“Tax Amnesty” Masuk Tahap Dua, Pemerintah Tetap Naikkan Harga

KedaiPena.Com – ‘Tax Amnesty’ atau program pengampunan pajak sudah memasuki tahapan ke 2. Akan tetapi, hasilnya belum seperti yang diharapkan.

Pasalnya, hal itu terlihat dengan kebijakan pemerintah yang menaikan tarif listrik, BBM dan Surat Kendaraan Bermotor di awal tahun 2017.

“Faktanya ‘Tax Amnesty’ memang tidak seperti yang diharapkan. Dana dari luar negeri yang masuk masih jauh di bawah target,” ungkap Akademisi Perbanas Institute, Wiwiek Prihandini kepada KedaiPena.com, Senin (9/1).

“Pemerintah harus menegakkan ‘authority of power’ dan ‘authority in trust’ yang dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak atau ‘tax compliance’,” lanjut dia.

Akan tetapi, kata Wiwiek, dari pada mengharapkan ‘Tax Amnesty’, saat ini pemerintah harus meningkatkan pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum.

“Koruptor harus mengembalikan uang negara yang digunakan untuk kepentingan pribadi,” imbuh dia.

Selain itu, belanja negara harus lebih efektif dan efisien. Pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya perencanaan, pengkajian harus diminimalkan.

“Reformasi birokrasi di semua kementerian dan lembaga negara harus terus dijalankan. Anggaran yang efisien dan efektif harus menjadi panglima dalam mengeksekusi belanja negara,” tutup dia.

Laporan: Muhammad Hafidh
Foto: Istimewa

Sumber: http://kedaipena.com/tax-amnesty-masuk-tahap-dua-pemerintah-tetap-naikkan-harga/




Kenaikan Tarif Di Awal Tahun Semakin Membuat Miskin Masyarakat Kelas Bawah

KedaiPena.Com – Di awal tahun 2017 Pemerintah resmi menaikan tarif secara bersamaan pada sektor listrik, BBM dan pengurusan administrasi kendaraan bermotor. Hal itu ditanggapi oleh akademisi Institute ABFI Perbanas, Wiwiek Prihandini

Menurutnya, kenaikan tarif terutama BBM dan listrik pasti memberikan reaksi negatif. Pasalnya, BBM dan listrik merupakan jenis produk yang memiliki mata rantai panjang dan akan memicu kenaikan harga produk lanjutannya.

“Akhirnya akan membuat daya beli masyarakat semakin rendah dan lemah. Apalagi, masyarakat kelas bawah tidak memiliki tabungan,” kata dia kepada KedaiPena.Com, Minggu (8/1).

“Selain itu kenaikan tarif surat kendaraan bermotor akan memberikan dampak psikologi dan politik yang lebih besar yang dapat membuat kegaduhan baru di masyarakat,” tambah Wiwiek.

Akan tetapi, kata Wiwiek, kenaikan tarif tersebut merupakan upaya pemerintah agar menciptakan keseimbangan antara penerimaan dan belanja negara. Pasalnya, selama dua tahun terakhir, hal tersebut tidak pernah tercapai.

Dan hal itu, jelas Wiwiek, berdampak pada defisit penerimaan negara sekitar lebih dari Rp300 triliun, yang akhirnya harus ditutup dengan utang negara. Kondisi ini tentu akan membebani APBN di tahun depan.

“Maka dari itu, menaikkan tarif di berbagai komoditi adalah untuk meminimalkan defisit APBN. Tapi, tentu saja hal itu memiliki resiko tersendiri,” pungkas dia.

Laporan: Muhammad Hafidh
Foto: Istimewa

Sumber: http://kedaipena.com/kenaikan-tarif-di-awal-tahun-semakin-membuat-miskin-masyarakat-kelas-bawah/




Pemimpin Holding BUMN Jasa Keuangan Harus Mencintai Bangsa

KedaiPena.Com – Rencana Pemerintah melalui Kementerian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang akan meng-‘holding’ sektor jasa kuangan melalui bank plat merah, Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI dan Bank BTN direspon positif oleh akademis Institute Perbanas, Dr. Wiwiek Prihandini.‎

Menurutnya, holding dengan PT Danareksa sebagai induknya akan membuat mimpi masyarakat Indonesia untuk memiliki bank yang besar di kawasan ASEAN dapat terwujud.

Selain itu, diharapkan holdingisasi keempat bank ini diharapkan dapat mengefisienkan biaya operasional yang pada akhirnya meningkatkan laba perusahaan.

“Dibandingkan bentuk merger penggabungan bentuk ‘holding’ dapat meminimalkan keengganan masing-masing bank untuk bergabung menjadi satu,” ujarnya kepada K‎edaiPena.Com, Kamis (15/9).

Akan tetapi, dia meminta Pemerintah tetap mencermati penunjukkan PT Dana Reksa sebagai induk ‘holding’-nya.

Karena, meskipun dianggap cukup memiliki kemampuan dan reputasi yang baik dibidang penggalangan dana di pasar modal, tidaklah mudah mengoordinasi empat perusahaan dengan total asset lebih dari Rp2500 triliiun.

“Direksi PT Dana Reksa haruslah diisi oleh orang-orang yang cukup berpengalaman dan kompeten di sektor perbankan, misalnya pernah memimpin bank besar di tingkat nasional dan atau internasional, memiliki kompetensi tinggi di sektor perbankan,” jelas dia.

Dan, yang tidak kalah pentingnya, pesannya, harus ada pemimpin yang memiliki jiwa ‘altruism’ yaitu selain profesional di bidang pekerjaan, juga memiliki sikap yang lebih mementingkan dan mengutamakan kepentingan orang lain, yaitu bangsa dan negara,

“Bukan orang yang memikirkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya sendiri,” pungkas dia‎.

(Prw/Arp)‎

Ref: http://kedaipena.com/pemimpin-holding-bumn-jasa-keuangan-harus-mencintai-bangsa%e2%80%8e/




Mau Perpanjang Masa ‘Tax Amnesty’, Pemerintah Harus Bisa Bangun Kepercayaan Masyarakat

KedaiPena.Com – Sebelum memutuskan untuk memperpanjang masa berlaku ‘tax amnesty’, sebaiknya Pemerintah dapat memikirkan terlebih dahulu ‘benefit’ dan ‘cost’ dari target penerimaan pajak.

‎Demikian disampaikan akademisi Perbanas Institute, Dr. Wiwiek Prihandini. Ak. M.M saat dihubungi KedaiPena.Com, Selasa (13/9).

“Benefitnya tentu harapan target penerimaan pajak yang berasal dari ‘tax amnesty’ sebesar Rp165 trilliun dapat tercapai. Atau paling tidak penerimaannya mendekati angka tersebut,” ucapnya.‎

Sebab, menurutnya, belum maksimalnya pancapaian target sampai awal bulan ini dikarenakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah atas kebijakan yang dikeluarkan. Maka dari itu masyarakat pun enggan mengikuti ‘tax amnesty’.

Namun, apabila memang hingga akhir periode pertama yakni Juli sampai September 2016, perkiraan target belum mengembirakan, Pemerintah dapat saja memperpanjang.

“Mungkin bisa memperpanjang ‘tax amnesty’ hingga akhir Juni 2017 atau ada pertambahan satu periode lagi yaitu dari April hingga Juni 2017. Keuntungannya adalah melewati satu masa penyampaian SPT 2016,” jelas Wiwiek.

“Pemerintah juga harus mampu membangun kepercayaan masyarakat melalui kesungguhan untuk fokus pada masuknya dana repatriasi,” tandasnya.

http://kedaipena.com/mau-perpanjang-masa-tax-amnesty-pemerintah-harus-bisa-bangun-kepercayaan-masyarakat/




Pemerintah Harus Fokus Ambil Dana Di Luar, Bukan Alihkan Target Jadi Wajib Pajak Dalam Negeri

KedaiPena.com – Program ‘tax amnesty’ yang sudah berjalan dua bulan belum menunjukan hasil yang mengembirakan.

