Bunga di Balai Kota

Sampai saat ini, Jumat, 28 April 2017,  bunga di Balai Kota terkumpul sebanyak 4700 buah.    Luar biasa.  Jumlah yang tidak sedikit,  seperti yang dikatakan oleh bapak Sumarna, salah satu petugas Balai Kota.   Baru sekali ini dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat kiriman bunga sebanyak itu.

Rata-rata papan bunga tersebut berukuran standar.  Namun ada satu papan bunga ukuran 4 x 12 m, sehingga mencuri perhatian bagi siapa saja yang melihatnya, bertuliskan “Satu Kekalahan, Seribu Bunga Merekah.  Terima kasih, pak Ahok!”.   Tulisan itu berada di tengah-tengah dikelillingi oleh ribuan bunga dominasi warna merah (Purnamasari & Rinaldi, 27 April 2017).

Bunga-bunga  di Balai Kota itu dikirimkan oleh warga masyarakat, tidak hanya dari Jakarta, namun juga dari luar kota, Surabanya, Bogor, Yogyakarta, bahkan ada yang dari negara Kanada, dan Perancis.   Bunga dipilih untuk perwujudan rasa syukur warga atas prestasi  gubernur & wakil gubernur, bapak Basuki Tjahaya Purnama & Djarot Syaiful Hidayat, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial di DKI.

Bunga, barangkali sebuah benda biasa.  Menjadi tidak biasa ketika dikirimkan kepada seseorang, pejabat publik, dalam jumlah yang fantastis (lebih dari1000 papan bunga!), dalam saat yang sama.  Hal ini baru kali ini terjadi di Balai Kota DKI, bahkan di Balai Kota di seluruh Indonesia.

Bunga diidentikkan dengan keindahan, bentuk dan warna-warninya.  Bunga dapat memberikan perasaan sukacita,  Bunga juga menebarkan keindahan.    Bunga seringkali dipakai untuk mengungkapkan perasaan seseorang, entah itu perasaan bahagia, suka cita, maupun juga perasaan duka.   Bunga dipajang sebagai dekorasi pelaminan pernikahan, bnga juga dipakai sebagai pemanis ruangan di kamar melahirkan, di rumah sakit maupun di kamar pribadi.    Namun, bunga juga menjadi hiasan ruangan di kamar duka.   Bunga menjadi media ungkapan perasaan seseorang di berbagai peristiwa (wisuda, melahirkan, menikah, atau kehilangan).   “Say it with flowers,” kata NN.

Bunga di Balai Kota, menjadi ungkapan syukur, pujian, apresiasi dari sekelompok orang, baik perseorangan maupun berkelompok, ditujukan bagi kinerja seorang gubernur & wakilnya.  Ada rasa cinta.   Ada rasa syukur.  Dan ada rasa keterwakilan.   Teringat kata-kata Erich Fromm melalui The Art of Loving bahwa dalam cinta melalui bunga yang melimpah di halaman Balai Kota, terkandung perwujudan kepedulian (care), selain ada juga perasaan respect yang menyertainya (1956).

Bunga menjadi sarana ungkapan rasa sebagai bentuk apresiasi kinerja sang  gubernur dan wakil yang sudah berkarya bagi mereka.    Bunga di Balai Kota menjadi saksinya.

Sabtu, dini hari, 29 April 2017

MMM

 

Sumber bacaan:

Dian Dewi Purnamasari & Ingki Rinaldi.    Wajah harapan, bukan tangisan kegalauan.  Kompas,  Kamis, 27 April 2017,

hal.  15, kolom 5-7.

Fromm, Erich.   (1956).  The art of loving.    New York:  Harper & Row, Inc.




“Berdamai dengan Stres”

Siapa yang tidak kenal kata stres?  Barto mengalami stres ketika modal pinjaman sudah jatuh tempo, tetapi sepatu dagangan belum laku.    Pedri stres ketika harus menyelesaikan skripsi.   Roma stes ketika terjebak di tengah jalanan di Bekasi ketika menuju ke tempat kerja di Gatot Subroto.    Basil uring-

uringan ketika pekerjaan di kantor menumpuk.   Karto, Pedri, Roma, dan Basil semua mengalami stres.   Rekan-rekan dosen merasakan tekanan yang besar ketika harus menyelesaikan Laporan Penelitian sebagai salah satu tugas rutin tahunan setiap deadline.    Stres dialami setiap orang.  Secara umum, sumber stres berkaitan dengan pekerjaan seseorang (Morgan cs, 1996).

