmati cara Mama Tina menenun, plus suguhan kopinya. Gak beli kain, inget-inget tumpukan kain di rumah yang aduhai deh 😀

Selesai dari Desa Bena kami melanjutkan perjalanan ke Ende. Karena lokasi besok yang akan kami kunjungi adalah Danau Kelimutu. Sepanjang perjalanan dari Bena ke Ende, kami disuguhi pemandangan laut yang indah. Salah satunya kami berhenti di Blue Stone Beach. Batu-batunya cakep, warna biru telor asin dan bentuknya aneka rupa. Batunya asli dari alam. Cuma sayang sih, sudah banyak penambangan batu yang kemudian dikirim ke Bali dan Jakarta. So, rumah-rumah dan restoran mewah itu impor batunya dari sini. Hikkss…, kira-kira klo 5 tahun lagi kesini masih ada gak ya batunya.

Kondisi jalan yang kami lalui dari Ruteng ke Ende sudah bagus. Jalan Trans Flores ini pun sedang diperbaiki di beberapa tempat, sehingga ada beberapa lokasi yang perlu hati-hati. Kami juga melihat ada beberapa penambangan pasir yang lokasinya dengan jalan raya. Rada ngeri sih ya, klo tiba-tiba longgor gimana. Tetapi kami jarang sekali bertemu dengan angkutan umum. Transportasi umum disana biasanya adalah bus kecil. Dimana di tiap sisi bis bisa saja ditempelin berbagai barang, seperti motor, atau bahkan ada kambing yang diikat di bis. Kadang kita ketemu juga dengan truk yang dikasih bangku dan tutup. Bahkan turun dari Bena kami melihat angkot semacam mikrolet yang pintunya di belakang. Sayang ih gak sempat moto, keburu takjub hahha….

Selepas maghrib kami tiba di Ende. Kami mampir ke supermarket terdekat untuk beli cemilan dan cari ATM terdekat plus toilet. Karena setelah ini kami akan lanjut ke desa Waratuka, desa terdekat sebelum naik ke danau Kelimutu. Sampai di desa Waratuka, kami berpisah penginapan, karena kami menginap di rumah penduduk, iihh kok lupa ya nama bapaknya. Setelah makan, mandi, kami pun pamit mandi. Tuan rumah menawari kami kain tenun Ende sebagai selimut, karena udara di Waratuka yang dingin.

Pukul 4 pagi hari ketujuh kami sudah siap bangun, karena target menunggu sunrise di puncak Danau Kelimutu. Perjalanan dari Waratuka ke Kelimutu tidak jauh hanya sekitar 30 menit. Setelah parkir kami pun mulai meniti jalan menuju danau, yang sebagian besar sudah dalam bentuk tangga. Rapi dan lebih nyaman sih, tapiiiii…. tetap aja naik dan jauh. Woooww hari terakhir pun tak lepas dari naik-naik ke puncak gunung deh. Sampai di tengah perjalanan sebagian wujud danau sudah kelihatan, jadi gak sabar untuk sampai atas. Ternyata 3 danau di Danau Kelimutu ini terpisah dalam 2 RT hihihi…, 2 danau berdekatan dan 1 nya lebih jauh lagi. Hari ini warna danaunya biru muda, hijau, dan hijau tua. Warna air di danau ini akan berubah-ubah, kadang juga berwarna merah. Wah sayang waktu kesana warnanya standar air, coba klo merah ya pasti keren. Kalau menurut kepercayaan masyarakat disana warna danau berhubungan dengan berkumpulnya jiwa-jiwa yang telah meninggal, hiiii seyem ya. Tapi kalau dari sisi ilmiah, warna ini dipengaruhi zat kimia dari unsur-unsur yang ada di dalamnya.

