Pendahuluan
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan[1], dan merupakan refleksi kritis tentang pengalaman hidup manusia dan sebagai ilmu, filsafat berbeda dengan ilmu-ilmu empiris lainnya. [2] Filsafat berasal dari kata Yunani, yakni philosophia yang berarti cinta (philia) dan kebijaksanaan (sophia) dan menurut analisis, kata ini muncul dari mulut Phytagoras yang hidup di Yunani Kuno pada abad ke-16 sebelum masehi (Budi Hardiman, 2007), sehingga orang yang mencintai kebijaksanaan disebut juga sebagai philosophos atau filsuf [3]). Selanjutnya untuk memahami arti dan penjelasan dari filsafat itu lebih lanjut, maka dimengerti terlebih dahulu hakikat dari filsafat. Biasanya, ada dua jawaban atas pertanyaan tentang hakikat filsafat, yang pertama, filsafat adalah suatu aktivitas, dan bukan suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Dan kedua, filsafat juga sering diartikan sebagai suatu analisis konseptual, yakni berpikir tentang pikiran. [4] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan suatu refleksi yang kritis dan rasional tentang pengalaman kehidupan manusia, karena filsafat berbeda dengan ilmu empiris lainnya. Perbedaan antara filsafat dengan dengan Ilmu empiris adalah tentang pengalaman. Empiris membicarakan tentang data-data yang diperoleh lewat observasi dengan mengadakan analisis tentang data-data empiris yaitu dengan pendekatan teori dan metodologi, yang mendatangkan atau menghasilkan temuan-temuan, sedangkan filsafat berbicara tentang refleksi yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sifatnya adalah hakiki.
Filsafat juga sebenarnya bertolak dari pengalaman dan data juga tapi tujuannya tidak hanya berhenti sampai pada data alami tapi dilakukan analisis lebih lanjut untuk mendapatkan pengetahuan dasar. Oleh karena itu filsafat tidak berhenti pada fenomena-fenomena atau data empiris karena tujuannya adalah untuk mendapatkan dasar-dasarnya atau unsur-unsur yang hakiki atau bicara tentang hakekatnya.[5] Jadi, filsafat adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang hakiki atau memperoleh hakekat, misalnya ilmu sosiologi akan membicarakan tentang hakikat dari masyarakat.
Jika dilihat dari pengaruh dan perkembangannnya, terlebih bagi perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari peran, pengaruh dan perkembangan pemikiran filsafat itu. Perkembangan sejarah filsafat dapat dibagi dalam empat periodisasi [6], yaitu pertama adalah zaman Yunani Kuno (abad 6 SM – 6 M), dengan ciri pemikiran yang kosmosentris yang didasarkan pada pengamatan atas alam, kedua adalah zaman abad pertengahan (6 – 16 M) dengan pemikiran teologis, ketiga zaman Rennaissance (16 – 17 M), dimana peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern ditandai dengan era yang disebut sebagai rennaissance, dan keempat zaman Modern (17 – 19 M) yang disebut juga sebagai filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh periode rennaissance dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung pada abad 18. Jika diilihat dari perkembangan filsafat tersebut diatas, maka revolusi ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan modenrn lahir) terjadi pada abad 17, dengan munculnya revolusi budaya (Rennaissance). Jika sebelumnya ilmu pengetahuan yang cara berpikirnya lebih beorientasi pada metafisis (spekulatif dan tidak empiris), maka semenjak abad ke-17 ilmu pengetahuan didasarkan pada bukti-bukti empiris dan rasionalitas. Namun demikian, tidak boleh dianggap remeh perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat sebelum abad ke-17 tersebut, karena ilmu pengetahuan modern bisa berkembang karena prinsip-prinsip dasarnya telah dtemukan pada masa tersebut.
Ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan berkembangnya budaya dan peradaban manusia dan berlangsung secara bertahap dan periodik. Setiap perkembangannya menghasilkan kekhususan dari ilmu pengetahuan tersebut. Sampai pada sekitar abad 18, Auguste Comte mengatakan bahwa Filsafat Ilmu Pengetahuan merefleksikan tentang ilmu pengetahuan untuk mebicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan atau unsure-unsur dan hakikat dari suatu ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan lebih luas sekedar sejarah ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan berguna untuk memahami proses penemuan berbagai macam hal dalam ilmu pengetahuan. Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa problematika dalam filsafat ilmu pengetahuan tidak dapat dipahami secara memadai terpisah dari sejarah ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terjadi pada saat revolusi ilmu pengetahuan pada abad 17, ketika terjadi penemuan-penemuan oleh beberapa ahli tentang teori-teorinya seperti, Newton dan Kepller. Pada abad ke-17 itu telah terjadi perubahan pemikiran yang sangat revolusioner dibandingkan dengan sebelumnya. Revolusi Budaya, sebagai salah satu contoh yang mendorong orang berpikir rasional dan empiris yang mengakibatkan perubaha cara orang berpikir. Revolusi ilmu pengetahuan telah membuat orang berpikir mekanistik yang sifatnya matematika, fisika dan astronomi. Revolusi ilmu pengetahuan juga memberikan dinamika dalam ilmu pengetahuan empiris, maka dengan adanya lompatan ini munculah ilmu pengetahuan.
Sistem ilmu pengetahuan berkembang hingga sampai pada abad 19, dimana Auguste Comte memberikan sumbangan kreatif yang khas terhadap perkembangan sosiologi sebagai suatu sintesa antara dua perspektif yang saling bertentangan mengenai keteraturan sosial: positivisme dan organisme. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengadakan perubahan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Hasilnya akan berupa suatu takhayul, kekuatan, kebodohan, paksaan, dan konflik akan dilenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan-gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap positivisme.
Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah pembagian sosiologi kedalam dua bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamics). Statika mewakili stabilitas, sedangkan dinamaika mewakili perubahan. Dengan memakai analogi dari bologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika sosial dapat disamakan dengan hubungan antara anatomi dan fisiologi. Hal ini membuat Comte membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga yaitu : Teologi yaitu pengetahuan yang didapat didasarkan pada iman dan kepercayaan, Metafisis yaitu pengetahuan yang didasarkan pada akal budi (reasoning), spekulatif dan abstrak serta Positif yaitu ilmu pengetahuan didasarkan pada fakta yang didapat yang sifatnya empiris. Comte dapat dikatakan sebagai seorang tokoh bagi Ilmu pengetahuan yang positif, dimana Comte mendapat dukungan dari para ilmuwan pada saat itu, karena banyak dari mereka yang berpikir positif. Sejak saat itu positivism mendapat pengaruh yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan dan pada awal abad 19, muncul kelompok berkumpul di Wina yang berorientasi positivism untuk membicarakan tentang struktur ilmu pengetahuan tersebut, dimana kelompok ini lebih dikenal sebagai Lingkaran Wina (Wina Circle).
SEJARAH PERKEMBANGAN
Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825). positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya yang menekankan logika simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi pendekatan positif erat dikaitkan dengan behaviorisme, dengan fokus pada observasi objektif sebagai dasar pembentukan hukum.
Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (1798-1857). Filsafat Comte adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara ‘terisolasi’, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan pada masalah hakikat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
Fisafat Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari Comte. Comte membagi masyarakat atas ‘statika sosial’ dan ‘dinamika sosial’. Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini sekaligus suatu ‘filsafat sejarah’, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta tersebut. Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious atau cultural.
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah. Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Para pemikir logis berpendapat bahwa tugas terpenting adri filsafat adalah untuk merumuskan semacam criteria penentuan untuk membedakan antara pernyataan yang memadai dan pernyataan yang tidak memadai. Intinya, mereka ingin merumuskan semacam aturan-aturan korespondensi, dimana observasi langsung untuk menguji suatu pernyataan dapat langsung dilakukan. Disamping itu, mereka juga ingin menjernihkan konsep-konsp akstrak yang digunakan dalam fisika, seperti konsep massa dan konsep energy, sehingga dapat sunggu diamati secara inderawi.
Salah satu criteria yang dirumuskan oleh mereka adalah verifikasi, yakni suatu pernyataan yang memadai adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris. Jelaslah bahwa para pemikir positivisme logis memusatkan refleksi mereka pada problematika bahasa. Akan tetapi, bagi ilmu pengetahuan alam terutama, ilmu-ilmu alam, pemikiran mereka dapat menjadi pembenaran bagi dominasi ilmu-ilmu alam di dalam ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20. Intinya, proses induksi, dimana pernyataan umum dirumuskan setelah dikonfirmasi oleh bukti-bukti eksperimental, adalah metode yang benar dan satu-satunya metode yang pantas digunakan di dalam ilmu pengetahuan.