Lalu, darimana kita tahu bahwa kita sedang mengalami stres? Secara sederhana, stres dapat dideteksi dari fenomena yang dialami, seperti detak jantung yang berdebar-debar, berkeringat dingin, rambut rontok pada suatu ketika, jerawat bermunculan tanpa bisa dicegah, uring-uringan, dan masih banyak lagi muncul keluhan yang semuanya itu bisa dikategorikan sebagai keluhan fisiologis.   Selain itu, ada keluhan yang dapat dikategorikan sebagai keluhan psikologis, seperti tidak bisa tidur, makan serasa sekam, dan gelisah.   Ada juga beberapa orang yang mengalami perut mules ketika sedang stres.  Perut mules dikategorikan sebagai keluhan psikosomatis.   Setelah diperiksa secara medis, tidak ditemukan penyakit yang menyebabkan perut mules tadi.

Secara umum, stres dikatakan sebagai tekanan yang dirasakan mengganggu, sehingga yang bersangkutan tidak dapat maksimal dalam melakukan tugas-tugas kesehariannya.

Sekarang, mengapa Pedri stres ketika ujian skripsi?   Berbeda dengan Merlon yang tampak santai padahal dia sedang sidang skripsi?  Mengapa dua orang tersebut menunjukkan sikap yang berbeda ketika stres?  Perbedaan coping to stress pada masing-masing orang ditentukan oleh faktor personal dan situasional.   Krakteristik, kepribadian, intelegensi, sikap kerja,  pengalaman personal, dan values berpengaruh pada cara-cara yang dipilih untuk mengatasi stres.   Faktor kepemimpinan dan situasi sosial juga memberikan pengaruh pada cara-cara mengatasi stres (Morgan cs, 1996).    Maka, itulah alasan mengapa ada orang yang survive ketika melakukan coping to stress, dan ada orang  yang kewalahan ketika stres.

Lalu, pertanyaannya, apakah stres itu diperlukan? Ya, stres itu diperlukan, sejauh stres bersifat fungsional.   Artinya, stres itu fungsional, ketika stres dapat memicu produktivitas pribadi.   Dan sebaliknya, stres menjadi kontra produktif, ketika stres bersifat disfungsional.    Stres membuat seseorang semakin terpuruk.

Pengetahuan yang dimiliki, diperkuat dengan karakteristik pantang menyerah, serta pengalaman menghadapi kesulitan dalam kehidupan, membantu seseorang untuk mampu mengalahkan stres yang dialami.    Beragam cara dapat dilakukan untuk mengatasi stres, seperti lakukan hobi lari di lintasan perumahan, atau menanam sayur di halaman.  Prinsipnya, stres harus disalurkan melalui kegiatan yang bermanfaat.   Penyaluran energi yang menyesakkan ini dapat dilakukan secara individual maupun komunal.

Nah, mari berdamai dengan stres …

Note:

Ide tulisan dengan judul yang sama pernah dimuat di buletin Empower, Media Komunikasi Civitas Akademika Stimik Perbanas, Jakarta, September 2003.

Sumber Bacaan:

Morgan, Clifford T. , Richard A. King, John R. Weisz & John Schopler.    1996.   Introduction to psychology.   New York:  McGraw

 




Korupsi

Setiap pejabat potensi korupsi.  Itu judul sebuah kegiatan yang berlangsung hari Rabu, 15 Maret 2017, di Perbanas Institute.   Bertindak sebagai keynote speaker adalah Ir. Agus Rahardjo, SPM.

Pertanyaannya, mengapa orang korupsi?  Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami pengertian tentang korupsi.

Menurut Syed Hussein Alatas 

Korupsi ialah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma, tugas dan kesejahteraan umum, yang dilakukan dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan akan akibat yang diderita oleh rakyat.

Lebih lanjut,  Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI (2017),  mengutip pendapat Syed Hussein Alatas, mengatakan bahwa korupsi diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum, dengan penyalahgunaan kewenangan.   Korupsi adalah kegiatan yang memperkaya diri sendiri,  atau  orang lain, dan korupsi adalah perbuatan yang merugikan keuangan negara.

Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan

Salah satu bentuk penyalahgunaan yang dimaksudkan adalah bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang merugikan negara, seperti penyogokan, pemerasan, penggelapan,  nepotisme, dan penipuan.

Penyalahgunaan di bidang ekonomi adalah adanya ketidakefisienan sehingga mempersulit pembangunan ekonomi.   Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos menajemen dalam negosiasi.      Perusahaan melindungi mitranya dari persaingan bisnis dengan mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah menguntungkan pemberi sogokan, sehingga merugikan kepentingan masyarakat umum.    Sebagai contoh, pejabat pemerintah  membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME), seperti praktik perdagangan beras.

Politikus “pro-bisnis” hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan yang besar yang telah memberikan sumbangan besar kepada kampaye pemilu mereka.

Mengapa orang korupsi?   Salah satu penyebabnya adalah karena orang tidak pernah puas dengan yang dimiliki.   Selain itu karena adanya kesempatan.    Maka, begitu ada kesempatan, orang akan “mengambil” harta yang bukan haknya, atau menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.   Contoh adalah perilaku para pejabat di Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Bagaimana cara mengatasi korupsi?   Law enforcement, penegakan hukum.   Barangsiapa melakukan pelanggaran di mata hukum, maka berlakukan hukum secara transparan, tanpa pandang bulu.

 

Sumber: 

Ikrar Nusa Bhakti,  (2017).    Diskusi Panel  “Setiap Pejabat Berpotensi Korupsi”,  Rabu, 15 Maret 2017.   Jakarta:   Perbanas Institute.




Flexible Working Hours, salah satu kondisi kerja yang populer

Salah satu hal yang berkontribusi pada produktivitas kerja di perusahaan adalah jam kerja yang merupakan bagian dari kondisi kerja (working conditions).

Secara teori, ada beberapa macam kondisi kerja yang sudah diaplikasikan di dunia kerja, baik di negara-negara di belahan Barat, maupun negara-negara di belahan Timur, diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Working Hours
  • Permanent Part-time Employment
  • The Four-Day Workweek
  • Flexible Working Hours

Secara singkat dapat dikatakan bahwa waktu kerja adalah jumlah jam kerja yang ditetapkan bagi karyawan untuk bekerja di kantor.   Waktu kerja yang kita kenal sekarang dengan model 8 jam per hari, selama 5 hari kerja; 40 jam per minggu diberlakukan pertama kali pada tahun 1938 di Amerika Serikat (Schultz & Schultz, 1994).   Namun kemudian, kondisi kerja berkembang menjadi 48 jam, bahkan 60 jam per minggu, yang dianggap sebagai jam normal.

Semenjak tahun 1963, sebanyak kurang lebih 10% pekerja Amerika Serikat mulai memilih status sebagai part-time atau half-time employment adalah waktu kerja yang diberlakukan ketentuan yang diberlakukan.   Jumlah ini berkembang menjadi sebanyak kurang lebih 75% karyawan (Feldman, 1990), dengan pertimbangan ada keseimbangan antara waktu kerja dengan tanggung jawab mengurus keluarga.  Di Amerika Serikat, part-time employment ini juga menjadi pilihan waktu kerja bagi disability people karena keterbatasan mobilitas  Kaum professional mulai memilih waktu kerja part-time ini karena pertimbangan adanya kesempatan untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya, seperti studi lanjut, melakukan riset mandiri, atau menulis.

The four-day workweek adalah bentuk lain dari kondisi kerja yang dimampatkan dari 5 hari kerja-40 jam per minggu.  Mengingat perkembangan situasional seperti traffic jam dan jenis pekerjaan yang membutuhkan lembur, maka pihak managerial merasa perlu memofikasi jam kerja menjadi 4 hari, dengan lama kerja 10 jam/hari.   Modifikasi jam kerja ini diterima dengan antusias oleh karyawan dan managerial karena meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas kerja.

Flexible working hours (FWH) adalah alternatif kondisi kerja yang berkembang sejak tahun 1960-an di Jerman.  FWH ini dipilih sebagai terobosan menghadapi tingkat kepadatan jalanan yang semakin hari semakin mirip “tempat parkir masal di jalanan”.   “Rush hour traffic congestion around plants and offices has been reduced” (Schultz & Schultz, 1990, h. 351).   Singkatnya, setiap karyawan mendapat kesempatan untuk mengatur waktu kedatangan (jam 7.30-9.00 WIB), dan di akhir jam kerja (jam 16.00-17.30 WIB), dengan total waktu kerja adalah tetap 8 jam kerja per hari.  FWH ini mempunyai beberapa keuntungan.   Dalam perkembangannya,

            FWH, flexible working hours, adalah pola kerja yang paling banyak dipilih oleh karyawan di seantero Amerika Serikat dan Eropa.   Jenis waktu kerja ini dianggap sebagai pola kerja yang mengakomodir jenis-jenis pekerjaan seperti bidang riset dan pengembangan.

