Creative Employee Behavior (Part II)

Creativity itself is a human perception, which is followed by action. Both the perception and the action are something new. In this definition, creativity is related to something that has not been thought or done by others. Creative personality is needed in an organization because it can support the organization to develop as well as to be more innovative and well performed. Since creativity refers to individual differences, it can lead both individual and organization into innovation. It is also the basic in which an organization can be more competitive and more dynamic.

Some studies underline that extraversion, conscientiousness, agreeableness, and openness to experience as four individual characters that support creative behavior. Extraversion is individual character of being concerned with what is outside the self. Employees who are extrovert get high satisfaction in their job result. In fact, extraversion positive significantly correlated with personal performance. It means that extroversion encourages creative employee behavior. In line with extraversion, conscientiousness significantly correlated to job performance and personal position. Good job performance and personal position of employees require creativity. In addition, agreeableness is also positive significantly correlated to creativity. In certain condition, employees who are able to admit that others can have better idea seem to be able to develop themselves. Moreover, openness to experience is considered as important in supporting creations. Employees who are open to new experience tend to have creative thinking on how to develop idea related to their job.

Some experts also reveal that creative requirement of a job is positively correlated to individual creativity. It means that the improvement of creativity will improve only if it is suitable to individual inner drives. This is an underlying concept of Self-Concept-Based Theory. The theory highlights that individual creativity will be improved and turn to be meaningful when employees feel more self engaged. The implication is the employees as individuals have to adjust their own goals with organization goals in a meaningful way. This self-concept-based theory is inline with the most popular theory of creativity, which is interactionist model. This theory mentions that employee, groups, and organization are input that will be changed in creative condition that are match with individual goals.




Creative Employee Behavior (Part I)

In today’s fast moving world, an organization has to be competitive to survive. The term competitive implies that the organization should be able to balance all factors that are interconnected, including internal and external factors. Furthermore, employee is considered as the important factor that influence dynamic organization. Moreover, managing human resources (employee) is the most important aspect that should be considered by an organization.

 

Although the jobs that are provided by companies (organizations) create numerous consequences for individual as employees in this entire world, work is becoming everyone’s central stage. The heterogeneous of employees in an organization can be very influential in supporting the organization reach its goal. As a consequence, individual differences at the same time may result on different behaviors, such as positive and negative behavior.  In fact, it is only positive behaviors of employees are needed in maximizing the organization ability to reach its goals. One of positive behavior of employees is creative behavior.

 

Besides employee creative behavior, an organization also needs to involve its employees to get their fullest potential. Employee involvement program gives opportunity for employees to demonstrate their ability in a positive way. Since this program is based on the trust between organization and employees, it will be easier for employees to maximize what they have and what they are able to do for their organization freely and in a more creative way. Additionally, the program of employee involvement depends on employee behavior.

 

The interdependency between employee and organization will lead the organization into certain direction. The direction, then will depends on how the organization and the employee put their shoes in the suitable size. It means that all elements in an organization must perform their roles in a suitable way. It takes commitment as well as willingness to work hard. #SruputKopiDulu 😉

 




Kekuasaan, Politik, dan Konflik di dalam Organisasi

Manusia yang dikenal sebagai Homo Homini Socius memiliki kebutuhan dan keinginan untuk berkumpul serta berinteraksi dengan sesamanya. Dalam tataran formal, aktifitas berkumpul dan berinteraksi ini dapat disebut dengan berorganisasi. Hal ini sejalan dengan buah pikiran Mc. Shane dan Von Glnow (2010:4) yang mengemukakan bahwa “Organizations are groups of people who work interdependently toward some purposes… Throughout history, organizations have consisted of people who communicate, coordinate, and collaborate with each other to achieve common objectives”. Dalam organisasi, individu-individu yang unik berkumpul, berkolaborasi, dan berkoordinasi untuk mencapai tujuan tertentu. Keunikan individu yang beragam inilah yang kemudian memunculkan hal-hal penting di dalam organisasi, seperti kekuasaan, politik, dan konflik.

 

Kekuasaan dalam Organisasi

Kekuasaan adalah kapasitas seseorang, tim, atau organisasi untuk mempengaruhi yang lain. Kekuasaan tidak dimaksudkan untuk mengubah perilaku seseorang, melainkan potensi untuk mengubah seseorang (Mc. Shane & Von Glnow, 2010: 300). Lebih jauh lagi, kedua ahli ini menjelaskan bahwa kekuasaan mensyaratkan kebergantungan. Dengan kata lain, pihak yang berkuasa memiliki hal yang dianggap penting oleh pihak lainnya sehingga pihak tersebut merasa berada di bawah kendali pihak yang memiliki kekuasaan.

