Netiquette Part 2: Berbagi info boleh? Boleh, tapi ada etikanya.

Oleh: Mardiana Sukardi
Seringkali kita menemukan ada artikel atau tulisan yang bagus di internet. Dan kita ingin membagikan atau meneruskan artikel atau tulisan tersebut dalam akun media sosial kita. Sebelum itu maka perhatikan etikanya terlebih dahulu.

Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk meneruskan tulisan tersebut:
1. Gunakan fitur Bagikan atau Share yang biasanya ada di bagian bawah tulisan. Dengan cara ini, maka link tulisan tersebut akan masuk dalam dinding akun kita. Cara ini paling aman, karena tidak ada bagian yang tertinggal. Sertakan pula caption yang sesuai dan apabila memungkinkan mentioned si penulis atau sertakan namanya. Tapi cara ini ada sedikit kelemahan, karena pembaca yang tertarik, perlu harus membuka tautan tersebut. Dan hal ini tergantung dari koneksi internet yang dimiliki.

2. Cara berikutnya adalah menyalin isi tulisan dalam dinding media sosial kita. Memang pembaca akan lebih mudah saat ingin membacanya. Tapi yang sangat perlu diperhatikan adalah, sebelum kita tekan Post, pastikan tidak ada bagian tulisan yang tertinggal. Tidak ada bagian yang diubah ato dikurangi, karena bisa mengubah arti keseluruhan tulisan. Hal tersebut sangat tidak baik untuk dilakukan. Tulis di bagian atas bahwa ini adalah tulisan dari siapa. Dari sejak awal kita harus jujur bahwa ini bukan tulisan kita. Seringkali kita lihat ada suatu tulisan, setelah kita baca habis, baru di bawah kita tahu ternyata ini bukan tulisan si pemilik akun. Mari kita hargai sejak awal kepemilikan tulisan tersebut.

Okay, sekarang kalau sudah tahu etikanya, mari berbagi informasi yang baik dan benar.

Jakarta, hujan di akhir Januari 2017




Metode Fuzzy Logic (Logika Fuzzy) untuk Mendukung Keputusan

 Fuzzy Logic (Logika Fuzzy)

  1. Himpunan Crisp Dan Himpunan Fuzzy 

Himpunan Crisp didefinisikan oleh item-item yang ada pada himpunan itu. Jika a anggota dari A, maka nilai yang berhubungan dengan a adalah 1. Namun, jika a bukan anggota dari A, maka nilai yang berhubungan dengan a adalah 0. Notasi A = {x P(x)} menunjukkan bahwa A berisi item x dengan P(x) benar. Jika XA merupakan fungsi karakteristik A dan properti P, maka dapat dikatakan bahwa P(x) benar, jika dan hanya jika XA(x) = 1.

Himpunan fuzzy didasarkan pada gagasan untuk memperluas jangkauan fungsi karakteristik sedemikian sehingga fungsi tersebut akan mencakup bilangan real pada interval [0,1]. Nilai keanggotaannnya menunjukkan bahwa suatu item dalam semesta pembicaraan tidak hanya berada pada 0 atau 1, namun juga nilai yang terletak diantaranya. Dengan kata lain, nilai kebenaran suatu item tidak hanya bernilai benar atau salah. Nilai 0 menunjukkan salah, nilai 1 menunjukkan benar dan masih ada nilai-nilai yang terletak antara benar dan salah. Beberapa hal yang perlu diketahui dalam memahami sistem fuzzy :

  • Variabel Fuzzy. Merupakan variabel yang hendak dibahas dalam suatu sistem fuzzy, contoh : umur, temperature, permintaan dan sebagainya.
  • Himpunan Fuzzy. Merupakan suatu grup yang mewakili suatu kondisi atau keadaan tertentu dalam suatu variabel fuzzy,
    • contoh : –   Variabel umur dibagi menjadi 3 himpunan fuzzy : muda, parobaya, tua.