Uang tebusan tahap pertama hingga September 2016 baru terealisir mencapai sekitar Rp4,14 trilliun atau sekitar 3,3 persen.

Masih sangat jauh dari target penerimaan tahap pertama sebesar Rp165 trilliun.

Akademisi Perbanas Institute, Dr. Wiwiek Prihandini. Ak. M.M menilai, belum maksimalnya repatriasi uang orang Indonesia yang berada di luar negeri ini lantaran banyak tantangan dalam sosialisasi program tersebut.

“Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk ketercapaian target penerimaan ‘tax amnesty’. Presiden, menteri keuangan, dan dirjen pajak ikut menyosialisasikan ‘tax amnesty”. Namun upaya ini menghadapi tantangan dengan timbulnya ajakan di media sosial untuk menolak program ini,” ujar dia saat di hubungi K‎edaiPena.com, Selasa (13/9).

Tidak maksimalnya penerimaan negara melalui ‘tax amnesty’, sambungnya, akan mengakibatkan terganggunya peningkatan likiuditas domestik , tingkat suku bunga yang kompetitif dan kesempatan perluasan investasi terutama di sektor infrakstuktur.

“Semula, semua itu diharapkan dapat didanai dari uang tebusan yang berasal dari ‘tax amnesty’,” sesal dia.

Untuk itu, dia menegaskan Pemerintah terutama menteri keuangan, harus bisa menghindari kondisi ini. Pemerintah harus fokus pada tujuan awal dari ‘tax amnesty’, yaitu menarik dana dari uang warga negara Indonesia yang tersimpan di luar negeri.

“Terutama yang tersimpan di bank-bank Singapura. Bukan mengalihkan sumber penerimaan uang tebusan yang berasal dari wajib pajak dalam negeri,” pungkas dia

http://kedaipena.com/pemerintah-harus-fokus-ambil-dana-di-luar-bukan-alihkan-target-jadi-wajib-pajak-dalam-negeri/




Menyusun Sitasi dan Daftar Pustaka Otomatis dengan Microsoft Word

Eminugroho Ratna Sari- Jurdikmat FMIPA UNY

Pada artikel ini, akan dibahas penyusunan sitasi dan daftar pustaka secara otomatis dengan Microsoft Word, khususnya versi 2007. Yaitu menggunakan menu References.

Dokumen lengkap silahkan unduh di sini.




Efektivitas Tax Amnesty Policy

Tax amnesty merupakan pengampunan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak selama periode tertentu untuk memperbaiki laporan dan kewajiban pajaknya di masa lalu dan masa yang berjalan dengan jaminan bebas dari tuntutan pidana (Suryani & Anwar, 2010). Dapat pula dijelaskan dengan pembebasan penghindar pajak dari tuntutan hukum namun tetap harus membayar kewajiban pajaknya (Agbonika, 2015). Tax amnesty dapat juga diterangkan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek dengan risiko dapat mengurangi kepatuhan wajib pajak di masa yang akan datang (Alm, 1998). Tax amnesty juga disebut sebagai faktor penting yang mempengaruhi ketaatan perpajakan, beberapa hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan negative antara tax amnesty dengan kepatuhan perpajakan (Ipek, Oksuz, & Ozkaya, 2012). Tax amnesty memiliki aspek positif dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang mengandung aspek negatif,(Wardiyanto, 2010). Dalam jangka panjang perlakuan khusus kepada pengelak pajak berupa pengurangan (penghapusan) denda atau pajak yang tidak (kurang) dibayar dapat melukai wajib pajak yang secara teratur melakukan kewajibannya secara benar dan jujur. Mereka akan mencoba untuk menjadi pengelak pajak, karena pada masa yang akan datang mereka berfikir pemerintah akan memberikan fasilitas pengampunan (Alm & Beck, 1993). Dari penjelasan tersebut dapat diidentifikasikan tax amnesty merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan kepatuhan penghindar pajak dalam jangka pendek namun mengandung resiko menurunkan ketaatan wajib pajak yang telah patuh mengikuti ketentuan-ketentuan perpajakan.

Irlandia merupakan salah satu contoh negara yang berhasil menerapkan tax amnesty dalam jangka pendek. Kebijakan tax amnesty yang diterapkan pemerintah Irlandia pada tahun 1988 ditarget dapat meningkatkan penerimaan 50 million dolar, realisasinya 750 million dolar. Namun dalam jangka panjang kegiatan ini gagal meningkatkan penerimaan pajak (Agbonika, 2015). Contoh lain adalah India, pada tahun 1981 pemerintah India memperkenalkan kebijkan tax amnesty yang cukup spesifik. Formatnya adalah menerbitkan obligasi 10 tahun dengan tingkat bunga 2%. Obligasi ini disusun untuk dapat menangkap pengelak pajak yang memegang dana di black market. Dana yang yang diinvestasikan dalam obligasi ini bebas dari pajak kekayaan dan pajak penghasilan. Hasilnya dalam 3 bulan terkumpul dana yang cukup besar, di atas satu milliar. Meskipun berhasil dalam pengumpulan dana dalam jangka pendek, namun kebijakan ini dinyatakan tidak berhasil dalam memperluas basis perpajakan secara keseluruhan (Agbonika, 2015). Di Indonesia pelaksanaan tax policy 2008 yang bernama sunset policy, dalam jangka pendek juga telah berhasil meningkatkan penerimaan negara 7,46 trilliun rupiah dan tambahan 5.635.128 wajib pajak baru. Namun penelitian ini belum mampu menunjukkan tingkat kepatuhan wajib pajak pasca berakhirnya periode sunset policy 2008 (Rakhmindyarto, 2011).

Tax amnesty tidak selalu menjadi cara yang efektif untuk mengidentifikasi pengelak pajak dan mengubah mereka menjadi wajib pajak yang patuh terhadap ketentuan perpajakan (Fisher, Goddeeris, & Young, 1989). Kepatuhan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam kebijakan tax amnesty, meskipun seringkali berhubungan negative dengan pengampunan. Artinya semakin besar pengampunan yang diberikan maka akan membuat wajib pajak semakin tidak patuh. Selanjutnya dalam jangka panjang kebijakan ini dapat memunculkan risiko wajib pajak yang patuh menjadi pengelak pajak.




Faktor Penentu Penerimaan Pajak 2016

Realisasi penerimaan pajak dalam APBN 2015 meskipun menembus angka 1.000 trilliun namun capaiannya hanya sekitar 80-82% dari yang ditargetkan sebesar 1.201,7 Trilliun. Dalam APBN 2016 pemerintah tetap mengandalkan penerimaan dari hasil pungutan pajak yang jumlahnya mencapai 1.360 trilliun. Target ini naik sekitar 36% dari realiasi penerimaan pajak 2015. Di tengah perekonomian global yang masih melemah dan belum kondusif sementara perekonomian nasional tidak dapat lepas dari pengaruh perekonomian global, menjadi pertanyaannya mungkinkah pemerintah melalui direktorat jendral pajak dapat mencapai penerimaan pajak sesuai dengan target yang ditetapkan?

Dengan mengabaikan kondisi ekonmi makro bail global ataupun nasional, terdapat tiga cara yang dilakukan oleh ditjen pajak untuk mencapai target penerimaan pajaka tahun 2016. Tiga cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan meminmumkan biaya kepatuhan pajak (cost of compliance tax), menegakkan fungsi pemeriksaan, sebagai konsekuensi self assessment dalam sistem perpajakan yang dianut oleh Indonesia, dan dalam bentuk kebijakan.