 

Seseorang dapat dikatakan memiliki kekuasaan terhadap orang lain jika ia dapat mengontrol perilaku orang lain. Kekuasaan adalah hubungan nonresiprokal antara dua orang atau lebih. Nonresiprokal di dalam konteks ini dapat diartikan sebagai ketidakseimbangan kuasa yang dimiliki oleh individu yang satu dan individu yang lain. Dengan kata lain, dua pihak yang memiliki hubungan nonresiprokal mungkin saja tidak memiliki kekuasaan yang sama di dalam wilayah yang sama (Brown dan Gilman, 2003: 158).

Ada banyak hal yang menjadi dasar terbentuknya faktor kekuasaan, seperti kekuatan, kekayaan, umur, jender, serta jabatan atau posisi. Brown dan Gilman (ibid) menggunakan contoh kata ganti tu (T) dan vos (V) untuk menggambarkan faktor kuasa. Kata ganti T dan V yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin banyak diadopsi oleh bahasa-bahasa eropa seperti Perancis, Spanyol, dan Italia. Kata ganti V pada awalnya merupakan kata ganti jamak yang ditujukan kepada para kaisar, sedangkan T merupakan kata ganti tunggal yang ditujukan kepada rakyat jelata. Pada perkembangan selanjutnya V dan T digunakan sebagai kata ganti yang menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Orang yang memiliki kekuasaan dipanggil dengan V dan orang yang tidak memiliki kekuasaan dipanggil dengan T. Contoh yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman adalah kata ganti T yang digunakan oleh Paus Gregori I di dalam surat yang ditujukan pada bawahannya dan kata ganti V yang digunakan oleh bawahan Paus Gregori I untuk menyapa sang Paus. Pada jaman Eropa pertengahan, kata ganti V dan T digunakan di dalam skala yang lebih luas, misalnya para pembantu rumah tangga memanggil tuannya dengan V dan tuannya memanggil pembantunya dengan T, pekerja memanggil pengusaha dengan V dan pengusaha memanggil pekerja dengan T. Di dalam hubungan keluarga, anak memanggil orang tuanya V dan orang tuanya memanggil anaknya T.

Ketidakmerataan distribusi kekuasaan sebenarnya dialami oleh setiap individu. Pertama kali individu mengenal adanya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan di dalam keluarga. Seorang anak harus menyapa orang tuanya dengan sapaan yang dianggap santun. Seperti yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman di atas, anak pertama kali mengenal kata ganti V pada saat ia berinteraksi dengan orang tuanya. Seiring dengan berkembangnya individu, subordinasi dalam hal kekuasaan merambah ke hal-hal lain, seperti dalam hubungan kerja.

Thomas (1995: 124-130) dan Mc Shane & Van Glnow (2010: 301 – 304) mengemukakan lima sumber kekuasaan di dalam organisasi, yaitu legitimate power, reward power, coercive power, expert power, dan referent power.

Legitimate power merupakan kesepakatan anggota organisasi bahwa individu dalam peran-peran tertentu dapat menentukan prilaku tertentu dari orang lain. Legitimate power biasanya ditentukan oleh deskripsi pekerjaan dalam suatu jabatan, misalnya seorang atasan memiliki kekuasaan untuk meminta bawahannya melaksanakan tugas-tugas organisasi sesuai dengan kapasitasnya.

Reward power adalah kekuasaan untuk mengontrol atau memberikan penghargaan kepada pihak lain. Seorang manajer dapat mempromosikan bawahannya ke level yang lebih tinggi, member bonus, atau member hak berlibur sebagai imbalan yang diberikan kepada karyawan yang mencapai target kerja tertentu. Sebaliknya, seorang bawahan dapat memberikan umpan balik atas kinerja atasannya.

Coercive power adalah kekuasaan untuk member sanksi atau hukuman. Contoh coercive power adalah seorang atasan memiliki kekuasaan untuk memberikan sanksi kepada bawahannya yang terbukti memiliki kesalahan fatal yang merugikan organisasi.

Expert power adalah kekuasaan yang berhubungan dengan kemampuan, keahlian, atau pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Misalnya, tim peneliti yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan memiliki kekuasaan apakah sebuah projek dapat dilanjutkan atau tidak.

Referent power adalah kekuasaan yang diasosiasikan dengan charisma seseorang. Secara ilmiah, definisi referent power memunculkan perdebatan di kalangan para ahli karena ukuran kharisma yang sulit untuk distandarkan. Namun, secara factual referent power memang ada di dalam kehidupan berorganisasi. Di banyak perkampungan di Indonesia ada tokoh-tokoh masyarakat yang disegani karena memiliki kharisma. Hal itu merupakan contoh yang nyata dari referent power.

Dalam kenyataannya, kekuasaan memberikan beberapa keleluasaan bagi pihak yang memiliki posisi superior. Keleluasaan tersebut dapat menentukan optimal atau tidaknya kinerja sebuah organisasi.

 

Politik dalam Organisasi

Politik organisasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu dalam organisasi untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri (Colquitt, J.A., Lepine, J.A., & Wesson, M.J. 2011: 460). Sedangkan menurut Mc Shane & Van Glnow (2010: 315-316) politik organisasi terkait erat dengan taktik organisasi. Menurut kedua pakar ini, politik organisasi adalah prilaku yang dianggap oleh orang lain sebagai taktik yang menguntungkan diri sendiri dengan mengatasnamakan organisasi. Taktik tersebut sering kali bertentangan dengan kepentingan organisasi.

