State-Sponsored Terrorism

Menurut Encyclopedia Britannica 2003, terorisme adalah penggunaan teror secara sistematis atau kekerasan yang tidak dapat diprediksikan yang ditujukan untuk menyerang pemerintah, publik, atau individual demi kepentingan politis tertentu.[1]  Sedangkan State-sponsored terrorism adalah perbuatan atau aksi yang dilakukan oleh negara yang mendukung kegiatan teroris atau organisasi dalam bentuk pendanaan, persenjataan, penyediaan tempat pelatihan (training camp), media, propaganda dan perlindungan (sanctuary).[2]  State-sponsored terrorism bisa dilihat dari dua sisi, yaitu ketika sebuah negara mensponsori teror di negara lain dan ketika sebuah negara mensponsori teror di negaranya sendiri atau terhadap warga negaranya sendiri.

Terorisme seringkali didefinisikan berdasarkan empat karakteristik, yaitu:[3] ancaman/penggunaan kekerasan, mempunyai tujuan politis: keinginan untuk mengubah status quo, mempunyai niat/bertujuan untuk menyebarkan ketakutan dengan aksi-aksi publik yang spektakuler, menargetkan penduduk sipil.

Element yang terakhir, yaitu – menargetkan penduduk sipil adalah yang membedakan state terrorism dengan bentuk-bentuk kekerasan  lain yang dilakukan negara (state violance). Mendeklarasikan perang  dan mengirim pasukan militer melawan pasukan militer negara lain bukan termasuk ke dalam kategori terorisme, begitu juga dengan penggunaan kekerasaan untuk menghukum kriminal yang bersalah karena telah melakukan perbuatan kriminal.

State terrorism bisa dilihat sebagai sebuah konsep yang berbahaya, karena negara dalam hal ini memiliki kekuasaan atau power untuk mendefinisikan terorisme dimana, berbeda dengan teroris non-state, negara bisa melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap konsekuensi dari definisi tersebut. Negara memiliki force dan bisa melegitimasi penggunaan kekerasan sedemikian rupa dalam berbagai cara yang tidak mungkin dilakukan oleh penduduk sipil biasa.[4]

Justifikasi yang dilakukan oleh negara atas nama keamanan bisa dilihat dari konsep awal negara berdaulat dimana sebuah negara harus melakukan segenap usahanya untuk mempertahankan diri karena tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada negara. Pada tataran filosofis, terdapat dua fungsi yang selalu melekat pada negara sebagai suatu unit politik, yaitu fungsi keamanan (security function of state) dan fungsi kesejahteraan (welfare function of state). Fungsi keamanan melekat pada negara yang melahirkan istilah keamanan nasional. Jika dilihat dari tujuannya, keamanan nasional dimaksudkan untuk melindungi negara dari berbagai ancaman yang dapat meruntuhkan negara itu. Sedangkan jika dilihat dari aktornya, tanggung jawab untuk menyelenggarakan keamanan nasional selalu dilekatkan pada negara.[5]

Peristiwa 11 September yang meluluhlantakkan dua gedung kembar kebanggaan Amerika langsung membuat negara-negara di seluruh dunia dihadapkan dengan ‘perang massal’ melawan apa yang dikatakan AS sebagai aksi terorisme. [6] AS dalam hal ini merasa kedaulatan negaranya terancam dan kemudian membentuk public opinion akan bentuk kejahatan kemanusiaan yang dinamakan terorisme. Maka semua tindakan atau ide penyerangan yang mengatasnamakan pemberantasan terorisme pun menjadi sah.

Green & Ward (2004) mengadopsi thesis Max Weber’s tentang negara berdaulat, mengklaim monopoli penggunaan kekuatan yang sah  (legitimate use of force). Jadi untuk bisa menentukan apakah sebuah negara menyimpang atau tidak, tergantung pada norma-norma internasional dimana salah satunya adalah apakah negara tersebut menjunjung tinggi HAM dalam menjalankan kekuasaannya.  Namun kendalanya negara juga yang mendefinisikan apa yang bisa disebut sebagai kriminal dalam wilayah mereka, dan sebagai negara yang berdaulat, mereka tidak bertanggungjawab terhadap komunitas internasional kecuali mereka memang terikat secara umum dengan yurisdiksi internasional, atau yurisdiksi kriminal.[7]

State crime adalah suatu tindakan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini negara, agen pemerintah, yang melanggar hukum dari pemerintahan tersebut, hukum internasional, atau hak asasi manusia, sesuai definisi dari UN atau kode etik formal lainnya. Sebuah tindakan bisa dikategorikan sebagai state crime apabila tindakan tersebut menyakiti penduduk negaranya atau penduduk negara lain. Maka sebenarnya dalam hal ini war crimes dan state-sponsored terrorism bisa dikatakan masuk ke dalam kategori state crime.[8]

 

 

 

 

[1]  Irene Hadiprayitno, Terorisme dan Teori Konspirasi: Tinjauan Terhadap Peran PBB (Global Jurnal Politik Internasional, Vol 5 No 2, Mei 2003). Diterbitkan oleh: Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hal: 50.

[2] United Against Nuclear Iran. Diakses dari: http://www.unitedagainstnucleariran.com/terrorism_timeline

[3] State Terrorism – A Definition of State Terrorism. Diakses dari: http://terrorism.about.com/od/whatisterroris1/a/StateTerrorism.html

[4] State Terrorism – A Definition of State Terrorism. Ibid.

[5] Andi Widjajanto, Cornelis Lay, Makmur Keliat, Intelijen: Velox et Exactus (Jakarta:2006) Pacivis University of Indonesia & Kemitraan Partnership. Hal: 13.

[6] Irene Hadiprayitno, Terorisme dan Teori Konspirasi: Tinjauan Terhadap Peran PBB. Op.Cit. Hal 49.

[7] Wikipedia – State Crime. Diakses dari: http://en.wikipedia.org/wiki/State_crime

[8] What is State Crime? Diakses dari: http://www.wisegeek.com/what-is-a-state-crime.htm




Ian Fleming dan Dunia Intelijen

Ian Fleming dan Dunia Intelijen

 

Kita mengenalnya sebagai penulis dan pencipta tokoh James Bond, seorang agen rahasia Inggris dengan kode 007. Tapi sesungguhnya dunia intelijen bagi Fleming bukan sekedar fiksi belaka.