–  Variabel temperature ibagi menjadi 5 himpunan fuzzy : dingin, sejuk, normal, hangat dan panas.

  • Semesta Pembicaraan. Keseluruhan nilai yang diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy, contoh : semesta pembicaraan untuk variabel temperature : [0 40].
  • Domain. Keseluruhan nilai yang diinginkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam suatu himpunan fuzzy.
  • Nilai Ambang Alfa-Cut. Merupakan nilai ambang batas domain yang didasarkan pada nilai keanggotaan untuk tiap-tiap domain, dimana α – cut memiliki 2 kondisi :    α -cut lemah dapat dinyatakan sebagai : μ (x) ≥ α,  α – cut kuat dapat dinyatakan sebagai : μ (x) > α [2]

                     

  1. Fungsi Keanggotaan 

Fungsi Keanggotaan. Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaaan titik-titik input data kedalam nilai keanggotaannya (sering disebut dengan derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1.

Fungsi keanggotaan dapat dibuat kedalam beberapa bentuk kurva diantanya,

a. Representasi Linier

Pada representasi linier, permukaan digambarkan sebagai suatu garis lurus. Bentuk ini paling sederhana dan menjadi pilihan yang baik untuk mendekati suatu konsep yang kurang jelas. Ada 2 kemungkinan keadaan himpunan fuzzy yang linier. Pertama, kenaikan himpunan dimulai pada nlai dominan yang memiliki derajat keanggotaan nol [0] bergerak kekanan menuju ke nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan lebih tinggi.

b. Representasi Kurva Segitiga

Kurva segitiga pada dasarnya merupakan gabungan antara 2 garis linier

 

 

  1. Sistem Interferensi Fuzzy

Metode Penalaran Monoton

Metode penalaran monoton digunakan sebagai dasar untuk teknik implikasi fuzzy. Meskipun penalaran dengan menggunakan teknik ini sudah jarang sekali digunakan, namun terkadang masih digunakan untuk penskalaan fuzzy. Jika 2 daerah direlasikan dengan implikasi sederhana sebagai berikut:

IF x is A THEN y is B

Transfer fungsi:

y = f ( (x , A) , B )

Maka sistem fuzzy dapat berjalan tanpa harus melalui komposisi dan dekomposisi fuzzy. Nilai output dapat diestimasi secara langsung dari derajat keanggotaan yang berhubungan dengan antesendennya.

 

  1. Metodologi Desain Sistem Fuzzy

Untuk melakukan perancangan suatu sistem fuzzy perlu dilakukan beberapa tahapan berikut ini :

a. Mendefinisikan karakteristik model secara fungsional dan operasional.

Pada bagian ini perlu diperhatikan karakteristik apa saja yang dimiliki oleh sistem yang ada, kemudian dirumuskan karakteristik operasi-operasi yang akan digunakan pada model fuzzy.

b. Melakukan dekomposisi variabel model menjadi himpunan fuzzy

Dari variabel-variabel yang telah dirumuskan, dibentuk himpunan-himpunan fuzzy yang berkaitan tanpa mengesampingkan domainnya.

c. Membuat aturan fuzzy

Aturan pada fuzzy menunjukkan bagaimana suatu sistem beroperasi. Cara penulisan aturan secara umum adalah : If (X1 is A1) . … . (Xa is An) Then Y is B dengan ( . ) adalah operator (OR atau AND), X adalah scalar dan A adalah variabel linguistik.

 

Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat aturan adalah :

– Kelompokkan semua aturan yang memiliki solusi pada variabel yang sama.

–  Urutkan aturan sehingga mudah dibaca.

– Gunakan identitas untuk memperlihatkan struktur aturan.

–  Gunakan penamaan yang umum untuk mengidentifikasi variabel-variabel pada kelas yang  berbeda.

–  Gunakan komentar untuk mendeskripsikan tujuan dari suatu atau sekelompok aturan.

–  Berikan spasi antar aturan.

