Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme:Bagian III

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad dua puluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad dua puluh satu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme. Konsekuensi-konsekuensi tersebut telah dikemukakan pada Bagian I ketika dibahas konsekuensi yang pertama.

Pada Bagian III ini akan dibahas tentang konsekuensi buruk ketiga. Dikemukakan bahwasannya pengacuan pada ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan wibawa–dengan konsekuensi, disorientasi–nilai-nilai moral dan religius (Sugiharto, 1996).

Tulisan ini membahas hal tersebut dengan pertama-tama mendiskusikan kemerosotan dan disorientasi nilai-nilai moral dan religius secara umum sebagai akibat dari penempatan ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi. Selanjutnya diulas beberapa isu yang menunjukkan adanya dampak negatif dari cara pandang modernisme tersebut dan jalan keluar yang berkembang di dunia bisnis. Pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif yang diwariskan oleh modernisme telah lama disadari dan berangsur-angsur digantikan dengan sistem berpikir yang lebih maju. Meskipun begitu, upaya-upaya untuk membebaskan sistem-sistem sosial dari kungkungan pemikiran modernisme dan selanjutnya upaya menciptakan sistem-sitem sosial yang sehat dan berkelanjutan bukanlah perkara mudah. Letting go is hard to do.

Penempatan ilmu-ilmu postif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan nilai-nilai moral dan religius dalam dua hal yang akan didiskusikan di sini. Pertama, nilai-nilai moral direduksi menjadi parameter-parameter terukur sehingga membuat kehidupan menjadi monoton dan tanpa makna. Charles Handy mengulasnya di dalam bukunya The Hungry Spirit. Sebagai contoh, tindakan memberikan pertolongan kepada kaum miskin hanya dapat dikatakan berhasil jika ada peningkatan pada indikator-indikator ekonomi yang bersifat kasat mata, seperti peningkatan pendapatan. kebahagiaan dari mereka yang ditolong tidak dipandang penting sehingga pemberian bantuan serig disertai dengan rekayasa-relaya sosial yang tidak jarang justru merusak citra kemanusiaan pada kelompok yang dibantu.

Manusia moderen pada akhirnya mengalami peningkatan kemakmuran tetapi mengalami kekeringan spiritual. Perhatian di antara sesama ditunjukkan melalui benda-benda yang bersifat empiris. Sarana-sarana telekomunikasi, seperti media sosial yang dihasilkan oleh inovasi-inovasi dari ilmu-ilmu positif menujukkan modernitas. Namun ada kalanya sarana-sarana ini digunakan tanpa pertimbangan moral. Akibatnya, media sosial justru dapat menjadi sarana penyebar-luasan semangat negatif yang meracuni kehidupan bersama.

Kedua, penelitian-penelitian eksperimen ada kalanya tidak mempedulikan nilai-nilai moral. Penggunaan hewan sebagai obyek eksperimen sering dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan untuk menghargai keutuhan ciptaan. Semakin banyak juga penggunaan manusia untuk penelitian eksperimen dengan konsekuensi pada pelanggaran nilai-nilai etika dan moral.

Ketiga, empirisisme membawa manusia menyangsikan kemahakuasaan dan keterlibatan Tuhan dalam sejarah manusia. Peryataan yang melawan akal sehat yang dilontarkan astronot “Tuhan tidak ditemukan di luar angkasa” merupakan cerminan pola pikir empiris-positivis-obyektif. Penekanan pada fakta kasat mata membuat manusia tidak dapat menangkap kenyataan adanya kekuatan maha besar yang ada di balik dari semua perisiwa.

Keempat, wibawa otoritas keagamaan sering diukur dari hal-hal fisik dan lahiriah. Maka kedalam hidup spiritual ecnderung menjadi dangkal dan dikembangkan melalui jalan pintas. Kualitas dapat dikalahkan oleh kuantitas. Bentuk lebih diutamakan dari isi.

Peralihan zaman menunjukkan adanya kesadaran baru tentang pentingnya nilai-nilai intrinsik dan nilai-nilai transendental. Kehidupan manusia belakangan ini kembali mencari makna hidup yang lebih jauh dari sekadar ukuran-ukuran fisik dan jangka pendek. Kehidupan semakin diorientasikan pada kontribusi positif pada kemanusiaan dan planet  bumi. Banyak perusahaan mengembangkan program-program triple P secara terpadu: Profit, People, Planet.

Secara umum. pembangunan diyakini sebagai jalan pembebasan, Development as Freedom (Amartya Sen). Dalam konteks ini, pembangunan menekankan keadilan dan demokrasi. Hak setiap orang dihargai karena kemanusiaan, bukan karena kepemilikan. Posmodernisme menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan nilai-nilai spiritual dan keabadian pada dasarnya imanen, menyatu meskipun dapat dibedakan. Alam makrokosmos ditemukan dan direfleksikan di dalam kehidupan mikrokosmos. dan di dalam alam makrokosmos ditemukan kolase mikrokosmos-mikrokosmos.

Demikianlah penekanan yang berlebihan atas kebenaran tunggal dari ilmu-ilmu positif dalam modernisme kini telah ditinggalkan dan digantikan dengan kebenaran-kebenaran yang jamak sebagaimana diklaim oleh posmodernisme. Nilai-nilai moral dan etika menjadi panduan yang semakin penting bagi pencapaian kehidupan yang bermakna. Dunia bisnis semakin menunjukkan wajah manusiawi karena kerja telah menyatu dengan ibadah. Peradaban umat manusia mengalami peningkatan karena tantangan modernisme dapat dilampaui dengan cerdas.

 




Mengembangkan Personal Mastery Sebagai Landasan Spiritual Learning Organization

Pendahuluan

Organisasi merupakan temuan manusia yang monumental. Hingga saat ini, keluarga sebagai organisasi paling tua di sektor kebudayaan telah menjadi basis yang tidak tergantikan di dalam hal kultivasi kehidupan dan kebudayaan umat manusia. Perusahaan-perusahaan bisnis dalam segala ukurannya telah mendorong berkembangnya perekonomian di seluruh dunia sejak kaum Quakers mempraktekkannya atau bahkan lebih tua dari itu hingga dewasa ini. Organisasi-organisasi politik-pemerintahan dalam segala bentuk dan ragamnya memainkan peranan yang sangat nyata bagi pengaturan kehidupan publik.

Organisasi boleh dibilang begitu pervasif dalam kehidupan manusia. Karya-karya besar sulit dibayangkan terlaksana tanpa organisasi dan pengorganisasian yang hebat. Bagi manusia moderen, apakah ada ruang kehidupannya yang tidak diisi dengan mengandalkan dukungan dari organisasi-organisasi? Jika dihitung-hitung sejak awal hingga penghujung hari, manakah kebutuhan manusia moderen yang tidak bergayutan dengan produk-produk atau jasa-jasa dari organisasi-organisasi? Sejak awal kehidupan hingga akhir hayat, jarang didapati ada ruang-ruang yang sungguh-sungguh bebas dari kehadiran organisasi-organisasi, entah secara langsung dan disadari maupun secara tidak langsung dan tidak disadari.