Sumber:

Schultz, D. P. & Schultz, S. E.  (1994).   Psychology and Work Today (6th ed.).  New York:  MacMillan Publishing Company. 

 

 

 

 

 




Individual Competitiveness (IC)

Mau survive? Ya berkompetisi-lah.

Inilah kalimat singkat yang tertera di sudut kamar seorang remaja.

Kesadaran akan cepatnya perubahan yang terjadi di sekitar, membuat munculnyal sebuah kekuatan dari dalam diri untuk tetap bisa eksis.  Internal motivation menjadi kunci utama untuk survive.

Globalisasi yang kita alami saat ini menuntut competitive advantages dari masing-masing diri pribadi, antara lain kematangan karakteristik individu, ketrampilan mengolah data, kemahiran membaca situasi.   Kekuatan individu ini kemudian juga melekat dan menjadi kekuatan pada kelompok dan organisasi.

Dari kacamata psikologi, kematangan karakteristik ini dapat dilihat pada tiga hal, yaitu: skill, knowledge, dan ability.   Keterampilan berkomunikasi merupakan satu atribut terpenting penunjang keberhasilan dalam bekerja.    Pengetahuan akan hal-hal yang diperlukan untuk berkompetisi, akan menjadi bekal penting untuk merealisasikan ability yang ada dimiliki masing-masing individu.   Kemampuan mengolah data dan kemudian menganalisisnya, akan menjadi kekuatan bagi masing-masing pribadi untuk berkompetisi.

Dan, sebagai sebuah kesatuan global, selain competitive advantage yang ada pada masing-masing pihak, terdapat comparative advantage yang bisa saling melengkapi.   Sebagai contoh, Dinda memiliki keunggulan sebagai pribadi yang terampil berkomunikasi.  Emon memiliki keunggulan sebagai individu yang trampil mengoperasikan aplikasi media sosial.  Rimo memiliki keunggulan mereparasi instalasi peralatan listirk.   Comparative advantage ini akan menjadi kekuatan yang saling melengkapi.

Competitive advantage yang dimiliki masing-masing pribadi bisa menjadi “keunggulan relatif” terhadap entitas lainnya, yang disebut juga dengan comparative advantage, keunggulan yang tidak dimiliki oleh invividu yang lain, yang kemudian bisa “melengkapi”.

Masing-masing individu akan dituntut untuk mengeluarkan seluruh potensi, berkompetisi, bila tidak mau terlibas dan juga dilibas.   Kekuatan kognitif, afektif, dan konatif menjadi atribut-atribut penunjang kompetisi yang semakin kompetitif.

Di era yang serba digital, individual competitiveness, menjadi kunci survivalitas.

 

“The future belongs to those  who believe in the beauty of their dreams”

(Elenor Roosevelt)

 




“Pulang”

“Mbak Lin, mau ke mana?”, tanyaku tepat di jam pulang kantor, tepat jam 15.30 sore tadi.

“Pulang dong, bu, sudah capakep banget nih, seharian ngerjain laporan bkd,” jawab sahabatku yang ceria ini.

“Oke deh, ketemu besok lagi ya,” kataku, yang dibalas dengan lambaian tangannya sambil tertawa kelelahan.

Mau kemana lagi kita setelah seharian melakukan aktivitas di kampus?  Pulang ke rumah, kan.   Bahkan Doni, anak keponakan usia 2 tahun, selalu merengek-rengek minta “pulang” ke rumahnya setiap lebih dari satu jam bermain di rumah budenya.