Sunrisenya cakep banget, cuma agak kesel banyak “cendol” alias orang yang lalu lalang. Kadang mager gak mau geser gantian foto. Alhasil harus pinter-pinter pasang posisi, begitu longgar langsung klik klik ambil beberapa pose. Di atas ada yang jualan kopi dan teh kalau ingin mengusir dingin. Beberapa motif kain Ende pun ditawarkan. Tiba-tiba kabut turun, sehingga view jadi kurang bagus buat foto. Sepertinya ni kabut gak ada tanda-tanda turun deh, akhirnya jam 8 kami pun turun. Sambil mampir di beberapa spot foto sepanjang perjalanan. Sudah ada pagar yang membatasi area untuk alasan keamanan. Cuma ada yang keluar pagar demi foto fantastik, dan salah satunya saya. Hikks…, maaf ya rada nakal juga nie. Ketika sik foto-fota tiba-tiba ada serombongan dengan baju tentara berjalan ke arah kami. Duh udah deg-degan kena tegur karena keluar pagar. Eh ternyata mereka tertarik ikutan foto di lokasi kita wkkwkkw….

Sampai kembali di penginapan kami bebersih, sarapan dan siap-siap untuk kembali ke Ende. Setelah berpamitan dan mengisi buku tamu, kami kembali ke mobil. Ternyata warga disini sudah biasa menerima tamu yang keesokan harinya akan naik ke Danau Kelimutu. Btw disini masyarakatnya juga bercocok tanam. Karena suhu udaranya maka tanaman disini tumbuh dengan baik. Kami menemukan sawah, ladang sayuran, pohon buah termasuk alpukat pun tumbuh subur. Tapi disini banyak anjing, biar gak galak, tapi takut juga.

Setelah pamit dengan warga, jam 10 kami melanjutkan perjalanan ke Ende. Karena ada perbaikan jalan maka ada lokasi yang menggunakan sistem buka tutup. Kalau kemarin kita lewat jalan ini malam hari, sekarang siang hari, wahh kliatan batu-batu besar di atas bukit selama melewati jalan yang sedang dalam proses perbaikan ini. Serem boo liatnya, kebayang lagi klo nglinding gimana. Tapi untungnya selamat dan lancar sampai Ende.

Sebelum diantar sampai bandara kami mampir makan siang ke rumah makan dengan menu masakan lokal. Kebanyakan ikan, tapi berhubungan tangan sudah mulai gatal-gatal entah alergi, saya memilih menu oseng kangkung dan bakwan jagung. Hahhaha standar banget ya, demi keamanan dan kenyaman karena perjalanan masih panjang. Setelah makan siang, akhirnya kami berenam diantar ke Bandara H. Hasan Aroeboesman. Nama bandaranya aja baru dengar sekarang, gak update banget ya. Setelah cipika cipiki sama Detri, lainnya mah salaman aja, kita masuk terminal yang awalnya kita kira seperti stasiun. Terminalnya memang kecil, jadi kita bisa lihat langsung lalu lalang pesawatnya.

Jam untuk bording pun tiba, pesawat dari Kupang datang, dan akan membawa kami terbang menuju Labuan Bajo dan kemudian terbang kembali ke Denpasar. Bye bye Ende…, sampai ketemu lagi. Rela deh kulit sampe hitam begini demi menikmati keindahan tempat demi tempat yang terbentang sepanjang Pulau Flores. Sesampainya di Labuhan Bajo, kami turun ke bandara. Cuma mba Nova dan mba Evi yang tetap tinggal di pesawat, karena kaki mba Nova ada sedikit cidera hasil dari foto loncat sewaktu sailing. Tapi ada untungnya, ternyata di Bandara Komodo ini ada toko souvenir, jadi deh berburu dl souvenir disini. Dari Labuan Bajo pesawat terbang menuju Denpasar. Tapi belum selesai karena kami harus melanjutkan penerbangan ke Jakarta. Mata rasanya sudah berat, badan capek, sehingga satu setengah jam penerbangan Denpasar – Jakarta berasa lama banget. Finally, safely landing di Jakarta. Kami pun berpisah, dan seperti biasa lanjut ngobrol di grup wa, sambil sharing foto, dan apa rencana trip berikutnya.

Jakarta, 3 Desember 2015
Mardiana Sukardi




“We are like islands in the sea, separate on the surface but connected in the deep.”