Organisasi-organisasi menentukan perkembangan peradaban umat manusia: semakin maju dan berkembang secara positif, stagnan, atau mundur dan membuat manusia terancam mengalami degradasi bahkan kehancuran. Perusahaan-perusahaan kecil dapat dibawanya bertumbuh menjadi raksasa-raksasa bisnis, tetapi dapat juga dibuatnya lenyap tanpa bekas secara mendadak. Lembaga-lembaga pendidikan yang diorganisasikan dengan baik telah menyediakan tempat pembelajaran yang mampu mengembangkan dan mendiseminsasikan ilmu pengetahuan bagi perkembangan peserta pembelajaran dan masyarakat secara keseluruhan. Sejumlah negara bertumbuh semakin makmur dan sejahtera lantaran organisasi dan pengorganisasian pemerintahannya cerdas dan selaras dengan spirit kehidupan sesuai dengan peerkembangan zamannya. Sebaliknya, negara-negara atau pemerintahan-pemerintahan duniawi tertentu di masa lampau menjadi lenyap juga karena organisasi dan pengorganisasiannya bermasalah. Keluarga-keluarga dapat menjadi tenpat persemaian kehidupan yang penuh kebahagiaan dan damai di kala pengorganisasiannya memadai dan sebaliknya menjadi sarana kehancuran mental-fisik-spiritual ketika penataannya tidak peduli dengan azas pro-life. Dunia di era globalisasi dapat dijadikan suatu desa kecil penuh harmoni, tetapi dapat juga dijadikan lautan api yang menyiksa jiwa-jiwa dari para penghuni planet bumi. Perang besar atau damai yang berdimensi luas senantiasa melibatkan organisasi dan pengorganisasian.

Mengakhiri abad keduapuluh dan memasuki abad keduapuluh satu, organisasi-organisasi dan pengorganisasian di abad keduapuluh tidak lagi memadai. Para ahli menggagas berbagai alternatif organisasi atau pengorganisasian. Semuanya pada akhirnya bermuara pada organisasi pembelajar (learning organization), yang terutama dipopulerkan oleh Peter M. Senge (1990), melalui karyanya The Fifth Discipline.

Learning organization (LO) mencerminkan organisasi dan pengorganisasian yang paling mampu menjawab kebutuhan masyarakat pengetahuan (knowledge society) seperti yang dialami saat ini. Kehidupan yang bergerak maju karena informasi dan pengetahuan sebagai modal utamanya menuntut suatu organisasi yang lebih cerdas di dalam memudahkan pengembangan, perolehan, distribusi, dan pendayagunaan pengetahuan secara unggul.

Bagi Senge (1990:14), LO merupakan “… suatu organisasi yang mampu secara terus-menerus memperluas kapasitasnya untuk menciptakan masa depannya.” Dikatakannya bahwa melalui pembelajaran, anggota-anggotanya dapat menciptakan kembali dirinya secara terus-menerus. Dengan begitu, LO mampu melakukan pembaharuan internal terus-menerus sehingga tercipta inovasi-inovasi yang memungkinkan disediakannya tanggapan-tanggapan yang paling tepat bagi masyarakat. Penggambaran seperti ini jauh mengatasi dengan tepat kelemahan-kelemahan yang ada pada organisasi birokratis  yang pernah berjaya di abad keduapuluh.

Peter M. Senge (1990) mengemukakan lima disiplin yang terpadu dari sebuah LO. Disiplin-disiplin itu terdiri dari personal mastery, model mental (mental models), pembelajaran tim (team learning), visi bersama (shared vision), dan berpikir kesisteman (sytems thinking). Disiplin di dalam hal ini dimaksudkan sebuah tingkat profesiensi tertentu. Disiplin-disiplin ini memerlukan pengembangan terus-menerus.

Tulisan ini berisi uraian tentang personal mastery. Pertama-tama akan disinggung kembali tentang apa yang dimaksdukan dengan personal mastery (PM). Selanjutnya akan diuraikan beberapa cara yang perlu dilakukan untuk mengembangkan PM secara berkelanjutan. Pada bagian akhir, akan dikemukakan beberapa implikasi bagi organisasi, dalam hal ini bagi para manajer guna mendukung perkembangan PM dari orang-orang yang terlibat.

Apa sesungguhnya Personal Mastery?

Senge (1990:126) memaksudkan personal mastery sebagai disiplin pertumbuhan dan pembelajaran pribadi. Dijelaskannya bahwa orang-orang yang memiliki tingkat PM yang tinggi sangat diperlukan bagi pembelajaran organisasi (organizational learning, OL).  Pernyataannya menarik untuk disimak. “… People with high levels of personal mastery are continually expanding their ability to create the results in life they truly seek. From their quest for continual learning comes the spirit of the learning organization.” (Senge, 1990:126).

Menegaskan pandangannya di atas, PM diyakninya sebagai sebuah landasan esensial bagi LO, bahkan dikatakan sebagai fondasi spiritual bagi LO (Senge, 1990:412). Dalam konteks ini, PM merupakan sebuah disiplin yang ditandai oleh upaya terus-menerus yang dilakukan untuk memperjelas dan memperdalam visi pribadi, memusatkan energi, mengembangkan kesabaran, dan memahami realitas dengan obyektif (Senge, 1990:142).

Menurut Senge (1990:412). ada dua gerakan di dalam diri yang akan terjadi ketika PM telah menjadi sebuah kemampuan yang tinggi. Pertama, orang akan senantiasa tergerak untuk mencari tahu apa yang hal terpenting dalam hidup seseorang dan memusatkan perhatian atau seluruh hidup untuk hal tersebut. Visi pribadi yang luhur perlu dibangun dengan sebaik-baiknya.  Kedua, orang dengan PM yang telah menyatu di dalam diri akan senantiasa berupaya untuk untuk melihat kenyataan yang ada saat ini dengan lebih jernih. Hal ini penting agar kita dapat terhindar dari kepuasan semu dan kelambanan di dalam menyadari masalah-masalah yang dapat menghambat pencapaian visi pribadi yang luhur.

Ketika terjadi kesenjangan di antara apa yang ideal, yaitu visi pribadi yang luhur dan kenyataan saat ini terjadilah situasi “tegangan kreatif” (“creative tension”). Kesenjangan ini semestinya menjadi sumber motivasi untuk pembelajaran. Kondisi yang ada perlu diubah agar semakin mendekati visi pribadi. Perubahan yang nyata bagi organisasi dapat dihasilkan ketika keinginan yang kuat untuk berubah timbul dari dalam hati dan pikiran yang jernih dari setiap pribadi yang bergabung di dalam organisasi.

Orang-orang yang memiliki PM yang tinggi tidak akan pernah berhenti belajar. Mereka tidak pernah merasa telah tuntas dalam menguasai sesuatu ketrampilan. Mereka bagaikan orang-orang yang sedang di dalam perjalanan atau pencaharian tanpa henti menuju tujuan hidup yang bermutu tinggi.

Beberapa ciri pokok dari orang-orang  yang memiliki PM tinggi di antaranya adalah adanya perasaan terpanggil untuk mengerjakan sesuatu hal penting yang dicerminkan oleh visi pribadinya; mau menerima kenyataan yang ada dan berusaha memperbaikinya terus-menerus; memiliki keinginan yang kuat untuk mencari tahu tentang keadaan yang ada dan cara-cara untuk memperbaikinya secara mendasar; merasakan satu kesatuan dengan orang-orang lain dan kehidupan itu sendiri tanpa kehilangan keyakinan diri atas keunikan dirinya; menempatkan diri sebagai bagian dari proses kreatif yang luas dan tidak dapat mengendalikannya secara sepihak (Senge, 1990:412).

Karakter orang-orang dengan PM yang tinggi menunjukkan ciri pembelajar seumur hidup. Kehidupan yang lebih baik menuntut inisiatif, ketekunan, dan kesediaan untuk melewati kesulitan-kesulitan di dalam mengusahakan perubahan. Di sisi lain diperlukan juga kemampuan untuk kemampuan untuk menghadapi ketidak-pastian di masa depan. Perubahan organisasi sering melibatkan pertimbangan mengenai kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak yang ada kalanya bertolak belakang dan memerlukan sinkronisasi  yang tidak mudah. Semuanya ini relevan dengan situasi dunia saat ini yang lebih cednderung pada kondisi kompleksitas dinamis (dynamic complexity), terutama karena dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan teknologi.