Politik organisasi tumbuh subur dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya pada saat kurangnya sumber daya manusia, sangat mungkin ada individu-individu yang mempertahankan satu posisi atau jabatan di organisasi.

Secara faktual, politik organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang tabu bagi orang-orang tertentu. Hal ini merupakan imbas dari berkumpulnya banyak individu di dalam organisasi. Semakin banyak individu di dalam organisasi, semakin banyak pula tarik menarik kepentingan di dalam organisasi tersebut.

Hal tersebut berimplikasi pada maraknya politik organisasi. Setiap pihak akan melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan untuk mendukung kepentingannya serta untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan politicking atau berpolitik dalam organisasi.

Dalam jangka panjang, tarik menarik kepentingan ini akan memberikan dampak tidak baik terhadap eksistensi organisasi. Semakin banyak individu yang mengedepankan kepentingannya, semakin terabaikan pula tujuan organisasi. Karenanya, seorang pemimpin yang baik harus dapat meminimalkan politik organisasi atau berupaya semaksimal mungkin agar politik organisasi tidak memicu timbulnya konflik yang dapat mengancam keberadaan organisasi.

 

Konflik dalam Organisasi

Semakin banyaknya individu yang melakukan politik organisasi, semakin besar pula potensi terjadinya konflik. Mc Shane dan Von Glnow (2010: 328) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses di mana salah satu pihak menganggap bahwa kepentingannya bertentangan dengan pihak lain. Pandangan ini didasari oleh fakta bahwa setiap individu adalah unik. Mereka memiliki persepsi yang berbeda atas suatu realita. Perbedaan ini berpengaruh kepada heterogenitas individu dalam berinteraksi di lingkungannya. Di sisi lain, organisasi juga harus menetapkan visi dan misi, yang tak jarang tidak searah dengan persepsi individu.

Perbedaan-perbedaan atau benturan-benturan yang terjadi di dalam interaksi social telah menempatkan konflik sebagai hal yang dianggap negatif. Konflik menciptakan ketidak sepahaman di antara berbagai pihak. Dampaknya, konflik banyak menciptakan ketidak efisienan dalam berbagai sendi organisasi (conflict is bad perspective). Ketidak sepahaman ini juga sering memicu timbulnya berbagai politik organisasi yang pada akhirnya berpengaruh negatif kepada kinerja individu dan organisasi.

Pada era 1970an – 1990an muncul persepsi lain yang memandang konflik dengan kaca mata yang lebih positif (optimal – conflict – perspective). Pada titik tertentu, ada kemungkinan bahwa pihak-pihak yang mengalami konflik  berbicara satu sama lain. Pada saat seperti inilah konflik dapat menjadi hal positif. Dalam kondisi ini, keterbukaan antara pihak-pihak yang berkonflik akan memunculkan alternatif pemecahan masalah.

Selepas tahun 1990an, muncul pandangan yang berbeda mengenai konflik. Di era ini konflik dibagi menjadi dua, yakni constructive conflict dan relationship conflict. Constructive conflict dianggap dapat mendorong lahirnya ide-ide dan rekomendasi baru untuk memecahkan masalah. Di sisi lain, relationship conflict hanya terfokus pada manusia sebagai pihak yang mencetuskan konflik.

Setiap hal yang terjadi di dunia ini pasti memiliki efek positif dan negatif, begitu pula dengan konflik. Di dalam konteks organiosasi, konflik dapat menyebabkan beberapa hal positif sebagai seperti memperkuat hubungan antar individu (jika semua pihak yang berkonflik dapat saling bicara dengan baik); menumbuhkan kepercayaan terhadap orang lain (konflik yang diselesaikan dengan baik akan menumbuhkan rasa kepercayaan terhadap pihak lain); Meningkatkan harga diri (pihak-pihak yang berkonflik akan memiliki harga diri tinggi, dan secara positif mereka akan memperbaiki argument-argumen untuk ,membela dirinya). Pengaruh positif tersebuat akan berdampak pula pada organisasi. Salah satu dampaknya yaitu organisasi memiliki atternatif pemecahan masalah karena adanya keinginan dari pihak-pihak yang berkonflik untuk duduk bersama. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktifitas organisasi yang semakin membaik.

Di samping pengaruh positif, konflik juga memiliki beberapa pengaruh negatif seperti mengakibatkan ketidaknyamanan antar individu karena adanya perasaan saling curiga dan hilangnya kepercayaan. Dalam jangka panjang, hal tersebut akan berdampak pada menurunnya kinerja organisasi.

