Menciptakan Loyalitas Merek kuat

Strategi perusahaan yang kuat akan menentukan kemenangan perusahaan di pasar. Perlu diberikan penghargaan yang lebih bagi karyawan/pegawai yang dapat membawa merek perusahaan dan  dapat menyusun strategi yang efektif serta inovatif. Banyak perusahaan yang berhasil memperoleh keunggulan bersaing dengan memiliki teknologi yang tepat dan canggih.

Perusahaan-perusahaan yang berhasil meraih merek yang kuat adalah perusahaan yang berhasil dalam menciptakan merek dalam benak pelanggan. Pelanggan yang loyal adalah perusahaan yang memiliki pangsa pasar tinggi pada industrinya masing-masing. Perusahaan yang memiliki kemampuan inovasi sangat baik, strategi komunikasi yang efektif kepada pelanggan, mampu mengedukasi pasar sesuai dengan yang diinginkan dan mungkin juga hebat dari berbagai dimensi lainnya. Yang perlu diingat bahwa perusahaan-perusahaan yang terlihat hebat dalam strategi pemasaran dan implementasinya adalah perusahaan yang mempunyai tim pemasaran yang baik.

Aaker (1997) loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek lain yang ditawarkan oleh kompetitor, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut.

Bila loyalitas pelanggan terhadap suatu merek tinggi, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek produk pesaing tidak dapat dengan mudah mempengaruhi pelanggan. Dengan demikian, brand loyalty merupakan salah satu indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang.

Pada sebuah perusahaan, loyalitas merek merupakan masalah yang perlu mendapatkan prioritas utama. Perusahaan yang memiliki masalah dalam loyalitas harus segera melakukan evaluasi diri, Kehilangan pelanggan yang loyal mengakibatkan kehilangan aset yang cukup penting. Perusahaan harus mampu mempertahankan tim pemasarannya dan mampu menjadikan strategi pemasaran sebagai keunggulan bersaing pada industrinya. Kinerja pasar dikatakan bagus, bila perusahaan memiliki Value Added Marketing yang tinggi. Dengan demikian tim pemasaran perlu menjaga hubungan baik, komunikasi positif kepada pelanggan dan selalu mengevaluasi loyalitas pelanggan secara periodik serta tidak perlu menunggu penjualan turun.




Kritik (ideologi) terhadap cara berpikir Positivisme atau Scientisme, oleh Ricky Rengkung

Pendahuluan

Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan[1], dan merupakan refleksi kritis tentang pengalaman hidup manusia dan sebagai ilmu, filsafat berbeda dengan ilmu-ilmu empiris lainnya. [2] Filsafat berasal dari kata Yunani, yakni philosophia yang berarti cinta (philia) dan kebijaksanaan (sophia) dan menurut analisis, kata ini muncul dari mulut Phytagoras yang hidup di Yunani Kuno pada abad ke-16 sebelum masehi (Budi Hardiman, 2007), sehingga orang yang mencintai kebijaksanaan disebut juga sebagai philosophos atau filsuf [3]).  Selanjutnya untuk memahami arti dan penjelasan dari filsafat itu lebih lanjut, maka dimengerti terlebih dahulu hakikat dari filsafat.  Biasanya, ada dua jawaban atas pertanyaan tentang hakikat filsafat, yang pertama, filsafat adalah suatu aktivitas, dan bukan suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Dan kedua, filsafat juga sering diartikan sebagai suatu analisis konseptual, yakni berpikir tentang pikiran. [4] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris lainnya.  Perbedaan antara filsafat dengan dengan Ilmu empiris adalah tentang pengalaman.  Empiris membicarakan tentang data-data yang diperoleh lewat observasi dengan mengadakan analisis tentang data-data empiris yaitu dengan pendekatan teori dan metodologi, yang mendatangkan atau menghasilkan temuan-temuan, sedangkan filsafat berbicara tentang refleksi yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sifatnya adalah hakiki.

Filsafat juga sebenarnya bertolak dari pengalaman dan data juga tapi tujuannya tidak hanya berhenti sampai pada data alami tapi dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan pengetahuan dasar.  Oleh karena itu filsafat tidak berhenti pada fenomena-fenomena atau data empiris karena tujuannya adalah untuk mendapatkan dasar-dasarnya atau unsur-unsur yang hakiki atau bicara tentang hakekatnya.[5] Jadi, filsafat adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang hakiki atau memperoleh hakekat, misalnya ilmu sosiologi akan membicarakan tentang hakikat dari masyarakat.

Jika dilihat dari pengaruh dan perkembangannnya, terlebih bagi perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari peran, pengaruh dan perkembangan pemikiran filsafat itu.  Perkembangan sejarah filsafat dapat dibagi dalam empat periodisasi [6], yaitu pertama adalah zaman Yunani Kuno (abad 6 SM – 6 M), dengan ciri pemikiran yang kosmosentris yang didasarkan pada pengamatan atas alam, kedua adalah zaman abad pertengahan (6 – 16 M) dengan pemikiran teologis, ketiga zaman Rennaissance (16 – 17 M), dimana peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern ditandai dengan era yang disebut sebagai rennaissance, dan keempat zaman Modern (17 – 19 M) yang disebut juga sebagai filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh periode rennaissance dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung pada abad 18.  Jika diilihat dari perkembangan filsafat tersebut diatas, maka revolusi ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan modenrn lahir) terjadi pada abad 17, dengan munculnya revolusi budaya (Rennaissance).  Jika sebelumnya ilmu pengetahuan yang cara berpikirnya lebih beorientasi pada metafisis (spekulatif dan tidak empiris), maka semenjak abad ke-17 ilmu pengetahuan didasarkan pada bukti-bukti empiris dan rasionalitas.  Namun demikian, tidak boleh dianggap remeh perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat sebelum abad ke-17 tersebut, karena ilmu pengetahuan modern bisa berkembang karena prinsip-prinsip dasarnya telah dtemukan pada masa tersebut.

Ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan berkembangnya budaya dan peradaban manusia dan berlangsung secara bertahap dan periodik.  Setiap perkembangannya menghasilkan kekhususan dari ilmu pengetahuan tersebut.  Sampai pada sekitar abad 18, Auguste Comte mengatakan bahwa Filsafat Ilmu Pengetahuan merefleksikan tentang ilmu pengetahuan untuk mebicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan atau unsure-unsur dan hakikat dari suatu ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan lebih luas sekedar sejarah ilmu pengetahuan.  Sejarah ilmu pengetahuan berguna untuk memahami proses penemuan berbagai macam hal dalam ilmu pengetahuan.  Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa problematika dalam filsafat ilmu pengetahuan tidak dapat dipahami secara memadai terpisah dari  sejarah ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terjadi pada saat revolusi ilmu pengetahuan pada abad 17, ketika terjadi penemuan-penemuan oleh beberapa ahli tentang teori-teorinya seperti, Newton dan Kepller.  Pada abad ke-17 itu telah terjadi perubahan pemikiran yang sangat revolusioner dibandingkan dengan sebelumnya.  Revolusi Budaya, sebagai salah satu contoh yang mendorong orang berpikir rasional dan empiris yang mengakibatkan perubaha cara orang berpikir. Revolusi ilmu pengetahuan telah membuat orang berpikir mekanistik yang sifatnya matematika, fisika dan astronomi.  Revolusi ilmu pengetahuan juga memberikan dinamika dalam ilmu pengetahuan empiris, maka dengan adanya lompatan ini munculah ilmu pengetahuan.

Sistem ilmu pengetahuan berkembang hingga sampai pada abad 19, dimana Auguste Comte memberikan sumbangan kreatif yang khas terhadap perkembangan sosiologi sebagai suatu sintesa antara dua perspektif yang saling bertentangan mengenai keteraturan sosial: positivisme dan organisme. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengadakan perubahan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Hasilnya akan berupa suatu takhayul, kekuatan, kebodohan, paksaan, dan konflik akan dilenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan-gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap positivisme.

Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah pembagian sosiologi kedalam dua bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamics). Statika mewakili stabilitas, sedangkan dinamaika mewakili perubahan. Dengan memakai analogi dari bologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika sosial dapat disamakan dengan hubungan antara anatomi dan fisiologi.  Hal ini membuat Comte membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga yaitu : Teologi yaitu pengetahuan yang didapat didasarkan pada iman dan kepercayaan, Metafisis yaitu pengetahuan yang didasarkan pada akal budi (reasoning), spekulatif dan abstrak serta Positif yaitu ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang didapat yang sifatnya empiris.  Comte dapat dikatakan sebagai seorang tokoh bagi Ilmu pengetahuan yang positif, dimana Comte mendapat dukungan dari para ilmuwan pada saat itu, karena banyak dari mereka yang berpikir positif.  Sejak saat itu positivism mendapat pengaruh yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan dan pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang berorientasi positivism untuk membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana kelompok ini lebih dikenal sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle).

 

SEJARAH PERKEMBANGAN

Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825). positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai dasar pembentukan hukum.

Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.

Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (1798-1857).  Filsafat Comte adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.

Filsafat positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring.  Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara ‘terisolasi’, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.  Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.  Baginya persoalan filsafat yang penting bukan pada masalah hakikat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.

Fisafat Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi.  Kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari Comte.  Comte membagi masyarakat atas ‘statika sosial’ dan ‘dinamika sosial’.  Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan.  Sosiologi ini sekaligus suatu ‘filsafat sejarah’, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta tersebut.  Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious atau cultural.

Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.  Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Para pemikir logis berpendapat bahwa tugas terpenting adri filsafat adalah untuk merumuskan semacam criteria penentuan untuk membedakan antara pernyataan yang memadai dan pernyataan yang tidak memadai. Intinya, mereka ingin merumuskan semacam aturan-aturan korespondensi, dimana observasi langsung untuk menguji suatu pernyataan dapat langsung dilakukan.  Disamping itu, mereka juga ingin menjernihkan konsep-konsp akstrak yang digunakan dalam fisika, seperti konsep massa dan konsep energy, sehingga dapat sunggu diamati secara inderawi.

Salah satu criteria yang dirumuskan oleh mereka adalah verifikasi, yakni suatu pernyataan yang memadai adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris.  Jelaslah bahwa para pemikir positivisme logis memusatkan refleksi mereka pada problematika bahasa. Akan tetapi, bagi ilmu pengetahuan alam terutama, ilmu-ilmu alam, pemikiran mereka dapat menjadi pembenaran bagi dominasi ilmu-ilmu alam di dalam ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20.  Intinya, proses induksi, dimana pernyataan umum dirumuskan setelah dikonfirmasi oleh bukti-bukti eksperimental, adalah metode yang benar dan satu-satunya metode yang pantas digunakan di dalam ilmu pengetahuan.

Jadi inti utama dari para pemikir positivisme logis adalah suatu pernyataan hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverfikasi dengan data inderawi, dengan kata lain, jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, maka pernyataan tersebut adalah tidak bermakna.

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin membentuk ‘unified science’, yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat.  Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah pemikiran sebagai Positivisme-Logik. Meskipun aliran ini mendapat tantangan luas dari berbagai kalangan, tapi gaung pemikiran yang dilontarkan oleh aliran posotovosme logik masih terasa hingga saat sekarang ini.

Perkembangan filsafat ilmu, berawal di sekitar abad 19, diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan alam yang berasal dari Universitas Wina. Kemudian filsafat ilmu dijadikan mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli tersebut tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang dikenal sebagai lingkaran Wina (Wina circle). Kelompok Wina menginginkan adanya unsur pemersatu dalam ilmu pengetahuan. Dan unsur pemersatu tersebut harus beracuan pada bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Dan pemersatu terssebut adalah filsafat ilmu.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini. Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme.

alah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

 

ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,[i] materialisme[ii] naturalisme filsafat dan empirisme[iii]. Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika[iv] dan  masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika[v].