Saat ini tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi masih sekitar 56-60% sementara kepatuhan wajib pajak badan belum mencapai 50%. Kondisi ini masih memiliki peluang untuk ditingkatkan, sehingga kepatuhan wajib pajak dapat menjadi salah satu faktor penentu pencapaian target penerimaan pajak 2016. Beberapa kualitas pelayanan terus dijalankan oleh pemerintah, diantaranya penerapan e-Filling, e-billing dan e-Faktur merupakan upaya yang dilakukan ditjen pajak untuk menurunkan biaya kepatuhan pajak. e-filling telah dilaksanakan sejak tahun 2011 sedangkan e-Faktur baru akan dilakukan pada pertengahan tahun ini. Pemerintah masih perlu melakukan edukasi penggunaan sistem pelaporan berbasis digital kepada masyarakat, dan masalah jaringan juga perlu mendapat perhatian terutama pada tanggal-tanggal terakhir penyerahan laporan.

Meningkatkan fungsi pemeriksaan pajak melalui peningkatkan sistem adminstrasi pemeriksaan yang lebih baik. Dalam menjalankan fungsi pemeriksaan ditjen pajak masih belum sistematis, merata, dan kontinyu, sehingga wajib pajak tidak merasa takut akan ada pemeriksaan atas dirinya. Hal ini menunjukkan fungsi pemeriksaan belum mempengaruhi wajib pajak untuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan perpajakan. Keadaan ini dapat dipahami karena ratio antara wajib pajak dan pemeriksa pajak masih rendah. Ditjen pajak masih perlu untuk meningkatkan ratio antara jumalah wajib pajak dan pemeriksa pajak.

Kebijakan pajak yang akan dilakukan pemerintah tahun ini adalah pemberlakukan tax amnesty. Dari kebijakan ini pemerintah berharap dapat menerima dana sampai dengan 100 trilliun. Dana ini diperkirakan berasal dari rupiah yang tersimpan di luar negeri. Selain itu dana yang bedar dari underground economy akan masuk dalam transaksi ekonomi yang normal, sehingga transaksinya dapat tersentuh dengan ketentuan-ketentuan perpajakan. Permasalahannya tax amnesty sampai saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR.

Dengan fokus pertama, meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui optimalisasi dan sosialisasi penggunaan teknologi informasi yang berdampak pada cost of compliance tax yang minimal. Kedua melakukan reformasi administrasi , yang membuat wajib pajak merasa terawasi dalam menjalankan ketentuan perpajakan, mulai dari penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Ketiga, mendesakkan DPR untuk mengesahkan UU pelaksanaan tax amnesty. Maka target penerimaan pajak sebesar 1.360 trilliun tidak mustahil dapat tercapai.




Penanganan Kasus Korupsi di Daerah 2012

Penanganan Kasus Korupsi di Daerah 2012

 

(Tulisan ini merupakan bagian dari artikel yang dipublikasi

pada jurnal akuntansi dan bisnis tahun 2013)

 

Sepanjang 2004 hingga 2012, data di Kementerian Dalam Negeri Republik (Kemendagri) Indonesia mencatat terdapat 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Data Kemendagri juga menyebutkan bahwa selain pejabat tingkat kepala daerah juga melibatkan sekitar 1.500 pejabat daerah dalam tindak pidana korupsi (Kompasiana, Oktober 2012). Di Jakarta, nilai transaksi mencurigakan pada pegawai Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta cenderung meningkat. Hingga Juni 2012 nilai transaksi mencurigakan pada rekening pegawai Provinsi DKI mencapai 46,7% dari total nilai transaksi mencurigakan (Kompas, Agustus 2012). Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) menyatakan bahwa provinsi yang berada di posisi di atas setelah Jakarta adalah Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Papua, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.

 

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM telah memantau perkembangan kasus korupsi (trend corruption report) selama bulan Januari – Juni 2012. Dari total 151 kasus, pelaku korupsi terbanyak berasal dari kalangan pejabat pemerintah daerah, yaitu sebanyak 34 orang, dari kalangan swasta 26 orang dan pemerintah pusat 24 orang. Pemantauan tren korupsi oleh Pukat sepanjang semester pertama menunjukkan, pelaku korupsi terbanyak berasal dari pemerintah daerah. Kasus tindak pidana korupsi pada tingkat pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat mulai dari sekretaris daerah (sekda), kepala dinas, sampai ke tingkat pejabat tehnis.

 

Menurut Suwarno dan Junanto (2006) pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan cara pencegahan dan penindakan. Pencegahan dilakukan diantaranya dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai dampak dari korupsi dan sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak dan elektronik. Sedangkan upaya penindakan dapat dilakukan diantaranya melalui hukuman yang berat terhadap pelaku dengan denda yang signifikan, pengembalian hasil korupsi kepada Negara, dan tidak menutup kemungkinan penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi juga dapat dilakukan dengan akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat, dua hal tersebut dianggap mampu mengatasi tindak pidana korupsi (Kurniawan, 2009).

 

Kajian Teori

Bac (1998) menyebutkan bahwa korupsi merupakan masalah yang komplek dan multidimensional fenomena. Korupsi juga masuk dalam kategori tindak criminal, mulai dari tingkatan yang sepele seperti penerimaan uang pelicin (penyuapan dan pemerasan) sampai pada transaksi illegal yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Bac (2998) membedakan antara korupsi eksternal (individual) dan internal (organisasi). Korupsi individual atau eksternal merupakan korupsi dimana masyarakat harus membayar kepada pejabat pemerintah atas pelayanan yang seharusnya dia peroleh, harus membayar lebih dari yang seharusnya untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat atau pelayanan yang seharus dia tidak dapatkan. Sedangkan korupsi organisasi merupakan bentuk kolusi yang membuat suatu organisasi pemerintahan masuk kedalam area pembagian hasil korupsi yang dilakukan secara sistemaatis. Dicontohkan aparat pemerintah yang mengumpulkan uang dari perdagangan minuman dan perjudian illegal, kemudian sebagian hasilnya disetor kepada pejabat yang lebih tinggi secara teratur. Andvig, Fjeldstad, Amundesen, Sissener, Soreide (2000:14) mengklasifikasikan jenis korupsi menjadi lima yaitu, penyuapan, penggelapan, kecurangan, pemerasan, dan kolusi.

 

Korupsi dan Tindak Kejahatan

Huisman dan Walle (2009:1) menyatakan bahwa korupsi merupakan bentuk tindak kejahatan (crime). Beberapa konsep telah dikembangkan untuk membedakan bentuk-bentuk dari tindak kejahatan. Konsep-konsep ini dapat memberi pemahaman tentang korupsi dengan lebih baik. Konsep yang paling penting dalam menghubungkan korupsi sebagai tindak kejahatan adalah organised crime, occupational crime, dan organisational crime.

 

 

 

Korupsi dan organised crime

Menurut Huisman dan Walle (2009:2) organised crime dirasakan sebagai fenomena tindak kejahatan yang ancamannya terhadap sistem ekonomi yang legal terus mengalami peningkatan, tetapi tampaknya sulit bagi polisi untuk menangkap jaringan illegal yang ada dibalik organised crime (kejahatan yang terorganisir). Pencucian uang dan korupsi dianggap sebagai mekanisme yang dipakai oleh organised crime untuk memfasilitasi atau melanggengkan tindakan illegal tanpa perlu khawatir akan terdeteksi. Dapat dinyatakan terdapat hubungan simbiosis yang saling menguntungkan antara organised crime dengan institusi legal dan jika ada kesempatan organisasi kriminal akan melakukan korupsi. Korupsi menjadi penting dan memberi manfaat bersama. Selanjutnya kedekatan kedua institusi kriminal dan legal membuat korupsi menjadi lebih rumit dan sulit untuk dibuktikan. Akhirnya sebagian dari organised crime masuk dalam kehidupan institusi legal dan kegiatan kriminal secara total tercampur dengan kegiatan bisnis legal (Huisman dan Walle, 2009:4).

