Manusia yang dikenal sebagai Homo Homini Socius memiliki kebutuhan dan keinginan untuk berkumpul serta berinteraksi dengan sesamanya. Dalam tataran formal, aktifitas berkumpul dan berinteraksi ini dapat disebut dengan berorganisasi. Hal ini sejalan dengan buah pikiran Mc. Shane dan Von Glnow (2010:4) yang mengemukakan bahwa “Organizations are groups of people who work interdependently toward some purposes… Throughout history, organizations have consisted of people who communicate, coordinate, and collaborate with each other to achieve common objectives”. Dalam organisasi, individu-individu yang unik berkumpul, berkolaborasi, dan berkoordinasi untuk mencapai tujuan tertentu. Keunikan individu yang beragam inilah yang kemudian memunculkan hal-hal penting di dalam organisasi, seperti kekuasaan, politik, dan konflik.
Kekuasaan dalam Organisasi
Kekuasaan adalah kapasitas seseorang, tim, atau organisasi untuk mempengaruhi yang lain. Kekuasaan tidak dimaksudkan untuk mengubah perilaku seseorang, melainkan potensi untuk mengubah seseorang (Mc. Shane & Von Glnow, 2010: 300). Lebih jauh lagi, kedua ahli ini menjelaskan bahwa kekuasaan mensyaratkan kebergantungan. Dengan kata lain, pihak yang berkuasa memiliki hal yang dianggap penting oleh pihak lainnya sehingga pihak tersebut merasa berada di bawah kendali pihak yang memiliki kekuasaan.
Seseorang dapat dikatakan memiliki kekuasaan terhadap orang lain jika ia dapat mengontrol perilaku orang lain. Kekuasaan adalah hubungan nonresiprokal antara dua orang atau lebih. Nonresiprokal di dalam konteks ini dapat diartikan sebagai ketidakseimbangan kuasa yang dimiliki oleh individu yang satu dan individu yang lain. Dengan kata lain, dua pihak yang memiliki hubungan nonresiprokal mungkin saja tidak memiliki kekuasaan yang sama di dalam wilayah yang sama (Brown dan Gilman, 2003: 158).
Ada banyak hal yang menjadi dasar terbentuknya faktor kekuasaan, seperti kekuatan, kekayaan, umur, jender, serta jabatan atau posisi. Brown dan Gilman (ibid) menggunakan contoh kata ganti tu (T) dan vos (V) untuk menggambarkan faktor kuasa. Kata ganti T dan V yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin banyak diadopsi oleh bahasa-bahasa eropa seperti Perancis, Spanyol, dan Italia. Kata ganti V pada awalnya merupakan kata ganti jamak yang ditujukan kepada para kaisar, sedangkan T merupakan kata ganti tunggal yang ditujukan kepada rakyat jelata. Pada perkembangan selanjutnya V dan T digunakan sebagai kata ganti yang menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Orang yang memiliki kekuasaan dipanggil dengan V dan orang yang tidak memiliki kekuasaan dipanggil dengan T. Contoh yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman adalah kata ganti T yang digunakan oleh Paus Gregori I di dalam surat yang ditujukan pada bawahannya dan kata ganti V yang digunakan oleh bawahan Paus Gregori I untuk menyapa sang Paus. Pada jaman Eropa pertengahan, kata ganti V dan T digunakan di dalam skala yang lebih luas, misalnya para pembantu rumah tangga memanggil tuannya dengan V dan tuannya memanggil pembantunya dengan T, pekerja memanggil pengusaha dengan V dan pengusaha memanggil pekerja dengan T. Di dalam hubungan keluarga, anak memanggil orang tuanya V dan orang tuanya memanggil anaknya T.
Ketidakmerataan distribusi kekuasaan sebenarnya dialami oleh setiap individu. Pertama kali individu mengenal adanya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan di dalam keluarga. Seorang anak harus menyapa orang tuanya dengan sapaan yang dianggap santun. Seperti yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman di atas, anak pertama kali mengenal kata ganti V pada saat ia berinteraksi dengan orang tuanya. Seiring dengan berkembangnya individu, subordinasi dalam hal kekuasaan merambah ke hal-hal lain, seperti dalam hubungan kerja.
Thomas (1995: 124-130) dan Mc Shane & Van Glnow (2010: 301 – 304) mengemukakan lima sumber kekuasaan di dalam organisasi, yaitu legitimate power, reward power, coercive power, expert power, dan referent power.
Legitimate power merupakan kesepakatan anggota organisasi bahwa individu dalam peran-peran tertentu dapat menentukan prilaku tertentu dari orang lain. Legitimate power biasanya ditentukan oleh deskripsi pekerjaan dalam suatu jabatan, misalnya seorang atasan memiliki kekuasaan untuk meminta bawahannya melaksanakan tugas-tugas organisasi sesuai dengan kapasitasnya.