Gambaran di atas menunjukkan adanya kemampuan untuk pembelajaran seumur hidup yang mengintegrasikan pembelajaran dalam konteks kecerdasan inetektual, emosional, spiritual. Adversity quotient dan kemampuan untuk memahami bekerjanya kekuasaan dan seni penggunaan politik organisasi untuk kebaikan umum pun tidak dapat diabaikan.

Bagaimana Mengembangkan Personal Mastery?

Peter M. Senge (1990) mengemukakan beberapa prinsip dan praktik yang dapat digunakan untuk mengembangkan PM. Pertama, perlu dikembangkan sebuah visi pribadi yang jelas dan menantang. Visi ini perlu dikembangkan berdasarkan misi (purpose) yang luhur. Untuk membedakan keduanya, Senge menjelaskan,

… Purpose is similar to a direc tion, a general heading. Vision is a specific destination, a picture of a
desired future. Purpose is abstract. Vision is concrete. Purpose is “advancing man’s capability to explore the heavens.” Vision is “a man on the moon by the end of the 1960s.” Purpose is “being the best I can be,” “excellence.” Vision is breaking four minutes in the mile.”(Senge, 1990:412).

Kedua, kemampuan untuk mengelola tegangan kreatif perlu ditingkatkan terus-menerus. Ketika keadaan yang ada jauh lebih rendah dari visi yang dicanangkan, orang dapat memilih untuk mengubah keadaan agar semakin menuju kondisi yang ditargetkan pada visi atau sebaliknya menurunkan visi. Pembelajaran berkembangan dengan baik pada pilihan yang pertama. Dorongan untuk menekan kesenjangan terjadi karena manusia menginginkan kondisi yang nyaman. Di sini dibutuhkan kemampuan untuk bertekun dan menunggu sampai tindakan-tindakan yang diambil memberikan hasil positif.

Ketiga, perlu dikembangkan kemampuan untuk menangani “konflik struktural” di dalam diri sendiri. Konflik ini terjadi karena di satu sisi kita berkomitmen tinggi terhadap sebuah visi yang ideal, luhur, dan mampu membawa kita kepada jati diri yang sempurna. Namun di sisi yang lain, muncul bisikan dari dalam batin kita sendiri yang menyebabkan  keragu-raguan  untuk mewujudkan visi tersebut. Sistem pendidikan kita sejak kecil tidak jarang menekankan ketidakberdayaan (powerlessness) kita untuk mencapai hal-hal besar. Juga sering ditanamkan dalam diri kita tentang  ketidak-layakan (unworthiness) kita untuk meraih visi yang besar.  Ibarat putri duyung mendamba, kita boleh saja memiliki cita-cita luhur untuk memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar dan kehidupan tetapi suara batin kita menahan laju kita dari dalam. Diperlukan suatu upaya resolusi konflik struktural. Pemeriksaan yang cermat dapat menunjukkan mengapa kedua hal ini terjadi. Selanjutnya diperlukan suatu penyeimbangan agar beban-beban yang dialami dapat dilepaskan dan kita memasuki tingkatan baru dan merasa layak dan mampu untuk mewujudkan visi dalam kesatuan yang harmonis dengan lingkungan. Melalui latihan-latihan terus-menerus, keyakinan diri akan semakin bertumbuh dan sebaliknya ketakutan semakin dapat ditekan. sebagaimana diketahui umum, ketakutan adalah musuh utama bagi perubahan.

Keempat, perlu dikembangkan komitmen terhadap kebenaran secara terus-menerus. Upaya-upaya untuk memperbaiki pemahaman kita mengenai berbagai peristiwa sangat diperlukan agar kita dapat menemukan solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan. Teori-teori yang kita anut perlu dikritisi dengan menilai daya tahannya di dalam menjelaskan situasi-situasi yang terjadi berdasarkan fakta. Dinamika yang kompleks memerlukan fleksibilitas di dalam penerapan teori-teori. Sulit ditemukan satu-satunya teori yang mampu menjawab semua permasalahan secara tuntas. Kemampuan berpikir kritis-konstruktif dapat membantu kita untuk memastikan kebenaran yang dapat diterima dan dijadikan acuan di dalam menetapkan langkah untuk mewujudkan visi pribadi yang telah disusun.

Kelima, alam bawah sadar penting untuk dikenali dan didayagunakan secara optimal. Konon alam bawah sadar manusia itu seperti samudra raya dengan kekuatan yang dahsyat. Berhubung alam bawah sadar tidak memiliki tujuan sendiri, maka kekuatan ini hanya bisa dimanfaatkan jika tersambung dengan alam sadar manusia. Kegiatan-kegiatan menyepi dan bersemedi yang berkembang pada masa lalu mungkin memiliki relevansi dengan upaya peningkatan kapasitas diri ini: Pemeriksaan yang cermat atas alam bawah sadar dan pengintegrasiannya dengan alam sadar. Ketika kemampuan ini dimanfaatkan untuk mencapai visi dan misi dapat disediakan energi yang cukup untuk mencapai hasil yang optimal dengan mengatasi hambatan-hambatan yang ditemui. Per ardua ad astra!

Terakhir, PM perlu diintegrasikan dengan kamampuan berpikir kesisteman (ST). Kemampuan untuk melakukan pembelajaran terus-menerus dapat dipertahankan melalui perpaduan antara akal dan intuisi, senantiasa melihat keterkaitan diri kita dengan lingkungan yang lebih luas (dunia), pengembangan kepedulian (compassion), dan perhatian yang besar terhadap keseluruhan. Dengan cara ini, pencapaian visi pribadi memiliki makna karena adanya dampak positif yang dapat diberikan kepada sesama dan lingkungan yang lebih luas. Kesabaran, ketekunan, dan rasa syukur yang sehat juga dapat diperoleh dengan memahami bahwa tindakan-tindakan individual dapat memiliki rangkaian yang panjang agar tiba pada hasil yang nyata. Di sisi lain, perkembangan ini memberikan harapan untuk bertindak karena keyakinan bahwa setiap tindakan lokal yang positif dapat berdampak global. Oleh karena itu, masing-masing individu akan semakin terdorong untuk mengambil tanggung jawab penuh atas bagiannya masing-masing meskipun kelihatannya sederhana karena pengetahuan akan dampak luas yang akan dihasilkan pada seluruh sistem. So, think globabally, act locally!

Penutup: Implikasi Manajerial 

Para pemimpin, khususnya yang mengampu jabatan manajerial dapat menempuh dua hal untuk mendukung perkembangan PM dari para karyawan atau anggota. Pertama, perlu dikembangkan budaya organisasi yang menghargai komitmen pada peningkatan PM secara terus-menerus. Hal ini dapat diwujudkan melalui sistem pengakuan, pelatihan, dan kesejahteraan yang diberikan kepada karyawan. Perusahaan-perusahaan tertentu mulai memberlakukan pemanfaatan istirahat siang untuk saat-saat teduh atau menyediakan sesi-sesi retret, refleksi, atau cuti untuk kegiatan religius–seperti ibadah ke tanah suci dan sebagainya.

Kedua, dapat dikembangkan pendekatan pembelajaran berdasarkan model (vicarious learning). Kearifan-kearifan lokal atau tokoh-tokoh ideal dalam perkembangan PM dapat dijadikan contoh bagi para karyawan. Para pemimpin seyogyanya menjadi contoh atau model dengan pertama-tama menjadi orang yang berkomitmen pada upaya untuk memajukan PM-nya sendiri. Pengalaman-pengalaman pribadi mereka dapat dibagikan kepada para karyawan sehingga tercipta pembelajaran kelompok dalam disiplin PM. Action speaks louder than words.