 

Korupsi dan occupational crime

Konsep occupational crime menjadi relevan ketika menggunakan sudut pandang korupsi secara pasif. Huisman dan Walle (2009:6) menjelaskan seorang karyawan, baik yang bekerja pada perusahaan swasta maupun institusi pemerintah, seringkali menyalahgunakan jabatan atau posisinya untuk keuntungannya sendiri dan mengabaikan atau bertentangan dengan kepentingan pemilik. Selanjutnya Huisman dan Walle (2009:6) menyatakan bahwa pembahas korupsi sebagai occupational crimedapat dimulai dari melihat beberapa ciri. Pertama, berkaitan dengan korupsi pasif, pelanggar (pelaku korupsi) memiliki tanggungjawab pribadi atas apa yang telah dilakukan, namun diabaikan oleh organisasi atau pihak yang dikorupsi (corruptee). Ada kekhawatiran dari corruptee, jika diproses kasus korupsi yang dilakukan oleh si pelanggar, pihak corruptee akan ikut terjerat. Kedua, occupational crime tidak selalu melawan kepentingan pemilik. Dari sudut pandang corruptee dalam kasus public corruption, seringkali terjadi bahwa organisasi dapat memperoleh keuntungan dari perilaku individu, terutama bila hal itu sudah menjadi bagian panjang dari proses pengaburan standar moral. Dalam kasus private corruption, kepentingan organisasi dan kepentingan coruptee saling berinteraksi.

 

 

Korupsi dan Organisational Crime

Menurut Huisman dan Walle (2009:6), oraganisasional crime dapat dijelaskan sebagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh organisasi atau anggota organisasi untuk kepentingan organisasi tersebut. Ini adalah bagian dari kejahatan kerah putih (white collar). Saat ini, domain organisational crime sudah menjadi lahan utama penelitian kriminologi, meskipun bukan khusus pada korupsinya. Hal ini disebabkan karena korupsi selalu terkait erat dengan kejahatan yang terorganisir dan dipandang sebagai ‘fasilitator’ dari kejahatan terorganisir.

 

Metode Penelitian

Merupakan penelitian diskripsi kualitatif yang mencoba mengidentifikasi kasus korupsi yang terjadi didaerah berdasarkan pelaku, jenis korupsi dan pengkategorian tindak criminal. Diskripsi mengenai kasus korupsi daerah didasarkan atas kliping berita dari harian media Kompas dan Tempo, baik versi cetak maupun online selama tahun 2012. Harian Kompas dan Tempo dipilih karena kedua harian tersebut paling banyak memberitakan mengenai kasus korupsi baik yangterjadi di pusat pemerintahan maupun di daerah. Dari hasil kliping, berita dikelompokkan berdarkan kasusnya, kemudian diberi kode untuk setiap kasus. Berita yang sudah tersusun secara kronologis untuk setiap kasus didiskripsikan, kemudian dianalisis berdasarkan pengkategirannya.

 

Pembahasan

Tabel 4.1. menginformasikan mengenai Kepala Daerah yang tersangkut masalah hukum, yang diproses selama tahun 2012.

 

Tabel 4.1.

Daftar Kepala Daerah yang Tersangkut Masalah Hukum

Selama 2012

 

No Nama, Jabatan Kasus Keterangan Proses Pengadilan
1. A. Muis Haka,
Bupati Sekadau, Kalbar
Korupsi anggaran pengadaan tanah Tahun 2005, Pemkab Sekadau melakukan pembebasan 207 Ha lahan untuk pembangunan kompleks Pemkab yang baru. Nilainya proyek di-markup hingga menimbulkan kerugian Negara Rp 14 miliar. Muis Haka adalah Plt Bupati yang juga ketua tim pembebasan lahan. Pengadilan Tipikor Pontianak (21/11/2012) menghukum Muis Haka 2 thn, denda Rp 100 juta subsider 3 bln kurungan
2. Agusrin M Najamudin, Gubernur Bengkulu Korupsi dana bagi hasil PBB Agusrin terbukti melakukan korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tahun 2006 melalui pembukaan rekening yang dibuat oleh Kepala Dinas Pendaptan Daerah Bengkulu. Gubernur Bengkulu 2010-2015 ini diberhentikan dari jabatannya pada 12 April 2012. Vonis kasasi MA, 4 thn penjara (01/01/2012). PN Jakarta Pusat sebelumnya memutus bebas Agusrin.
3. Amran Batalipu,
Bupati Buol
Suap pengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit. Amran menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat negara dengan meminta uang sebesar Rp 3 miliar kepada PT Hartati Inti Plantation untuk pembuatan surat rekomendasi kepada Gubernur dan Menteri terkait HGU Kelapa Sawit milik Hartati Murdaya. Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Amran penjara 7 thn 6 bln denda Rp 300 juta subsider 6 bln kurungan.
4. Andi Achmad Sampurnajaya,
Bupati Lampung
Korupsi dana APBD Andi Achmad terbukti memindahkan dana APBD senilai Rp 28 miliar ke BPR Tripanca. Vonis MA, penjara 12 thn, denda Rp 500 juta, subsider 6 bln kurungan, dan uang pengganti Rp 20,5 miliar subsider 3 thn kurungan.
5. Awang Farouk,
Gubernur Kaltim
Korupsi terkait divestasi Saham PT Kaltim Prima Coal Diduga terlibat dalam proses pengalihan dana hasil penjualan saham KPC senilai Rp 576 miliar, dari Pemkab Kutim ke PT Kutai Timur Energi, ketika Awang menjadi Bupati Kutai Timur. Pada November 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
6. Bambang Bintoro,
Bupati Batang 2002-2012
Korupsi APBD Kabupaten Batang Bambang diduga melakukan korupsi APBD tahun 2004 sebesar Rp 796 juta berupa dana premi asuransi anggota DPRD Batang. Dana itu dibagikan kepada 45 anggota DPRD Batang sebagai bantuan dana purnabakti. Sidang perdana Pengadilan Tipikor Semarang, Jateng, (16/5/2012).
7. Burhanuddin Husin,
Bupati Kampar, Riau
Korupsi izin usaha pemanfaatan hasil hutan Burhanudin menerima suap Rp 1,1 miliar dari beberapa perusahaan terkait pemberian ijin penebangan kayu. Negara dirukikan Rp 519 miliar. Pengadilan Tipikor menghukum Burhanuddin 2 thn 6 bln denda Rp 100 juta subsider 2 bln kurungan.
8. Eep Hidayat,
Bupati Subang
Biaya Pemungutan PBB Eep melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara dalam kasus korupsi Biaya Pungutan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Subang periode 2003-2008. Vonis MA 5 thn penjara, denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 2,5 miliar
9. Fadel Muhammad,
Gubernur Sulawesi Tenggara
Korupsi sisa dana APBD Kasus ini berawal dari dibagikannya dana sisa APBD sebesar Rp 5,4 miliar kepada 45 anggota DPRD (2001-2006) melalui SKB Ketua DPRD dan Gubernur Sulawesi Tenggara Fadel Muhammad yang kemudian dibuat Perda. Kasus ini pernah dihentikan prosesnya oleh Kejati Gorontalo dengan terbitnya dua kali Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tahun 2009 dan 2010. Kejaksaan Tinggi Gorontalo (25/5/2012) menetapkan lagi Fadel Muhammad sebagai tersangka.
10. Fauzi Siin,
Bupati Kerinci 1999-2008
Korupsi dana APBD 2008 Fauzi melakukan korupsi pada sejumlah proyek pengadaan makanan dan minuman, pengadaan kendaraan bermotor, dan pengadaan alat tulis kantor. Kerugian negara Rp 2,8 miliar. Vonis MA (26/01/2012), penjara pokok 4 thn, hukuman 6 bln, denda Rp 200 juta, pengembalian uang Rp 2,8 miliar.
11. John Manoppo,
Wali Kota Salatiga
Korupsi proyek Pembangunan Jalan Lingkar Joh terbukti melakukan penunjukan langsung terhadap PT Kuntjup yang ternyata bukan peserta tender dengan tawaran harga terendah, dalam proyek Jalan Lingkar Selatan. Kasus ini terjadi saat John menjabat Wali Kota Salatiga. Kerugian negara mencapai Rp 12,2 miliar. Pengadilan Tipikor Semarang memvonis penjara 3 thn 6 bln, denda Rp 100 juta subsider 3 bln kurungan.
12. Marlina M. Siahaan, Bupati Bolaang Mongondow, Sulut Korupsi APBD Kasus ini terjadi tahun 2010. Pemkab Bolaang Mongondow mengalokasikan tunjangan aparat pemerintah desa TPAPD dalam APBD 2010 sebesar Rp 12,3 miliar. Terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan kerugian negara Rp 3,8 miliar. Pada Oktober 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
13. Mochtar Mohammad,
Walikota Bekasi
Suap anggota DPRD, Adipura, anggota BPK; korupsi anggaran Mochtar diajukan ke pengadilan untuk 4 kasus dugaan korupsi: suap anggota DPRD senilai Rp 1,6 miliar untuk pengesahan APBD; korupsi anggaran makanan minuman Rp 639 juta; suap pemenangan piala Adipura senilai Rp 500 juta; dan suap BPK agar mendapat predikat wajar tanpa pengecualian. Vonis MA, 6 thn penjara, denda Rp 300 juta, uang pengganti Rp 639 juta
14. Murman Effendi,
Bupati Seluma, Bengkulu
Suap 27 anggota DPRD Murman terbukti memberikan uang ke 27 anggota DPRD Seluma, terkait perubahan Perda 12/2010 menjadi Perda 2/2011 yang mengatur tentang peningkatan dana anggaran pembangunan infrastruktur Vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 2 tahun penjara denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
15. Rina Iriani Sri R,
Bupati Karanganyar
Korupsi dana subsidi pembangunan perumahan Rina diduga menyalahgunakan bantuan subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat, 2007-2008. Nilai dana yang tidak sesuai peruntukan mencapai sekitar Rp 18 miliar, sedangkan yang diduga dinikmati oleh Rina Rp 11,1 miliar. Pada Oktober 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
16. Robert Edison Siahaan,
Walikota Pematang Siantar
Korupsi Dana DPU dan anggaran Bansos APBD Kota Korupsi anggaran rehabilitasi DPU APBD Pematang Siantar 2007 sebesar Rp 8,3 miliar (dari anggaran Rp 14,7 miliar hanya realisasinya Rp 6,4 miliar); dan anggaran bansos senilai Rp 2,175 miliar. Vonis Pengadilan Tipikor Medan, 8 thn penjara, denda Rp 100 juta subsider 4 bln kurungan
17. Satono,
Bupati Lampung Timur
Korupsi APBD Satono terbukti melakukan korupsi dengan menjaminkan uang kas daerah di bank yang tidak dijamin LPS, yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan lancar karena uang yang mengendap di bank sudah dibekukan. Vonis MA, penjara 15 thn denda Rp 500 juta subsider 6 bln kurungan, dan uang pengganti Rp 10,58 miliar.
18. Soemarmo Hadi S,
Walikota Semarang
Suap anggota DPRD Kota Semarang Soemarmo bersama Sekda Semarang memberikan hadiah kepada beberapa anggota DPRD terkait pembahasan APBD Kota Semarang dengan nilai total Rp 304 juta. Pengadilan Tipikor menjatuh-kan hukuman penjara 1 thn 6 bln dan denda Rp 50 juta subsider dua bulan penjara.
19. Sunaryo,
Wk Walikota Cirebon
Penyelewengan dana APBN Sunaryo bersama anggota DPRD lainnya ikut memanipulasi APBD 2004 senilari Rp 4,9 miliar untuk kepentingan pribadi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Vonis Pengadilan Tipikor Bandung 1 thn penjara, denda Rp 50 juta serta uang pengganti Rp 180 juta.
20. Untung Sarono Wiyono, Bupati Sragen, Jawa Timur Penyalahgunaan APBD Kabupaten Untung terbukti menyalahgunakan APBD Sragen dengan mendepositokan uang APBD Sragen 2003-2010 ke Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebesar Rp 40 miliar. Dari jumlah tersebut, Untung tidak dapat mengembalikan Rp 11 miliar. Vonis MA (24/9/2012) 7 thn denda Rp 250 juta subsider 6 bln kurungan, uang pengganti Rp 11 miliar, subsider 5 bln kurungan.