“We are like islands in the sea, separate on the surface but connected in the deep.” William James

Tanggal 12-14 November 2015 kemarin saya bersama 14 teman lainnya ikut trip Sailing Komodo. Dari awal sudah ngebayang tinggal selama 3 hari 2 malam di kapal, lengkap dengan segala aktivitasnya seperti makan dan tidur. Dan pertanyaannya adalah goyang-goyang gak sih? Hihihi…. dan ternyata asli goyang-goyang. Karena tanggal 12 itu jam 9 pagi sudah harus nyampe di Bandara Komodo, Labuan Bajo, maka saya memutuskan untuk berangkat satu hari sebelumnya dan menginap di Denpasar. Agak cemas juga sih karena beberapa penerbangan dari Bandara Ngurah Rai ini dibatalkan karena erupsi dari anak gunung Rinjani. Tapi alhamdulillah jam 6 pagi pesawat siap take off menuju Bandara Komodo di Labuhan Bajo. Ini untuk kedua kalinya saya menggunakan pesawat baling-baling, setelah sebelumnya menggunakan pesawat jenis yang sama penerbangan dari Ambon ke Sorong. Pesawat terbang rendah, dalam perjalanan menuju Bandara Komodo, landscape yang dapat dilihat dari atas pesawat sangat indah. Perjalanan dari Denpasar ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam dan 35 menit. Sehingga pukul 7.45 sampailah kita di terminal kedatangan Bandara Komodo. And the journey start here…. 😀

Jam 9 kurang kami dijemput mas Irfan yang menjadi guide perjalanan kita mengelilingi pulau-pulau cantik yang tersebar di Taman Nasional Komodo. Kami diantar ke pelabuhan, disana sudah menunggu beberapa teman yang sudah datang terlebih dahulu, dan disambut mba Detri, guide yang juga akan bersama kita selama trip. Kapal yang akan menemani perjalanan kita sudah siap di pelabuhan. Lumayan lah, ada 4 kamar tidur (1 di atas dan 3 di bawah), 2 kamar mandi, dan bersih juga kondisinya. Apabila pintu masuk kamar di bawah ditutup, maka akan bisa digunakan sebagai geladak untuk duduk-duduk santai selama perjalanan. Jam 10 waktu NTT setelah semua peserta lengkap, mulailah kapal bergerak, menyusuri selat-selat di Laut Flores yang kala itu cukup tenang airnya. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan puluhan kapal yang juga berlayar di sekitar kapal yang kami tumpangi. Beberapa kali melihat kapal pinisi cantik, hmm…. semoga suatu saat dapat kesempatan bisa berlayar pake pinisi yang kece badai ini, aamiin….:D

Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Pulau Kanawa. Panas dari musim kemarau yang cukup panjang di tahun ini tidak menyurutkan kami untuk menikmati pemandangan di pulau ini. Untuk dapat melihat lanscape keseluruhan pulau maka kita harus trekking ke atas bukit. Kebayang lah ya, tanjakan terjal dan panas menyengat, tapi maju terus pantang mundur. Sampai di atas kita bisa melihat beberapa pondok penginapan yang memang disediakan di Pulau Kanawa. Pulau ini dikelola oleh perorangan. Tapi pengunjung boleh berfoto dan menikmati pemandangan di pulau tersebut.

Puas berfoto di atas, biarpun panas tetap menyengat, kami pun turun, dan mampir di satu-satunya kafe yang ada di pulau tersebut untuk melepas lelah. Saya pun memesan es teh manis, harganya? 35 ribu sajah hahhahha……, ya sutra kita nikmati ajalah.

Setelah haus hilang, kami kembali ke kapal untuk lanjut snorkeling. Mba Detri menemani saya snorkeling dan menunjukkan arah dimana tempat terumbu karang yang bagus. Jujur aja deh, saya tuh buta arah, dari dulu memang rada bego klo urusan yang beginian. Sehingga klo snorkeling pasti ngajakin bareng, soalnya klo sudah di air kagak tahu lagi tuh arahnya kemana, kudu belok mana klo mau kembali ke kapal, so takutnya begitu nongol udah di tengah laut aja, konyol kan hihihi….