–  Tulis variabel dengan huruf-huruf besar-kecil, himpunan fuzzy dengan huruf besar dan elemen-elemen bahasa lainnya dengan huruf kecil.

 d. Menentukan metode defuzzy untuk tiap-tiap variabel solusi

Pada tahap defuzzy akan dipilih suatu nilai dari suatu variabel solusi yang merupakan konsekuen dari daerah fuzzy. Metode yang paling sering digunakan adalah metode centroid, metode ini memiliki konsistensi yang tinggi, memiliki tinggi dan lebar total daerah fuzzy yang sensitif.

 

  1. Metode Tsukamoto

Pada Metode Tsukamoto, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-Then harus direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire strength). Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata-rata terbobot.

 

Referensi:

Kusumadewi, Sri (2003). Artificial Intelligence (Teknik dan Aplikasinya). Edisi Pertama. Penerbit Graha Ilmu, Jakarta.

T. Sutojo, E. Mulyanto dan V. Suhartono, 2011. “Kecerdasan Buatan”, Ed. I, Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Kusumadewi. S dan H. Purnomo. (2004). Aplikasi Logika Fuzzy Untuk Mendukung Keputusan. Graha Ilmu, Yogyakarta.

 




Metode Profile Matching (Pencocokan Profil) Untuk Menghitung Gap Penilaian Dalam Pengambilan Keputusan

Metode Profile Matching (Pencocokan Profil)

Proses perhitungan pada metode Profile Matching, diawali dengan pendefinisian nilai minimum untuk setiap variabel-variabel penilaian. Selisih setiap nilai data testing terhadap nilai minimum masing-masing variabel, merupakan gap yang kemudian diberi bobot. Bobot setiap variabel akan dihitung rata-rata berdasarkan kelompok variabel Core Factor (CF) dan Secondary Factor (SF). Komposisi CF ditambah SF adalah 100%, tergantung dari kepentingan pengguna metode ini. Tahap terakhir dari metode ini, adalah proses akumulasi nilai CF dan SF berdasarkan nilai-nilai variabel data testing.

Pembobotan pada metode Profile Matching, merupakan nilai pasti yang tegas pada nilai tertentu karena nilai-nilai yang ada merupakan anggota himpunan tegas (crisp set). Di dalam himpunan tegas, keanggotaan suatu unsur di dalam himpunan dinyatakan secara tegas, apakah objek tersebut anggota himpunan atau bukan dengan menggunakan fungsi karakteristik.

Langkah-langkah metode profile matching adalah:

  1. Menentukan variabel data-data yang dibutuhkan.
  2. Menentukan aspek-aspek yang digunakan untuk penilaian.
  3. Pemetaan Gap profil.

Gap = Profil Minimal – Profil data tes

  1. Setelah diperoleh nilai Gap selanjutnya diberikan bobot untuk masing-masing nilai Gap.
  2. Perhitungan dan pengelompokan Core Factor dan Secondary Factor. Setelah menentukan bobot nilai gap, kemudian dikelompokan menjadi 2 kelompok yaitu:
    1. Core Factor (Faktor Utama), yaitu merupakan kriteria (kompetensi) yang paling penting atau menonjol atau paling dibutuhkan oleh suatu penilaian yang diharapkan dapat memperoleh hasil yang optimal.

NFC = ENC / EIC

Keterangan:

NFC     :  Nilai rata-rata core factor

NC       :  Jumlah total nilai core factor

IC         :  Jumlah item core factor

            2. Secondary Factor (faktor pendukung), yaitu merupakan item-item selain yang ada pada core factor.

Atau  dengan kata lain merupakan faktor pendukung yang kurang dibutuhkan oleh suatu penilaian.

NFS = ENS / EIS

Keterangan:

NFS   :  Nilai rata-rata secondary factor

NS     :  Jumlah total nilai secondary factor

IS       :  Jumlah item secondary factor

  1. Perhitungan Nilai Total. Nilai Total diperoleh dari prosentase core factor dan secondary factor yang diperkirakan berpengaruh terhadap hasil tiap-tiap profil.