Pada awal tahun 1939, Ian Fleming yang saat itu adalah seorang stockbroker dan juga jurnalis terlibat dengan sebuah misi rahasia yang menjadi tonggak karirnya sebagai agen Inggris dan penulis novel spy di kemudian hari. Ketika itu ia berangkat ke Moskow bersama dengan delegasi perdagangan sebagai koresponden surat kabar The Times sambil diam-diam bertugas mengukur kekuatan Rusia. Meski laporan yang ia kirim ke British Foreign Office hanya berdasarkan informasi yang ia peroleh lewat sumber-sumber terbuka (open source inteligence) dan pengamatannya sebagai seorang jurnalis, kualitasnya sama dengan laporan seorang intelijen profesional. Tak lama setelah misinya berakhir, Fleming direkrut menjadi asisten John Godfrey, Direktur Intelijen Angkatan Laut.[1]

Tahun 1941, Fleming diberi kepercayaan memimpin Operation Golden Eye, yang bertugas mengawasi Spain dan melakukan sabotase bila perlu. Ia masuk ke Spain menggunakan paspor kurir dan selama disana bertugas menjaga kontak radio dengan mata-mata di lapangan. Operasi ini yang nanti menginspirasinya menulis novel James Bond yang berjudul Goden Eye.[2]

Tahun 1942, Ian Fleming membentuk sebuah unit komando khusus yang dinamakan No. 30 Commando atau 30 Assault Unit (30AU) yang terdiri dari pasukan spesialis intelijen.[3] Tugas 30AU yang utama adalah menyusup ke wilayah Jerman dan wilayah pendudukan dengan tujuan mempelajari lebih banyak tentang program senjata tentara Jerman. Unit ini bertugas menerjemahkan kode, mencuri dokumen, berbagai jenis materi, serta mencari informasi.[4]

Kesuksesan 30AU membuat dibentuknya T-Force pada tahun 1944. Tugas utama T-Force adalah menjaga dan mengamankan dokumen, orang, peralatan, personil tempur dan Intelijen, setelah merebut kota-kota besar, pelabuhan, dan lain-lain di wilayah yang bebas dan musuh. Fleming duduk di komite yang memilih target unit T-Force dan mencantumkannya di “Buku Hitam” yang dikeluarkan untuk para petugas unit.[5]

Setelah perang usai, Ian Fleming menjadi manajer di grup surat kabar Kemsley sambil menjalankan ambisinya menulis novel spy. Novel pertamanya Casino Royale ia selesaikan hanya dalam waktu dua bulan, dilanjutkan dengan Golden Eye pada tahun 1952. Ian Fleming merupakan penulis yang produktif dimana karya-karyanya sukses dibaca, difilmkan dan ditonton jutaan orang di berbagai belahan dunia hingga sekarang ini. Ia meninggal pada 12 Agustus tahun 1964, di usia 56 tepat di hari ulang tahun anak laki-lakinya, Caspar, yang ke 12.

 

 

 

 

 

 

 

[1] N. Kagan & Stephen G. Hyslop, The Secret History of World War II (Spies, Code Breakers & Covert Operations), National Geographic, Washington DC, Hal: 31

[2] N. Kagan & Stephen G. Hyslop, The Secret History of World War II (Spies, Code Breakers & Covert Operations), National Geographic, Washington DC, Hal: 31

[3] Ian Fleming, Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Fleming

[4] The Intelligence Life of Ian Fleming, http://www.cf2r.org/fr/notes-historiques/the-intelligence-life-of-ian-fleming.php

[5] Ian Fleming, Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Fleming

 




Ketika ada suka cita dalam kematian

Ketika ada suka cita dalam kematian

Suku Toraja menetap di di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen, tetapi agama tradisional mereka yaitu Aluk To Dolo tetap kuat pengaruhnya. Kata Toraja sendiri berasal dari bahasa Bugis, to riaja yang artinya orang-orang yang berdiam di negeri atas.[1]

Suku Toraja memiliki banyak ritual yang menarik, salah satunya adalah ritual kematian yang disebut sebagai Rambu Solo atau asap turun. Upacara ini sering dianggap sebagai penyempurnaan sebuah kematian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal ketika semua prosesi diselesaikan. Jika belum, maka orang yang meninggal hanya dianggap sebagai orang sakit atau to makula. Ia pun masih diperlakukan seperti layaknya orang hidup, seperti dibaringkan di tempat tidur, diberi hidangan dan diajak bicara.  Ritual kematian dihadiri ratusan orang dan biasanya berlangsung beberapa hari. Semakin kaya dan berkuasa seseorang maka biaya upacara pemakamannya akan semakin besar.[2] Besarnya upacara pemakaman Toraja bisa dilihat dari jumlah dan mutu kerbau-kerbau yang akan disembelih.[3] Setelah disembelih, bangkai kerbau termasuk kepalanya akan dijajarkan di padang rumput menunggu pemiliknya yang sedang dalam ‘masa tidur’. Suku Toraja percaya arwah membutuhkan banyak kerbau agar bisa lebih cepat sampai ke Puya atau dunia arwah.[4]

Upacara pemakaman biasanya digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun sejak kematian terjadi. Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan dan disimpan di bawah tongkonan atau rumah tradisional Toraja. Arwah orang yang sudah mati dipercaya akan tetap tinggal di desa itu sampai upacara pemakaman selesai baru kemudian arwah melanjutkan perjalanannya ke Puya. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan pengusungan jenazah ke peristirahatan terakhirnya dimana peti mati bisa disimpan di dalam gua batu, makam batu berukir, atau digantung di tebing.[5]

Yang menarik adalah orang Toraja menganggap kematian bukan sebuah perpisahan tapi justru sebagai pusat kehidupan. Mereka percaya bahwa orang tidak sungguh-sungguh mati saat meninggal. Kematian hanyalah jenis lain dari sebuah hubungan. Karena itulah secara rutin, orang-orang Toraja mengeluarkan kerabatnya dari makam untuk menggantikan baju atau kain kafannya.[6] Bagi mereka kematian bukan hal yang permanen. Kerabat yang sudah meninggal hanya akan berubah bentuk menjadi leluhur yang tetap masih bisa terhubung dengan orang-orang yang ditinggalkan.