Harapan saya, uraian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Tidak ada jalan tunggal menuju kematangan pribadi, tetapi sharingini dapat berguna karena setiap pribadi memiliki tanggung jawab atas upaya menyempurnakan dirinya sendiri terus-menerus menuju tingkatan yang paling ideal. Dengan gerakan ini, niscaya semua organisasi ciptaan manusia dapat berkembang menjadi organisasi-organisasi pembelajar yang unggul. Semoga.

 

 

 




Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme: Bagian II

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad dua puluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad dua puluh satu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme. Konsekuensi-konsekuensi tersebut telah dikemukakan pada Bagian I ketika dibahas konsekuensi yang pertama.

Pada Bagian II ini akan dibahas tentang konsekuensi buruk kedua. Dikemukakan bahwasannya pandangan modernisme yang bersifat obyektivistik dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat sebagai obyek dan dapat direkayasa layaknya mesin (Sugiharto, 1996).

Tulisan ini mendiskusikan pandangan kedua dengan penjelasan-penjelasan yang mendukung adanya kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan bisnis dewasa ini. Perhatian akan diarahkan pada dua bidang, yaitu dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial di dalam masyarakat maupun di dalam perusahaan sebagai sistem sosial. Dikemukakan juga pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif tersebut dan adanya pengembangan kapabilitas kolektif yang menunjukkan perubahan mendasar. Dengan begitu dapat ditunjukkan peralihan yang cerdas dari modernisme ke posmodernisme.

Paradigma positivisme yang berakar pada ilmu-ilmu alam menghasilkan kemajuan sains yang luar biasa pada abad dua puluh. Kemajuan ilmu pengetahuan (sains) membawa banyak kemajuan di berbagai bidang ilmu.

Ilmu-ilmu sosial pun mengadopsi pendekatan ilmu-ilmu alam. Dalam ranah ini, sofistikasi ilmu-ilmu sosial ditunjukkan melalui kemampuan untuk menemukan kebenaran obyektif yang bersifat tunggal, stabil atau tahan uji sepanjang waktu, serta berlaku universal. Prosedur-prosedur statistik atau kuantifikasi yang ketat dijalankan. Ekonometrika berkembang di bidang ilmu ekonomi hingga pada tingkat yang menunjukkan persimpangan yang memisahkan ilmu ekonomi dari ilmu sosial. Psikometri menjadi andalan keilmiahan di bidang psikologi dan sosiometri di dalam kajian-kajian sosiologi. Di bidang manajemen, berkembang scientific management. Semuanya ini tentu saja membawa perkembangan penting bagi ilmu-ilmu sosial.

Tokoh-tokoh penting terdiri dari Aristoteles (penalaran deductif); Descartes (realisme); Galileo (metode saintifik); Auguste Comte (positivisme); Vienna Circle (positivisme logis); Francis Bacon (penalaran induktif); Karl Popper (postpositivist) (Mack, 2010:6).

Menurut Snape & Spencer (dalam Richie & Lewis, 2003:16) pandangan-pandangan positivisme mencakup hal-hal berikut. Pertama, dunia pada dasarnya tidak tergantung pada dan juga tidak dipengaruhi oleh peneliti. Kedua, fakta-fakta dan nilai-nilai merupakan dua hal yang terpisah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian yang obyektif dan bebas-nilai. Ketiga, observasi merupakan wasit terakhir ketika terjadi perselisihan. Keempat, metode-metode ilmu alam (misalnya, pengujian hipotesis, penjelasan eksplanatif dan pemodelan) tepat untuk fenomena sosial karena perilaku manusia tunduk pada hukum-hukum keteraturan tertentu.

Pandangan-pandangan tadi ditopang oleh asumsi ontologis dan asumsi epistemologis dari positivisme. Dalam hal ontologi, positivisme menganut paham realisme, sedangkan di dalam hal epistemologi, positivisme meyakini   objektivisme (Scotland, 2012). Paradigma saintifik yang disebut Comte sebagai positivisme ini menunjukkan suatu pendirian bahwa realitas pada dasarnya bersifat apa adanya dan tidak dimediasi oleh pancaindera kita. Observasi tepat untuk dilakukan agar dapat dketahui makna yang terkandung di dalam realitas.  Pengetahuan yang dapat ditemukan (discoverable knowledge)  bersifat universal, yakni bersifat mutlak, bebas nilai, dan stabil sepanjang waktu.

Konsekuensi dari pendirian positivisme mendorong adanya penyelidikan-penyelidikan ilmiah untuk menyingkap hukum-hukum universal pada alam dan manusia dengan cara menempatkan keduanya sebagai obyek yang harus tunduk pada perlakuan-perlakuan yang diberikan. Demi obyektivitas, peneliti harus bertindak sebagai orang luar dan tidak melibatkan diri dengan pengalaman orang-orang yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian yang diklaim obyektif dilakukanlah rekayasa sosial menuju kondisi yang diprediksi dapat terjadi berdasarkan kajian ilmiah.

Keyakinan akan adanya satu-satunya kebenaran tunggal yang bersifat mutlak sudah disadari hanya akan menimbulkan hasil akhir berupa dominasi-marjinalisasi pihak yang satu terhadap pihak yang lain.  Konflik-konflik besar sampai dengan peperangan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang tentang kebenaran monolitik. Konflik-konflik yang berakhir dengan penghancuran yang satu terhadap yang lain tidak jarang dapat dibuktikan adanya cara pandang yag meyakini adanya kebenaran final yang hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Hal ini ada kalanya terjadi juga di dalam perusahaan. Masing-masing pihak berpandangan sebagai pemegang kebenaran sendiri sedangkan pihak lainnya salah sama sekali.

Penerapan model-model pembangunan negara-negara maju ke negara-negara berkembang begitu saja pernah dilakukan berdasarkan konsepsi postivisme. Kenyataannya, negara-negara sedang berkembang gagal memasuki tahapan tinggal landas berdasarkan program-program yang dikembangkan berdasarkan pengalaman-pengalam negara-negara maju telah gagal total.

Pada level perusahaan, pengelolaan dan tata kelola bisnis memang banyak mengambil inspirasi dari praktek-praktek bisnis dari negara-negara lain, tetapi tidak ada jaminan keberhasilan tanpa adanya adaptasi lokal. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang berada di dalam industri yang sama dituntut untuk menemukan kunci suksesnya masing-masing. Artinya, modernisme dengan paradigma positivismenya semakin surut penarapannya.

Peralihan dari positivisme sudah sepantasnya terjadi karena ada keyakinan yang lebi hunggul, yakni bahwasannya kenyataan-kenyataan sosial senantiasa unik dan kontekstual. Semua fenomena sosial maupun fenomena alam yang bersifat sosial selalu memiliki makna yang ditentukan oleh orang-orang yang ada di dalam masyarakat atau komunitas.  Oleh karena itu, pengetahuan tentang masyarakat atau komunitas sesungguhnya merupakan suatu pencaharian melibatkan suatu  sebuah analisis tentang realitas sebagai konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991).

Paradigma interpretivisme dan paradigma kritikal menawarkan cara pandang baru tentang alam dan realita sosial. Kedua paradigma ini  memiliki asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis yang yang bertentangan dengan asumsi-asumsi positivisme.

Dari sisi ontologi, interpretivisme memiliki keyakinan-keyakinan sebagai berikut. Pertama, realitas dikonstruksi secara tidak langsung melalui interpretasi individual dan pada dasarnya bersifat subyektif.  Kedua, masyarakat memiliki maknanya sendiri mengenai realitas. Ketiga, peristiwa-peristiwa bersifat distingtif dan tidak dapat digeneralisasi. Keempat, terdapat sudut pandang yang jamak mengenao setiap persitiwa. Terakhir, hubungan-hubungan di dalam ilmu sosial ditentukan berdasarkan makna dan simbol yang mengandung makna tertentu (Mack, 2010).