Sumber: Pengolahan Data

 

 

Berdasarkan kasus sebagaimana tersaji pada Tabel 4.1.dapat dikatakan bahwa dari 20 pejabat daerah yang melakukan tindak pidana korupsi 11 memiliki posisi Bupati, 4 Gubernur, dan 4 Wali Kota, 1 Wakil Walikota, dengan wilayah tersebar mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari 20 kasus korupsi di atas 12 terkategori jenis penggelapan (embezzlement), 4 penyuapan (bribery), 3 penggelembungan (mark up), 1 nepotisme (favoritism) . Satu kasus masuk dalam kelompok penggelapan jika terjadi pencurian atau penggunaan sumber daya oleh pejabat yang ditugaskan untuk mengelola sumber daya tersebut. Yang masuk dalam kategori ini adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Bengkulu, Kaltim, Sulawesi Tenggara, dan Bupati Lampung, Batang, Subang, Bolaang Mongondow-Sulut, Karanganyar, Lampung Timur, Seragen, Walikota Pematang Siantar dan Wakil Walikota Cirebon . Kasus korupsi masuk dalam kategori penyuapan jika pejabat atau aparat pemerintah menutut pembayaran dari publik agar suatu pekerjaan lebih cepat selesai, memenangkan tender, mendapatkan pelayanan yang bukan menjadi hak publik. Dari Tabel 4.1. ada 4 kasus korupsi yang masuk dalam kategori ini yaitu Kasus korupsi Walikota Bekasi dan Semarang, Bupati Bengkulu, Buol, dan Riau. Terdapat 2 kasus Pengelembungan (mark up) yaitu kasus korupsi Bupati Kerinci dan Sekadau(Kalbar). Satu satunya jenis favoritism terjadi pada kasus korupsi Walikioa Salatiga.

 

Dengan menggunakan pemikiran Huisman dan Walle (2009:1), di mana korupsi merupakan bentuk tindakan kriminal yang dapat dikategorikan sebagai organised crime, occupational crime, dan organisational crime, maka setelah mempelajari 20 kasus korupsi di atas dapat dinyatakan semuanya masuk dalam kategori organised crime.

 

Semua kasus korupsi yang tersebut dalam Tabel 4.1. telah masuk proses pengadilan, Ada 5 kasus masih dalam proses pengadilan, lainnya sudah ada keputusan Pengadilan. Sedangkan kasus yang sudah mendapat keputusan pengadilan ada 9 dengan vonis antara 1 sampai 5 tahun, 6 kasus dengan vonis di atas 5 samapai dengan 15 tahun.

 

 

Kesimpulan

Kasus korupsi di daerah selalu melibatkan Pejabat mulai dari Gubernur, Walikota, Bupati, dan anggota DPRD. Menggunakan dana APBD, dana masyarakat, penerimaan pajak, dan bersifat masif, hampir terjadi disemua provinsi. Hukuman yang dijatuhkan cukup ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pejabat-pejabat berikutnya.

 

 

Daftar Pustaka

Andvig, Jens, Chr, Fjeldstad O. H, Amundesen. I, Sissener,T, Soreide.T (2000). Research on Corruption A Policy Oriented Survey, Commissioned by NORAD, Chr Michelsen Institute & Norwegian Institute of Intenational Affair (NUPI), www.icgg.org/download/contribution_advig.pdf

Bac, Mehmet (1998), The Scope, Timing, and Type of Corruption, International Review of Law and Economic 18 (1), Elsevier Science Inc., New York

Huisman, Wim, Walle G. V. (2009), The Criminology of Corruption, 9th Chapter, Criminology of Corruption. Pp1-38, pure.hogent.be/portal

Kurniawan Teguh (2009), Peran Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, 16(2), hal. 116-121.