 

 

 

[1] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[2] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[3] Ketika Kematian Bukanlah Berpisah. National Geographic, April 2016. Hal: 60.

[4] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

[5] Suku Toraja: https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

 

[6] Ketika Kematian Bukanlah Berpisah. National Geographic, April 2016. Hal: 57.




mission_to_mars

 

INVASI MANUSIA KE PLANET MARS

Mars yang biasa disebut juga sebagai planet merah ini adalah planet terdekat keempat dari Matahari. Planet ini dianggap bisa menjadi calon rumah kedua bagi manusia jika Bumi tidak lagi mampu menopang kehidupan.

Mars memiliki karakteristik geologis yang menakjubkan, seperti gunung berapi terbesar di tata surya yaitu Olympus Mons, memiliki wilayah vulkanik yang disebut sebagai daerah Tharsis dan Elysium, yang didalamya juga terdapat gunung-gunung api seperti Arsia Mons, Pavonis Mons, Ascraeus Mons.[1] Seperti halnya Bumi yang mengandalkan Bulan sebagai satelit, Mars memiliki dua buah Bulan yang mengitarinya yaitu: Phobos dan Deimos. Planet Mars memiliki siklus musim yang mirip dengan Bumi namun yang menjadi permasalahan adalah kandungan Oksigen di Mars sangat tipis sehingga tidak memungkinkan dihuni mahluk hidup.[2]

Keingintahuan manusia yang begitu besar terhadap Mars menyebabkan diluncurkannya berbagai pesawat antariksa tidak ber-awak ke planet tetangga ini baik yang bisa dikatakan sukses mau pun tidak, bahkan sebelum manusia mendarat di Bulan. Kini sebuah perusahaan dirgantara SpaceX sedang mengembangkan teknologi yang memungkinkan kelak manusia bisa mendarat disana.[3] Tapi memang bagi manusia untuk bisa mendarat di Mars merupakan tantangan berat.

Jarak Mars dari Bumi tak kurang dari 54 juta kilometer dan untuk mengirim astronaut kesana diperlukan pesawat antariksa jenis baru yang bisa dihuni berbulan-bulan, bisa membawa cukup persediaan untuk perjalanan pulang dan mampu melindungi dari radiasi kosmis.[4] Radiasi kosmis adalah bahaya yang mengancam siapa pun yang berada di luar medan magnet Bumi.[5] Astronaut akan rentan terhadap partikel cepat yang disebut sinar kosmis yang bisa merusak DNA dan sel otak. Selain bahaya radiasi, sekedar menyediakan air minum dan udara untuk bernapas untuk astronaut saja sudah merupakan tantangan tersendiri.[6]

Persoalan-persoalan ini baru sebagian dari sekian banyak masalah yang ada. NASA kini sedang berusaha mencari solusi untuk berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan misi simulasi di Bumi. Tapi simulasi ini memiliki berbagai keterbatasan, salah satunya karena tidak adanya gravitasi nol. Dalam Misi simulasi terbaru NASA, enam relawan dikurung selama satu tahun di habitat Mars tiruan, di lereng gunung berapi. Namun tidak ada satu eksperimen pun di Bumi yang mampu menyimulasikan dengan tepat perasaan terkurung di dalam kaleng kecil jutaan kilometer dari Bumi.[7]

Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah manusia mampu menyelesaikan misinya mendarat di planet merah? Intinya, dari sisi teknologi kita sudah jauh lebih dekat ke Mars daripada ke Bulan saat Presiden Kennedy menetapkan target itu pada 1961. Yang belum kita miliki sekarang adalah biaya yang luar biasa besar.[8] Namun seiring berjalannya waktu, dana yang diperlukan bisa saja diperoleh dan teknologi akan terus berkembang, memungkinkan segala yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin.

 

[1] Nanang Widodo, “Sekilas Pengamatan Planet Mars”, Hal. 15, LAPAN.

[2] Nanang Widodo, “Sekilas Pengamatan Planet Mars”, Hal. 16, LAPAN

[3] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 29.

[4] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 38.

[5] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 39.

[6] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 37.

[7] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 42.

[8] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 50.




international_global_security

INTERNATIONAL GLOBAL SECURITY

 

Negara seperti juga manusia mempunyai naluri untuk selalu mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Maka lumrah jika tujuan utama sebuah negara adalah keamanan, terutama karena potensi ancaman baik internal maupun eksternal, selalu muncul meski di masa damai sekali pun. Berdasarkan itu, sebuah negara akan terus mencari cara untuk memperkuat dirinya agar bisa mempertahankan eksistensi di pergaulan internasional.

Robert Dahl mendefinisikan power atau kekuasaan sebagai kemampuan seorang aktor untuk membuat aktor lain melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan atau membuat aktor tersebut tidak melakukan hal yang sebetulnya ingin ia lakukan. Sedangkan menurut Hans Morgenthau, seorang pemikir realis, politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpenting dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik (Morgenthau 1965: 195).[1]

Pemikiran kaum realis memang lebih memberikan penekanan pada kekuatan dan konflik. Asumsi dasarnya adalah: 1) pandangan pesimis atas sifat manusia; 2) keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; 3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; 4) skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.[2]

Tidak seperti politik domestik, politik internasional tidak mempunyai badan pemerintahan. Tidak ada undang-undang yang mengatur tata cara pergaulan negara-negara di dunia internasional atau bahkan untuk menyelesaikan perselisihan antar mereka. Kondisi seperti ini yang dimaksud dengan lingkungan anarkis politik internasional. Kondisi anarki semacam itu yang mampu menciptakan keadaan perang (state of war). Dan karena absennya ‘badan pemerintahan dunia’ serta kondisi bahwa suatu negara tidak mungkin bergantung pada negara lain secara terus menerus, maka setiap negara harus memiliki kemampuan untuk menolong dirinya sendiri.[3]