Kelar snorkeling, acara makan siang pun digelar di geladak kapal. Koki yang juga merangkap ABK ternyata pinter masak. Bumbu pas, apalagi ditambah laper berat abis treking dan snorkeling. Setelah makan, kapal berjalan lagi menuju pulau kedua yaitu Gili Lawa atau Gili Laba. Sebelum berangkap trip saya sudah browsing sedikit mengenai medan trekking Gili Lawa ini. Sepertinya akan jadi medan terberat selama perjalanan. Agak menjelang sore kapal bersandar di tepi pulau Gili Lawa. Akhirnya satu persatu dari kami turun ke pantai dan terlihat jelaslah rute trekking yang aduhai itu. Awalnya sih rada ragu-ragu ya buat lanjut ke atas, tapi no way return lah. Hajar aja hihihi…, walaupun ngos-ngosan, dan beberapa kali berhenti istirahat. Rutenya memang aduhai, bahkan sering tidak menyisakan tempat landai untuk berdiri tegak, luar biasa deh. Pelan tapi pasti sampai juga di atas. Semangat yang dikobarkan pak Marco, sebutan kita buat nahkoda kapal, membuat semua tetep lanjut untuk sampai puncak. Dan, finally…., sampailah kita pada puncak Gili Lawa tersebut. Landscape yang terhampar bener-bener kece badai lah…, sepadan dengan perjuangannnya. Kita di atas sampai sunset tiba, pelan-pelan matahari turun, walaupun tidak sempurna karena tertutup awan. Tapi sensasinya luar biasa, warna orange, merah, dan biru membaur membuat lukisan yang luar biasa indah, hihihi…tiba-tiba jadi romantis ya.

Setelah puas foto dan menikmati alam yang sangat indah, akhirnya kami memutuskan untuk turun. Tapi rute yang kami lewati beda, lebih landai, dan lebih panjang. Karena sudah mulai gelap rute ini lebih tepat, karena risiko bisa jatuh kalau melalui rute awal. Malam benar-benar turun ketika kami tiba di kapal. Sampai kapal kami istirahat sambil menunggu makan malam disiapkan. Ada seekor rusa yang turun ke pantai untuk minum, ada hamparan bintang, lengkap deh cakepnya. Setelah makan satu persatu gantian mandi, bebersih, dan bersiap untuk tidur. Mabuk kah karena kapal goyang-goyang? Kayaknya udah gak sempat mikir mabuk deh, capek, jadi lanjut tidur aja.

Jam 4 pagi kita sudah dibangunkan, untuk menikmati sunrise sambil kapal terus berjalan. Hari ini tujuan kami adalah berjumpa dengan ikan pari manta. Dan kami pun beruntung karena dapat melihat ikan pari manta yang berenang naik ke permukaan. Gede banget lahh…, keren. Tapi saya gak turun snorkeling, karena arus cukup kuat, cukup menikmati dari atas kapal aja. Selain pari manta, kita juga ketemu dengan lumba-lumba dan penyu. Kapal berhenti dekat Pulau Pasir Timbul. Yang oleh ABK disebut sebagai Pulau Semtem. Saya pikir awalnya nama Semtem diambil dari bahasa lokal. Ternyata kata “semtem” plesetan dari “sometime”. Jadi itu pulau semtem timbul, semtem ilang klo laut pasang hahhahha…. Dengan menggunakan kapal kecil, 2 orang ABK mengantar saya ke Pulau Pasir Timbul. Pasirnya keren deh, gak terasa waktunya untuk kapal kembali bergerak.

Tujuan berikutnya adalah Pulau Komodo atau dikenal dengan nama Loh Liang. Pulau habitat binatang purba ini tinggal. Loh itu artinya Teluk dan Liang artinya anak Komodo. Jadi menurut cerita penduduk lokal, bahwa dulu sang raja memiliki dua anak, satu manusia, dan satunya komodo. Ditemani oleh 3 orang ranger, kami mengambil short trekking di Pulau Komodo. Panasnya oiiii luar biasa, hampir semua tanaman kering kerontang. Akhirnya kami ketemu dengan beberapa komodo selama perjalanan. Hihihi…..ngeri-ngeri sedap deh. Ranger pun mengatur posisi kita yang kepo juga mau berfoto sama binatang ini. Buat bukti, biar gak dikira hoax hahhaha….