Jadi inti utama dari para pemikir positivisme logis adalah suatu pernyataan hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverfikasi dengan data inderawi, dengan kata lain, jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, maka pernyataan tersebut adalah tidak bermakna.
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin membentuk ‘unified science’, yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat. Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah pemikiran sebagai Positivisme-Logik. Meskipun aliran ini mendapat tantangan luas dari berbagai kalangan, tapi gaung pemikiran yang dilontarkan oleh aliran posotovosme logik masih terasa hingga saat sekarang ini.
Perkembangan filsafat ilmu, berawal di sekitar abad 19, diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan alam yang berasal dari Universitas Wina. Kemudian filsafat ilmu dijadikan mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli tersebut tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang dikenal sebagai lingkaran Wina (Wina circle). Kelompok Wina menginginkan adanya unsur pemersatu dalam ilmu pengetahuan. Dan unsur pemersatu tersebut harus beracuan pada bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Dan pemersatu terssebut adalah filsafat ilmu.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini. Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme.
alah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,[i] materialisme[ii] naturalisme filsafat dan empirisme[iii]. Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika[iv] dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika[v].
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Positivisme Logis menyajikan suatu fusi dari empiris yang berasal dari Hume, Mill, dan Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana ditafsirkan oleh L. Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik. Kalimat-kalimat analitik itu bisa betul (tautologi) dan bisa salah ( kontradiksi ) semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak mengandung informasi faktual. Kalimat sintetik, atau empiris,merupakan laporan tentang pengamatan indera atau pun generalisi yang didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan metafisik dan teologis tidak cocok dengan kedua Kategori di atas dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna.
Rumusan asli ini ( dari M.schlick, R.Carnap, O.Neurath, dan lain-lain lambat laun engalami serangkaian modifikasi saat kekurangan-kekurangannya menjadi semakin jelas. Verifikasi, sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam Verifikasi prinsip, konfirmabilitas, dan akhirnya desakan bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat yang sama basis faktual diperluas daei pencerapan-pencerapan ke laporan laporan pengamatan, kebahasa empiris.
Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa observational, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sa mapi pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observational dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian alami dalam behaviorisme dan operasionalisme. Dalam etika ( Ayer, Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris kant.
TOKOH-TOKOH DAN PEMIKIRANNYA
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Alfred Jules Ayer (1910- ) adalah filsuf kelahiran London yang studi do Oxford dan pada tahun 1932-1933 berada di Wina dan di sanalah ia atas ajakan Moritz Schlick ikut dalam diskusi-diskusi bulanan dari sekelompok filsuf dan ilmuwan radikal yang menamakan kelompoknya dengan “Der Wiener Kreis” atau “Lingkaran Wiena” atau “Vienna Circle” sebagai cikal bakal positivisme logis, yang kemudian sangat terkenal sebagai salah satu aliran filsafat ilmu terkemuka dalam abad XX.
Ayer menulis buku, “language, Truth and Logic” yang menjadi salah satu buku yang menjadi dasar bagi keyakinan positivistik Lingkaran Wiena. Buku ini membuat Ayer terkenal, tahun 1946 ia diminta menjadi profesor di London dan sejak tahun 1959 di Oxford sampai pensiun tahun 1978. Ayer , Gottlob Frege (1848-1925), G. E. Moore (1873-1958), Bertrand Russel (1872-1970) dan Wittgenstein (1889-1951) adalah tokoh-tokoh filsafat analitis yang terkemuka.
Moore dan Russell mengemukakan istilah “data indrawi” sebagai suatu hal yang tidak dapat duragukan oleh semua aliran filsafat ilmu pengetahuan (realisme epistemologis dan idealisme epistemologi). Moore dan Russel menolak idealisme Berkeley dengan menyatakan bahwa apa yang saya (kita) ketahui tidak dapat direduksi pada kesadaran saya mengenainya. Kesadaranku mengenai bau wangi mawar, warna hijau dedaunan, tingginya menara Eifel dan beratnya emas I kilogram adalah sama. Obyek adalah tetap sama baik kita persepsi atau tidak kita persepsi. Moore, Russell dan Wittgenstein (I) berupaya untuk menekankan pandangan realismenya dengan manyatakan bahwa ada kesamaan antara datum indrawi dengan obyek yang dipersepsi.