Pusat Kajian Anti Korupsi (2012), Trend Corruption Report Tengah Tahun Pertama 2012, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Suwarno Yogi, Junanto Deny (2006), Strategi Pemberantasan Korupsi, Dosen Tetap STIA LAN, Jakarta, www.stialan.ac.id/publik/artikel.php.

 

http://www.bps.go.id/ Badan Pusat Statistik (2013), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2012, Berita Resmi Statistik No. 07/01/th XVI, 2 Januari

http://www.transparancy.org/research/cpi/overview, Coruption Perception Index, Transparancy Intenationl 2012

http:// politik.kompasiana.com/2012/Korupsi Menyengsarakan Rakyat Miskin

http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/03/bps-masyarakat-indonesia-cenderung-anti-korupsi-516143.htmldiakses pada 2 Januari 2013 pukul 21.12.

http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2012/12/06/peluncuran-corruption-perception-index-2012diakses pada 5 Januari 2013 pukul 23.05




Penanganan Kasus Korupsi di Daerah 2012

Penanganan Kasus Korupsi di Daerah

Penanganan Kasus Korupsi di Daerah 2012

Wiwiek Prihandini

FEB Institut Perbanas Jakarta

(Tulisan ini merupakan bagian dari artikel yang dipublikasi

pada jurnal akuntansi dan bisnis tahun 2013)

 

Sepanjang 2004 hingga 2012, data di Kementerian Dalam Negeri Republik (Kemendagri) Indonesia mencatat terdapat 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi. Data Kemendagri juga menyebutkan bahwa selain pejabat tingkat kepala daerah juga melibatkan sekitar 1.500 pejabat daerah dalam tindak pidana korupsi (Kompasiana, Oktober 2012). Di Jakarta, nilai transaksi mencurigakan pada pegawai Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta cenderung meningkat. Hingga Juni 2012 nilai transaksi mencurigakan pada rekening pegawai Provinsi DKI mencapai 46,7% dari total nilai transaksi mencurigakan (Kompas, Agustus 2012). Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) menyatakan bahwa provinsi yang berada di posisi di atas setelah Jakarta adalah Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Papua, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM telah memantau perkembangan kasus korupsi (trend corruption report) selama bulan Januari – Juni 2012. Dari total 151 kasus, pelaku korupsi terbanyak berasal dari kalangan pejabat pemerintah daerah, yaitu sebanyak 34 orang, dari kalangan swasta 26 orang dan pemerintah pusat 24 orang. Pemantauan tren korupsi oleh Pukat sepanjang semester pertama menunjukkan, pelaku korupsi terbanyak berasal dari pemerintah daerah. Kasus tindak pidana korupsi pada tingkat pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat mulai dari sekretaris daerah (sekda), kepala dinas, sampai ke tingkat pejabat tehnis.

Menurut Suwarno dan Junanto (2006) pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan cara pencegahan dan penindakan. Pencegahan dilakukan diantaranya dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai dampak dari korupsi dan sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak dan elektronik. Sedangkan upaya penindakan dapat dilakukan diantaranya melalui hukuman yang berat terhadap pelaku dengan denda yang signifikan, pengembalian hasil korupsi kepada Negara, dan tidak menutup kemungkinan penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi juga dapat dilakukan dengan akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat, dua hal tersebut dianggap mampu mengatasi tindak pidana korupsi (Kurniawan, 2009).

Kajian Teori

Bac (1998) menyebutkan bahwa korupsi merupakan masalah yang komplek dan multidimensional fenomena. Korupsi juga masuk dalam kategori tindak criminal, mulai dari tingkatan yang sepele seperti penerimaan uang pelicin (penyuapan dan pemerasan) sampai pada transaksi illegal yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Bac (2998) membedakan antara korupsi eksternal (individual) dan internal (organisasi). Korupsi individual atau eksternal merupakan korupsi dimana masyarakat harus membayar kepada pejabat pemerintah atas pelayanan yang seharusnya dia peroleh, harus membayar lebih dari yang seharusnya untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat atau pelayanan yang seharus dia tidak dapatkan. Sedangkan korupsi organisasi merupakan bentuk kolusi yang membuat suatu organisasi pemerintahan masuk kedalam area pembagian hasil korupsi yang dilakukan secara sistemaatis. Dicontohkan aparat pemerintah yang mengumpulkan uang dari perdagangan minuman dan perjudian illegal, kemudian sebagian hasilnya disetor kepada pejabat yang lebih tinggi secara teratur. Andvig, Fjeldstad, Amundesen, Sissener, Soreide (2000:14) mengklasifikasikan jenis korupsi menjadi lima yaitu, penyuapan, penggelapan, kecurangan, pemerasan, dan kolusi.

Korupsi dan Tindak Kejahatan

Huisman dan Walle (2009:1) menyatakan bahwa korupsi merupakan bentuk tindak kejahatan (crime). Beberapa konsep telah dikembangkan untuk membedakan bentuk-bentuk dari tindak kejahatan. Konsep-konsep ini dapat memberi pemahaman tentang korupsi dengan lebih baik. Konsep yang paling penting dalam menghubungkan korupsi sebagai tindak kejahatan adalah organised crime, occupational crime, dan organisational crime.

Korupsi dan organised crime

Menurut Huisman dan Walle (2009:2) organised crime dirasakan sebagai fenomena tindak kejahatan yang ancamannya terhadap sistem ekonomi yang legal terus mengalami peningkatan, tetapi tampaknya sulit bagi polisi untuk menangkap jaringan illegal yang ada dibalik organised crime (kejahatan yang terorganisir). Pencucian uang dan korupsi dianggap sebagai mekanisme yang dipakai oleh organised crime untuk memfasilitasi atau melanggengkan tindakan illegal tanpa perlu khawatir akan terdeteksi. Dapat dinyatakan terdapat hubungan simbiosis yang saling menguntungkan antara organised crime dengan institusi legal dan jika ada kesempatan organisasi kriminal akan melakukan korupsi. Korupsi menjadi penting dan memberi manfaat bersama. Selanjutnya kedekatan kedua institusi kriminal dan legal membuat korupsi menjadi lebih rumit dan sulit untuk dibuktikan. Akhirnya sebagian dari organised crime masuk dalam kehidupan institusi legal dan kegiatan kriminal secara total tercampur dengan kegiatan bisnis legal (Huisman dan Walle, 2009:4).

Korupsi dan occupational crime

Konsep occupational crime menjadi relevan ketika menggunakan sudut pandang korupsi secara pasif. Huisman dan Walle (2009:6) menjelaskan seorang karyawan, baik yang bekerja pada perusahaan swasta maupun institusi pemerintah, seringkali menyalahgunakan jabatan atau posisinya untuk keuntungannya sendiri dan mengabaikan atau bertentangan dengan kepentingan pemilik. Selanjutnya Huisman dan Walle (2009:6) menyatakan bahwa pembahas korupsi sebagai occupational crimedapat dimulai dari melihat beberapa ciri. Pertama, berkaitan dengan korupsi pasif, pelanggar (pelaku korupsi) memiliki tanggungjawab pribadi atas apa yang telah dilakukan, namun diabaikan oleh organisasi atau pihak yang dikorupsi (corruptee). Ada kekhawatiran dari corruptee, jika diproses kasus korupsi yang dilakukan oleh si pelanggar, pihak corruptee akan ikut terjerat. Kedua, occupational crime tidak selalu melawan kepentingan pemilik. Dari sudut pandang corruptee dalam kasus public corruption, seringkali terjadi bahwa organisasi dapat memperoleh keuntungan dari perilaku individu, terutama bila hal itu sudah menjadi bagian panjang dari proses pengaburan standar moral. Dalam kasus private corruption, kepentingan organisasi dan kepentingan coruptee saling berinteraksi.