Dari Pulau Komodo, kami mampir ke Pink Beach. Pantainya warna merah muda, karena ada serpihan karang warna merah yang terhampar sepanjang pantai. Sehingga dari jauh kliatan warna pink. Pasir pantainya halus, airnya bening. Snorkeling disini juga cakep, mba Detri yang menemani saya buat keliling, dan menunjukkan ada beberapa ikan yang perlu dihindari klo lagi snorkeling karena beracun. Visibility-nya juga bagus, air jernih, sehingga sesi foto underwater pun cakep disini.

Dari Pink Beach, kapal lanjut dan bersandar ke Pulau Padar, karena kita akan trekking ke atas untuk menikmati sunrise. Setelah makan malam dan bebersih, saya siap masuk kamar untuk tidur. Beberapa teman memutuskan untuk tidur di geladak, tapi saya memutuskan untuk tidur di kamar saja. Angin sepoi-sepoi di luar, karena perjalanan juga masih panjang, maka saya harus jaga kondisi, jangan sampai masuk angin.

Hari ketiga, jam 4 pagi kita sudah siap untuk berburu sunrise ke Pulau Padar. Kapal bersandar agak jauh dari pantai, sehingga kita bergantian diantar ke pantai dengan perahu kecil. Rute trekking Pulau Padar tidak securam di Gili Lawa, relatif lebih landai. Ada beberapa tempat yang berpasir sehingga harus tetap hati-hati. Begitu sampai atas, subhanallah cantiknya. 3 teluk yang membentuk lekukan cantik ini bener-bener membuat capeknya ilang deh. Keren bangeett…..

Balik ke kapal, bersih-bersih, sarapan, kita lanjut ke Pulau Rinca yang dikenal dengan nama Loh Buaya, yang artinya Teluk Buaya. Dilihat dari jejeran hutan mangrove sepanjang pantai dapatlah kita tebak ini adalah tempat bersemanyamnya buaya. Dan ternyata rute yang diambil di Pulau Rinca ini pun pake naik-naik ke puncak gunung lagi. Tapi trekking di Pulau Rinca juga harus ditemani ranger. Biarpun panas, ngos-ngosan tetep harus waspada karena bisa sewaktu-waktu ketemu komodo di jalan. Hihihi..keyen ya. Kita ketemu dengan 6 komodo yang lagi boci-boci di bawah dapur.

Dari Loh Buaya, kapal bergerak ke Pulau Kelor. Tapi sebelumnya mampir dulu ke salah satu perkampungan di Pulau Rinca untuk menambah persediaan air bersih. Saya gak turun ke pulau, asli panasnya kayak tepat di atas kepala. Sayup-sayup dari kapal sebelah terdengar lagu “malam-malam dingin enaknya ngapain ai..ai..ai….ai…ai..ai” padahal ini hari sedang panas-panasnya ya, kurang cocok sih lagunya. Tapi sutralah kita nikmati saja. Lirik lagu ini sangat fenomenal, sekarang justru menjadi nama group wa kami, dan bikin penasaran krn sudah dicoba browsing pun gak ketemu judul lagunya wkkwkkw….. .

Saya skip deh trekking ke pulau Kelor.. Pulaunya kecil, seperti segitiga sama kaki dengan rute trekking dengan kemiringan 45 derajat. Jalur berpasir sehingga sudah pasti ngesot-ngesot deh jalannya. Saya snorkeling aja, tapi sayang airnya agak keruh, sehingga tidak terlalu jelas keindahan terumbu karangnya. Walaupun setelah lihat hasil foto dari atas Pulau Kelor di salah satu kamera teman ternyata cakep banget. Seperti lidah yang menjulur begitu. Dan beberapa dari kami pun cukup puas mantai dan snorkeling saja.