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Positivisme Logis menyajikan suatu fusi dari empiris yang berasal dari Hume, Mill, dan Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana ditafsirkan oleh L. Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik. Kalimat-kalimat analitik itu bisa betul (tautologi) dan bisa salah ( kontradiksi ) semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak mengandung informasi faktual. Kalimat sintetik, atau empiris,merupakan laporan tentang pengamatan indera atau pun generalisi yang didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan metafisik dan teologis tidak cocok dengan kedua Kategori di atas dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna.

Rumusan asli ini ( dari M.schlick, R.Carnap, O.Neurath, dan lain-lain lambat laun engalami serangkaian modifikasi saat kekurangan-kekurangannya menjadi semakin jelas. Verifikasi, sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam Verifikasi prinsip, konfirmabilitas, dan akhirnya desakan bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat yang sama basis faktual diperluas daei pencerapan-pencerapan ke laporan laporan pengamatan, kebahasa empiris.

Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa observational, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sa mapi pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observational dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian alami dalam behaviorisme dan operasionalisme. Dalam etika ( Ayer, Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris kant.

 

 

TOKOH-TOKOH DAN PEMIKIRANNYA

 

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

Alfred Jules Ayer (1910- ) adalah filsuf kelahiran London yang studi do Oxford dan pada tahun 1932-1933 berada di Wina dan di sanalah ia atas ajakan Moritz Schlick ikut dalam diskusi-diskusi bulanan dari sekelompok filsuf dan ilmuwan radikal yang menamakan kelompoknya dengan “Der Wiener Kreis” atau “Lingkaran Wiena” atau “Vienna Circle” sebagai cikal bakal positivisme logis, yang kemudian sangat terkenal sebagai salah satu aliran filsafat ilmu terkemuka dalam abad XX.

Ayer menulis buku, “language, Truth and Logic” yang menjadi salah satu buku yang menjadi dasar bagi keyakinan positivistik Lingkaran Wiena. Buku ini membuat Ayer terkenal, tahun 1946 ia diminta menjadi profesor di London dan sejak tahun 1959 di Oxford sampai pensiun tahun 1978. Ayer , Gottlob Frege (1848-1925), G. E. Moore (1873-1958), Bertrand Russel (1872-1970) dan Wittgenstein (1889-1951) adalah tokoh-tokoh filsafat analitis yang terkemuka.

Moore dan Russell mengemukakan istilah “data indrawi” sebagai suatu hal yang tidak dapat duragukan oleh semua aliran filsafat ilmu pengetahuan (realisme epistemologis dan idealisme epistemologi). Moore dan Russel menolak idealisme Berkeley dengan menyatakan bahwa apa yang saya (kita) ketahui tidak dapat direduksi pada kesadaran saya mengenainya. Kesadaranku mengenai bau wangi mawar, warna hijau dedaunan, tingginya menara Eifel dan beratnya emas I kilogram adalah sama. Obyek adalah tetap sama baik kita persepsi atau tidak kita persepsi. Moore, Russell dan Wittgenstein (I) berupaya untuk menekankan pandangan realismenya dengan manyatakan bahwa ada kesamaan antara datum indrawi dengan obyek yang dipersepsi.

Pernyataan (proposisi) ilmiah harus disusun berdasarkan data-data indrawi, karena itu bahasa ilmiah dapat dianalisis benar tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Ketika saya menyatakan “ ada kucing di atas meja” sementara orang lain menyatakan ‘tidak ada kucing di atas meja”, maka benar dan salahnya pernyataan itu dapat dilakukan dengan mengacu pada fakta. Positivisme logis mempercayai bahwa ‘obyek-obyek fisik” atau datum indrawi sebagai pola-pola dan data-data yang konstan, sehingga pernyataan ilmiah adalah sama dengan datum indrawi (fenomenalisme). Prinsip inilah yang kemudian menjadi titik tolak filsafat analitis, ketika menyatakan verifikasi sebagai kriteria ilmiah dan non-ilmiah. Filsafat analitis menganggap bahwa permasalahan filsafat dapat diselesaikan melalui pengunaan bahasa yang ketat dengan menggunakan logika dan analisis bahasa. Logika dan analisis bahasa gunanya untuk menghindarkan penggunaan bahasa yang abstrak, kacau atau bahasa yang semu.

Dalam pandangan filsafat analitis hanya ada dua model bahasa yang rasional, maksudnya yang bisa dibuktikan benar atau salahnya, yaitu kalimat atau proposisi analisitis dan proposisi sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika, matematika, sedangkan proposisi sinstetis pembenarannya berdasarkan pengalaman (fakta). Dengan menggunakan dua model bahasa ini, Filsafat menjadi ilmu yang rigorus, ilmu yang hanya berdasarkan pengalaman murni di mana bahasa ilmu pengetahuan hanya menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa berhubungan di dalamnya. Mach sendiri seorang profesor di Wiena menempatkan pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan mengesampingkan unsur-unsur apriori (seperti metafisika dan etika) masuk di dalam konstruksi ilmu pengetahuan.

Lingkaran Wiena lahir pada tahun 1923 seusai perang dunia pertama melalui Moritz Schlick (1882-1936) sewaktu ia menjadi profesor filsafat ilmu pengetahuan induktif di Universitas Wina, dan mencapai kejayaannya sampai tahun 1960-an. Bersama Rudolf Carnap (1891-1970) (seorang ahli logika), Philip Frank (seorang ahli ilmu pasti), Victor Kraft (ahli sejarah), Hendrick Feigl dan F. Waisman (dua ahli filsafat) (Wuisman, 1996).