Asumsi-asumsi epistemologis yang dikemukan oleh paradigma interpretivisme menantang asumsi-asumsi positivisme juga. Menurut paham ini, pengetahuan mestinya diperoleh melalui sebuah strategi yang menghargai perbedaan-perbedaan  di antara orang-orang dan juga di antara obyek-obyek alam. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar ditemukan makna subyektif yang ada pada mereka yang terlibat di dalam peristiwa tertentu.  Pengetahuan dikembangkan secara induktif untuk menemukan teori, dibangn berdasarkan situasi yang spesifik, bukan berdasarkan reduksi yang simplistik. Pengetahuan semacam ini diperoleh berdasarkan pengalam personal. (Mack, 2010).

Paham interpretivisme semakin berkembang berkat kontribusi beberapa tokoh penting. Beberapa di antaranya (Mack, 2010) adalah   Edmund Husserl, Arthur Schultz (fenomenologi); Wilhelm Dilthey, Han-Georg Gadamer (hermenetik); Herbert Blumer (symbolic interaction); serta Harold Garfinkel (etnometodologi).

Lebih jauh dari itu, paradigma kritis–termasuk di dalamnya, posmodernisme–memandang penting dilakukannya penerapan cara pikir dan perilaku yang  emansipatif dan egalitarian. Pengetahuan senantiasa perlu ditinjau secara kritis karena senantia bersifat politis, diskursif, dan melibatkan kekuasan. Pengakuan atas kebenaran yang jamak dan melibatkan kepentingan-kepentingan yang dapat bertentangan mendorong upaya bersama untuk menemukan posisi yang lebih tinggi yang mampu membingkai semua kebenaran laksana prisma. Ada kalanya diperlukan dekonstruksi kreatif atas metanarasi sehingga kebenaran-kebenaran dapat muncul ke permukaan dan ditemukan pemahaman yang lebih holistik.

Pemikiran-pemikiran kritis disumbangkan oleh banyak tokoh. Di antaranya (Mack 2010) adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Erich Fromm (Frankfurt School dan Teori-teori kritis 1930-an); Karl Appel dan Jurgen Habermas (Teori-teori kritis 1970-an); Paulo Freire (critical pedagogy); Michel Foucault (strukturalisme);
Norman Fairclough (critical discourse analysis); Eve Kosofsky Sedgwick, Judith Butler (queer theory); Simone de Beauvoir, Betty Friedan (feminisme); Thomas Kuhn, Jacques Derrida (posmodernisme).

Pembahasan ini dapat diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa  modernisme dengan warisannya berupa saintisme telah menghasilkan suatu dunia yang tidak sehat. Dialog paradigma menjadi suatu kebutuhan agar  berbagai perspektif dapat menyumbangkan pemahaman secara optimal di dalam membangun dan memajukan dunia. Upaya-upaya untuk membaca ulang kebenaran secara kritis sebagaimana ditawarkan oleh paham intrepretivisme dan teori-teori kritikal memberikan harapan akan berkembangnya peradaban yang semakin manusiawi di dalam arti semakin menghargai kemanusiaan di dalam keberagaman (kebenaran).  E pluribus unum!

 

Referensi:

Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas (1991). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.

Mack, Lindsay (2010). “The Philosophical Underpinnings of Educational Research.” Polyglossia Volume 19, October 2010, pp. 6-11.

Scotland, James (2012). “Exploring the Philosophical Underpinnings of Research: Relating Ontology and Epistemology to the Methodology and Methods of the Scientific, Interpretive, and Critical Research Paradigms.”  English Language Teaching; Vol. 5, No. 9; 2012, pp. 9-16.

Snape, Dawn & Spencer, Liz (2003) “The Foundations of Qualitative Research.” Dalam Richie, Jane & Lewis Jane       (eds., 2003), Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers. London: SAGE Publications, pp. 1-23.

Sugiharto, I. Bambang (1996). Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.

 




Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme: Bagian I

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad keduapuluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad keduapuluhsatu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Posmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme bagi alam dan manusia. Konsekuensi-konsekuensi buruk (Sugiharto, 1996:29-30):

  1. Pandangan dualistik dari modernisme yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya telah mengakibatkan pengobyekan, pengurasan, dan perusakan alam.
  2. Pandangannya yang bersifat obyektivistik dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat sebagai obyek dan dapat direkayasa layaknya mesin.
  3. Pengacuan pada ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan wibawa–dengan konsekuensi, disorientasi–nilai-nilai moral dan religius.
  4. Ditetapkannya materialisme sebagai kenyataan terdasar (ontologi) mendukung pola hidup yang berorientasi pada kompetisi (dalam pasar bebas) untuk memperebutkan penguasaan hal-hal material, dengan konsekuensinya adalah perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan moderen.
  5. Kecenderungan pada militerisme: Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan, untuk mengatur manusia akibat dilemahkannya norma-norma moral dan religius.
  6. Bangkitnya kembali tribalisme: Mentalitas mengunggulkan suku atau kelompok sendiri; suatu konsekuensi logis dari hukum “survival of the fittest” dan penggunaan kekuasaan koersif.

Konsekuensi-konsekuensi tadi akan dibahas dalam enam tulisan. Setiap tulisan disertai dengan penjelasan-penjelasan yang mendukung adanya kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan bisnis dewasa ini. Dewasa ini diperlukan pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif tersebut dan perlu dikembangkan kapabilitas kolektif menuju perubahan paham secara mendasar demi kemajuan kemanusiaan dan peradaban di abad ini.

Pada Bagian I ini akan dibahas konsekuensi buruk yang pertama. Telah dikemukakan bahwa pandangan dualistik dari modernisme yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia dan sebagainya telah mengakibatkan pengobyekan, pengurasan, dan perusakan alam. Pembahasan akan diperluas sehingga mencakup juga dampak buruk dan strategi untuk mengatasinya dalam konteks tata hubungan di antara bangsa-bangsa maupun di dalam konteks sistem perekonomian.

Pandangan dualistik mencakup pendekatan bipolar dan merupakan opisisi biner. Pandangan ini senantiasa membagi kenyataan-kenyataan hidup dalam dua kutub yang saling berlawanan atau memiliki konflik yang inheren  dengan hasil akhirnya adalah dominasi yang satu terhadap yang lain. Contoh-contoh tentang dualitas biner semacam ini dilakukan juga dalam pola pandang, kebijakan, dan pola perilaku di dalam penataan hubungan-hubungan di antara laki-laki-perempuan; Barat-Timur; majikan-buruh; atasan-bawahan; dunia kerja-urusan keluarga; principal-agent; dan seterusnya.

Di dalam uraian ini akan dikemukakan tiga hubungan yang digagas secara dualistik dengan dampak-dampak buruknya yang aktual atau potensial sangat serius. Kemudian dikemukakan perkembangan atau praktek yang mampu mengatasi dualisme tersebut.

Di dalam konteks hubungan antara manusia dan alam, modernisme tercermin dengan baik melalui antroposentrisme. Manusia adalah subyek dan alam adalah obyek yang sudah sewajarnya dieksploitasi demi kebaikan manusia. Kerusakan alam yang parah karena paham ini telah menunjukkan bencana-bencana yang tak terperikan bagi umat manusia. Utamanya, perubahan iklim dengan dampak-dampak mengerikan bagi umat manusia, seperti banjir bandang yang merenggut nyawa manusia selain menghancurkan hasil-hasil pembangunan fisik. Kekeringan yang panjang berakibat pada krisis pangan-kelaparan-kemiskinan, munculnya aneka penyakit. Bahkan, peperangan-peperangan besar dapat terjadi karena dipicu oleh perebutan sumber-sumber alam yang makin langka. Tidak berhenti di situ saja. Planet bumi yang sedang sakit dapat berakhir pada pergeseran kutub secara total, yang di dalam agama-agama digambarkan sebagai kondisi kiamat.