Dari Pulau Kelor ini kami pun kembali ke Labuhan Bajo. Trip Sailing Komodo pun selesai. Ucapan terima kasih yang dalam buat nahkoda dan ABK nya yang luar biasa selama trip. Makanan yang enak, dan suasana yang akrab selama perjalanan. Malam hari setelah menikmati seafood di tepian pelabuhan Labuan Bajo, kami pun mengucapkan sayonara. Sebagian rombongan akan kembali ke kota masing-masing, dan kami berenam akan lanjut Overland Flores besok pagi. Dan komunikasi pun berlanjut melalui group wa, saling tukar foto dan itinerary perjalanan selanjutnya, how fun is it :D.

Jakarta, 3 Desember 2015
Mardiana Sukardi




What Goes Around, Comes Around

I almost forget, if I have this nice story. I got it from my friend, and it kept for several times in my folder. Until I found it again this morning, and decided to share it in this blog. A very nice story for start our new blessed day ^_^.

The man slowly looked up. This was a woman clearly accustomed to the finer things of life. Her coat was new. She looked like she had never missed a meal in her life. His first thought was that she wanted to make fun of him, like so many others had done before.
“Leave me alone,” he growled… To his amazement,the woman continued standing.. She was smiling – her even white teeth displayed in dazzling rows.
“Are you hungry?” she asked. “No,” he answered sarcastically. “I’ve just come from dining with the president… Now go away.”
The woman’s smile became even broader. Suddenly the man felt a gentle hand under his arm. “What are you doing, lady?” the man asked angrily. “I said to leave me alone..”
Just then a policeman came up. “Is there any problem, ma’am?” he asked.
“No problem here, officer,” the woman answered. “I’m just trying to get this man to his feet.. Will you help me?”
The officer scratched his head. “That’s old Jack. He’s been a fixture around here for a couple of years. What do you want with him?”
“See that cafeteria over there?” she asked. “I’m going to get him something to eat and get him out of the cold for awhile.”
“Are you crazy, lady?” the homeless man resisted. “I don’t want to go in there!” Then he felt strong hands grab his other arm and lift him up.
“Let me go, officer. I didn’t do anything..”
“This is a good deal for you, Jack,” the officer answered. “Don’t blow it”.

“Finally, and with some difficulty, the woman and the police officer got Jack into the cafeteria and sat him at a table in a remote corner. It was the middle of the morning, so most of the breakfast crowd had already left and the lunch bunch had not yet arrived.
The manager strode across the cafeteria and stood by his table. “What’s going on here, officer?” he asked.”What is all this, is this man in trouble?”
“This lady brought this man in here to be fed,” the policeman answered.
“Not in here!” the manager replied angrily. “Having a person like that here is bad for business.”
Old Jack smiled a toothless grin.. “See, lady. I told you so. Now if you’ll let me go. I didn’t want to come here in the first place.”
The woman turned to the cafeteria manager and smiled.”Sir, are you familiar with Eddy and Associates,the banking firm down the street?”
“Of course I am,” the manager answered impatiently. “They hold their weekly meetings in one of my banquet rooms..”
“And do you make a goodly amount of money providing food at these weekly meetings?”
“What business is that of yours?”
“I, sir, am Penelope Eddy, president and CEO of the company.”
“Oh..”

The woman smiled again.. “I thought that might make a difference.”
She glanced at the cop who was busy stifling a laugh..”Would you like to join us in a cup of coffee and a meal, officer?”
“No thanks, ma’am,” the officer replied. “I’m on duty.”
“Then, perhaps, a cup of coffee to go?” “Yes, ma’am.. That would be very nice.”
The cafeteria manager turned on his heel.. “I’ll get your coffee for you right away, officer.”
The officer watched him walk away… “You certainly put him in his place,” he said.
“That was not my intent…. Believe it or not, I have a reason for all this.”

