Produksi merupakan urat nadi dari rangkaian aktivitas ekonomi, yang mana tidak akan pernah ada aktivitas konsumsi, distribusi ataupun perdagangan tanpa diawali oleh proses produksi. Untuk itulah aktivitas produksi sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa. Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa dibutuhkan keterlibatan banyak faktor produksi. Pada umumnya faktor produksi melibatkan alam, tenaga kerja, modal dan kewirausahaan/pengorganisasian. Keempat faktor produksi inilah yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam produksi masalah yang timbul juga bagaimana pengorganisasian faktor produksi serta penentuan harga input maupun output yang sesuai dengan tujuan dari produksi.
Dalam ekonomi konvensional, teori produksi ditujukan untuk memberikan pemahaman tentang perilaku perusahaan dalam membeli dan menggunakan masukan untuk produksi dan menjual keluaran atau produk. Teori produksi juga menjelaskan tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Memaksimalkan keuntungan atau efisiensi produksi tidak akan terlepas dari dua hal; yakni struktur biaya produksi dan revenue yang didapat. Demikian juga dengan permodalan yang bisa didapat dari pinjaman tanpa kompensasi, dengan sistem bunga maupun dengan kerjasama.
Islam menolak sistem Pareto Optimum dan Given Demand Hypothesis sebagai prinsip dasar produksi yang Islami serta pentingnya orientasi terhadap kebajikan dan keadilan. Sehingga fokus utamanya adalah aktivitas produksi yang sesuai dengan dasar-dasar etos Islam.
Sebagaimana terdapat perbedaan yang mendasar dari perilaku seorang konsumen muslim dan non muslim, maka terdapat pula perbedaan yang mendasar dari perilaku seorang produsen muslim dan non muslim. Dalam setiap perilakunya, seorang muslim harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kedua sumber inilah yang membedakan perilaku ekonomi seorang muslim dengan non muslim. Dari kedua sumber ini, diturunkan beberapa prinsip-prinsip dan tujuan seorang muslim menjalankan aktivitas produksi. Pandangan tentang alam dan manusia sebagai faktor produksi menjadi pusat perhatian dalam aktivitas produksi. Bagaimana memanfaatkan semua faktor produksi yang ada agar sesuai dengan tujuan manusia diciptakan di muka bumi yaitu sebagai khalifah yang beribadah kepada Allah menjadi rambu yang harus dipatuhi. Karena dengan begitulah segala persoalan ekonomi dapat terselesaikan.
Pinsip-prinsip dan Tujuan Produksi
Manusia diciptakan dimuka bumi tidak lain dan tidak bukan adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat Az-Zariyat ayat 56, yang artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Inilah prinsip dasar yang harus diperhatikan manusia sebagai mahluk, bahwa segala aktivitasnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, tidak lain dan tidak bukan. Begitu pula halnya dengan bekerja. Tidak ada aktivitas bekerja yang tidak pernah luput dari kerangka ibadah. Produksi yang merupakan salah satu bentuk dari kerja manusia juga harus mendasari aktivitasnya dalam koridor ibadah.
Dalam ayat lain Allah juga menerangkan bahwa manusia mempunyai tanggung jawab besar yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya di muka bumi ini, yaitu sebagai khalifah (pemimpin). Peranan manusia sebagai khalifah di muka bumi memerankan fungsi penting yang artinya ada sebuah amanah besar yang dibebankan kepada manusia untuk memakmurkan bumi. Allah yang telah menciptakan bumi dan langit, serta yang ada diantara keduanya memberikan mandat ini kepada manusia karena manusia memiliki kelebihan akal pikiran yang nantinya diharapkan dapat berguna untuk memanfaatkan segala sesuatu yang telah Allah karuniani ini.
Pemberian mandat dan amanah dari Allah kepada manusia mengenai bumi ini bertujuan agar manusia (1) dapat memanfaatkan isi bumi dan (2) memperoleh pendidikan agar manusia ingat nikmat yang telah dianugerahkan oleh-Nya. Amanah yang diberikan Allah kepada umat manusia ini pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bekerja dan mencari karunia Allah. Islam melarang bermalas-malasan namun Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja dan bekerja. (Muhammad, 2004)
Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut: (Mustafa dkk, 2006)
- Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahmaan dan Rahiim-Nya kepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
- Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhanan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-Qur’an dan Hadis.
- Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pemah bersabda: ”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
- Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan dan ketentuan Allah, atau karena tawakal kepada-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama selain Islam. Sesungguhnya Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. sebagai pemilih hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan dipenuhi dengan optimal.
Keadilan dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan sesungguhnya merupakan intisari ajaran Islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu saja harus senantiasa berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat. Shiddiqi (1992) menyebutkan 3 prinsip pokok produsen yang islami, yaitu :
- Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan.
- Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat (untuk mencapai kesejahteraan) sehingga segala keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini.