Pada tahun 1929 R. Carnap, Hans Hahn dan Otto Neurath (1882-1945) menerbitkan sebuah manifesto yang berjudul “Wissenscaftliche Weltauffassung: der Wiener Kreis” (Pandangan Dunia ilmiah Kelompok Wina) (Delfgaauw, 1972: 115). Pandangan dunia ilmiah Lingkaran Wina ini kemudian diikuti banyak ahli dan ilmuwan, sehingga menjadi kekuatan yang dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan, terutama di negara-negara yang berbahasa Inggris sampai tahun 1960-an. Sehingga pandangan ini sampai tahun 1960-an disebut dan dianggap sebagai “the standard View” (pandangan yang dianggap baku) atau “the received View” (pandangan yang diterima umum)

Sambutan hangat atas pandangan dunia ilmiah Kelompok Wina ini diwujudkan dengan berdirinya kelompok Der Berliner Gruppe (Kelompok Berlin) yang terdiri dari H. Reichenbach, Rudolf von Mises dan C. G. Hempel. Di Inggris seorang filsuf terkenal, Alfred Jules Ayer, tertarik pada aliran ini, sedangkan di Amerika Serikat C. Morris dan Ernst Nagel secara setia mendukung aliran ini.

John Brodus Watson (1878-1958) dan Byrrhus Frederic Skinner (1904-1990), tokoh psikologi behaviorisme di Universitas Harvard, sangat terkesan dengan pemikiran Russel. Watson dan Skinner melakukan penelitian empiris-laboratoris untuk memantapkan psikologi sebagai kajian ilmiah. Hal yang sama telah dilakukan oleh Wilhelm Wund (1832-1930) yang menjadikan pengamatan laboratoris sebagai objek kajian psikologi dengan mendirikan laboratorium psikologi pertama di Leipig. Wundt dan behavioris membuang studi tentang: kesadaran, jiwa, akal budi, situasi mental dan semua yang dianggap tidak dapat diamati secara langsung. Psikologi dalam perspektif behavioris hanya berkaitan dengan tingkah laku hewan atau manusia, lalu menjelaskan tingkah laku manusia yang teramati itu untuk menerangkan apa itu manusia.

Behavioris percaya bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya dapat dikontrol. Pandangan ini sejalan dengan asumsinya tentang manusia yang secara prinsip sama dengan alam (sebuah mesin) yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum alam (determinisme). Tingkah laku manusia dipandang sebagai suatu sistem kompleks yang teratur (stimulus – respon). Manusia adalah hewan yang lebih tinggi, akan tetapi secara prinsip tidak terlalu berbeda dengan binatang. Manusia hanyalah hasil evolusi akhir dari makhluk yang sederhana, karena itu penelitian tentang hewan (anjing, tikus putih, atau monyet) dapat berlaku sama pada manusia.

Berkembangnya positivisme logis (seperti pada psikologi, sosiologi) harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang Dunia I baru saja usai. Banyak kekuatan politik, seperti kerajaan dan pemerintahan republik yang tumbang, sehingga peta politik Eropa berubah secara drastis. Di samping itu, perang mengakibatkan korban yang sangat besar di kalangan generasi muda serta menimbulkan kehancuran material yang luar biasa (Wuisman, 1996). Walaupun demikian, harus diakui bahwa perang ini telah menimbulkan kesadaran baru terhadap ilmu pengetahuan. Diakui secara umum bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan industri serta kekuatan ekonomi akan sangat menentukan kalah-menang dalam peperangan. Karena itu, muncul semangat untuk membangun kembali Eropa yang hancur itu di atas landasan ilmu pengetahuan. Di tengah-tengah lahirnya cara pandang yang demikian, positivisme logis berdiri pada barisan terdepan menghadapi pandangan lain yang juga ingin membangun Eropa berdasarkan landasan teologi dan metafisik (Wuisman, 1996: 4).

Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat perlu ditangani secara ilmiah. Karena itu, masalah metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan “The spirit of a scientific conception of the world,” yakni semangat dunia ilmiah yang berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang sangat dikagumi.

Untuk membentuk masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, diperlukan kesatuan ilmu pengetahuan (unified Science). Kesatuan ilmu pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk kesatuan metode dan kesatuan bahasa ilmiah, yang berlaku universal untuk semua bidang ilmu pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan dikonstruksi atas logika ilmiah (logic of science), yaitu dalam bentuk bahasa dan metode yang verifikatif. Otto Neurat mendirikan International Encyclopaedia of Unified Science yang diterbitkan di Amerika, sebagai dukungan atas gagasan neopositivisme itu (Beerling, 1994: 97).

 

 

Kritik

Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di dalam inti pemikiran positivisme logis tersebut.  Apa yang akan dilakukan, dengan berbekal paradigma positivisme logis tentunya, ketika dua teori yang berbeda menjelaskan satu fenomena yang sama secara berbeda?  Disamping itu, pernyataan bahwa suatu teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi.  Artinya, teori yang dikembangkan oleh pemikir positivisme logis ini dapat dikenai kritiknya sendiri.  Maka, teori ini juga problematic secara internal.  Akan tetapi, walaupun ide-ide yang dipaparkan diatas dominan didalam perdebatan filsafat ilmu pengetahuan, tetapi realitas actual praktek ilmu pengetahuan sendiri, terutama didalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata tidak sesuai dengan ide-ide positivism logis ini.  Bahkan, refleksi filsafat ilmu pengetahuan tentang teori-teori saintifik dan perkembangannya merupakan suatu reaksi kritis terhadap pandangan ini.

Karl Popper, dengan teorinya, juga bersikap kritis terhadap tesis-tesis dasar positivism logis, serta menunjukkan pentingnya perannya proses falsifikasi didalam perumusan dan perubahan suatu teori.  Yang lebih signifikan lagi, ada beberapa pendapat, seperti yang dirumuskan oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada didalam sebuah pandangan dunia tertentu.  Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam lmu pengetahuan hanya dapat terjadi, jika seluruh pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai, dan diganti yang lain.

Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.

Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.  Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.

 

Realisme adalah aliran yang berpacu pada pandangan konkret, jadi “ada” menurut pandangan realisme adalah “ada” yang bersifat konkret. aliran ini mempunyai hubungan dengan aliran materialistik, dimana pandangan ini juga mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu yang ada itu adalah bersifat konkret.

Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealism

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke

Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).




Dasar pemikiran Konsep Aura Religiositas Merek

Merek merupakan salah satu persoalan yang tidak boleh dianggap rendah dan dikesampingkan begitu saja. Sehingga perusahaan perlu terus memantau dan berusaha supaya merek menjadi kuat, bertahan hidup pada waktu munculnya  pesaing-pesaing baru dan merek harus mempunyai nilai tinggi yang mampu mengalahkan hitungan-hitungan rasional serta dapat juga merebut segi keterlibatan emosional konsumen serta keyakinan terhadap merek.

Merek selalu mempunyai reputasi, bila merek tersebut memiliki kualitas dan kharisma. Supaya memiliki kharisma, merek harus mempunyai aura merek dan tetap konsisten dengan kualitas yang telah dimilikinya. Agar supaya konsumen selalu mengingat pada merek tersebut, maka yang perlu dipertahankan asosiasi merek yang kuat dan membentuk ikatan emosional merek. Asosiasi merek yang kuat membuat konsumen puas yang akhirnya konsumen mempunyai rasa loyal terhadap merek.

Asosiasi merek adalah segala sesuatu tentang merek yang tinggal secara mendalam di benak pelanggan. Idealnya suatu merek diasosiasikan dengan sesuatu yang positif, sehingga konsumen potensial dengan mudah menghubungkan dirinya dengan suatu merek. Asosiasi berkaitan dengan atribut dan karakter merek yang muncul dibenak konsumen di saat berbicara atau teringat dengan merek.

Sedangkan ukuran ikatan emosional konsumen berdampak terhadap perusahaan besar yang dapat membentuk perilaku loyal, yang memberikan laporan diri dan memberi dampak dari mulut ke mulut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa manajer perlu mulai mengukur ikatan emosional longitudinal dan melakukan penelitian untuk memahami apakah perusahaan memiliki ikatan emosional yang lebih moderat serta dapat memperhatikan jaringan ikatan emosional terhadap loyalitas.

Pengembangan proposisi berawal dari pemikiran untuk mengisi gap yang terjadi pada kepribadian merek dan ikatan emosional pada merek. Konsep baru yang dibangun diharapkan dapat menjembatani gap yang terjadi antara kepribadian merek dan ikatan emosional merek. Konsep baru tersebut diberi nama Aura Religiusitas Merek. Adanya konsep baru ini dapat meningkatkan ikatan emosional konsumen terhadap merek yang telah dipilih oleh konsumen.

Berdasarkan pada riset gap dan beberapa pilar konsep yaitu asosiasi merek, perilaku konsumen serta segmentasi serta konsep-konsep pendukung lainnya maka lahirnya konsep baru yang dinamakan Aura Religiositas Merek. Untuk lebih jelaskan dapat dilihat dasar pemikiran konsep seperti di bawah in

Dasar  Pemikiran  Konsep Aura Religiositas Merek

Konsep pemasaran sangat penting dalam pembentukan citra positip yang  biasanya berdasarkan aspek psikologis dan pengalaman. Aspek psikologis didasarkan keterikatan dan pencitraan terhadap merek. Citra buruk yang terbentuk dibenak pelanggan saat merek telah memberikan nilai negatif, serta pelanggan tidak pernah dipenuhi keinginannya merupakan sesuatu yang penting dihindari oleh perusahaan. Keadaan seperti ini membuat sangat berbahaya bagi merek suatu produk.  Oleh karena itu aspek pengalaman positif sangat penting dan dibutuhkan.

Aspek pengalaman  terdiri atas keseluruhan kontak langsung antara pelanggan dengan merek. Pemilihan dan penggunaan merek merupakan proses dimana pelanggan tidak saja mencoba memadankan harapan subyektifnya atas suatu merek, namun sekaligus menciptakan imajinatif impresif yang berkaitan dengan kualitas, karakter dan keunikan merek produk. Sehingga perusahaan mempunyai tugas penting untuk menciptakan asosiasi tidak berwujud yaitu pancaran nilai-nilai spiritual dan kharisma religi yang tinggi untuk dapat menciptakan aura religiositas merek. Dan akhirnya membentuk suatu differensiasi yang akan menciptakan brand atau value untuk setiap produk yang ditawarkan, sehingga akan terjaga ikatan emosional antara perusahaan dengan konsumen.

Komponen asosiasi memori dari aura religiositas merek akan membuat konsumen merasa mempunyai ikatan emosional yang kuat pada perusahaan dan tentu dapat memunculkan kepercayaan, sikap serta rasa senang konsumen kepada merek yang dipilih. Konsumen lebih mempunyai ikatan emosional yang lebih tinggi dan merasa senang serta menyukai pada merek yang telah diperoleh konsumen dan akhirnya dapat berpotensi serta akan melahirkan loyalitas konsumen pada merek.  Di bawah ini disajikan proposisi dan piktogram Aura Religiositas Merek.

Proposisi :

Aura Religiusitas Merek, merupakan pancaran nilai-nilai spiritual dan  pancaran nilai berkharisma religi dari sebuah merek. Aura Religiusitas Merek ini mampu memperkuat ikatan emosional merek yang kuat pada sebuah produk.




Hadirnya Inovasi teknologi dibidang Keuangan

Perkembangan bisnis baru berbasis teknologi  (online) dibidang transformasi mulai tahun 2015 telah berkembang di Indonesia . Inovasi  transportasi tersebut dimulai oleh GO-JEK, Grab dan Uber.  Ternyata bisnis tersebut disambut baik oleh konsumen  di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan Bali.  Dari ketiga kota tersebut tentunya kota Jakarta yang memiliki perkembangan sangat pesat karena kota Jakarta pada hari kerja dan jam kerja lalu lintas sangat padat dan macet.

Pada tahun 2016 kita dihadirkan kejutan kembali pada dunia bisnis keuangan berbasis teknologi yang disebut dengan fintech (financial technology) . Fintech merupakan penciptaan produk yang lebih baik  dan lebih efektif , proses, layanan, tehnologi dan gagasan yang diterima oleh pasar, masyarakat dan pemerintah.