Reward power adalah kekuasaan untuk mengontrol atau memberikan penghargaan kepada pihak lain. Seorang manajer dapat mempromosikan bawahannya ke level yang lebih tinggi, member bonus, atau member hak berlibur sebagai imbalan yang diberikan kepada karyawan yang mencapai target kerja tertentu. Sebaliknya, seorang bawahan dapat memberikan umpan balik atas kinerja atasannya.
Coercive power adalah kekuasaan untuk member sanksi atau hukuman. Contoh coercive power adalah seorang atasan memiliki kekuasaan untuk memberikan sanksi kepada bawahannya yang terbukti memiliki kesalahan fatal yang merugikan organisasi.
Expert power adalah kekuasaan yang berhubungan dengan kemampuan, keahlian, atau pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Misalnya, tim peneliti yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan memiliki kekuasaan apakah sebuah projek dapat dilanjutkan atau tidak.
Referent power adalah kekuasaan yang diasosiasikan dengan charisma seseorang. Secara ilmiah, definisi referent power memunculkan perdebatan di kalangan para ahli karena ukuran kharisma yang sulit untuk distandarkan. Namun, secara factual referent power memang ada di dalam kehidupan berorganisasi. Di banyak perkampungan di Indonesia ada tokoh-tokoh masyarakat yang disegani karena memiliki kharisma. Hal itu merupakan contoh yang nyata dari referent power.
Dalam kenyataannya, kekuasaan memberikan beberapa keleluasaan bagi pihak yang memiliki posisi superior. Keleluasaan tersebut dapat menentukan optimal atau tidaknya kinerja sebuah organisasi.
Politik dalam Organisasi
Politik organisasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu dalam organisasi untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri (Colquitt, J.A., Lepine, J.A., & Wesson, M.J. 2011: 460). Sedangkan menurut Mc Shane & Van Glnow (2010: 315-316) politik organisasi terkait erat dengan taktik organisasi. Menurut kedua pakar ini, politik organisasi adalah prilaku yang dianggap oleh orang lain sebagai taktik yang menguntungkan diri sendiri dengan mengatasnamakan organisasi. Taktik tersebut sering kali bertentangan dengan kepentingan organisasi.
Politik organisasi tumbuh subur dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya pada saat kurangnya sumber daya manusia, sangat mungkin ada individu-individu yang mempertahankan satu posisi atau jabatan di organisasi.
Secara faktual, politik organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang tabu bagi orang-orang tertentu. Hal ini merupakan imbas dari berkumpulnya banyak individu di dalam organisasi. Semakin banyak individu di dalam organisasi, semakin banyak pula tarik menarik kepentingan di dalam organisasi tersebut.
Hal tersebut berimplikasi pada maraknya politik organisasi. Setiap pihak akan melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan untuk mendukung kepentingannya serta untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan politicking atau berpolitik dalam organisasi.
Dalam jangka panjang, tarik menarik kepentingan ini akan memberikan dampak tidak baik terhadap eksistensi organisasi. Semakin banyak individu yang mengedepankan kepentingannya, semakin terabaikan pula tujuan organisasi. Karenanya, seorang pemimpin yang baik harus dapat meminimalkan politik organisasi atau berupaya semaksimal mungkin agar politik organisasi tidak memicu timbulnya konflik yang dapat mengancam keberadaan organisasi.
Konflik dalam Organisasi
Semakin banyaknya individu yang melakukan politik organisasi, semakin besar pula potensi terjadinya konflik. Mc Shane dan Von Glnow (2010: 328) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses di mana salah satu pihak menganggap bahwa kepentingannya bertentangan dengan pihak lain. Pandangan ini didasari oleh fakta bahwa setiap individu adalah unik. Mereka memiliki persepsi yang berbeda atas suatu realita. Perbedaan ini berpengaruh kepada heterogenitas individu dalam berinteraksi di lingkungannya. Di sisi lain, organisasi juga harus menetapkan visi dan misi, yang tak jarang tidak searah dengan persepsi individu.
Perbedaan-perbedaan atau benturan-benturan yang terjadi di dalam interaksi social telah menempatkan konflik sebagai hal yang dianggap negatif. Konflik menciptakan ketidak sepahaman di antara berbagai pihak. Dampaknya, konflik banyak menciptakan ketidak efisienan dalam berbagai sendi organisasi (conflict is bad perspective). Ketidak sepahaman ini juga sering memicu timbulnya berbagai politik organisasi yang pada akhirnya berpengaruh negatif kepada kinerja individu dan organisasi.