Setiap negara yang ada di dunia internasional, mau tidak mau, saling bergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Apapun yang dilakukan suatu negara akan membawa pengaruh, baik atau buruk, menguntungkan atau tidak, terhadap negara lain. Hal ini berkaitan erat dengan persepsi yang mengakibatkan munculnya ‘dilema keamanan’,  dimana satu/beberapa negara bisa sekaligus berpotensi menjadi sumber kemananan atau ancaman bagi negara lain. Jelas bahwa tidak ada negara yang benar-benar kawan atau selamanya menjadi musuh. Contoh dilema keamanan yang paling klasik adalah saat perang dingin, yaitu dengan adanya perlombaan senjata AS dan Uni Sovyet.  Ketika itu kedua belah pihak terus meningkatkan kemampuan dan jumlah persenjataan terutama rudal nuklir. Kondisi yang berpotensi  ‘MAD’ atau Mutually Assured Destruction, yaitu kedua pihak sama-sama hancur jika senjata nuklir digunakan. Hal ini membuat baik AS dan Uni Sovyet tidak ada yang berani berinisiatif lebih dulu. Dilema keamanan disebabkan oleh dua faktor, yang pertama adalah sulitnya membedakan antara pertahanan (defensive) dengan penyerangan (offensive), dan yang kedua adalah sulitnya suatu negara untuk bisa memercayai niat damai negara lain itu akan selamanya.[4]

Jika kita kembali ke tujuan negara, dimana mempertahankan eksistensi adalah utama, maka negara harus selalu dalam kondisi waspada agar bisa mencegah atau meminimalisasi ancaman. Tidak adanya pemerintahan dunia, menyebabkan setiap negara mempunyai potensi membuat konflik dengan negara lain dengan menggunakan power yang dimiliki demi tujuan dan kepentingan negaranya sendiri.

Kini dengan adanya PBB, kondisi lingkungan internasional sepertinya tidak se-anarkis sebelumnya. Dulu ketika Belanda menduduki Indonesia, dunia internasional hanya menganggapnya sebagai kekuatan semata dan tidak ada sanksi. Tapi kini berbeda. Ketika Indonesia menduduki Timor-Timor, Indonesia mendapat sanksi internasional seperti dihentikannya bantuan militer dan nyaris dianggap sebagai negara pariah. Negara-negara di dunia, melalui PBB, kini bisa memberikan sanksi dan konsekuensi terhadap negara yang tidak mengikuti aturan main di pergaulan internasional. Tapi keberadaan PBB tidak semerta-merta bisa menjamin terciptanya perdamaian dunia. Perang konvensional memang nyaris tidak ada lagi, tetapi potensi ancaman terhadap suatu negara akan tetap ada. Belum lagi masalah terorisme yang kian marak, dimana dibutuhkan kerja sama antar negara untuk bisa memberantasnya karena aktor yang terlibat biasanya tidak terikat batas negara (non-state actor). Intinya kondisi bahwa negara-negara berdaulat hidup berdampingan, dimana masing-masing memiliki cara pandang dan kepentingan yang berbeda pada dasarnya adalah berbahaya dan berpotensi menimbulkan konflik.

 

 

 

 

 

 

[1] Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Cetakan II. Terjemahan Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. , 88.

[2] Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (2009) , Ibid. , 88.

[3] Art, Robert.J & Jervis, Robert (2009). International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues (9th ed). Pearson Education, Inc., 2.

[4] Art, Robert.J & Jervis, Robert (2009)., 3.




Pusaka Yang Hilang

Pusaka yang Hilang

 

Pada 11 September 2013 empat artefak purbakala berlapis emas raib dari tempat penyimpanannya di Museum Nasional. Keempatnya yang terdiri: Lempeng Naga Mendekam Berinskipsi, Lempeng Bulan Sabit Beraskara, Wadah Bertutup (Cepuk)  dan Lempeng Harihara merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno abad ke-10.[1] Sayangnya hingga kini keempat artefak tersebut masih belum berhasil ditemukan.

Pencurian artefak semacam itu bukan yang pertama kali terjadi. Peristiwa serupa pernah terjadi di Museum Radya Pustaka, Surakarta, di tahun 2007 dimana koleksi arca batu dilaporkan hilang dan sebagian lagi dipalsukan. Tapi berbeda dengan pencurian di Museum Nasional, di kasus ini kepala museum dan dua pegawainya dijadikan tersangka dan divonis penjara. Bukan hanya itu, lima arca yang hilang kemudian ditemukan di rumah seorang pengusaha sekaligus kolektor barang antik, Hasyim Djojohadikusumo yang mengaku membeli arca-arca itu secara legal dari Hugo E.Kreijger, mantan konsultan Christie’s – sebuah tempat lelang di London. Hasyim memang akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Surakarta.[2]

Pada Agustus 2010, 75 koleksi museum Sonobudoyo di Yogyakarta berupa topeng emas dan perhiasan hibah Sultan Hamengkubuwono VIII lenyap dan bernasib sama dengan keempat artefak Museum Nasional yang hingga kini tidak ketahuan rimbanya.[3]

Ini hanya sebagian dari sekian banyak kasus pencurian, perusakan dan penyelundupan di Museum dan cagar-cagar budaya di Indonesia yang kerap menjadi target empuk para mafia barang antik dan purbakala. Masa depan dan kelestarian artefak dan benda-benda bersejarah semakin terancam. Bahkan tahun 2008, di Yogyakarta, Lambang B. Purnomo, seorang arkeolog yang ketika itu getol menyelidiki jaringan pencurian benda-benda purbakala ditemukan tewas secara misterius. Memang penyebab kematiannya masih berupa misteri yang belum terpecahkan namun ini menguatkan bahwa kejahatan terkait warisan leluhur harus segera diakhiri.[4]

 

[1] http://tekno.kompas.com/read/2013/09/13/2006390/Pencurian.Artefak.Polisi.Selidiki.Sindikat.Internasional.