Perkembangan fintech dapat membuat lembaga keuangan lebih mudah dijangkau masyarakat, karena relatif tidak terkendala infrastruktur. Ini juga merupakan edukasi mengenai produk keuangan menjadi lebih menarik dan mudah dipahami, sehingga produk bisa relevan dengan kebutuhan masyarakat banyak.

FinTech berasal dari kata Financial dan Technology. Konsep yang diambil oleh FinTech adalah perpaduan antara financial dan technologi yang digabungkan dengan sentuhan inovasi modern. Diharapkan hal ini dapat membuat proses transaksi keuangan menjadi lebih praktis serta aman digunakan. Beberapa hal yang dihitung masuk kedalam Fintech adalah proses peminjaman uang secara peer to peer, jual beli saham, transfer, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ternyata FinTech sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Apa yang menjadikan FinTech yang merupakan sebuah alasan untuk menjadi kebutuhan baru yang sangat dibutuhkan masyarakat?

Pertama adalah membantu perkembangan baru dibidang StartUp. Start up dibidang technologi yang sudah menjamur ternyata juga mempengaruhi perkembangan starup di bidang financial. Misalnya Moneythor. Moneythor membuat produk dengan pengalaman digital perbankan yang memiliki kelebihan lebih detail dan lebih terperinci dalam menganalisis. Start up FinTech dominan tumbuh di negara Singapura yang merupakan pusat di bidang financial yang ingin menguasai daerah Asia.

Kedua yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat. FinTech tak hanya fokus untuk mendapatkan laba yang besar, nyatanya taraf hidup masyarakat juga ikut meningkatkan dengan hadirnya inovasi financial yang satu ini. Di kawasan Asia Tenggara misalnya, Fintech mampu mengentaskan lebih dari 600 juta jiwa yang berada dibawah garis kemiskinan. Tak berhenti sampai disitu, FinTech tak berpuas diri dan terus berusaha untuk memberikan bukti yang nyata dengan memperlihatkan keuntungan dan kepercayaan dari para investor. Salah satu start up asal Malaysia yang bisa dijadikan contoh sebagai starup yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyawakat adalah Soft Space. Perusahaan ini telah berinovasi dengan menghadirkan merchant yang menerima pembayaran kartu debit maupun kartu kredit dengan bunga yang rendah.

Ketiga adalah  pinjaman dengan menggunakan sistem bunga tinggi dapat dikurangi. Kita amati bersama lintah darat yang merupakan wabah dan kisah klasik masyarakat sebagai penolong saat diperlukan dengan menetapkan bunga yang mencekik bisa dikurangi dengan adanya FinTech. Dengan hadirnya FinTech dihadarapkan masyarakat dapat menikmati pinjaman dengan lebih transparan agar tidak terjerumus kedalam pilihan berhutang yang salah.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai mengikuti perkembangan FinTech yang ada di Indonesia. Era baru akan hadir dengan pembentukan Asosiasi FinTech yang akan membuat bidang ekonomi menjadi lebih praktis untuk kedepannya. Tak hanya lebih praktis, FinTech juga dapat menjangkau masyarakat dengan cakupan seluruh kalangan ekonomi.




Hadirnya Inovasi teknologi dibidang Keuangan

Perkembangan bisnis baru berbasis teknologi  (online) dibidang transformasi mulai tahun 2015 telah berkembang di Indonesia . Inovasi  transportasi tersebut dimulai oleh GO-JEK, Grab dan Uber.  Ternyata bisnis tersebut disambut baik oleh konsumen  di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan Bali.  Dari ketiga kota tersebut tentunya kota Jakarta yang memiliki perkembangan sangat pesat karena kota Jakarta pada hari kerja dan jam kerja lalu lintas sangat padat dan macet.

Pada tahun 2016 kita dihadirkan kejutan kembali pada dunia bisnis keuangan berbasis teknologi yang disebut dengan fintech (financial technology) . Fintech merupakan penciptaan produk yang lebih baik  dan lebih efektif , proses, layanan, tehnologi dan gagasan yang diterima oleh pasar, masyarakat dan pemerintah.

Perkembangan fintech dapat membuat lembaga keuangan lebih mudah dijangkau masyarakat, karena relatif tidak terkendala infrastruktur. Ini juga merupakan edukasi mengenai produk keuangan menjadi lebih menarik dan mudah dipahami, sehingga produk bisa relevan dengan kebutuhan masyarakat banyak.

FinTech berasal dari kata Financial dan Technology. Konsep yang diambil oleh FinTech adalah perpaduan antara financial dan technologi yang digabungkan dengan sentuhan inovasi modern. Diharapkan hal ini dapat membuat proses transaksi keuangan menjadi lebih praktis serta aman digunakan. Beberapa hal yang dihitung masuk kedalam Fintech adalah proses peminjaman uang secara peer to peer, jual beli saham, transfer, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ternyata FinTech sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Apa yang menjadikan FinTech yang merupakan sebuah alasan untuk menjadi kebutuhan baru yang sangat dibutuhkan masyarakat?

Pertama adalah membantu perkembangan baru dibidang StartUp. Start up dibidang technologi yang sudah menjamur ternyata juga mempengaruhi perkembangan starup di bidang financial. Misalnya Moneythor. Moneythor membuat produk dengan pengalaman digital perbankan yang memiliki kelebihan lebih detail dan lebih terperinci dalam menganalisis. Start up FinTech dominan tumbuh di negara Singapura yang merupakan pusat di bidang financial yang ingin menguasai daerah Asia.