Pernyataan (proposisi) ilmiah harus disusun berdasarkan data-data indrawi, karena itu bahasa ilmiah dapat dianalisis benar tidaknya berdasarkan verifikasi faktual. Ketika saya menyatakan “ ada kucing di atas meja” sementara orang lain menyatakan ‘tidak ada kucing di atas meja”, maka benar dan salahnya pernyataan itu dapat dilakukan dengan mengacu pada fakta. Positivisme logis mempercayai bahwa ‘obyek-obyek fisik” atau datum indrawi sebagai pola-pola dan data-data yang konstan, sehingga pernyataan ilmiah adalah sama dengan datum indrawi (fenomenalisme). Prinsip inilah yang kemudian menjadi titik tolak filsafat analitis, ketika menyatakan verifikasi sebagai kriteria ilmiah dan non-ilmiah. Filsafat analitis menganggap bahwa permasalahan filsafat dapat diselesaikan melalui pengunaan bahasa yang ketat dengan menggunakan logika dan analisis bahasa. Logika dan analisis bahasa gunanya untuk menghindarkan penggunaan bahasa yang abstrak, kacau atau bahasa yang semu.
Dalam pandangan filsafat analitis hanya ada dua model bahasa yang rasional, maksudnya yang bisa dibuktikan benar atau salahnya, yaitu kalimat atau proposisi analisitis dan proposisi sintetis. Proposisi analitis adalah pernyataan logika, matematika, sedangkan proposisi sinstetis pembenarannya berdasarkan pengalaman (fakta). Dengan menggunakan dua model bahasa ini, Filsafat menjadi ilmu yang rigorus, ilmu yang hanya berdasarkan pengalaman murni di mana bahasa ilmu pengetahuan hanya menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa berhubungan di dalamnya. Mach sendiri seorang profesor di Wiena menempatkan pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan mengesampingkan unsur-unsur apriori (seperti metafisika dan etika) masuk di dalam konstruksi ilmu pengetahuan.
Lingkaran Wiena lahir pada tahun 1923 seusai perang dunia pertama melalui Moritz Schlick (1882-1936) sewaktu ia menjadi profesor filsafat ilmu pengetahuan induktif di Universitas Wina, dan mencapai kejayaannya sampai tahun 1960-an. Bersama Rudolf Carnap (1891-1970) (seorang ahli logika), Philip Frank (seorang ahli ilmu pasti), Victor Kraft (ahli sejarah), Hendrick Feigl dan F. Waisman (dua ahli filsafat) (Wuisman, 1996).
Pada tahun 1929 R. Carnap, Hans Hahn dan Otto Neurath (1882-1945) menerbitkan sebuah manifesto yang berjudul “Wissenscaftliche Weltauffassung: der Wiener Kreis” (Pandangan Dunia ilmiah Kelompok Wina) (Delfgaauw, 1972: 115). Pandangan dunia ilmiah Lingkaran Wina ini kemudian diikuti banyak ahli dan ilmuwan, sehingga menjadi kekuatan yang dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan, terutama di negara-negara yang berbahasa Inggris sampai tahun 1960-an. Sehingga pandangan ini sampai tahun 1960-an disebut dan dianggap sebagai “the standard View” (pandangan yang dianggap baku) atau “the received View” (pandangan yang diterima umum)
Sambutan hangat atas pandangan dunia ilmiah Kelompok Wina ini diwujudkan dengan berdirinya kelompok Der Berliner Gruppe (Kelompok Berlin) yang terdiri dari H. Reichenbach, Rudolf von Mises dan C. G. Hempel. Di Inggris seorang filsuf terkenal, Alfred Jules Ayer, tertarik pada aliran ini, sedangkan di Amerika Serikat C. Morris dan Ernst Nagel secara setia mendukung aliran ini.
John Brodus Watson (1878-1958) dan Byrrhus Frederic Skinner (1904-1990), tokoh psikologi behaviorisme di Universitas Harvard, sangat terkesan dengan pemikiran Russel. Watson dan Skinner melakukan penelitian empiris-laboratoris untuk memantapkan psikologi sebagai kajian ilmiah. Hal yang sama telah dilakukan oleh Wilhelm Wund (1832-1930) yang menjadikan pengamatan laboratoris sebagai objek kajian psikologi dengan mendirikan laboratorium psikologi pertama di Leipig. Wundt dan behavioris membuang studi tentang: kesadaran, jiwa, akal budi, situasi mental dan semua yang dianggap tidak dapat diamati secara langsung. Psikologi dalam perspektif behavioris hanya berkaitan dengan tingkah laku hewan atau manusia, lalu menjelaskan tingkah laku manusia yang teramati itu untuk menerangkan apa itu manusia.