[2] National Geographic, Juni 2016. Rahadian Rundjan. Menjarah Masa Depan. Hal: 46

[3] National Geographic, Juni 2016. Rahadian Rundjan. Menjarah Masa Depan. Hal: 46

[4] National Geographic, Juni 2016. Rahadian Rundjan. Menjarah Masa Depan. Hal: 46

 




Competitive Intelligence

Dunia bisnis sekarang ini mengalami banyak sekali perubahan. Terutama dalam hal ekspektasi, baik dari sisi bisnis itu sendiri maupun dari sisi pelanggan, yang akibat dari perkembangan teknologi, memiliki akses lebih banyak terhadap informasi produk atau jasa tertentu. Perubahan terjadi dengan sangat cepat dan dinamis, mengakibatkan kondisi lingkungan kompetitif menjadi semakin kompleks dan tidak mudah diprediksi. Namun bukan berarti perubahan selalu membawa petaka. Perubahan bisa berarti peluang. Menurut Sharp, perusahaan-perusahaan yang dengan cepat mampu menyadari adanya perubahan, mempunyai kesempatan lebih besar untuk memastikan apakah perubahan tersebut bisa dimanfaatkan atau relevan terhadap bisnis mereka. Disinilah peran Intelijen Kompetitif atau Competitive Intelligence (CI), yaitu dengan menyediakan informasi yang akurat, objektif dan tepat waktu, sehingga manajer atau pembuat keputusan justru bisa memanfaatkan perubahan dengan membuat keputusan yang baik atau menguntungkan perusahaannya.
Dengan semakin ketatnya persaingan di dunia bisnis, ditambah juga dengan kondisi lingkungan eksternal yang kompleks, dinamis dan cepat berubah, maka keberadaan intelijen kompetitif merupakan syarat utama bagi sebuah perusahaan untuk bisa bertahan. Karena dengan melakukan praktek analisa intelijen kompetitif, perusahaan akan memiliki strategi kompetitif yang lebih baik dibanding kompetitornya.
The Global Intelligence Alliance (2007a) mengindikasikan kebutuhan intelijen yang sangat kuat, seperti dikutip berikut ini: lingkungan bisnis sekarang ini membutuhkan sebuah sistem yang komprehensif yang mampu mengelola resiko dari lingkungan eksternal sebuah bisnis. Tidak pernah sebelumnya kekuatan atau pengaruh globalisasi sedemikian intens. Sebagian besar pelaku bisnis eksekutif merasa kekuatan dari perubahan tersebut akan membawa dampak besar bagi organisasi mereka. Pandangan yang sama dikemukakan Gilad (2004) yang mengatakan bahwa ada kebutuhan akan intelijen formal di perusahaan-perusahaan besar. Dimana dalam penelitiannya menemukan bahwa hampir 2/3 dari responden survey terkejut dengan kemunculan setidak-tidaknya tiga peristiwa kompetitif yang besar di lima tahun belakangan. Bukan hanya itu, 97% responden mengatakan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja lemah dalam sistem peringatan dini.

Sharp, Seena, Competitive Intelligence Advantage: How to Minimize Risk, Avoid Surprises, and Grow Your Business in a Changing World, John Wiley & Sons, Inc: 2009. Hal. 16.
Calof, Jonathan L & Wright, Sheila, Competitive intelligence: A practitioner, academic and inter-disciplinary perspective, European Journal of Marketing Vol. 42 No. 7/8, 2008 pp. 717-730, Emerald Group Publishing Limited 0309-0566 DOI 10.1108/03090560810877114. Hal 719.