                       N = (x) % NCF + (x) % NSF                      

Keterangan:

N  :  Nilai Total dari kriteria

NFS         :  Nilai rata-rata secondary factor

NFC         :  Nilai rata-rata core factor

(x) %        :  Nilai persen yang diinputkan

 

  1. Perhitungan penentuan ranking. Hasil Akhir dari proses profile matching adalah ranking. Penentuan ranking mengacu pada hasil perhitungan tertentu.

                             Ranking = (x) % NMA + (x) % NSA     

Keterangan :

NMA        :  Nilai total kriteria Aspek Utama

NSA           :  Nilai total kriteria Aspek Pendukung

(x) %        :  Nilai persen yang diinputkan

 

Referensi:

Jumadi, Cecep Nurul Alam, Ichsan Taufik (2015). “Pendekatan Logika Fuzzy untuk Perhitungan Gap pada Metode Profile Matching dalam Menentukan Kelayakan Proposal Penelitian”, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Bandung.

Turban, E. (1988). Decision Support and Expert System. MacMillan Publishing Company, New York.

Marimin (2005). Teori Dan Aplikasi Sistem Pakar Dalam Tehnologi Manajerial. IPB – Press, Bogor




Situs Bersejarah ‘Choeung Ek’ di Phnom Penh Kamboja

Teman teman, saya ingin bercerita sedikit tentang pelajaran yang bisa diambil dari berkunjungnya saya suatu waktu di masa lalu ke Phnom Penh, Kamboja. Phnom Penh adalah ibukota negara Kamboja, salah satu kota paling terkenal di sana, tapi jangan bayangkan saat teman teman ke sana situasinya akan seperti di Jakarta. Yes, mungkin seperti di Jakarta, tapi Jakarta tahun berapa. Mungkin sekarang kondisi di sana sudah lebih baik, namun waktu saya ke sana tahun 2012, Phnom Penh terlihat begitu ‘sederhana’ seperti Jakarta jaman dulu. Kondisi rakyatnya pun tak se’baik’ se’makmur’ di kota besar di Indonesia, dan ini adalah salah satu akibat dari kejahatan Khmer Merah di tahun 70an di mana rakyat sengaja dibuat bodoh oleh pemerintah yang berkuasa. Orang orang pintar di masa itu dihabisi, rakyat dibantai, dan tempat pembantaiannya yang bernama Killing Fields of Choeung Ek itu sekarang dijadikan situs bersejarah dan objek wisata bagi para pelancong. Yang teman teman lihat di gambar adalah sebuah gedung di area Killing Fields of Choeung Ek, di mana di sana diletakkan tengkorak dari korban pembantaian yang berhasil dikumpulkan. Yang menjadi pelajaran buat kita adalah berhati-hatilah dengan kondisi kita di masa sekarang, di mana mungkin berbagai macam hiburan yang ada dibuat agar kita, anak-anak kita, generasi muda kita terlena sehingga kita menjadi malas, malas belajar, malas mencari ilmu, dibodohi dengan hedonism, kita menjadi konsumtif (baca:boros), dsb. Kita harus pandai memanfaatkan fasilitas yang ada untuk maju, untuk memajukan bangsa ini, sama-sama terus saling mendorong, jangan egois, maunya pintar sendiri juga sebuah kesalahan. Bangsa ini perlu banyak orang pandai, orang baik, orang yang senang berbagi, sehingga kita bisa maju bersama sama. Jangan SOS, Senang Orang Susah, Susah Orang Senang. Jadi begitu ya teman teman. Mari saling mengingatkan, berbagi manfaat, dan terus saling mendoakan. Semoga tulisan pendek ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Salam semangat dari saya.