 

Manajemen Konflik

Dalam satu organisasi, konflik kadang-kadang merupakan hal yang sangat sulit untuk dihindari. Karenanya perlu ada strategi yang dapat mengarahkan konflik menjadi hal yang lebih positif. Para ahli menjelaskan beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik, yaitu avoiding, collaborating, compromising, avoiding, dan accommodating, dan forcing.

Avoiding adalah menghadapi konflik dengan cara menghindarinya. Cara ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar jika konflik sudah terjadi. Collaborating biasanya digunakan jika pihak-pihak yang berkonflik memiliki kekuasaan yang relative seimbang. Dalam collaborating pemecahan masalah diusahakan memenuhi kepentingan semua pihak. Compromising adalah mengelola konflik melalui konsensus. Dalam compromising, setiap pihak mendapatkan setengah dari total kepentingannya. Compromising dinilai efektif untuk menyelesaikan masalah secara cepat. Berbeda dengan tiga cara pengelolaan konflik yang sudah sisebutkan di atas, accommodating merupakan strategi mengelola konflik dengan mengorbankan kepentingan salah satu pihak dengan memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memenuhi kepentingannya. Selain itu, ada pula strategi mengelola konflik yang dilakukan dengan sistem pemaksaan atau forcing. Forcing dinilai efektif jika keputusan yang diambil oleh pihak yang memaksa adalah keputusan yang benar. Sebaliknya, jika keputusan yang diambil oleh pihak yang melakukan pemaksaan tidak benar, maka akan menimbulkan permusuhan di dalam organisasi.

 

Mensinergikan Kekuasaan, Politik, dan Konflik di Dalam Organisasi

Kekuasaan memungkinkan seseorang memaksakan kehendaknya untuk mencapai tujuan yang ia inginkan. Perbedaan tujuan berbagai pihak yang terhimpun di dalam organisasi akan mendorong pihak-pihak tersebut melakukan politik organisasi. Politik organisasi inilah yang selanjutnya menimbulkan benturan-benturan atau konflik di dalam organisasi. Namun, konflik tidak selalu membawa dampak buruk bagi organisasi, tetapi juga dapat membawa dampak positif jika dikelola dengan benar..

 

 

 

 

 

 

Referensi

Brown, R. & A. Gilman. 2003. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam C. B. Paulston &  G.R. Tucker (ed). Sociolinguistics: The Essential Readings.  Oxford: Blackwell.

 

Colquitt, J.A., Jefferey A.L. & Michael J. W. 2011. Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. Second Edition. New York: Mc Graw Hill.

 

Mc Shane, S.L. & Von Glnow, M.A.Y. 2010. Organizational Behavior: Emerging Knowledge and Practice for the Real Word. New York: Mc Graw Hill.

Thomas, J. 1995.  Meaning  in  Interaction:  an  Introduction  to Pragmatics. New York: Longman.




Organisasi Belajar: Analisis Garuda Indonesia

“organizations where people continually expand their capacity to create the result they truly desire, where new and expansive pattern of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”. Senge
I. Pendahuluan
Gelombang globalisasi yang tak terbendung menuntut berbagai elemen masyarakat untuk berubah. Perubahan ini adalah satu keniscayaan karena elemen yang tidak berubah dan tidak mampu beradaptasi dengan gelombang globalisasi akan terpinggirkan dan musnah dengan sendirinya. Begitu pula dengan organisasi. Sebagai wadah penggerak manusia, organisasi harus benar-benar dinamis di dalam menghadapi perubahan yang semakin cepat. Untuk menjadi dinamis, organisasi harus terus-menerus belajar meningkatkan kualitasnya, sehingga ia mampu mengoptimalkan semua unsur di dalamnya.Selain itu, organisasi dituntut terus menerus belajar agar ia mampu bertahan di sela-sela ketatnya persaingan dengan organisasi sejenis.

Makalah ini akan membahas apakah PT. Garuda Indonesia merupakan organisasi yang belajar atau tidak dilihat dari perspektif Senge. Adapun alasan pengambilan PT Garuda Indonesia sebagai contoh untuk dianalisa dalam makalah ini dikarenakan beberapa sebab, di antaranya adalah kemampuan Garuda Indonesia untuk bertahan dan tetap digandrungi banyak orang walaupun beberapa kali diterpa isu kekalutan di kalangan internal perusahaan. Selain itu, menjamurnya perusahaan-perusahaan penerbangan, baik luar maupun dalam negeri , tidak mampu menggilas keberadaan PT Garuda Indonesia.