Kini semakin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya Intelijen Kompetitif, seperti yang dikutip dari Market Wire (2007): 1.000 perusahaan besar Amerika akan meningkatkan spending untuk staf dan aktivitas yang berhubungan dengan CI hingga $10 miliar di tahun 2012, dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya sekitar $1 miliar. Begitu juga dengan Pricewaterhouse Coopers (2002): Para CEO yang menganggap CI sebagai sesuatu yang sangat penting, revenue nya akan meningkat hingga 14,2%. Jika dibandingkan dengan yang lain (hanya 11,8%), pertumbuhannya lebih cepat hingga 20%.
Intelijen Kompetitif atau Competitive Intelijen (CI) menurut Society of Competitive Intelligence Proffessional (SCIP) adalah sebuah disiplin ilmu mengenai etika bisnis yang diperlukan untuk pengambilan keputusan yang didasarkan pada pemahaman atas lingkungan kompetitif. Sedangkan menurut Seena Sharp, CI adalah knowledge / pengetahuan dan foreknowledge mengenai lingkungan bisnis secara keseluruhan yang kemudian menghasilkan perbuatan atau tindakan. Jika knowledge mengacu pada pengetahuan masa lalu atau yang sudah diketahui, foreknowledge mengacu pada masa depan, yang meliputi: indikasi, prediksi, forecasts, estimasi, mengenai apa yang akan atau mungkin terjadi. Sedangkan keseluruhan yang dimaksud disini adalah seluruh faktor lingkungan kompetitif yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu bisnis atau usaha, termasuk: pelanggan, penyalur, supplier / penyedia, teknologi, perubahan di masyarakat, peraturan pemerintah, kompetitor, ekonomi, substitusi, prospek, demografi, legislasi dan juga industri lain.
Intinya, CI berkaitan dengan pengetahuan (baik masa lalu maupun masa yang akan datang) terhadap lingkungan eskternal perusahaan yang harus diketahui dan dipahami oleh para pembuat keputusan agar bisa mengambil tindakan atau keputusan yang menguntungkan perusahaannya. Michael Porter dalam bukunya Competitive Strategy mengatakan, untuk bisa bertahan dalam persaingan, kita harus senantiasa melakukan pengkajian ulang terhadap asumsi yang ada. Tentu saja dengan mempertimbangkan setiap faktor lingkungan kompetitif, dan yang akan selalu dimulai dari pelanggan (bukan semata-mata kompetitor), sebagai berikut:
1. Pelanggan
Peter Drucker mengatakan tujuan dari sebuah bisnis adalah mempertahankan dan menciptakan pelanggan. Jadi perusahaan yang mampu memberikan prospek yang diinginkan pelanggan akan dihadiahi dengan peningkatan sales, jumlah pelanggan dan market share. Satu hal yang harus diingat: bukan kompetitor yang membeli produk atau jasa, melainkan pelanggan. Dan pelangganlah yang lebih banyak memberikan masukan atau informasi yang berguna. Inilah yang menjadi alasan mengapa fokus harus dilakukan lebih banyak kepada pelanggan dibanding kompetitor. Salah satu contohnya adalah toko buku Borders yang menambahkan coffee bars di outletnya, dengan tujuan membuat pelanggannya lebih lama berada di outlet.
2. Supplier
Penyedia / Suppliers mempunyai kepentingan terhadap industri tempat perusahaan beroperasi, dan adalah langkah yang tepat untuk menjadikan mereka sebagai sumber informasi mengenai ancaman atau trends (kecenderungan).
3. Distributor
Bisa menawarkan lebih dari sekedar channel, karena untuk kebanyakan industri, distributor adalah buyer – sebagai portal untuk pelanggan lain. Mereka tahu apa yang sesuai untuk marketplace dan mampu mengidentifikasi hambatan untuk masuk ke pasar tertentu. Distributor juga memiliki kemampuan menganalisa marketplace, misalnya dengan menggunakan analisa SWOT. Informasi yang dihasilkan nantinya akan berguna untuk perusahaan dalam melakukan penyesuaian strategi sales dan marketing, atau bahkan mentransformasikan kegagalan menjadi kesuksesan.
4. Kompetitor
a. Direct: perusahaan yang menawarkan produk atau jasa yang mirip atau sama terhadap pelanggan yang sama.
b. Indirect: perusahaan yang berada di industri yang sama atau yang terkait.
c. Substitute: perusahaan yang berbeda industri namun menawarkan produk atau jasa yang mirip atau sama.
5. Substitutes
Adalah penawaran lain yang dianggap oleh pelanggan sebagai alternatif dari produk atau jasa yang digunakan.
6. Teknologi
Mempunyai dampak yang luar biasa (baik secara langsung maupun tidak) terhadap produk, jasa dan industri, serta mengakibatkan lingkungan kompetitif menjadi semakin tidak pasti.
7. Demografi
Bagian integral dari pelanggan adalah komposisi demografis populasi tersebut, apakah mereka itu pelanggan atau bukan. Demograsi sangat menentukan lanskap dan sangat penting dalam membentuk produk yang cocok ditujukan bagi sebuah segmen (atau bagian terbesar) dari pelanggan.
8. Budaya
Termasuk di dalamnya: masyarakat, gaya hidup dan perilaku – yang secara konstan kerap mengalami perubahan. Analisis budaya mampu memberikan kepastian apakah produk atau jasa yang ditawarkan sesuai dengan persoalan-persoalan atau kecenderungan sosial yang sedang berlaku saat itu.
9. Ekonomi
Kondisi ekonomi jelas akan mempengaruhi pelanggan – modus dan daya beli. Perusahaan yang tanggap akan melakukan penyesuaian produk atau jasa dengan iklim perkenomian yang sedang berlangsung.
10. Peraturan : Industri dan Pemerintah
Merupakan faktor terbesar yang bisa mempengaruhi keputusan pasar. Perusahaan harus selalu mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan mencari tahu peraturan apa yang sedang digodok atu akan muncul – apakah peraturan tersebut berdampak pada produk atau jasa perusahaan kita.
11. Industri Lainnya
Semua bisnis pasti akan dipengaruhi oleh industri tetangganya, oleh karena itu perusahaan harus tetap memperhatikan indirect market –nya.

Seperti yang sudah disinggung di atas, untuk meraih kesuksesan, atau memperoleh keunggulan kompetitif, sebuah bisnis harus mengetahui dan memahami lingkungan kompetitifnya secara keseluruhan. Tidak semata-mata hanya melakukan pemantauan terhadap kompetitor saja. Banyak sekali contoh dari bisnis yang mengalami kegagalan, hanya karena memfokuskan perhatian hanya terhadap kompetitor. Salah satu contohnya seperti yang terjadi pada industri otomotif Amerika yaitu General Motors (GM) dan Chrysler.
Kegagalan keduanya bukan semata-mata karena kegagalan para eksekutifnya dalam menangani kompetitor mereka, yaitu Toyota atau pun Honda. Akar penyebab kejatuhan mereka ternyata sangat basic atau mendasar, yaitu preferensi pelanggan yang berubah dari mementingkan performa menjadi reliability. Pembuat mobil Amerika memang ahli dalam memenuhi keinginan pelanggan yang menyukai mobil dengan performa tinggi, namun ketika semakin banyak perempuan yang menyetir ditambah dengan meningkatnya kemacetan di jalanan, maka yang lebih dibutuhkan pelanggan adalah efisienti BBM, chassis atau kerangka mobil yang lebih pendek (agar parkir di perkotaan menjadi lebih mudah), serta mobil yang jarang masuk ke bengkel untuk diperbaiki. Dan semua preferensi itu mampu diberikan oleh mobil-mobil Jepang yang walaupun membosankan tapi tetap bisa diandalkan. Disini jelas bahwa bukan kompetitor yang menjatuhkan para pembuat mobil Amerika, tetapi mengabaikan perubahan keinginan pelanggan (changing buyer’s need) yang menjadi penyebab utamanya. Kenyataan bahwa kompetitor dalam hal ini mampu mengisi perubahan preferensi pelanggan tersebut dengan menghasilkan mobil-mobil dengan harga lebih murah tapi juga tetap mengutamakan kualitas hanya menjadi faktor tambahan saja.
Dari contoh di atas terlihat bahwa baik Toyota maupun Honda lebih peka terhadap perubahan yang terjadi terhadap konsumen mereka, mengelolanya dengan baik sehingga keunggulan kompetitif mampu mereka dapatkan. Baik Toyota maupun Honda mampu menggunakan perubahan yang terjadi pada preferensi pelanggan menjadi peluang yang kemudian berujung pada keuntungan. Intinya, kegagalan bisnis jarang sekali disebabkan oleh direct competitor. Mengetahui lebih banyak tentang kompetitor dan juga langkah-langkah mereka, tetap merupakan hal yang penting untuk keberhasilan sebuah bisnis. Tetapi bukan menjadi satu-satunya faktor penentu. Yang harus diingat adalah bukan kompetitor yang membeli produk atau jasa, melainkan pelanggan. Jadi dari keseluruhan lingkungan kompetitif yang akan ditelaah oleh perusahaan, harus selalu berdasarkan pada faktor pelanggan.