Kedua yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat. FinTech tak hanya fokus untuk mendapatkan laba yang besar, nyatanya taraf hidup masyarakat juga ikut meningkatkan dengan hadirnya inovasi financial yang satu ini. Di kawasan Asia Tenggara misalnya, Fintech mampu mengentaskan lebih dari 600 juta jiwa yang berada dibawah garis kemiskinan. Tak berhenti sampai disitu, FinTech tak berpuas diri dan terus berusaha untuk memberikan bukti yang nyata dengan memperlihatkan keuntungan dan kepercayaan dari para investor. Salah satu start up asal Malaysia yang bisa dijadikan contoh sebagai starup yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyawakat adalah Soft Space. Perusahaan ini telah berinovasi dengan menghadirkan merchant yang menerima pembayaran kartu debit maupun kartu kredit dengan bunga yang rendah.

Ketiga adalah  pinjaman dengan menggunakan sistem bunga tinggi dapat dikurangi. Kita amati bersama lintah darat yang merupakan wabah dan kisah klasik masyarakat sebagai penolong saat diperlukan dengan menetapkan bunga yang mencekik bisa dikurangi dengan adanya FinTech. Dengan hadirnya FinTech dihadarapkan masyarakat dapat menikmati pinjaman dengan lebih transparan agar tidak terjerumus kedalam pilihan berhutang yang salah.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai mengikuti perkembangan FinTech yang ada di Indonesia. Era baru akan hadir dengan pembentukan Asosiasi FinTech yang akan membuat bidang ekonomi menjadi lebih praktis untuk kedepannya. Tak hanya lebih praktis, FinTech juga dapat menjangkau masyarakat dengan cakupan seluruh kalangan ekonomi.




Dampak Games Terhadap Emosi Pelajar

Teknologi merupakan kebutuhan setiap insan dalam  kehidupan sehari-hari, sehingga teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat.  Dengan teknologi membuat hidup kita sekarang ini menjadi lebih nyaman, Bahkan kalau  tidak mengikuti perkembangan teknologi terkini seseorang akan merasa ketinggalan dan jauh dibandingkan dengan lingkungan di sekitar kita.

Perkembangan  terknologi  telah  merambah kemana mana , termasuk pada dunia permainan anak-anak di sekitar kita yang dinamakan dengan  game. Bahkan yang lebih familiar pada lingkungan anak-anak pelajar adalah games online. Games pada umumnya  tidak hanya memberikan pengaruh yang negative, tetapi  membawa dampak positif juga. Bila  digunakan dan dimanfaatkan dengan secara wajar. Game sebetulnya merupakan  variasi dari permainan konvensional yang sudah ada sejak dulu kala seperti petak umpet, dakon, lompat karet dan lain-lainnya. Tetapi kenyataan yang ada bahwa game membuat salah kaprah bagi penggunanya. Game membuat kecanduan yang sangat berat bagi penggunanya karena dapat membius dan mencandu pelajar dan anak-anak yang akhirnya mereka lupa akan kewajiban yang sesungguhnya. Tidak jarang anak-anak meninggalkan sekolah  pada jam –jam belajar, tetapi justru duduk-duduk dan sibuk dengan bermain game pada tempat-tempat yang menyediakan jasa tersebut.

Fenomena seperti itu menjadi kebiasaan bagi pelajar-pelajar di sekitar kita. sehingga waktu anak-anak atau pelajar lebih banyak dihabiskan untuk bermain game.  Jika sudah demikian, maka  waktu belajar dan istirahat anak anak menjadi berkurang dan dapat mempengaruhi kegiatannya, terutama aktivitasnya di sekolah dan  mereka lebih memilih game dan  kecanduan  bermain game.

Game pada anak dan pelajar membawa dampak positif dan negative. Dampak positif dari game  bagi pelajar pergaulan siswa akan lebih mudah di awasi oleh orang tua, otak siswa akan lebih aktif dalam berfikir, reflek berfikir dari siswa akan lebih cepat merespon, emosional siswa dapat di luapkan dengan bermain game, siswa akan lebih berfikir kreatif. Sedangkan dampak negatif dari game bagi pelajar, siswa akan malas belajar dan sering menggunakan waktu luang mereka untuk bermain game, siswa akan mencuri curi waktu dari jadwal belajar mereka untuk bermain game, waktu untuk belajar dan membantu orang tua sehabis jam sekolah akan hilang karena bermain game, uang  jajan atau uang bayar sekolah akan di selewengkan untuk bermain game, lupa waktu,  pola makan akan terganggu, emosional siswa juga akan terganggu karena efek game ini, jadwal beribadahpun kadang akan di lalaikan oleh siswa, siswa cenderung akan membolos sekolah demi game kasayangan mereka.

 

Game  memiliki dampak bagi psikologis anak/pelajar. Di antaranya, dapat menghambat perkembangan sosial anak,  karena akan mengurangi aktivitas positif yang seharusnya dijalani oleh anak pada usia perkembangan mereka. Anak yang mengalami ketergantungan pada aktivitas game, akan berkurang waktu belajar dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Jika ini berlangsung terus menerus dalam waktu lama, anak akan menarik diri pada pergaulan sosial, tidak peka dengan lingkungan, bahkan bisa membentuk perilaku asosial dan tidak mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya Anak belajar dari apa yang dilihatnya. Game yang berbau kekerasan dapat menyebabkan anak mengikuti karakter dari tokoh game dan dapat pula menyebabkan ketegangan emosional antara orang tua dan anak, jika anak sudah kecanduan.

Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh game  pada anak, tentunya diperlukan solusi untuk mengurangi bahkan menanggulangi dampak negatif tersebut. Ajaklah anak anda bicara dari hati ke hati tanpa emosi. Tanyakan kepadanya, apa yang ia rasakan saat bermain game. Prinsipnya, mengajak  anak-anak/pelajar bicara sejujurnya dan mendengarkan ungkapan hatinya. Tanyakan juga kepadanya, sampai kapan mereka akan terus menghabiskan waktunya untuk bermain game.