II. Pembahasan
Organisasi Belajar
Konsep organisasi belajar mulai diperkenalkan pada tahun 1990an. Munculnya ide organisasi belajar merupakan jawaban atas perubahan jaman yang teramat pesat. Suatu organisasi harus memiliki daya tahan dan daya saing yang tinggi untuk dapat mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah gelombang perubahan yang teramat cepat. Daya tahan dan daya saing tinggi akan tercapai jika dan hanya jika organisasi belajar terus menerus. Belajar di dalam konteks ini adalah belajar untuk menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar organisasi; belajar mengoptimalkan potensi yang ada; belajar memperbaiki kualitas diri; serta belajar beradaptasi dengan berbagai perubahan. Proses belajar yang tanpa henti inilah akan membentuk organisasi yang inovatif.
Alasan lain perlunya organisasi belajar yaitu untuk mamacu anggotanya agar menjadi pembelajar yang baik. Individu-individu yang belajar terus menerus tentu akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih daripada orang-orang yang tidak mau belajar. Karenanya, organisasi belajar akan mendorong anggotanya untuk belajar agar setiap anggota dapat mencapai kinerja optimal. Dengan demikian, diharapkan organisasi juga memiliki kinerja yang optimal.
Di sisi lain, ada beberapa faktor dari luar yang menuntut suatu organisasi menjadi organisasi belajar. Faktor-faktor yang menjelaskan kepada kita bahwa organisasi harus bersinergi dengan faktor di luar organisasi agar mencapai hasil yang optimal adalah sebagai berikut.
Pertama, organisasi harus terus menerus belajar karena adanya kemajuan di bidang informasi, komunikasi, dan teknologi yang teramat cepat. Kemajuan ini harus disertai dengan kemauan dan keinginan untuk belajar agar organisasi tidak tenggelam di dalamnya. Hal yang dapat kita jadikan contoh adalah masalah telekomunikasi. Pada era tahun 1990an, perusahaan yang memiliki kantor pusat di Jakarta harus mengadakan pertemuan secara langsung untuk membicarakan suatu hal dengan cabang-cabangnya atau anak perusahaannya di daerah-daerah untuk sesuatu yang sifatnya sangat penting. Namun, saat ini pembicaraan dengan kantor-kantor cabang dapat dilakukan melalui teleconference dengan memanfaatkan jasa internet berkecepatan tinggi. Perusahaan yang belum mau mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi akan menghabiskan biaya jauh lebih besar untuk keperluan tersebut. Selain dari segi biaya, timbul pula ketidakefisienan dari segi waktu dan energy yang dikeluarkan.
Kedua, masyarakat modern selalu mengutamakan hal-hal yang praktis dan efisien. Transaksi dalam dunia perbankan dapat dijadikan contoh menarik yang dapat menjelaskan istilah praktis dan efisien. Masyarakat modern, terutama yang tinggal di kota-kota besar saat ini lebih menyukai melakukan transaksi e-banking daripada transaksi yang dilakukan secara tradisional, yakni pergi (secara fisik) ke bank. Mereka dapat melakukan transaksi perbankan kapan pun dan di mana pun dengan menggunakan telepon pintar yang mereka miliki. Aktifitas transaksi e-banking ini dapat dilakukan saat mereka melakukan pekerjaan lain yang perlu penanganan secara langsung. Jadi, dari segi waktu, biaya, dan energy yang di keluarkan, transaksi menggunakan e-banking lebih mudah dan cepat daripada transaksi tradisional. Industri perbankan pun mulai berlomba-lomba memberikan kemudahan akses bagi nasabah untuk melakukan e-banking. Bank-bank yang hanya diam dan menonton akan segera ditinggalkan nasabahnya.
Ketiga, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menuntut organisasi mengadopsi perkembangan tersebut. Jika organisasi resistant terhadap perkembangan ilmu dan pengetahuan, maka ia tidak akan dapat memelihara keberlanjutannya.
Senge (1990) mendefinisikan organisasi belajar sebagai “organizations where people continually expand their capacity to create the result they truly desire, where new and expansive pattern of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”. Dari definisi tersebut dapat kita lihat bahwa organisasi belajar adalah organisasi yang dapat mendorong individu dalam mengoptimalkan potensinya untuk mencapai hal yang dicita-citakan. Di dalam organisasi belajar, semua individu bebas mengungkapkan aspirasinya serta mengembangkan ide-idenya sehingga individu akan belajar berkesinambungan.
Menurut Senge ada 5 karakter organisasi belajar, yakni:
1. Penguasaan Pribadi atau Personal Mastery
Organisasi belajar mendorong anggotanya untuk berkembang secara optimal dan mengembangkan kapasitas individu untuk mencapai hasil kerja terbaik. Penguasaan pribadi ditujukan agar individu mampu melihat suatu hal secara obyektif. Hal ini akan berdampak pada kemampuan individu dalam memahami dan mendalami visinya, sehingga ia dapat memfokuskan energy yang dimilikinya untuk mengembangkan hal-hal yang lebih bermanfaat. Penguasaan pribadi yang baik sangat mempengaruhi keberadaan organisasi karena kinerja organisasi bergantung kepada dinamika individu yang ada di dalamnya.

2. Pola Mental atau Mental Model.
Pola mental merupakan hal yang mendasari seseorang dalam melihat dunia di sekitarnya. Pola mental akan membentuk asumsi terhadap setiap hal yang dilihat. Karenanya, setiap individu harus terus menerus memperbaiki pola mentalnya dalam melihat dunia sekitar sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat dan baik dalam mengambil keputusan.