Calof, Jonathan L & Wright, Sheila, Ibid. Hal
720.
Sharp, Seena, Ibid, hal. 17.
Sharp, Seena. Ibid, hal 15.
Sharp, Seena. Op.Cit, hal 42-55
Gilad, Benjamin, Strategy Without Intelligence, Intelligence Without Strategy,
Business Strategy series Vol.12 No.1 2011, pp.4-11, Emerald Group
Publishing Limited, ISSN 1751-5637. Hal. 5.




Terapi Warna dan Manfaatnya

Terapi Warna dan Manfaatnya

 

Belakangan ini ada yang berbeda di hampir semua toko buku di Indonesia, yaitu berderetnya koleksi buku mewarnai khusus orang dewasa. Berbeda dengan buku mewarnai anak-anak, buku mewarnai khusus dewasa ini memiliki gambar-gambar yang lebih rumit. Memang kegiatan mewarnai sekarang ini menjadi sebuah tren dan banyak digandrungi orang dewasa karena dipercaya mampu menyehatkan mental dan menghilangkan stres. Benarkah demikian?

 

Sebenarnya terapi mewarnai semacam ini bukan hal baru dan sudah ada sejak awal tahun 1900. Carl Jung, seorang perintis psikologi analitik, kerap menggunakan terapi relaksasi ini bukan hanya kepada para pasiennya saja tapi juga pada dirinya sendiri.[1] Begitu juga sekarang ini, Dr. Ben Michaelis, mengatakan bahwa mewarnai akan mengaktifkan bagian logis di otak dan mendorong pola pikir kreatif. Hal ini disebabkan karena aktivitas ini ada di amygdala atau bagian pusat otak yang mampu membuat otak seseorang berisirahat dan makin lama efeknya akan semakin menenangkan.[2] Selain itu menurut Marygrace Berberian, mewarnai memiliki efek terapeutik untuk mengurangi kecemasan, meningkatkan fokus, atau membuat seseorang menjadi lebih sadar. Mewarnai juga bisa meningkatkan keterampilan motorik dan penglihatan seseorang, karena menurut psikolog Gloria Martinez Ayala kegiatan ini melibatkan baik logika maupun kreativitas secara berbarengan.[3]

 

Kegiatan ini juga efektif buat orang-orang yang merasa tidak nyaman dalam mengekspresikan perasaannya. Tapi kegiatan mewarnai ini lebih cocok buat orang-orang yang mencari ketenangan bukan buat orang yang memiliki masalah mental yang berat.[4]

 

[1] http://www.huffingtonpost.com/ingrid-prueher/coloring-is-a-great-relax_b_8093328.html?

[2] http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/11/mewarnai-tren-baru-meredakan-stres/2

[3] http://www.bustle.com/articles/101264-7-reasons-adult-coloring-books-will-make-your-life-a-whole-lot-brighter

[4] http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/01/kegiatan-mewarnai-sehatkan-mental-orang-dewasa




Manfaatkan makanan sisa

Manfaatkan Makanan Sisa

Faktanya, sekitar sepertiga makanan di dunia terbuang. Menurut FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, manusia menyia-nyiakan makanan sebanyak 1,3 miliar ton per tahun di seluruh dunia. Sementara bencana kelaparan di berbagai belahan dunia jumlahnya mencapai angka yang fantastis yaitu sekitar 800 juta jiwa.[1]

 

Di lembah Salinas, California, setiap tahunnya para petani membuang ribuan ton sayuran segar yang dianggap tidak memenuhi standar supermarket. Ironisnya, jumlah itu bisa mencukupi kebutuhan pangan untuk dua miliar manusia.[2] Selain itu, di Huaral, Peru, sekitar 30 persen jeruk mandarin tidak memenuhi standar ekspor dan jika kita bicara dunia, 46 persen buah dan sayur tidak akan berpindah tangan dari pertanian ke meja makan kita.[3]

 

Membuang makanan bukan hanya bicara mengenai ironi, pemborosan dan pelanggaran moral tapi juga dampak buruknya terhadap lingkungan. Limbah makanan akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Di planet dengan sumber daya terbatas ditambah dengan ekspektasi tambahan penduduk sebanyak dua miliar pada 2050, pemborosan ini menurut Tristram Stuart dalam bukunya Waste: Uncovering the Global Food Scandal, sungguh tidak pantas.[4]

 

Seorang relawan di wilayah Picardy, Prancis , memungut 500 kilogram kentang yang dianggap terlalu kecil. Kentang-kentang ini akan disatukan dengan wortel dan sayur mayur yang tidak memenuhi standar pungutan relawan lain di Place de la Republique. Sebuah tempat dimana para relawan bekerjasama dengan kelompok Feedback, yang digawangi Tristram Stuart, memasak semuanya menjadi hidangan untuk 6.100 orang. Sampai sekarang Feedback sudah membuat lebih dari 30 perjamuan umum semacam ini yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan buruknya pembuangan makanan dan menginspirasi solusi lokal.[5]

 

Di Indonesia, gerakan semacam ini sepertinya belum ada. Namun kita bisa memulai dari diri kita sendiri misalnya dengan: membeli makanan segar di pasar petani lokal, membeli makanan yang harganya dipotong karena berpenampilan cacat, membawa sisa makanan kita di restoran, memanfaatkan makanan sisa di rumah dengan membekukan dan mengkalengkan makanan yang berlebih, atau bisa juga mengolah buah-buahan yang sudah kurang segar dengan blender untuk menjadi minuman, dan masih banyak lagi.[6]

 

 

 

 

[1] National Geographic, Maret 2016. Jangan Buang Makananmu, hal. 34

[2] National Geographic, Maret 2016. Jangan Buang Makananmu, hal. 29

[3] National Geographic, Maret 2016. Jangan Buang Makananmu, hal. 34

[4] National Geographic, Maret 2016. Jangan Buang Makananmu, hal. 34

[5] National Geographic, Maret 2016. Jangan Buang Makananmu, hal. 39

[6] National Geographic, Maret 2016. Jangan Buang Makananmu, hal. 50

 