She sat down at the table across from her amazed dinner guest. She stared at him intently.
“Jack, do you remember me?”
Old Jack searched her face with his old, rheumy eyes.”I think so — I mean you do look familiar.”
“I’m a little older perhaps,” she said. “Maybe I’ve even filled out more than in my younger days when you worked here, and I came through that very door, cold and hungry.”
“Ma’am?” the officer said questioningly. He couldn’t believe that such a magnificently turned out woman could ever have been hungry.

“I was just out of college,” the woman began. “I had come to the city looking for a job, but I couldn’t find anything. Finally I was down to my last few cents and hadbeen kicked out of my apartment. I walked the streets for days. It was February and I was cold and nearly starving.. I saw this place and walked in on the off chance that I could get something to eat.”
Jack lit up with a smile. “Now I remember,” he said. “I was behind the serving counter. You came up and asked me if you could work for something to eat. I said that it was against company policy..”
“I know,” the woman continued. “Then you made me the biggest roast beef sandwich that I had ever seen, gave me a cup of coffee, and told me to go over to a corner table and enjoy it. I was afraid that you would get into trouble. Then, when I looked over and saw you put the price of my food in the cash register, I knew then that everything would be all right…”

“So you started your own business?” Old Jack said.
“I got a job that very afternoon. I worked my way up”.
Eventually I started my own business that, with the help of God, prospered..” She opened her purse and pulled out a business card.
“When you are finished here, I want you to pay a visit to a Mr.Lyons. He’s the personnel director of my company.. I’ll go talk to him now and I’m certain he’ll find something for you to do around the office.”
She smiled. “I think he might even find the funds to give you a little advance so that you can buy some clothes and get a place to live until you get on your feet. If you ever need anything, my door is always open to you.”

There were tears in the old man’s eyes. “How can I ever thank you?” he asked.
“Don’t thank me,” the woman answered. “To God goes the glory. He led me to you.”
Outside the cafeteria, the officer and the woman paused at the entrance before going their separate ways. “Thank you for your help officer,” she said.
“On the contrary, Ms. Eddy,” he answered. “Thank you. I saw a miracle today, something that I will never forget, And thank you for the coffee.”

Have a Wonderful Day. May God Bless You always and don’t forget that when you “cast your bread upon the waters,” you never know how it will be returned to you. God is so big He can cover the whole world with his Love and so small He can curl up inside your heart .
When God leads you to the edge of the cliff, trust Him fully and let go. Only 1 of 2 things will happen, either He’ll catch you when you fall, or He’ll teach you how to fly!

The power of one sentence! God is going to shift things around for you today and let things work in your favor. God closes doors no man can open; God opens doors no man can close. Have a blessed day and remember to be a blessing.

Have a good day
Image from Google




Filosofi Pensil

“Setiap orang membuat kesalahan. Itulah sebabnya, pada setiap pensil ada penghapusnya” adalah sebuah pepatah Jepang yang cukup menarik. Tulisan ini merupakan tulisan Filosofi Pensil oleh Anthony Dio Martin, yang saya bagi di blog ini, sebagai bagian dari refleksi atas apa yang sudah kita kerjakan selama ini.

———————–

Kali ini saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah kisah penuh hikmah dari sebatang pensil. Dikisahkan, sebuah pensil akan segera dibungkus dan dijual ke pasar. Oleh pembuatnya, pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka, beberapa wejangan pun diberikan kepada si pensil. Inilah yang dikatakan oleh si pembuat pensil tersebut kepada pensilnya.

“Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kamu boleh melakukan fungsi apa pun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal.”

“Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna, kamu akan mengalami proses penajaman. Memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal”.

“Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia”.

“Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerja sama dengan manusia yang menggunakanmu” .

“Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek. Itulah yang sebenarnya paling mencapai
tujuanmu dibuat”. Sejak itulah, pensil-pensil itu pun masuk ke dalam kotaknya, dibungkus, dikemas, dan dijual ke pasar bagi para manusia yang membutuhkannya.

Pembaca, pensil-pensil ini pun mengingatkan kita mengenai tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Saya pun percaya bahwa bukanlah tanpa sebab kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini. Yang jelas, ada sebuah purpose dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan.