Paham antroposentrisme kini digantikan dengan paham  deep ecology, biosentrisme dan  ekosentrisme. Paham baru ini mengakui adanya nilai hakiki intrinsik pada alam. Alam pada dirinya sendiri adalah akhir atau tujuan tertinggi. Sikap manusia pada tingkat minimum adalah membiarkan alam apa adanya. Lebih dari itu, alam perlu dirawat dan dikembangkan. Manusia dan alam bukan lagi oposisi biner melainkan sahabat yang saling mengisi dan saling menumbuhkan secara sehat.

Dalam konteks Barat-Timur, hubungan diametral di antara negara-negara yang tergolong di dalam dunia Barat berhadapan dengan Timur pernah terjadi di abad dua puluh. Ketegangan-ketegangan yang terjadi telah menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pada penghujung abad keduapuluh, dekolonialisasi dikokohkan sebagai praktik yang harus dilakukan agar diobati luka-luka dalam yang terjadi akibat perseteruan sengit di masa lalu. Perjuangan bangsa-bangsa untuk menemukan suatu harmoni di dalam perbedaan menunjukkan keasadaran tentang berbahayanya konsekuensi buruk dari modernisme dan diperlukannya upaya kolektif untuk menemukan “solusi menang-menang” (“win-win solution)” ketimbang “solusi menang-kalah” yang lazim pada pola pikir modernisme.

Dalam konteks bisnis, modernisme memahami hubungan diametral antara majikan dan pekerja. Di dalam cara pandang modernisme, kita dapat memahami keberadaan kapitalisme di satu sisi dan sosialisme-komunisme di ujung yang lain. Perbudakan di masa lalu mencerminkan modernisme. Kini perusahaan-perusahaan dikembangkan dengan menawarkan kepemilikan saham oleh karyawan melalui Employee Share Ownership Programme (ESOP). Bahkan, koperasi-koperasi bermunculan sebagai bentuk yang mengatasi dikotomi perusahaan-konsumen, karena anggota sekaligus konsumen dan pemilik perusaahaan. Prof. Muhammad Yunus mampu mewujudkan transformasi orang-orang tidak berpunya menjadi pemilik bank melalui Grameen Bank yang kini banyak diadopsi di luar Bangladesh. Dunia mengapresiasinya dengan penganugerahan hadiah Nobel.

Semuanya itu, sekali lagi menunjukkan dampak-dampak buruk yang diakibatkan oleh dan/atau diwairisi dari modernisme di dalam kehidupan kita di abad dua puluh satu ini. Sekaligus dapat ditunjukkan tentang upaya-upaya kreatif yang mendekonstruksi pola pikir modernisme demi memajukan kehidupan umat manusia. Naluri kehidupan senantiasa cenderung pada kesatuan yang utuh dan senantiasa. Oleh karena itu, akan senantiasa ditemukan titik temu yang mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang mendasar sekalipun. Diversity management atau kemampuan mengakomodasi paradoks-paradoks merupakan ciri pemikiran alternatif yang mestinya menjadi pegangan di masa kini, yaitu posmodernisme.




Transformasi Menjadi Organisasi Pembelajar

Urgensi Menjadi Organisasi Pembelajar

Perubahan organisasi-organisasi masa kini menjadi organisasi pembelajar (learning organization) mreupakan suatu kondisi “sine qua non.” Zaman telah berubah, organisasi-organisasi pun harus berubah. Jika tidak berubah, ada resiko kehilangan elan, bahkan terancam eksistensinya.

Masyarakat abad 21 disebu tsebagai masyarakat pengetahuan (knowledge society). Di dalam masyarakat ini, ekonomi pengetahuan merupakan pilar penting bagi kemajuan masyarakat. Hanya dengan melakukan pembelajaran bersama secara terus-menerus, organisasi dapat meningkatkan kapabilitasnya di dalam memenuhi tunutan konsumen secara unggul.

Marquardt (1996) menjabarkan organisasi pembelajar yang mampu menjawab tantangan2 di abad 21 dengan lebih baik sebagai berikut.

… learning organisation is an organisation which learns powerfully and collectively and is continually transforming itself to better collect, manage, and use knowledge for corporate success. It empowers people within and outside the company to learn as they work. Organisational learning refers to how organisational learning occurs, the skills and processes of building and utilising knowledge.

Pengetahuan kolektif dan kapabilitas menciptakan serta memperbaharui dan medayagunkan pengetahuan merupakan kunci sukses. Merujuk Marquardt (1996), hal ini perlu didukung oleh seluruh komponen organisasi pembelajar, yaitu (1) pembelajaran organisasi yang cerdas dan tangguh; (2) orang-orang, baik pimpinan organisasi dan staf maupun konsumen dan segenap mitra bisnis yang memiliki kematangan pribadi dan model mental yang sehat serta selalu mau belajar dan meningkatkan kapabilitas individual dan kolektif; (3) pengorganisasian yang fleksibel dan kenyal sehingga memampukan organisasi mampu menghadapi kompleksitas dan turbulensi lingkungan bisnis; (4) pengetahuan yang dapat diciptakan, disimpan, didesiminasikan, dan didayagunakan secara unggul; dan (5) penggunaan teknologi yang mampu mendukung pembelajaran dan penciptaan pengetahuan serta pelayanan yang bernilai tambah unggul, khususnya pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Dengan menekankan perubahan paradigma di dalam menilai perkembangan bisnis, Peter M. Senge (1990) memperkenalkan organisasi pembelajar sebagai organisasi dimana orang-orang senantiasa belajar bersama untuk menciptakan hal-hal yang benar-benar mereka inginkan. Definisi selengkapnya adalah sebagai berikut:

 

…. a learning organization is “an organization where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together (Senge, 1990).

Penekanan atas penggunakan paradigma organisme yang hidup di dalam memahami organisasi pembelajar menghasilkan suatu pendekatan yang berpusat pada disiplin pemikiran kesisteman (systems thinking). Secara utuh, hal ini saling terkait dengan empat disiplin lainnya berupa personal mastery, mental models, team learning, shared vision.

Kondisi Organisasi dan Upaya Transformasi Menjadi Organisasi Pembelajar

Seorang pakar organisasi pembelajar membagi organiasi menjadi empat kelompok berdasarkan kecenderungannya pada pembelajaran kolektif. Kelompok I, organisasi pembelajar, yaitu organisasi yang pimpinan dan para staf sama-sama memiliki kemauan dan kemampuan yang berkembang baik dalam melakukan pembelajaran kolektif.

Kelompok II, organisasi yang mengalami kekecewaaan (frustrated organization). Pimpinan pada organisasi sangat baik di dalam pembelajaran organisasi tetapi karyawan-karyawannya tidak mampu melakukannya.

kelompok III, organisasi yang menimbulkan kekecewaan (frustrating organization). Pada organisasi ini, situasi sebaliknya terjadi. Para staf sangat baik di dalam melakukan pembelajaran kolektif namun hal ini tidak dapat diimbangi oleh kelompok pimpinan. Kelompok pimpinan justru sangat yakin dan lebih terampil dalam menerapkan pendekatan organisasi yang berakar pada birokrasi.

Kelompok IV, organisasi yang stagnan. Organisasi ditandai oleh ketidakmampuan belajar kolektif baik di kalangan pimpinan maupun di kalangan staf. Organisasi ini tentu lebih berat situasinya di dalam menghadapi persaingan yang semakin meningkat.