“Pulang” menjadi kata yang mengandung makna memberikan kelegaan.  “Pulang” juga diartikan sebagai rumah, tempat mengembalikan pemulihan energi setelah terkuras di kantor.   “Pulang”, menjadi ramuan ajaib untuk mendapatkan kekuatan kembali setelah “kehabisan tenaga” kena macet di jalanan yang aduhai padatnya.     Kata pulang menjadi sebuah mantra yang memberi pemulihan, sekaligus kelegaan bagi diri seseorang.    Kata pulang  sekaligus dapat disertai dengan gambaran sebuah tempat atau rumah, di mana seseorang dapat perlindungan dari hujan, badai, panas, dan terik matahari.     Dapat dibayangkan betapa menderitanya ketika seseorang kebingungan mencari sebuah tempat untuk melepas lelah.

Dan, kata pulang itu sendiri secara harafiah juga diartikan sebagai pamungkas dari sebuah perjalanan kehidupan.    “Telah berpulang dengan damai”, begitu yang kubaca di salah satu surat kabar, ketika salah satu  tetangga meninggal karena usia senja.

Have a blessed day, teman-teman.




Berselancar di dunia maya

Kata berselancar merujuk pada sebuah aktivitas yang menggairahkan, meliuk-liuk di permukaan air. Aktivitas berselancar ini merupakan sebuah daya tarik, terutama bagi saudara-saudara kita yang berasal dari sebuah negara dengan empat musim.
Namun, sekarang ini aktivitas berselancar jamak pula dilakukan oleh setiap orang di dunia maya, dunia internet. Coba tengok kanan kiri kita. Kolega di kampus mengutamakan membuka laptop begitu nyampe di ruang kerjanya. Mahasiswa sambil menunggu aktivitas perkuliahan, sibuk memainkan jari jemarinya di gadget yang ada di genggamannya. Teman kost masih asik tertawa-tawa di kasurnya, karena chatting, padahal hari sudah larut. Randi, anak tetangga, umur 3 tahun, diam tak bersuara, karena perhatiannya terpaku pada handphone ibunya yang sedang bersih-bersih rumah.
Siapa lagi? Pak Kasman, menyempatkan menengok handphone di saat sedang mengecat dinding tetangga. Pak Badu, pedagang sayur keliling, tampak asik main game, sambil melepas lelah, sesaat setelah daganggannya terjual. Siapa tidak “berselancar”?
Handphone menjadi sarana berjalan yang sudah jamak dipakai orang-orang di sekitar kita, sehingga tampak banyak orang lebih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, berinteraksi dengan gadgetnya. Pertanyaannya, apakah itu salah?
Tak ada yang mengatakan salah, sejauh kita bisa menggungkan fasilitas yang kita punya secara proporsional. Berselancar di dunia maya, mengasikkan. Namun, ingatlah, bagaimanapun secara alam kodrati, kita adalah makhluk sosial, sekaligus makhluk individu. Sejatinya, ada kerinduan mendasar untuk dapat berinteraksi dengan sesama. Melihat tawa Indah yang renyah, menyaksikan Tio yang bolak-balik ke kamar mandi, makan singkong rame-rame dengan teman-teman tetangga di rumah sore-sore, makan malam bersama dengan anak di rumah tanpa chatting, ngobrol santai dengan teman sekelas setelah kuliah selesai… Nah, dekat di mata dekat di hati, bukan?




Raja Salman

Siapa tak kenal Raja Salman?
Satu minggu terakhir ini, Raja Salman mendadak menjadi populer, Setiap orang yang saya jumpai di rumah, di kampus, di warung, semuanya kenal nama Raja Salman. Selidik punya selidik, dari hasil penyelidikan singkat terhadap keterkenalan Raja Salman, maka penulis mendapatkan gambaran bahwa Raja Salman dikenal oleh orang-orang di Jakarta dan di Indonesia, tentunya, karena publikasi luas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyambut kedatangan beliau.
Publikasi tersebut “mengimbangi” besarnya jumlah anggota rombongan yang datang bersama Raja. Ada 1500 orang dalam rombongan, 15 Menteri, dan 25 Pangeran.
Ya, jumlah yang besar.

Selain jumlah yang besar, keterkenalan Raja Salman tersebut, dikarenakan atribut yang melekat pada Sang Pimpinan Rombongan. Beliau adalah seorang Raja, pimpinan dari sebuah negara berdaulat yang mempunyai kekayaan sebagai wujud kemandiirian ekonomi yang kuat. Kekuatan ekonomi merupakan salah satu faktor penyangga keberlangsungan sebuah negara.