3. Visi Bersama atau Shared Vision.
Individu yang tergabung dalam suatu organisasi biasanya memiliki satu atau beberapa kesamaan. Alangkah baiknya jika kesamaan ini dijabarkan ke dalam visi bersama yang mengikat setiap individu di dalam organisasi untuk selalu memegang teguh komitmen dalam mencapai tujuan bersama.

4. Belajar Beregu atau Team Learning.
Sebagaimana layaknya lidi, ia akan kuat dan bermanfaat jika diikat dalam jumlah yang cukup banyak, demikian pula organisasi. Pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok (bersama) biasanya akan membuahkan hasil yang optimal daripada pekerjaan yang dilakukan oleh individu secara terpisah-pisah. Belajar beregu juga menjadi aspek yang penting untuk mengasah sense of belonging. Selain itu, belajar beregu akan melatih individu untuk memainkan peran dalam kelompoknya secara bersungguh-sungguh karena berhasil atau tidaknya kelompok sangat bergantung pada kesungguhan seluruh anggotanya.

5. Berpikir Sistem atau System Thinking
Organisasi harus mampu melihat semua hal, termasuk pola perubahan sebagai suatu sistem. Ini berarti bahwa perubahan itu sendiri dipengaruhi dan mempengaruhi banyak faktor. Keterkaitan atau jalinan banyak faktor inilah yang membentuk sebuah sistem, yang jika salah satunya diubah akan berpengaruh terhadap faktor-faktor lainnya. Oleh karenanya, organisasi harus mampu melihat perubahan sebagai suatu sistem menyeluruh agar penilaiannya tidak timpang.
Sekilas Tentang Garuda Indonesia
Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional yang didirikan pada tahun 1949, saat Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja direbut dari tangan penjajah. Seiring dengan perubahan jaman, banyak sekali perkembangan yang terjadi di tubuh Garuda Indonesia, di antaranya adalah perubahan manajemen dan logo pesawat. Selain itu, perombakan di tataran manajemen juga dilakukan agar organisasi ini tetap dinamis dan dapat bertahan dalam persaingan yang semakin ketat.
Saat ini, Garuda Indonesia memiliki konsep sebagai maskapai dengan pelayanan penuh (full service airline). Berbagai rute penerbangan dioperasikan oleh Garuda Indonesia, mencakup rute domestic, regional, dan internasional. Selain mendapatkan berbagai penghargaan berskala nasional dan internasional, maskapai ini memiliki berbagai unit bisnis (Strategic Business Unit) seperti Garuda Cargo dan Garuda Medical Center. Beberapa anak perusahaan Garuda Indonesia juga sedang berkembang dengan sangat pesat, diantaranyaPT Citilink Indonesia (maskapai tarif rendah), PT Aerowisata (hotel, transportasi darat, agen perjalanan, dan catering), PT Abacus Distribution System Indonesia (penyedia layanan sistem pemesanan tiket), PT Aero System Indonesia/Asyst (penyedia layanan teknologi informasi untuk industry pariwisatadan transportasi), serta PT Garuda Maintenance Facility/GMF AeroAsia, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang perawatan pesawat, perbaikan, dan overhaul (www.garuda-indonesia.com).
Namun, Garuda Indonesia bukanlah organisasi yang tumbuh tanpa masalah. Beberapa tahun terakhir ini Garuda Indonesia dihadapkan pada masalah protes karyawan dan kerugian keuangan. Protes karyawan berupa aksi mogok para pilot dan aksi mogok karyawan PT Aerofood Catering Service. Para pilot Garuda Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Garuda (APG) melakukan mogok kerja menuntut kenaikan gaji. Hal tersebut didasari oleh kesenjangan penghasilan yang diterima oleh pilot orang Indonesia dengan penghasilan yang diterima pihak asing. Aksi mogok lainnya dilakukan oleh karyawa PT Aerofood service. Akibat unjuk rasa ini, beberapa rute penerbangan domestic Garuda Indonesia tidak disertai dengan fasilitas makan (www.finance.detik.com).
Garuda Indonesia: Organisasi Belajarkah?
Saat kita mencoba mengevaluasi apaka satu organisasi dapat dikatakan belajar atau tidak, maka harus ada standar baku yang bisa membuat satu acuan penilaian yang objektif. Dalam pembahasan di makalah ini, saya akan mencoba membuat penilaian apakah Garuda Indonesia termasuk organisasi belajar atau tidak berdasarkan paparan sebelumnya mengenai karakteristik organisasi belajar, yakni penguasaan pribadi, pola mental, visi bersama, belajar beregu, dan berpikir sistem.
Dari segi penguasaan pribadi, Garuda Indonesia memfasilitasi karyawannya dengan berbagai macam bentuk pelatihan. Untuk keperluan ini, Garuda Indonesia menyediakan Pusat Pendidikan dan Pelatihan yang sangat lengkap. Secara fisik pusat pendidikan dan pelatihan ini berupa ruan kelas, asrama, ruang serba guna, fasilitas olah raga, fasilitas praktik, dan fasilitas-fasilitas lain yang menunjang terselenggaranya pelatihan dengan optimal. Semua karyawan didorong untuk mengembangkan potensinya melalui pelatihan-pelatihan yang sangat terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Dengan mengoptimalkan potensi karyawan, maka diharapkan akan optimal pula kinerja karyawan Garuda Indonesia. Hal itu akan berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi.