 

Pertanyaannya adalah bagaimana transformasi dapat dilakukan terhadap masing-masing organisasi dari tiga kelompok yang bukan-organisasi pembelajar? Secara teoretis, dapat dikatakan bahwa transformasi hendaknya dilakukan secara holistik: baik dari segi sisi lunak maupun dari sisi keras; baik pada level mikro (individu) maupun pada level makro (keseluruhan organisasi).

Upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah melalui perubahan paradigma dari segenap kalangan di dalam organisasi. Perubahan pola pikir kolektif juga perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya memperjelas visi, misi, dan nilai-nilai organisasi agar selaras dengan perkembangan zaman. Selanjtunya dilakukan pembelajaran dalam tim yang didasari oleh kesaling-percayaan dan keterbukaan. Perubahan sistem penugasan, penilaian kinerja, sistem perngupahan, dan budaya organisasi sangat diperlukan untuk mengekspresikan penghargaan yang tinggi terhadap manusia sebagai aset yang paling penting dan mewujdukan rasa keadilan di dalam organisasi.

Pada akhirnya, pemimpin merupakan presedens atau pihak yang sangat menentukan. Mereka harus mampu menjadi menjalankan tugas-tugas  servant ledaership.  Mereka bertanggung jawab untuk mengembangkan suatu kepemimpinan yang menyeluruh (overall leadership). Ketika setiap individu menerima tanggung jawab sebagai pemimpin di bagiannya masing-masing, maka organiasi memiliki kekenyalan yang diperlukan untuk beradaptasi dan unggul dalam lingkungan yang senantiasa berubah dengan cepat.

 

 

 

 




Bisnis Moderen, Keberlanjutan Bumi, dan Invisible Hand

Bisnis moderen telah membawa manusia pada taraf peradaban yang sangat maju. Hal ini terutama dimungkinkan oleh penemuan dan pendayagunaan teknologi yang semakin canggih. Kemajuan-kemajuan yang didorong oleh dunia bisnis memungkinkan peningkatan kemakmuran.

Pada saat yang bersamaan, dunia bisnis juga dapat dikatakan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kesenjangan-kesenjangan sosial dan kerusakan ekosistem yang pada gilirannya dapat mengancam eksistensi umat manusia pada planet bumi. Kesenjangan-kesenjangan sosial-ekonomi kian melebar di antara “the haves” dan “the haves not.” Kesenjangan ini terutama terjadi di antara negara-negara maju dan negara-negara yang tertinggal atau yang lebih keren disebut sebagai “emerging economies.”

Peperangan yang dashyat yang dapat terjadi apabila kesenjangan sosial-ekonomi mencapai suatau level yang tidak dapat ditenggang lagi sudah menjadi perhatian dari sebagian kalangan. Program-program sosial-ekonomi yang diprakarsai oleh berbagai pemerintahan dan bisnis-bisnis dari negara-negara maju maupun yang diprakarsai oleh badan-badan internasional untuk membantu percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di negara-negara sedang berkembang dapat dipahami sebagai upaya mencegah terjadi kekacauan yang berskala luas karena keterbatasan sumber daya ekonomi dan pemerataannya yang dinilai tidak adil.

Kemajuan ekonomi-material abad keduapuluh dan abad keduapuluhsatu mengakibatkan suatu kemunduran yang makin serius terhadap kondisi eksosistem planet bumi. Pembabatan hutan dan penggunaan bahan bakar dari fosil  yang masif dan dalam waktu yang panjang telah berdampak pada pemanasan global dengan segala konsekuensinya. Mencairnya es di daerah kutub semakin meningkat dan dapat menimbulkan bencana yang besar bagi umat manusia.

Laporan Tempo.co tertanggal 12 Maret 2015 mewartakan laporan tim ilmuwan yang dipimpin ahli geologi asal Denmark, Nicolaj Krog Larsen yang menunjukkan hilangnya es sebesar 100 gigaton per tahun karena pencairan gletser di Greenland.  Tim tersebut melaporkan juga bahwa akibat dari pelelehan tersebut adalah naiknya permukaan air laut  setinggi 16 sentimeter, suatu kenaikan yang  cukup besar. Tidak jaug berbeda,  pencairan es di Kutub Utara telah mencapai 400 gigaton per tahun selama 25 tahun terakhir.Tidak mustahil pada akhirnya bumi mengalami ketidak-seimbangan dan terbalik sehingga dapat mengubah eksistensi umat manusia di planet bumi secara radikal.

Baru-baru ini, ilmuwan-ilmuwan dari National Academy of Sciences mengungkapkan fakta temuan yang  cukup mencengangkan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa umat manusia bakalan terancam akan kekurangan persediaan air pada tahun 2060 (http://tekno.liputan6.com/read/2367704/2060-persediaan-air-bumi-bakal-habis)s.

Diungkap, semua kandungan air di wilayah utara Bumi bertumpu kepada tumpukan salju yang mencair.

Sumber:  http://tekno.liputan6.com/read/2367704/2060-persediaan-air-bumi-bakal-habis

 

Sanggupkah Invisible Hand Berfungsi?

Berhadapan dengan kondisi kerusakan bumi yang semakin berat dan mengancam kelestarian bumi dan eksistensi umat manusia, upaya-upaya untuk mengubah paradigma dan pendekatan bisnis yang peduli pada keberlanjutan keutuhan ciptaan pada planet bumi menjadi perhatian dari semua kalangan. Setiap individu, terutama mereka yang memiliki dan mengendalikan perusahaan-perusahaan raksasa yang berkonrtibusi signifikan terhadap kerusakan ekosistem mestinya mengambil tanggung jawab utama.

Kapitalisme yang dihidupi oleh dunia bisnis konon digerakkan oleh sebuah tangan ajaib yang tersembunyi (an invisible hand) yang senantiasa menyeimbangkan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat secara umum. Jika benar demikian, mengapa kerusakan-kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa tidak dapat diimbangi dengan adanya pencipataan kebaikan-kebaikan sosial dan lingkungan hidup yang mampu menjaga kesimbangan alam yang sehat?

Menurut Bapak ilmu ekonomi Adam Smith yang mengenalkanya, invisible hand membuat manusia mampu menahan diri untuk berbagi meskipun kondisi alamiahnya bersifat senantiasa mementingkan diri sendiri (selfish). Istilah ini hanya digunakan satu kali di dalam karyanya yang terbit pada tahun 1759, yaitu The Moral Sentiment. Begitu juga hanya digunakan satu kali dalam bukunya The Wealth of Nations yang terbit pada tahun 1776.

Persoalannya, hal yang disebut sebagai invisible hand yang bekerja secara ajaib untuk menjamin keutuhan ciptaan dan keberlanjutan bumi melalui penyeimbangan kepentingan pribadi untuk memaksimumkan keuntungan bisnis dan kepentingan umum, bahkan kepentingan seluruh planet, masih memerlukan pendefinisiannya.

Apakah hal ini berkaitan dengan kehendak bebas? Jika demikian, bagaimana kehendak bebas dari para kapitalis dan pengelola bisnis-bisnis raksasa dapat didayagunakan untuk mengembangkan dunia bisnis yang bertanggung jawab atas perbaikan alam yang telah mengalami kerusakan? Bagaimana pula kehendak bebas dari masyarakat yang menjadi konsumen dikembangkan dan didayagunakan untuk menahan diri dari konsumsi produk-produk yang merusak lingkungan hidup, bahkan dihasilkan gerakan konsumen untuk mendorong berkembangnya bisnis-bisnis yang cinta lingkungan?