Yang berikutnya, ternyata dari pantauan sebagai warga negara yang mendapat kunjungan kenegaraan, Raja memancarkan keelokan kepribadian yang memukau.
Cara beliau menyalami Presiden Republik Indonesia dan beberapa menteri yang menyambutnya, tutur kata beliau saat berkomunikasi dengan beberapa pejabat negara, gestur tubuh saat berinteraksi dengan beberapa Indonesia, menunjukkan bahwa Raja memberikan perhatian terbuka, termasuk saat Raja “menyapa” rakyat Indonesia dalam vlog yang dilakukan oleh Presiden RI saat makan siang.

Bagi saya, gerak-gerik dan perilaku Raja Salman dalam menghadapi orang-orang di sekitarnya, sungguh menyentuh. Gerak-gerik dan perilaku ini adalah bagian dari gestur tubuh yang memperkuat communication skill, menjadikan interpersonal skill mempunyai nilai atau menambah art.

Kalo seorang raja mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang mempesona, mengapa kita tidak?




“Building Working Conditions”

 

Kata-kata pada judul di atas tiba-tiba menjadi jelas muncul ke “permukaan”, ketika diriku merenungi perjalanan dari hari ke hari sampai saat ini.  Tak ada karya nyata tanpa kerja dan kerja.

Salah satu karya itu adalah perenungan tentang Working Conditions.   Sudahkah aku membangun Working Conditions?  Bagaimanakah bentuk bangunannya?

Working Conditions mencakup hal-hal eksternal dan hal-hal internal pada diriku yang mengiringi langkah-langkah professional, yang mau tidak mau bersentuhan dengan situasional personal.

Hasilnya, aku sampai pada perenungan:

  1. “Sudahkah aku merumuskan goal, untuk hari ini, dan terlebih untuk hari-hari ke depan?”
  2. Sudahkah goal itu menjadi prioritasku? “Put first thing first (kata pak Stephen Covey, pencetus ramuan the Eight Habits).
  3. Know your target, then know your limit. Pahami medan peperangan, dan kenali keterbatasan-keterbatasanmu.
  4. Actualizing the actions. Bersegeralah wujudkan langkah-langkah kongkrit menuju goals.
  5. Push your energy, minimizing your barriers.  Ada beribu alasan untuk menggerakkan dirimu.  Beranilah memilih yang mendukung pencapaian target, dan limitasi kendala-kendala yang menggoda.
  6. Stay assertive behavior. Kuatkan dirimu, dan kendalikan beragam kondisi yang tak perlu.
  7. Pray, do, and go. Percayalah Tuhan menyertai langkahmu.

Semoga bermanfaat.

“Tidak ada jalan pintas untuk hasil berkualitas,” Kompas (Rabu, 12 Oktober 2016, halaman 1, dari Diskusi Ekonomi Kompas).

 

Jakarta, 17 Oktober 2016




“Rajin Olah Raga, Apakah Jaminan Panjang Usia?”

Beberapa hari yang lalu, reuni teman kuliah yang heboh, dikejutkan dengan sebuah berita.

Randi, teman yang dikenal rajin olah raga, dan rajin menjaga pola makan, telah mendahului kami semua.

Tentu, kami bertanya-tanya apa yang terjadi pada Randi.

Akhirnya, pertanyaan kami terjawab. Kata dokter, Randi adalah pribadi yang aktif berolahraga, bahkan terkenal sebagai seorang pelari maraton, a marathon runner.  Randi terbiasa tidur 3-4 jam sehari.

Beberapa saat setelah berolah raga, Randi terserang penyakit jantung yang masif.  Randi meninggalkan seorang istri dan dua orang anak.

Kebiasaan tidur kurang dari 5-6 jam per hari dapat meningkatkan resiko terkena serangan BP, sebesar 350% – 500%, dibandingkan dengan mereka yang punya waktu tidur sekitar > 6 jam per hari.   Bagi orang muda usia 25 – 49 tahun, akan terkena kemungkinan dua kali menderita BP, bila waktu tidur kurang dari 6 jam per hari.

Singkat cerita:

olah raga, diet makanan, berat badan proporsional bukan jaminan utama kesehatan anda, bila anda masih belum mempunyai waktu tidur 6-8 jam per hari.  Nah, masih kah mengabaikan waktu tidur anda?

(dituliskan secara lebih sederhana dari uraian Dr. N. Siva, Senior Cardiologist,  WhatsApp, Rabu, 12 Okt 2016)