Different Factors Influence Different Translations

There are explanations from Nida in Venuti 2004:160 which are related to how one translation can be different from other translations and one of those that is interesting for me most is about what the four basic requirements of a translation usually meets, which are (1) making sense, (2) conveying the spirit and manner of the original, (3) having the a natural and easy form of expression, and (4) producing a similar response
People have different cultural and situational background, the languages we have will also consist of differences and these conditions affect the different translations which are resulted by someone. Something that is in a language considered common can be translated into something more specific or even exaggerated when we see it from the SL (Source Language) point of view though the meaning of the expression will give the same understanding when it is in TL (Target Language). The two examples of translation here were taken from Indonesian short stories written by an Indonesian author (Djenar Maesa Ayu) and translated by a person whom I guess is neither an Indonesian nor a Native Speaker of English, because his name is Michael Nieto Garcia.
1. Original text: Namun saya sangat benci kepada lintah.
Translation: But I had a deep loathing for the leech.
2. Original text: Sepanjang hidupnya Hyza tidak pernah sudi makan buah durian.
Tanslation: All of her life Hyza had never allowed herself to eat durian.

In the first sample we can see how the part of the sentence was translated differently in the form of the text, which in the original text (SL) the word “benci” has a function as a verb but then in the TL it was translated into the word “loathing” which functions as a noun. Additionally, in English, the word “benci” can be translated into the word “hate or hatred” and if we have them checked on the coca (http://corpus.byu.edu/coca/) Corpus bank of data, we can see how actually the word hate or hatred is more commonly used in the texts, but in the translation above the translator chose to use loathing than hate or hatred. This condition could happen because of some reasons which we could not find why but we can predict that it’s all because he is familiar with the word loathing and he thought the word loathing is more suitable for being used in the text he translated (by seeing the content of the story and the context the story has).
And for the second sample we can see how the Indonesian phrase “tidak pernah sudi” was translated into the English phrase “had never allowed herself” which actually when the English phrase is translated back into Indonesian the meaning would be quite different compared to the original text, since the meaning of “tidak sudi” is more about having no willingness rather than not being allowed. This condition seems happen because the Indonesian word “sudi” does not appear a lot in Indonesian text and it makes some translators, including the translator above, Garcia, does not have the clear idea what the word “sudi’ precise meaning.
However, at some points both phrases can express the same idea and will get the same response from readers, the translation is making sense, and they conveying the spirit and manner of the original.
As a conclusion, we can see here how it is true that there can be no fully exact translation since no two languages are identical, either in the meanings given to corresponding symbols or in ways in which such symbols are arranged in phrases and sentences it stands to reason that there can be no absolute correspondence between languages, (Nida in Venuti, 2004:153).

References
Ayu, D.M., (2009) Mereka Bilang Saya Monyet (9th ed.). Jakarta, Indonesia: Gramedia
Ayu, D.M., (2005) They say I’m a Monkey (M.N. Garcia, Trans.). Jakarta, Indonesia: Metafor Intermedia.
Nida, E., (2004). Principles of Correspondence. In L. Venuti (Eds), The Translation Studies Reader (pp.153-167). New York, USA: Routledge.




Myopia metode riset pemasaran

Kalau dulu dikenal istilah marketing myopia, sekarang ada istilah methods myopia. Simak tulisannya:

Pemasaran merupakan disiplin ilmu yang kompleks dan senantiasa berkembang, sehingga berbagai fenomena menarik serta penggunaan metode yang beragam amat bermanfaat dalam pengayaan konsep. Tanpa diragukan lagi, riset pemasaran telah mengalami kemajuan pesat yang awal mulanya berupa riset deskriptif, lalu digunakan berbagai metode riset yang canggih dalam pengembangan teori pemasaran. Para pakar pemasaran dengan penuh semangat dalam rancangan risetnya menggunakan berbagai alat analisis serta data yang melimpah karena perkembangan teknologi informasi tahun 1990an.
Namun sayang, penggunaan metode kuantitatif yang canggih-canggih itu memainkan peran dalam menurunkan penggunaan beragam metode penelitian. Padahal keragaman metode dapat meningkatkan kemajuan disiplin pemasaran dan dapat mengembangkan pengetahuan lebih jauh dibandingkan dengan penggunaan metode kuantitatif semata. Keragaman metode akan memberikan hasil yang lebih kuat, kontribusi yang lebih besar, dan dampak yang lebih hebat.
Barangkali temuan pada penelitian ini dapat merangsang diskusi diantara pakar mengenai bahaya methods myopia (rabun metode) serta manfaat keragaman metode bagi disiplin ilu pemasaran.