Sama seperti pensil itu, begitu pulalah diri kita yang berada di dunia ini. Apa pun profesinya, saya yakin kesadaran kita mengenai tujuan dan panggilan hidup kita, akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna.

Hilang arah

Tidak mengherankan jika Victor Frankl yang memopulerkan Logoterapi, yang dia sendiri pernah disiksa oleh Nazi, mengemukakan “tujuan hidup yang jelas, membuat orang punya harapan serta tidak mengakhiri hidupnya”. Itulah sebabnya, tak mengherankan jika dikatakan bahwa salah satu penyebab terbesar dari angka bunuh diri adalah kehilangan
arah ataupun tujuan hidup. Maka, dari filosofi pensil di atas kita belajar mengenai lima hal penting dalam kehidupan.

Pertama, hidup harus punya tujuan yang pasti. Apapun kerja, profesi atau pun peran yang kita mainkan di dunia ini, kita harus berdaya guna. Jika tidak, maka sia-sialah tujuan diri kita diciptakan. Celakanya, kita lahir tanpa sebuah instruksi ataupun buku manual yang menjelaskan untuk apakah kita hadir di dunia ini. Pencarian akan tujuan dan panggilan kita, menjadi tema penting selama kita hidup di dunia.

Yang jelas, kehidupan kita dimaknakan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang di sekitar kita, minimal untuk orang-orang terdekat. Jika tidak demikian, maka kita useless. Tidak ada gunanya. Sama seperti sebatang pensil yang tidak bisa dipakai menulis, maka ia tidaklah berguna sama sekali.

Kedua, akan terjadi proses penajaman sehingga kita bisa berguna optimal, oleh karena itulah, sering terjadi kesulitan, hambatan ataupun tantangan. Semuanya berguna dan bermanfaat sehingga kita selalu belajar darinya untuk menjadi lebih baik. Ingat kembali soal Lee Iacocca, salah satu eksekutif yang justru menjadi besar dan terkenal, setelah dia didepak keluar dari mobil Ford. Pengalaman itu justru menjadi pemacu semangat baginya untuk berhasil di Chrysler.

Ingat pula, Donald Trump yang sempat diguncang masalah finansial dan nyaris bangkrut. Namun, kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu ‘sakit’. Namun, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.

Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya sering menyaksikan banyak artis, ataupun bintang film yang terkenal, justru yang hebat bukanlah karena mereka paling cantik ataupun paling tampan. Tetapi, kemampuan dalam diri mereka, filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.

Keempat, pensil pun mengajarkan agar bisa berfungsi sempurna kita harus belajar bekerja sama dengan orang lain. Bayangkanlah seorang aktor atau aktris yang tidak mau diatur sutradaranya. Bayangkan seorang anak buah yang tidak mau diatur atasannya. Ataupun seorang service provider yang tidak mau diatur oleh pelanggannya. Mereka semua tidak akan berfungsi sempurna. Agar berhasil, kadang kita harus belajar dari pensil untuk ‘tunduk’ dan membiarkan diri kita berubah menjadi alat yang sempurna dengan belajar dan mendengar dari ahlinya. Itulah sebabnya, kemampuan untuk belajar bekerja sama dengan orang lain, mendengarkan orang lain, belajar dari ‘guru’ yang lebih tahu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi lebih baik.

Terakhir, pensil pun mengajarkan kita meninggalkan warisan yang berharga melalui karya-karya yang kita tinggalkan. Tugas kita bukan kembali dalam kondisi utuh dan sempurna, melainkan menjadikan diri kita berarti dan berharga. Itulah filosofi ‘memberi dan melayani’ yang diajarkan oleh Tuhan kita. Itulah sebabnya Ibu Teresa dari
Calcutta ataupun Albert Schweitzer yang melayani di Afrika lebih mengumpamakan diri mereka seperti sebatang pensil yang dipakai oleh Tuhan.

Yang penting, hingga pada akhir kehidupan kita ada karya ataupun hasil berharga yang mampu kita tinggalkan. Tentu saja tidak perlu yang heboh dan spektakuler.

Sumber: Filosofi Pensil oleh Anthony Dio Martin