Korupsi dan Organisational Crime

Menurut Huisman dan Walle (2009:6), oraganisasional crime dapat dijelaskan sebagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh organisasi atau anggota organisasi untuk kepentingan organisasi tersebut. Ini adalah bagian dari kejahatan kerah putih (white collar). Saat ini, domain organisational crime sudah menjadi lahan utama penelitian kriminologi, meskipun bukan khusus pada korupsinya. Hal ini disebabkan karena korupsi selalu terkait erat dengan kejahatan yang terorganisir dan dipandang sebagai ‘fasilitator’ dari kejahatan terorganisir.

Metode Penelitian

Merupakan penelitian diskripsi kualitatif yang mencoba mengidentifikasi kasus korupsi yang terjadi didaerah berdasarkan pelaku, jenis korupsi dan pengkategorian tindak criminal. Diskripsi mengenai kasus korupsi daerah didasarkan atas kliping berita dari harian media Kompas dan Tempo, baik versi cetak maupun online selama tahun 2012. Harian Kompas dan Tempo dipilih karena kedua harian tersebut paling banyak memberitakan mengenai kasus korupsi baik yangterjadi di pusat pemerintahan maupun di daerah. Dari hasil kliping, berita dikelompokkan berdarkan kasusnya, kemudian diberi kode untuk setiap kasus. Berita yang sudah tersusun secara kronologis untuk setiap kasus didiskripsikan, kemudian dianalisis berdasarkan pengkategirannya.

Pembahasan

Tabel 4.1. menginformasikan mengenai Kepala Daerah yang tersangkut masalah hukum, yang diproses selama tahun 2012.

Tabel 4.1.

Daftar Kepala Daerah yang Tersangkut Masalah Hukum

2012

 

No Nama, Jabatan Kasus Keterangan Proses Pengadilan
1. A. Muis Haka,
Bupati Sekadau, Kalbar
Korupsi anggaran pengadaan tanah Tahun 2005, Pemkab Sekadau melakukan pembebasan 207 Ha lahan untuk pembangunan kompleks Pemkab yang baru. Nilainya proyek di-markup hingga menimbulkan kerugian Negara Rp 14 miliar. Muis Haka adalah Plt Bupati yang juga ketua tim pembebasan lahan. Pengadilan Tipikor Pontianak (21/11/2012) menghukum Muis Haka 2 thn, denda Rp 100 juta subsider 3 bln kurungan
2. Agusrin M Najamudin, Gubernur Bengkulu Korupsi dana bagi hasil PBB Agusrin terbukti melakukan korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tahun 2006 melalui pembukaan rekening yang dibuat oleh Kepala Dinas Pendaptan Daerah Bengkulu. Gubernur Bengkulu 2010-2015 ini diberhentikan dari jabatannya pada 12 April 2012. Vonis kasasi MA, 4 thn penjara (01/01/2012). PN Jakarta Pusat sebelumnya memutus bebas Agusrin.
3. Amran Batalipu,
Bupati Buol
Suap pengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit. Amran menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat negara dengan meminta uang sebesar Rp 3 miliar kepada PT Hartati Inti Plantation untuk pembuatan surat rekomendasi kepada Gubernur dan Menteri terkait HGU Kelapa Sawit milik Hartati Murdaya. Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Amran penjara 7 thn 6 bln denda Rp 300 juta subsider 6 bln kurungan.
4. Andi Achmad Sampurnajaya,
Bupati Lampung
Korupsi dana APBD Andi Achmad terbukti memindahkan dana APBD senilai Rp 28 miliar ke BPR Tripanca. Vonis MA, penjara 12 thn, denda Rp 500 juta, subsider 6 bln kurungan, dan uang pengganti Rp 20,5 miliar subsider 3 thn kurungan.
5. Awang Farouk,
Gubernur Kaltim
Korupsi terkait divestasi Saham PT Kaltim Prima Coal Diduga terlibat dalam proses pengalihan dana hasil penjualan saham KPC senilai Rp 576 miliar, dari Pemkab Kutim ke PT Kutai Timur Energi, ketika Awang menjadi Bupati Kutai Timur. Pada November 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
6. Bambang Bintoro,
Bupati Batang 2002-2012
Korupsi APBD Kabupaten Batang Bambang diduga melakukan korupsi APBD tahun 2004 sebesar Rp 796 juta berupa dana premi asuransi anggota DPRD Batang. Dana itu dibagikan kepada 45 anggota DPRD Batang sebagai bantuan dana purnabakti. Sidang perdana Pengadilan Tipikor Semarang, Jateng, (16/5/2012).
7. Burhanuddin Husin,
Bupati Kampar, Riau
Korupsi izin usaha pemanfaatan hasil hutan Burhanudin menerima suap Rp 1,1 miliar dari beberapa perusahaan terkait pemberian ijin penebangan kayu. Negara dirukikan Rp 519 miliar. Pengadilan Tipikor menghukum Burhanuddin 2 thn 6 bln denda Rp 100 juta subsider 2 bln kurungan.
8. Eep Hidayat,
Bupati Subang
Biaya Pemungutan PBB Eep melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara dalam kasus korupsi Biaya Pungutan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Subang periode 2003-2008. Vonis MA 5 thn penjara, denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 2,5 miliar
9. Fadel Muhammad,
Gubernur Sulawesi Tenggara
Korupsi sisa dana APBD Kasus ini berawal dari dibagikannya dana sisa APBD sebesar Rp 5,4 miliar kepada 45 anggota DPRD (2001-2006) melalui SKB Ketua DPRD dan Gubernur Sulawesi Tenggara Fadel Muhammad yang kemudian dibuat Perda. Kasus ini pernah dihentikan prosesnya oleh Kejati Gorontalo dengan terbitnya dua kali Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tahun 2009 dan 2010. Kejaksaan Tinggi Gorontalo (25/5/2012) menetapkan lagi Fadel Muhammad sebagai tersangka.
10. Fauzi Siin,
Bupati Kerinci 1999-2008
Korupsi dana APBD 2008 Fauzi melakukan korupsi pada sejumlah proyek pengadaan makanan dan minuman, pengadaan kendaraan bermotor, dan pengadaan alat tulis kantor. Kerugian negara Rp 2,8 miliar. Vonis MA (26/01/2012), penjara pokok 4 thn, hukuman 6 bln, denda Rp 200 juta, pengembalian uang Rp 2,8 miliar.
11. John Manoppo,
Wali Kota Salatiga
Korupsi proyek Pembangunan Jalan Lingkar Joh terbukti melakukan penunjukan langsung terhadap PT Kuntjup yang ternyata bukan peserta tender dengan tawaran harga terendah, dalam proyek Jalan Lingkar Selatan. Kasus ini terjadi saat John menjabat Wali Kota Salatiga. Kerugian negara mencapai Rp 12,2 miliar. Pengadilan Tipikor Semarang memvonis penjara 3 thn 6 bln, denda Rp 100 juta subsider 3 bln kurungan.
12. Marlina M. Siahaan, Bupati Bolaang Mongondow, Sulut Korupsi APBD Kasus ini terjadi tahun 2010. Pemkab Bolaang Mongondow mengalokasikan tunjangan aparat pemerintah desa TPAPD dalam APBD 2010 sebesar Rp 12,3 miliar. Terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan kerugian negara Rp 3,8 miliar. Pada Oktober 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
13. Mochtar Mohammad,
Walikota Bekasi
Suap anggota DPRD, Adipura, anggota BPK; korupsi anggaran Mochtar diajukan ke pengadilan untuk 4 kasus dugaan korupsi: suap anggota DPRD senilai Rp 1,6 miliar untuk pengesahan APBD; korupsi anggaran makanan minuman Rp 639 juta; suap pemenangan piala Adipura senilai Rp 500 juta; dan suap BPK agar mendapat predikat wajar tanpa pengecualian. Vonis MA, 6 thn penjara, denda Rp 300 juta, uang pengganti Rp 639 juta
14. Murman Effendi,
Bupati Seluma, Bengkulu
Suap 27 anggota DPRD Murman terbukti memberikan uang ke 27 anggota DPRD Seluma, terkait perubahan Perda 12/2010 menjadi Perda 2/2011 yang mengatur tentang peningkatan dana anggaran pembangunan infrastruktur Vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 2 tahun penjara denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
15. Rina Iriani Sri R,
Bupati Karanganyar
Korupsi dana subsidi pembangunan perumahan Rina diduga menyalahgunakan bantuan subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat, 2007-2008. Nilai dana yang tidak sesuai peruntukan mencapai sekitar Rp 18 miliar, sedangkan yang diduga dinikmati oleh Rina Rp 11,1 miliar. Pada Oktober 2012, proses pengadilan masih berlangsung.
16. Robert Edison Siahaan,
Walikota Pematang Siantar
Korupsi Dana DPU dan anggaran Bansos APBD Kota Korupsi anggaran rehabilitasi DPU APBD Pematang Siantar 2007 sebesar Rp 8,3 miliar (dari anggaran Rp 14,7 miliar hanya realisasinya Rp 6,4 miliar); dan anggaran bansos senilai Rp 2,175 miliar. Vonis Pengadilan Tipikor Medan, 8 thn penjara, denda Rp 100 juta subsider 4 bln kurungan
17. Satono,
Bupati Lampung Timur
Korupsi APBD Satono terbukti melakukan korupsi dengan menjaminkan uang kas daerah di bank yang tidak dijamin LPS, yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan lancar karena uang yang mengendap di bank sudah dibekukan. Vonis MA, penjara 15 thn denda Rp 500 juta subsider 6 bln kurungan, dan uang pengganti Rp 10,58 miliar.
18. Soemarmo Hadi S,
Walikota Semarang
Suap anggota DPRD Kota Semarang Soemarmo bersama Sekda Semarang memberikan hadiah kepada beberapa anggota DPRD terkait pembahasan APBD Kota Semarang dengan nilai total Rp 304 juta. Pengadilan Tipikor menjatuh-kan hukuman penjara 1 thn 6 bln dan denda Rp 50 juta subsider dua bulan penjara.
19. Sunaryo,
Wk Walikota Cirebon
Penyelewengan dana APBN Sunaryo bersama anggota DPRD lainnya ikut memanipulasi APBD 2004 senilari Rp 4,9 miliar untuk kepentingan pribadi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Vonis Pengadilan Tipikor Bandung 1 thn penjara, denda Rp 50 juta serta uang pengganti Rp 180 juta.
20. Untung Sarono Wiyono, Bupati Sragen, Jawa Timur Penyalahgunaan APBD Kabupaten Untung terbukti menyalahgunakan APBD Sragen dengan mendepositokan uang APBD Sragen 2003-2010 ke Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebesar Rp 40 miliar. Dari jumlah tersebut, Untung tidak dapat mengembalikan Rp 11 miliar. Vonis MA (24/9/2012) 7 thn denda Rp 250 juta subsider 6 bln kurungan, uang pengganti Rp 11 miliar, subsider 5 bln kurungan.