Cyberlaundering

Kemajuan dan kecanggihan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang terjadi sekarang ini menimbulkan dinamika perputaran uang yang cepat dan mudah dalam dunia maya / cyber. Muncul uang dalam bentuk yang berbeda yaitu e-money, dalam bentuk simbol pada layar komputer, bekerja 24 jam sehari, dan dapat dipindahkan dari waktu ke waktu sehingga sulit dipantau dan dilacak oleh penegak hukum. Uang tidak lagi terlihat dalam bentuk fisik, tidak dapat diraba, tetapi dapat dilihat dalam bentuk data. Penggunaan teknologi dalam dunia maya oleh para pelaku pencucian uang inilah yang kemudian memunculkan fenomena cyberlaundering (pencucian uang melalui dunia maya).[1]

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai Cyberlaundering maka akan dibahas dulu istilah Pencucian Uang atau Money Laundering. Definisi Pencucian Uang (Money Laundering) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia.[2]

Money Laundering berkaitan dengan tindak pidana asal, seperti korupsi, penyelundupan, illegal logging, penyuapan, narkotika, terorisme, penculikan, perdagangan senjata gelap, perjudian, prostitusi, dan lain sebagainya. Modus yang digunakan adalah dengan mengintegrasikan harta kekayaan dari hasil kejahatan asal ke dalam sistem perbankan dengan kepentingan mengaburkan asal-usul harta tersebut sehingga akhirnya dapat dikeluarkan secara sah. Proses Pencucian Uang ada tiga, yaitu:

  1. Placement: Penempatan uang hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan.
  2. Layering: Memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan (audit trail) asal usul dana.
  3. Integration: Mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman.

Dalam hal ini perbankan merupakan salah satu Penyedia Jasa Keuangan yang menyimpan dan menyalurkan uang yang berasal dari negara maupun masyarakat. Tetapi lembaga perbankan ini juga seringkali dijadikan sarana untuk menyimpan harta yang berasal dari tindak pidana. Targetnya adalah negara-negara yang mempunyai ketentuan yang longgar dalam bidang perbankan, atau yang masih menjunjung tinggi prinsip rahasia bank. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pencuci uang untuk menyamarkan uang dari hasil kejahatan mereka.

Selain Bank, Penyedia Jasa Keuangan yang lain adalah: Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Pialang Asuransi, Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Perusahaan Efek, Manajer Investasi, Kustodian, Wali Amanat, Perposan sebagai Penyedia Jasa Giro, Pedagang Valuta Asing, Penyelenggara Akat Pembayaran Menggunakan Kartu, Penyelenggara e-money atau e-wallet, Koperasi yang melakukan simpan pinjam, Pegadaian, Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

Tindakan Pencucian Uang atau Money Laundering yang dilakukan di dunia maya / cyber dengan menggunakan Internet disebut sebagai Cyberlaundering. Seiring dengan maraknya e-commerce melalui internet, kegiatan cyberlaundering menjadi semakin terbuka. Risiko yang terjadi adalah kemungkinan pengiriman dana (cyberpayment) dari pihak ketiga yang tidak dikenal dan selanjutnya dana tersebut ditransfer dari satu kartu ke kartu lainnya, yang dikenal dengan e-money.[3] Pengertian Electronic Money atau e-money didefinisikan sebagai “stored-value or prepaid products in which a record of the funds or value available to a consumer is stored on an electronic device in the consumer’s possession” (produk stored-value atau prepaid dimana sejumlah nilai uang disimpan dalam suatu media elektronis yang dimiliki seseorang).[4]

He Ping dalam Journal of Money Laundering Control, Vol. 8, No. 1, (2004), yang berjudul: “New Trends in Money Laundering – From the Real World to Cyberspace”, mengemukakan bahwa kelebihan e-money jika dibandingkan dengan uang tradisional, adalah sebagai berikut:

  1. Menggunakan sebuah kartu atau alat yang dapat menyimpan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga tidak memerlukan tempat atau container yang besar untuk membawanya;
  2. Mudah ditransfer kapan dan dimana saja dengan bantuan internet; dan
  3. Lebih sulit dilacak karena tidak memiliki nomor seri. Selain itu, teknologi penyandian dalam proses transfer secara e-money semakin mempersulit untuk mengetahui asal-usulnya.

Dengan 3 (tiga) kelebihan tersebut, banyak pelaku pencucian uang yang berpindah ke fasilitas ini. Mereka dapat memindahkan uang hasil kejahatan itu kapan dan kemana saja karena e-money tidak membutuhkan lembaga perantara. Kondisi ini menyebabkan transaksi yang menggunakan e-money sulit dilacak karena tidak ada rekam jejak. Di samping itu, karena e-money memang didesain untuk memfasilitasi transaksi internasional, transaksi tersedia dalam beragam mata uang sehingga memudahkan oknum pencuci uang melakukan kejahatannya dari satu negara ke negara lain.

Dengan adanya Internet ternyata justru memberikan akses yang lebih mudah bagi para pelaku kejahatan pencucian uang. Untuk bisa mencegah dan memberantas pencucian uang melalui Internet, bukan hanya dibutuhkan para penegak hukum yang lebih jeli dalam melakukan penyidikan tetapi juga dasar hukum yang jelas mengenai kejahatan di dunia maya (Cyber Law).

 

[1] Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal). Diakses dari: http://korup5170.wordpress.com/opiniartikel-pakar-hukum/anti-pencucian-uang-di-indonesia-dan-kelemahan-dalam-implementasinya-suatu-tinjauan-awal/

[2] Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan,. Edisi Pertama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) , (Jakarta: 2003). Hal: 2.

 

[3] Edi Nasution, Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan. Hal 10

[4] Siti Hidayati, Ida Nuryanti, Agus Firmansyah, Aulia Fadly, Isnu Yuwana Darmawan, Kajian Operasional E-Money, Bank Indonesia, Oktober, 2006. Hal: 4.