Technopreneur bagi Mahasiswa

Perkembangan teknologi yang semakin pesat berdampak pada anak muda dan mahasiswa di Indonesia yang semakin kreatif. Dengan teknologi yang baru dapat tercipta ide-ide dan gagasan yang dapat diperoleh dari kehidupan sehari-hari bagi mereka. Online shop yang menawarkan kemudahan dalam berbelanja, tentu akan membawa peluang yang sangat luas untuk menawarkan lebih banyak produk. Konsumen tidak perlu harus pergi ke toko, tetapi para konsumen tinggal klik dari komputernya, dan mereka dapat mengadakan pemesanan yang diinginkan dan dengan cepat pesanan akan datang serta dikirim dalam beberapa hari berikutnya.
Bisnis online shop sangat menjanjikan peluang yang sangat besar bagi anak muda dan mahasiswa. Dengan teknologi yang semakin berkembang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan tentu dapat mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Besarnya peluang tersebut bisa dibuktikan dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan pengelola usaha yang bergerak di bidang teknologi. Bisa kita lihat di internet saja banyak perusahaan-perusahaan online marketing yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Jika memiliki konsep yang sangat unik dan berbeda dengan bisnis yang lain tentang peluang usaha yang ada hubungannya dengan dunia maya, maka anak muda dan mahasiswa tidak ada salahnya mencoba untuk bereksperimen dengan menuangkan ide tersebut di internet. Dengan modal yang murah, maka ide tersebut kemudian akan menjadi mahal dan menghasilkan keuntungan yang tidak diduga sebelumnya.
Perguruan tinggi sebaiknya menangkap peluang ini, sehingga para mahasiswa pada perguruan tinggi pada semester awal sebaiknya sudah diberikan pembelajaran tentang technopreneur. Sehingga kreativitas mahasiswa dari awal sudah diasah dan dirangsang lebih kreatif serta bila telah lulus nanti tidak selalu mencari pekerjaan tetapi sebaliknya lebih dari itu dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat luas dan bermanfaat bagi masyarakat.




Training Journal International Collaboration Perbanas Institute with Universiti Utara Malaysia

Training Journal International

Collaboration Perbanas Institute with Universiti Utara Malaysia

In the name of Allah the Compassionate and Merciful, an academic task of international journal manuscript writing training has been carried out through cooperation between the Perbanas Institute Jakarta and Universiti Utara Malaysia (UUM). It is noteworthy that at this time the profession of lecturer has been facing a higher challenge. Lecturers now are required to conduct research and submit paper whether on the nationally-unaccredited journals, nationally-accredited journals or internationally-indexed journals. Of course, this is not necessarily an easy task. Thus, the such training is needed in order their paper can be succesfully accepted by Scopus-indexed international journals.

For a lecturer, an international journal writing has been a requirement to take care levels and to achieve higher position. Similarly, the quality of a higher education increasingly measured by the ability to produce a number of publications in international journals. It is therefore a necessary for conducting writing training of international publications. Hence, Perbanas Institute in collaboration with Universiti Utara Malaysia (UUM) held a training to write international journal manuscripts on December, 15-18, 2015. The presenters were Prof. Surya Ruswiyati Saputra  and Associate Prof. Dr. Nurwati Ashikin Ahmad Zaluki. The training was held in 2 places of the Hotel Santika Cirebon and of Griya Perbanas Jakarta which attended by 20 lecturers with a concentration in the areas of Marketing, Finance, Accounting and Human Resource Management.

The purpose of training was mainly to facilitate the lecturers in generating a qualified manuscripts submitted to the international journals. The workshop materials included selecting and writing abstract and title, introduction, literature review, methodology, result, conclusion, referencing and citations guide, as well as small group discussions and presentation.

Hopefully, a such training of writing training of journal manuscript could be implemented again in future periods, since there are many lecturers who do not get the chance. Actually, in the implementation of the training, P3M feel there are still shortcomings, due to the implementation of very abrupt. Finally, we however have to thanks to God and the participants for organizing the training according to the plan.




Pasar Elektronik di Indonesia menjadi rebutan bagi Negara Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok

Pasar Elektronik di Indonesia menjadi rebutan bagi Negara Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok

Produk elektronik Jepang dalam beberapa tahun telah mendominasi di Indonesia, karena Jepang selalu berusaha menjaga kualitas produk. Tapi pada akhir- akhir ini produk elektronik Jepang menghadapi ancaman dan jumlah penjualan mulai menurun, karena banyaknya produk elektronik dari Korea Selatan dan Tiongkok yang telah masuk ke Indonesian. Rupaya dengan langkah pasti Korea Selatan dan Tiongkok telah berhasil dan dapat membius para konsumen dengan membuat daya Tarik harga murah buat konsumen di Indonesia yang menjadikan pertimbangan utama jika membeli barang elektronik. Dan kedua negara tersebut telah membuat variasi produk-produknya yang mirip dengan produk Jepang.

Ternyata jurus jitu Korea Selatan membuahkan hasil, dampaknya raksasa elektronik Jepang yang tadinya sangat perkasa (Sony) menjadi kedodoran dan kalang kabut menghadapi serbuan dari Korea Selatan. Mereka datang bak predator yang akan mengalahkan produk elektronik dari Jepang. Dengan demikian produsen elektronik Jepang menghadapi tekanan dan persaingan yang begitu dahsyat dari produk pesaing (seperti Samsung, Oppo, Xiaomi dan LG).

Elektronik Jepang masih konsisiten dengan positioning pada kualitas produk dengan harga yang kompetitif. Sedangkan Korea Selatan lebih menonjolkan dan positining pada inovasi dan desain. Sedangkan Tiongkok sudah merubah dan meninggalkan image (citra) sebagai merek dengan harga murah dan menuju serta menonjolkan/meningkatkan kualitas produknya.

Bagi para konsumen di Indonesia memiliki pilihan lebih banyak, apakah kualitas bagus yang menjadi pilihan dan prioritas atau harga murah dengan inovasi serta desain yang bagus. Konsumen sebagai raja memiliki hak memilih sesuai dengan kemampuan dan tebal tidaknya dompet mereka. Yang lebih penting bahwa konsumen memilih produk sesuai kemampuan dan lebih bijak.