Davis, D. F., Golicic, S. L., Boerstler, C. N., Choi, S., & Oh, H. (2013). Does marketing research suffer from methods myopia? Journal of Business Research, 66(9), 1245–1250. http://doi.org/10.1016/j.jbusres.2012.02.020

 




Proses Riset (Crotty, 1998)

Menurut Crotty (1998) dalam setiap proses penelitian ada empat unsur dasar.

  1. Epistemologi
  2. Perspektif teoritis
  3. Metodologi
  4. Metode

crotty-1

Gambar ini dijelaskan oleh tabel berikut.

crotty-2

Namun Crotty tidak memasukkan ontology, dengan alasan:

“Ontological issues and epistemological issues tend to emerge together (….) to talk of the construction of meaning is to talk of the construction of meaningful reality (…) because of this confluence, writers in the research literature have trouble keeping ontology and epistemology apart conceptually” (p. 11).

Sementara Porta & Keating (2008) menjelaskan keterkaitan antara unsur-unsur dalam proses penelitian sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut.

porta1

porta2

Referensi

Crotty, M. (1998). The Foundations of Social Research: Meaning and perspective in the research process. London: SAGE Publications Ltd.

Porta, D. della, & Keating, M. (2008). Approaches and Methodologies in the Social Sciences. (D. della Porta & M. Keating, Eds.). Cambridge: Cambridge University Press.




A I

                                        Asymmetric Information = A I

Beberapa pengertian A I :
a. Suatu kondisi dimana ada satu pihak memiliki informasi yang lebih baik dari pada pihak yang lain. Dalam konteks perusahaan, manajer memiliki informasi yang lebih baik tentang kondisi perusahaan dibandingkan dengan investor yang tidak terlibat dalam manajemen.

b. Dalam bidang ekonomi, asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya. Umumnya pihak penjual yang memiliki informasi lebih banyak tentang produk dibandingkan pembeli, meski kondisi sebaliknya mungkin juga terjadi.

c. Kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).

d. Suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan dan jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.

Tipe Informasi Asimetris menurut Scott (2000) :

a. Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar.

Para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

b. Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.

Kegiatan yang dilakukan oleh manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

Contoh Asymmetric Information :
– Kredit usaha rakyat yang diberikan secara mudah dengan bunga murah cendrung akan menimbulkan morald hazard dari peminjam.
– Penurunan kepedulian seseorang terhadap kesehatan sebab mereka berasumsi bahwa kesehatannya sudah terjamin dengan asuransi apabila sakit sehingga pihak asuransi membuat kontra/aturan/perjanjian bahwa dalam klaim asuransi ada biaya yang menjadi tanggungan bersama. Sehingga kontrak dapat mengantisipasi munculnya morald hazard.

000OOO000

Gambar AI




Subyek, Responden, Informan dan Partisipan

Subyek biasanya digunakan dalam riset eksperimental atau kuasi-eksperimental, individu ditempatkan pada suatu keadaan tertentu dan bereaksi terhadap adanya intervensi. Ini merupakan istilah yang pasif, diasosiasikan sebagai “real” science.

Responden adalah istilah yang sering digunakan dalam ilmu sosial dalam survey, individu diminta menjawab pertanyaan terstruktur dan semi terstruktur. Biasanya responden menyampaikan kepada peneliti jawaban sesuai dengan pertanyaannya; tidak lebih dan tidak kurang.