Pada era 1970an – 1990an muncul persepsi lain yang memandang konflik dengan kaca mata yang lebih positif (optimal – conflict – perspective). Pada titik tertentu, ada kemungkinan bahwa pihak-pihak yang mengalami konflik berbicara satu sama lain. Pada saat seperti inilah konflik dapat menjadi hal positif. Dalam kondisi ini, keterbukaan antara pihak-pihak yang berkonflik akan memunculkan alternatif pemecahan masalah.
Selepas tahun 1990an, muncul pandangan yang berbeda mengenai konflik. Di era ini konflik dibagi menjadi dua, yakni constructive conflict dan relationship conflict. Constructive conflict dianggap dapat mendorong lahirnya ide-ide dan rekomendasi baru untuk memecahkan masalah. Di sisi lain, relationship conflict hanya terfokus pada manusia sebagai pihak yang mencetuskan konflik.
Setiap hal yang terjadi di dunia ini pasti memiliki efek positif dan negatif, begitu pula dengan konflik. Di dalam konteks organiosasi, konflik dapat menyebabkan beberapa hal positif sebagai seperti memperkuat hubungan antar individu (jika semua pihak yang berkonflik dapat saling bicara dengan baik); menumbuhkan kepercayaan terhadap orang lain (konflik yang diselesaikan dengan baik akan menumbuhkan rasa kepercayaan terhadap pihak lain); Meningkatkan harga diri (pihak-pihak yang berkonflik akan memiliki harga diri tinggi, dan secara positif mereka akan memperbaiki argument-argumen untuk ,membela dirinya). Pengaruh positif tersebuat akan berdampak pula pada organisasi. Salah satu dampaknya yaitu organisasi memiliki atternatif pemecahan masalah karena adanya keinginan dari pihak-pihak yang berkonflik untuk duduk bersama. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktifitas organisasi yang semakin membaik.
Di samping pengaruh positif, konflik juga memiliki beberapa pengaruh negatif seperti mengakibatkan ketidaknyamanan antar individu karena adanya perasaan saling curiga dan hilangnya kepercayaan. Dalam jangka panjang, hal tersebut akan berdampak pada menurunnya kinerja organisasi.
Manajemen Konflik
Dalam satu organisasi, konflik kadang-kadang merupakan hal yang sangat sulit untuk dihindari. Karenanya perlu ada strategi yang dapat mengarahkan konflik menjadi hal yang lebih positif. Para ahli menjelaskan beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik, yaitu avoiding, collaborating, compromising, avoiding, dan accommodating, dan forcing.
Avoiding adalah menghadapi konflik dengan cara menghindarinya. Cara ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar jika konflik sudah terjadi. Collaborating biasanya digunakan jika pihak-pihak yang berkonflik memiliki kekuasaan yang relative seimbang. Dalam collaborating pemecahan masalah diusahakan memenuhi kepentingan semua pihak. Compromising adalah mengelola konflik melalui konsensus. Dalam compromising, setiap pihak mendapatkan setengah dari total kepentingannya. Compromising dinilai efektif untuk menyelesaikan masalah secara cepat. Berbeda dengan tiga cara pengelolaan konflik yang sudah sisebutkan di atas, accommodating merupakan strategi mengelola konflik dengan mengorbankan kepentingan salah satu pihak dengan memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memenuhi kepentingannya. Selain itu, ada pula strategi mengelola konflik yang dilakukan dengan sistem pemaksaan atau forcing. Forcing dinilai efektif jika keputusan yang diambil oleh pihak yang memaksa adalah keputusan yang benar. Sebaliknya, jika keputusan yang diambil oleh pihak yang melakukan pemaksaan tidak benar, maka akan menimbulkan permusuhan di dalam organisasi.
Mensinergikan Kekuasaan, Politik, dan Konflik di Dalam Organisasi
Kekuasaan memungkinkan seseorang memaksakan kehendaknya untuk mencapai tujuan yang ia inginkan. Perbedaan tujuan berbagai pihak yang terhimpun di dalam organisasi akan mendorong pihak-pihak tersebut melakukan politik organisasi. Politik organisasi inilah yang selanjutnya menimbulkan benturan-benturan atau konflik di dalam organisasi. Namun, konflik tidak selalu membawa dampak buruk bagi organisasi, tetapi juga dapat membawa dampak positif jika dikelola dengan benar..
Referensi
Brown, R. & A. Gilman. 2003. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam C. B. Paulston & G.R. Tucker (ed). Sociolinguistics: The Essential Readings. Oxford: Blackwell.
Colquitt, J.A., Jefferey A.L. & Michael J. W. 2011. Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. Second Edition. New York: Mc Graw Hill.
Mc Shane, S.L. & Von Glnow, M.A.Y. 2010. Organizational Behavior: Emerging Knowledge and Practice for the Real Word. New York: Mc Graw Hill.
Thomas, J. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. New York: Longman.