Behavioris percaya bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya dapat dikontrol. Pandangan ini sejalan dengan asumsinya tentang manusia yang secara prinsip sama dengan alam (sebuah mesin) yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum alam (determinisme). Tingkah laku manusia dipandang sebagai suatu sistem kompleks yang teratur (stimulus – respon). Manusia adalah hewan yang lebih tinggi, akan tetapi secara prinsip tidak terlalu berbeda dengan binatang. Manusia hanyalah hasil evolusi akhir dari makhluk yang sederhana, karena itu penelitian tentang hewan (anjing, tikus putih, atau monyet) dapat berlaku sama pada manusia.
Berkembangnya positivisme logis (seperti pada psikologi, sosiologi) harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang Dunia I baru saja usai. Banyak kekuatan politik, seperti kerajaan dan pemerintahan republik yang tumbang, sehingga peta politik Eropa berubah secara drastis. Di samping itu, perang mengakibatkan korban yang sangat besar di kalangan generasi muda serta menimbulkan kehancuran material yang luar biasa (Wuisman, 1996). Walaupun demikian, harus diakui bahwa perang ini telah menimbulkan kesadaran baru terhadap ilmu pengetahuan. Diakui secara umum bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan industri serta kekuatan ekonomi akan sangat menentukan kalah-menang dalam peperangan. Karena itu, muncul semangat untuk membangun kembali Eropa yang hancur itu di atas landasan ilmu pengetahuan. Di tengah-tengah lahirnya cara pandang yang demikian, positivisme logis berdiri pada barisan terdepan menghadapi pandangan lain yang juga ingin membangun Eropa berdasarkan landasan teologi dan metafisik (Wuisman, 1996: 4).
Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat perlu ditangani secara ilmiah. Karena itu, masalah metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan “The spirit of a scientific conception of the world,” yakni semangat dunia ilmiah yang berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang sangat dikagumi.
Untuk membentuk masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, diperlukan kesatuan ilmu pengetahuan (unified Science). Kesatuan ilmu pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk kesatuan metode dan kesatuan bahasa ilmiah, yang berlaku universal untuk semua bidang ilmu pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan dikonstruksi atas logika ilmiah (logic of science), yaitu dalam bentuk bahasa dan metode yang verifikatif. Otto Neurat mendirikan International Encyclopaedia of Unified Science yang diterbitkan di Amerika, sebagai dukungan atas gagasan neopositivisme itu (Beerling, 1994: 97).
Kritik
Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di dalam inti pemikiran positivisme logis tersebut. Apa yang akan dilakukan, dengan berbekal paradigma positivisme logis tentunya, ketika dua teori yang berbeda menjelaskan satu fenomena yang sama secara berbeda? Disamping itu, pernyataan bahwa suatu teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi. Artinya, teori yang dikembangkan oleh pemikir positivisme logis ini dapat dikenai kritiknya sendiri. Maka, teori ini juga problematic secara internal. Akan tetapi, walaupun ide-ide yang dipaparkan diatas dominan didalam perdebatan filsafat ilmu pengetahuan, tetapi realitas actual praktek ilmu pengetahuan sendiri, terutama didalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata tidak sesuai dengan ide-ide positivism logis ini. Bahkan, refleksi filsafat ilmu pengetahuan tentang teori-teori saintifik dan perkembangannya merupakan suatu reaksi kritis terhadap pandangan ini.
Karl Popper, dengan teorinya, juga bersikap kritis terhadap tesis-tesis dasar positivism logis, serta menunjukkan pentingnya perannya proses falsifikasi didalam perumusan dan perubahan suatu teori. Yang lebih signifikan lagi, ada beberapa pendapat, seperti yang dirumuskan oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada didalam sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam lmu pengetahuan hanya dapat terjadi, jika seluruh pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai, dan diganti yang lain.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah. Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis” dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah. Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
Realisme adalah aliran yang berpacu pada pandangan konkret, jadi “ada” menurut pandangan realisme adalah “ada” yang bersifat konkret. aliran ini mempunyai hubungan dengan aliran materialistik, dimana pandangan ini juga mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu yang ada itu adalah bersifat konkret.
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealism
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke
Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).