Ataukah yang dimaksudkan dengan invisible hand adalah kekuatan alam semesta atau Sang Pencipta aalam semesta? Jika hal ini yang dimaksudkan, persoalannya adalah bagaimana umat manusia dan dunia bisnis mengenali hukum-hukum alam dan batas-batasnya yang perlu dijaga untuk menjamin keberlanjutan bisnis dan sekaligus planet bumi di mana manusia hidup? Jika yang dimaksudkan adalah kekuasaan ilahi, maka terdapat tantangan yang besar bagi para kapitalis dan eksekutif bisnis untuk memahami peran manusia berhadapan dengan lingkungan hidup sebagai titipan yang harus diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya selama mungkin.

Pada akhirnya perlu dikemukakan bahwa bisnis moderen merupakan sebuah capaian umat manusia yang mencerminkan kemajuan peradaban. Akan tetapi keyakinan bahwa kemajuan bisnis berkembang berdasarkan bahan bakar pengejaran kepentingan pribadi akan diseimbangkan dengan kepentingan umum, bahkan dengan kepentingan keberlanjutan planet bumi, oleh invisible hand begitu saja dan melalui suatu operasi yang bekerja secara otomatis perlu untuk dikritisi. Mengharapkan bekerjanya invisible hand tanpa pertanggungjawaban dari para kapitalis dan eksektuif-eksekutif bisnis-bisnis moderen untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup yang telah rusak bukanlah suatu pandangan hidup yang dapat diterima. Visible hands diperlukan untuk mempercepat keefektifan bekerjanya invisible hand.




Learning Organization dan Abad Kemanusiaan

Learning Organization: Penanda Abad Kemanusiaan

Konsep dan praktek learing organization (LO) telah menandai suatu perubahan radikal atas haluan berpikir tentang bagaimana organisasi sebagai kreasi manusia harus ditempatkan dalam kerangka peradaban umat manusia. Pemahaman seperti ini relevan bagi kita untuk memahami mengapa perkembangan adopsi konsep LO dan penerapannya yang menyeluruh nampak masih berjalan lambat dan sporadis. Sebagaimana diketahui, konsep LO telah populer selama seperempat abad, yaitu sejak dipopulerkan oleh Peter M. Senge melalui karya The Fifth Discipline: The Art and Practice of Learning Organization.

LO merupakan nama bagi segala konsep dan praktek organisasi yang menempatkan manusia dan kemanusiaan yang utuh sebagai puncak dari segala ikhtiar penciptaan nilai tambah melalui kerjasama di antara orang-orang yang berhimpun dalam suatu komunitas. Revolusi ini diperlukan untuk mengobati “luka-luka” terhadap manusia dan kemanusiaan yang diwarisi oleh umat manusia dari masa lalu sebagai akibat dari keterbatasan-keterbatasan dalam pendekatan-pendekatan pengorganisasian.

Era nomaden telah mewariskan perasaan sakit dan semangat permusuhan di antara kelompok-kelompok kesukuan akibat perebutan-perebutan wilayah dan sumber daya alam. Berbagai perang di antara suku-suku yang mengembara mewariskan ketakutan terhadap semua pihak “yang bukan bagian dari kelompok kita.” Alam yang ganas, seperti ditunjukkan melalui wabah dan bencana alam yang mengancam eksistensi spesies manusia bahkan telah membuat leluhur kita menyembah alam sebagai yang mahakuasa. Dari hal terakhir ini, kita mewarisi dalam DNA kita semangat permusuhan dan penaklukan alam tanpa ampun. Maka, krisis lingkungan hidup terjadi sampai hari di mana-mana.

Era ketika umat manusia mulai menetap dan bertani menunjukkan posisi manusia yang mulai mendominasi alam. Tanah yang tandus dapat dikulitivasi, artinya dapat diintervensi dan tunduk pada kemampuan manusia. Binatang-binatang yang dahulu diburu kini didomestikasi, bahkan dikuasai oleh manusia. Kuda, unta, dan kerbau, misalnya, dijinakkan dan dipekerjakan sebagai faktor produksi. Dari sinilah kita mewarisi istilah manajer dan “stick and carrot.”

Manusia menjadi tuan atas alam. Pada masa ini umat manusia mulai melalukan pembagian tugas (division of labor), seperti wanita bekerja di dalam dan sekitar wilayah rumah (domestik), sedangkan kaum pria mengurusi ladang. Alam masih dipandang keras dan lebih tepat diadapi oleh kaum pria. Sedangkan wanita diyakinkan untuk menerima bahwa mereka pada dasarnya lemah dan lebih cocok berada di tugas-tugas dalam lingkup seputar rumah. Kaum tuan tanah menjadi majikan dan buruh tani menjadi penggarap yang diawasi oleh para supervisor. Seluruh kondisi ini dapat dirumuskan sebagai fase dimana ada pihak yang lebih cerdas-hebat-tangguh dan ada fihak yang terbatas secara mental-marjinal -lemah. Dalam semangat ini dapat dipahami mengapa perbudakan dan penjajahan menjadi sesuatu yang masuk akal pada masa lampau.

Situasi hubungan-hubungan yang tidak seimbang ini diperparah oleh pengorganisasian pada era industrialisasi di abad keduapuluh, yaitu birokrasi. Dari sini kita mewarisi kebiasaan-kebiasaan pembagian tugas yang kaku dan hirarki yang dipatenkan sebagai kunci sukses pengorganisasian.

Seluruh situasi masa lalu hingga abad keduapuluh mewariskan suatu cara pandang yang tidak seimbang. Dunia selalu dihadapi dengan pola pikir bipolar dengan pertarungan abadi di antara dua kutub dengan hasil akhir salah satu menjadi pemenang dan berkuasa sedangkan yang lain menjadi pihak yang kalah dan dikuasasi; situasi posisi menang-kalah dipandang sebagai kebenaran. Warisan terburuk yang dialami adalah terjadi Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Selain itu, diwarisi juga pola pikir yang selalu mempertentangkan Barat versus Timur, badan versus jiwa, pria versus wanita, kita versus mereka, dunia versus akhirat, kepentingan kantor versus kepentingan keluarga, kepentingan umum versus kepentingan pribadi.

Di penghujung akhir abad keduapuluh, umat manusia menyadari pentingnya revolusi berpikir untuk mengarus-utamakan kemanusiaan sebagai puncak dari segala ikhtiar manusia. Pengorganisasian yang berporos bipolar perlu dipuntir ke arah pendekatan yang holistik, seimbang, selaras, dan serasi. Karena kehidupan manusia pada dasarnya utuh dan satu. Maka segala sisi yang tampak bertentangan, bahkan seolah bermusuhan, perlu dikelola dalam suatu harmonisasi melalui pengelola keberagaman (diversity management); menghadapi dan mengelola paradoks-paradoks. Sejarah dunia pada fase ini ditandai oleh dekolonialisasi yang disengaja dan dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dari sinilah LO dimunculkan sebagai “antidote” atas kelemahan-kelemahan pengorganisasian di masa lalu dan akibat-akibat negatifnya. Organisasi-organisasi yang cerdas atau memiliki kemampuan pembelajaran yang lebih tinggi mampu menyatukan semua perbedaan dan melakukan sinergi guna memajukan kehidupan yang lebih luhur, adil, dan sungguh-sungguh menghargai harkat dan martabat manusia. Paling kurang, hal ini telah menjadi sebuah kesadaran universal.

Dengan demikian, penerapan LO yang ideal menuntut perubahan mendasar dalam dua arah. Pertama, perlu dilakukan “unlearning the past.” Kedua, perlu ada kecerdasan lebih tinggi untuk “inventing the future.” Hal ini hanya bisa dilakukan jika systems thinking menjadi pola dasar di dalam memahami organisasi dan pendayagunaannya.