Informan adalah istilah yang diturunkan dari antropologi, dan istilah ini digunakan karena peneliti dianggap naif dan harus diberi penjelasan atau arahan tentang apa yang terjadi, tentang aturan budaya, dan sebagainya. Budaya sebagai fenomena yang kompleks harus ditafsirkan dan informan adalah orang yang terpilih sebagai penghubung antara antropolog dengan kelompok budaya yang dipelajari.

Partisipan menunjukkan bahwa peran yang paling ktif adalah pada individu yang diteliti. Istilah ini biasa digunakan dalam riset kualitatif. Hubungan antara partisipan dengan peneliti dapat bersifat setara atau tidak setara (misalnya dokter dengan pasien).

(Morse, 1991)

 

Dalam riset survey, partisipan sering merujuk pada responden/interviewee.

Responden/interviewee menyampaikan informasi tentang diri mereka (seperti opini, preferensi, nilai-nilai, gagasan2, perilaku, pengalaman) dengan menjawab survey atau wawancara.

Untuk penelitian eksperimen, istilah yang tepat untuk partisipan adalah subyek. Subyek biasanya dipelajari dalam rangka mendapatkan data untuk penelitian.

Kemudian istilah informan digunakan untuk partisipan dalam penelitian tentang fenomena sosial, dan mereka  diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai pegetahuan dan pengalaman mereka.

Responden  dan informan penting untuk dibedakan karena responden berbicara mengenai diri mereka, namun, tak semua responden dapat menjadi informan yang baik.

(Salkind, 2010)

 

Istilah-istilah yang digunakan dalam melakukan wawancara adalah subyek, responden, informan, interviewee dan partisipan, yang urutannya menunjukkan pergerakan dari pasif hingga aktif.

Subyek adalah wawancara yang terstruktur dengan pertanyaan tertutup, sejalan dengan harapan pewawancara agar tak ada bias dalam riset dan data. Data obyektif yang ingin diperoleh, dan subyektivitas benar-benar diminimalisir.

(Edwards & Holland, 2013)

 

Subyek, responden, informan dan partisipan merujuk pada manusia atau individu yang setuju menjadi bagian dari riset. Istilah-istilah tersebut mencerminkan perbedaan cara berpartisipasi serta perbedaan hubungan antara individu dengan peneliti.

Dalam riset eksperimental individu merujuk pada subyek yang peranannya pasif dan peneliti berusaha menjaga hubungan yang bersifat obyektif.

Dalam riset survey individu dipandang sebagai responden krena mereka diminta merespon pertanyaan-pertanyaan tertentu.

Dalam penelitian naturalistik individu disebut informan, istilah yang mencerminkan peran aktif mereka membagi informasi kepada peneliti mengenai budaya dan konteks dimana informan berada.

Partisipan merujuk pada individu-individu yang menjalin hubungan kerjasama dengan peneliti, berkontribusi dalam pengambilan keputusan pada riset, serta menyampaikan kepada peniliti mengenai hal-hal yang mereka ketahui atau alami. Hal ini biasanya digunakan pada riset aksi.

(DePoy & Gitlin, 2015)

 

Referensi

DePoy, E., & Gitlin, L. N. (2015). Introduction to research: Understanding and applying multiple strategies. Elsevier Health Sciences.

Edwards, R., & Holland, J. (2013). What is qualitative interviewing. In G. Crow (Ed.), “What is?” Research Methods series. London & New York: Bloomsbury Academic.

Morse, J. M. (1991). Subjects, Respondents, Informants, and Participants? Qualitative Health Research, 1(4), 403–406.

Salkind, N. J. (2010). Encyclopedia of research design. Sage Publications.

 




Hirarki Riset

Riset pada berbagai strata: S1, S2 & S3

Knox, K. (2004). A Researcher ’ s Dilemma – Philosophical and Methodological Pluralism. Electronic Journal of Business Research Methods, 2(2), 119–128. http://doi.org/10.1080/03085140500465899