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Garuda Indonesia juga berdampak pada pola mental karyawannya. Bagaimanapun juga, pelatihan-pelatihan yang dilakukan secara terus menerus akan direkam baik secara sadar ataupun tidak sadar. Hal tersebut akan digunakan oleh karyawan Garuda Indonesia dalam memberikan penilaian atau evaluasi terhadap suatu hal, sehingga ia akan perilaku yang dilakukan juga sangat dipengaruhi oleh pola mental yang sudah dibentuk. Misalnya, seorang awak kabin selalu dilatih untuk berlaku tenang, dan mendahulukan keselamatan penumpang. Maka, saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam suatu penerbangan ia akan bersikap tenang dan menenangkan penumpang. Selain itu, ia akan mendahulukan keselamatan penumpang dibandingkan dengan keselamatan dirinya sendiri. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan pelanggan kepada Garuda Indonesia.
Visi Garuda Indonesia menjadi perusahaan penerbangan yang handal dengan menawarkan layanan yang berkualitas kepada masyarakat dunia menggunakan keramahan Indonesia telah diketahui dan benar-benar dipahami oleh seluruh karyawannya. Dalam setiap pelatihan, organisasi ini selalu mematrikan visinya sehingga seluruh karyawan memiliki visi yang sama. Shared vision ini pun dijabarkan lagi ke tata nilai yangdisebut sebagai FLY-HI sejak 30 Oktober 2007. FLY-HI merupakan akronim dari nilai-nilai eFficient & effective; Loyalty; customer centricitY; Honesty & openness dan Integrity. Organisasi ini mencoba menanamkan paham bahwa ada nilai-nilai positif yang harus selalu melekat pada karyawan. Nilai-nilai inilah yang menjadi competitive advantages, baik bagi karyawan, maupun bagi organisasi secara keseluruhan.
Sebagai maskapai penerbangan nasional yang dinilai memiliki repuitasi baik oleh berbagai kalangan, Garuda Indonesia harus dapat mengaplikasikan konsep team learning bagi semua unsur di dalamnya, baik di tataran manajemen maupundi kalangan karyawan. Terlebih lagi bagi kru penerbangan, sistem penerbangan dengan durasi waktu terbang berjam-jam, mengharuskan seluruh awak kabin menjalankan perannya dengan sungguh-sungguh agar terbentuk tim yang baik. Selain itu, di tataran manajemen, Garuda Indonesia menerapkan sistem komunikasi lintas bagian. Ini berarti bahwa, bagian yang satu dapat secara langsung berkomunikasi dengan bagian lain. Dengan demikian, celah komunikasi antar bagian ini membuka peluang bagi mereka untuk menerima kritik dan masukan serta membangun budaya belajar bersama.
Berfikir sistem metupakan salah satu ciri organisasi belajar. Untuk menilai apakah Garuda Indonesia berfikir sistem atau tidak, makalah ini akan menggarisbawahi salah satu konflik yang sempat mengguncang perusahaan ini, bahkan memberikan efek tidak baik untuk penerbangan nasional, yaitu kasus mogok yang dilakukan oleh APG (asosiasi Pilot Garuda). Konflik antara Garuda Indonesia dan APG dikarenakan adanya kesenjangan penghasilan yang diterima oleh pilot-pilot asing dan pilot-pilot lokal. Aksi mogok ini, berdampak pada kacaunya jadwal penerbangan. Sehingga banyak pihak yang dirugikan oleh kekacauan ini, terutama penumpang yang telah memberikan kepercayaannya kepada Garuda Indonesia. Dalam jangka pendek, pihak manajemen garuda mencoba mengatasi kekacauan ini dengan menurunkan instruktur-instruktur penerbangan garuda sebagai ‘pilot tembak’. Hal ini dilakukan untuk memperkecil pembatalan jadwal penerbangan. Selain itu, pihak manajemen juga menyewa hotel di sekitar bandara sebagai tempat peristirahatan para pilot yang disiapkan sebagai pilot pengganti. Namun demikian, secara esesnsi penyelesaian konflik antara pihak manajemen garuda dengan APG selalu menemui kata tidak sepakat sampai saat ini.
Hal lain yang dapat diambil sebagai cara berfikir sistem dari Garuda Indonesia yaitu dengan dibukanya unit-unit bisnis lain yang terkait dengan penerbangan. Unit-unit bisnis yang dibuka oleh Garuda Indonesia seperti PT Aerowisata (hotel, transportasi darat, agen perjalanan, dan catering), PT Abacus Distribution System Indonesia (penyedia layanan sistem pemesanan tiket), PT Aero System Indonesia/Asyst (penyedia layanan teknologi informasi untuk industry pariwisatadan transportasi), serta PT Garuda Maintenance Facility/GMF AeroAsia, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang perawatan pesawat, perbaikan, dan overhaul sangat mendukung bisnis penerbangan Garuda Indonesia. Unit-unit bisnis tersebut mempermudah masyarakat yang membutuhkan jasa-jasa lain selain penerbangan. Dalam hal ini, cara berfikir Sistem dari Garuda Indonesia justeru membuka peluang-peluang bisnis lain dengan memanfaatkan nama besarnya.

Simpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Garuda Indonesia termasuk ke dalam kategori organisasi belajar. Hal ini terbukti dengan Garuda Indonesia memiliki ciri-ciri organisasi belajar yang dibuktikan dengan ketahanannya bersaing dengan maskapai lokal, regional, maupun internasional. Namun demikian, konflik antara pihak manajemen dengan karyawan harus mendapat perhatian khusus dari organisasi ini, karena organisasi belajar akan mempertimbangkan hal-hal esensi yang diperlukan oleh karyawannya.

Referensi
Senge, Peter M.(1990) The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. New York: Doubleday
www.garuda-indonesia.com
www.finance.detik.com




Globish dan Lingomixaholic

 

Sempat senyum-senyum saat lobi kampus tadi melihat beberapa mahasiswa yang berbicara menggunakan Bahasa Inggris dicampur-campur  Bahasa Indonesia dengan menggunakan logat Cinta Laura sambil memonyong-monyongkan mulutnya.  Duh jangankan mahasiswa, dosen2 muda seperti saya dan teman-teman sebaya (eh Alhamdulillah masih merasa muda 🙂 ) juga masih suka ikut-ikutan pake logatnya Chinca Lawra. Bahkan, satu atau dua kali menggunakannya di kelas untuk mencairkan suasana.

Diakui atau tidak, bahasa campuran antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sangat lekat dalam keseharian kita. Tidak hanya di warung kopi dan di meja makan,  bahkan di acara-acara formal pun bahasa campuran ini acap kali diucapkan entah sengaja atau tidak. Sempat dalam suatu acara formal tanpa sengaja saya menulis kalimat-kalimat atau kata-kata yang diucapkan oleh pembicara. Hasilnya adalah satu halaman penuh berisi kalimat-kalimat dari bahasa bahasa campur-campur, misalnya “Pemikiran-pemikiran itu harus diframe ulang….”; “Kita punya dream yang besar….”.

Maraknya penggunaan bahasa campur-campur ini sempat menyita perhatian The Newyork Times yang dalam salah satu artikelnya menyatakan bahwa orang Indonesia saat ini cenderung lebih menyukai penggunaan Bahasa Inggris dan menomor duakan penggunaan Bahasa Indonesia. Terlepas dari sudut pandang dalam artikel itu, dalam beberapa kesempatan saya melihat bahwa banyak orang yang merasa “keren” menyelipkan kosa kata atau kalimat-kalimat berbahasa Inggris. Namun, kadang penggunaan bahasa Inggris yang diselipkan ini juga sering terjadi saat seseorang merasa sulit menemukan padanan suatu kata di dalam Bahasa Indonesia.

Lingomixaholic adalah istilah bagi para pengguna bahasa yang sangat gemar mencampur-campurkan bahasa, terutama Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Secara pribadi saya melihat fenomena ini sebagai konsekuensi logis dari mendunianya Bahasa Inggris. Terlebih lagi, kemajuan di bidang teknologi informasi mengharuskan hampir semua orang memahami Bahasa Inggris, yang pada akhirnya mendorong kemunculan Globish (Global English), yakni bahasa Inggris yang dapat digunakan oleh siapapun di belahan dunia manapun.

Dalam berbahasa sebenarnya telah lama orang mengenal bahasa pijin dan bahasa kreol. Bahasa pijin digunakan oleh orang dari berbagai suku untuk mempermudah komunikasi, dengan mengabaikan aturan tata bahasa, misalnya pijin Inggris di Singapura. Bahasa pijin tidak memiliki penutur asli. Namun, saat bahasa pijin memiliki penutur asli, bahasa tersebut dinamakan bahasa kreol.

Kembali kepada kegemaran mencampur-campurkan kosa kata bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang menurut saya sah-sah saja. Saya sangat sepakat dengan pendapat seorang teman yang mengatakan bahwa “mencintai Bahasa Indonesia bukan berarti kita menutup diri mempelajari bahasa lain”. Mempelajari juga akan berimbas pada penggunaan bahasa yang lebih baik.  Dan ternyata, kalimat-kalimat seperti “Pemikiran-pemikiran itu harus dibingkai ulang” dan “Kita memiliki mimpi yang besar” terdengar lebih indah daripada “pemikiran-pemikiran itu harus diframe ulang” dan “Kita memiliki dream yang besar”. (NF)