Sumber: Pengolahan Data

Berdasarkan kasus sebagaimana tersaji pada Tabel 4.1.dapat dikatakan bahwa dari 20 pejabat daerah yang melakukan tindak pidana korupsi 11 memiliki posisi Bupati, 4 Gubernur, dan 4 Wali Kota, 1 Wakil Walikota, dengan wilayah tersebar mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari 20 kasus korupsi di atas 12 terkategori jenis penggelapan (embezzlement), 4 penyuapan (bribery), 3 penggelembungan (mark up), 1 nepotisme (favoritism) . Satu kasus masuk dalam kelompok penggelapan jika terjadi pencurian atau penggunaan sumber daya oleh pejabat yang ditugaskan untuk mengelola sumber daya tersebut. Yang masuk dalam kategori ini adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Bengkulu, Kaltim, Sulawesi Tenggara, dan Bupati Lampung, Batang, Subang, Bolaang Mongondow-Sulut, Karanganyar, Lampung Timur, Seragen, Walikota Pematang Siantar dan Wakil Walikota Cirebon . Kasus korupsi masuk dalam kategori penyuapan jika pejabat atau aparat pemerintah menutut pembayaran dari publik agar suatu pekerjaan lebih cepat selesai, memenangkan tender, mendapatkan pelayanan yang bukan menjadi hak publik. Dari Tabel 4.1. ada 4 kasus korupsi yang masuk dalam kategori ini yaitu Kasus korupsi Walikota Bekasi dan Semarang, Bupati Bengkulu, Buol, dan Riau. Terdapat 2 kasus Pengelembungan (mark up) yaitu kasus korupsi Bupati Kerinci dan Sekadau(Kalbar). Satu satunya jenis favoritism terjadi pada kasus korupsi Walikioa Salatiga.

Dengan menggunakan pemikiran Huisman dan Walle (2009:1), di mana korupsi merupakan bentuk tindakan kriminal yang dapat dikategorikan sebagai organised crime, occupational crime, dan organisational crime, maka setelah mempelajari 20 kasus korupsi di atas dapat dinyatakan semuanya masuk dalam kategori organised crime.

Semua kasus korupsi yang tersebut dalam Tabel 4.1. telah masuk proses pengadilan, Ada 5 kasus masih dalam proses pengadilan, lainnya sudah ada keputusan Pengadilan. Sedangkan kasus yang sudah mendapat keputusan pengadilan ada 9 dengan vonis antara 1 sampai 5 tahun, 6 kasus dengan vonis di atas 5 samapai dengan 15 tahun.

Kesimpulan

Kasus korupsi di daerah selalu melibatkan Pejabat mulai dari Gubernur, Walikota, Bupati, dan anggota DPRD. Menggunakan dana APBD, dana masyarakat, penerimaan pajak, dan bersifat masif, hampir terjadi disemua provinsi. Hukuman yang dijatuhkan cukup ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pejabat-pejabat berikutnya.

 

Daftar Pustaka

Andvig, Jens, Chr, Fjeldstad O. H, Amundesen. I, Sissener,T, Soreide.T (2000). Research on Corruption A Policy Oriented Survey, Commissioned by NORAD, Chr Michelsen Institute & Norwegian Institute of Intenational Affair (NUPI), www.icgg.org/download/contribution_advig.pdf

Bac, Mehmet (1998), The Scope, Timing, and Type of Corruption, International Review of Law and Economic 18 (1), Elsevier Science Inc., New York

Huisman, Wim, Walle G. V. (2009), The Criminology of Corruption, 9th Chapter, Criminology of Corruption. Pp1-38, pure.hogent.be/portal

Kurniawan Teguh (2009), Peran Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, 16(2), hal. 116-121.

Pusat Kajian Anti Korupsi (2012), Trend Corruption Report Tengah Tahun Pertama 2012, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Suwarno Yogi, Junanto Deny (2006), Strategi Pemberantasan Korupsi, Dosen Tetap STIA LAN, Jakarta, www.stialan.ac.id/publik/artikel.php.

http://www.bps.go.id/ Badan Pusat Statistik (2013), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2012, Berita Resmi Statistik No. 07/01/th XVI, 2 Januari

http://www.transparancy.org/research/cpi/overview, Coruption Perception Index, Transparancy Intenationl 2012

http:// politik.kompasiana.com/2012/Korupsi Menyengsarakan Rakyat Miskin

http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/03/bps-masyarakat-indonesia-cenderung-anti-korupsi-516143.htmldiakses pada 2 Januari 2013 pukul 21.12.

http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2012/12/06/peluncuran-corruption-perception-index-2012diakses pada 5 Januari 2013 pukul 23.05