- Optimalisasi keuntungan diperkenankan dengan batasan kedua prinsip di atas.
Produsen harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap keadilan dan kebajikan, sehingga nilai-nilai ini harus menjadi pedoman bagi kegiatan ekonomi dan bisnisnya. Kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan juga harus menjadi tujuan dari kegiatan produksi, baik produksi secara makro maupun mikro. Dengan batasan kedua prinsip ini, maka produsen dapat memaksimumkan tingkat keuntungan yang ingin dicapainya. Dengan demikian, segala upaya memaksimalkan keuntungan tidak boleh dilakukan dengan meninggalkan prinsip keadilan dan kebajikan bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Sesungguhnya penerapan prinsip-prinsip produksi yang islami juga sangat kondusif bagi upaya produsen untuk mencapai keuntungan maksimum jangka panjang. Jika perusahaan mengutamakan keadilan dan kebajikan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka dengan sendirinya eksistensi perusahaan dalam jangka panjang akan lebih terjamin. Jadi tujuan keadilan dan kebajikan dalam poduksi akan berkorelasi positif dengan keuntungan yang dicapai perusahaan.
Selain itu, ada beberapa nilai yang dapat dijadikan oleh produsen, khususnya muslim, sebagai sandaran motivasi dalam melakukan proses produksi, yaitu: (Sa’ad Marthon, 2004)
Pertama; profit bukanlah merupakan satu-satunya elemen pendorong dalam berproduksi, tetapi kehalalan dalam menghasilkan suatu barang atau jasa dan keadilan dalam mengambil keuntungan merupakan motivasi penting dalam berproduksi.
Kedua; Produsen harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari proses produksinya. Artinya semua dampak sosial (social return) yang ditimbulkan dari proses produksi haruslah dapat tertanggulangi dengan baik. Selain itu, barang yang yang diproduksi juga harus merefleksikan kebutuhan dasar masyarakat.
Ketiga; produsen harus memperhatikan nilai-nilai spiritualisme, dimana nilai tersebut harus dijadikan penyeimbang dalam melakukan produksi. Artinya harus kembali lagi kepada hakekat penciptaan manusia dan niatan untuk mencari ridho Allah.
Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik itu produksi, konsumsi ataupun perdagangan, motivasi yang sifatnya individualistis sangat dijauhkan. Oleh karena itu, Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Dimana kegiatan produksi yang dapat menghasilkan kebutuhan untuk dikonsumsi dan juga keuntungan bagi si produsen harus dapat berkontribusi terhadap kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumber daya insani ke arah pencapaian kondisi full employment, di mana setiap orang bekerja dan menghasilkan suatu karya kecuali mereka yang ‘udzur syar’i seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyah), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proporsional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksi sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain. (Mustafa dkk, 2006)
Sedangkan Shiddiqi (1992) menyebutkan beberapa tujuan kegiatan produksi adalah sebagai berikut :
- Pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat.
- Menemukan kebutuhan masyarakat.
- Persediaan terhadap kemungkinan-kemungkinan di masa depan.
- Persediaan bagi generasi mendatang.
- Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.
Tujuan pertama menimbulkan dua implikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dan bukan keinginan. dari konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang Islami, bukan sekedar memberikan kepuasan yang maksimum bagi konsumen. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.
Produsen juga dituntut untuk proaktif dan kreatif dalam menemukan berbagai barang dan jasa yang memang dibutuhkan oleh manusia. Terkadang konsumen tidak menyadari apa yang dibutuhkan. Dengan demikian produsen diharapkan dapat menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan di masa mendatang.
Konsep pembangunan yang berkesinambungan adalah konsep yang memberikan persediaan yang memadai bagi generasi mendatang. Dengan demikian kegiatan eksplorasi alam juga sebaiknya menyediakan untuk generasi mendatang. Sedangkan tujuan yang terakhir yaitu berorientasi kepada kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah memberikan implikasi yang luas sebab produksi tidak akan selalu menghasilkan keuntungan material. Ibadah juga kadang membu- tuhkan pengorbanan material. Kegiatan produksi tetap harus berlangsung meski pun ia tidak memberikan keuntungan materi, sebab ia akan memberikan keuntungan yang lebih besar berupa pahala di akhirat nanti.
Faktor-faktor Produksi
Pada dasarnya tidak ada sebuah kesepakatan tentang klasifikasi faktor produksi, baik di kalangan ekonom konvensional maupun ahli ekonomi Islam. Perbedaannya disebabkan karena ketidaksamaan tentang definisi, karakteristik, maupun peran dari masing-masing faktor produksi dalam menghasilkan output.
Permasalahan ekonomi dalam faktor produksi pada dasarnya mencakup dua hal, yaitu :
- Bagaimana hubungan antar satu faktor produksi dengan faktor produksi lainnya, termasuk apa yang lebih penting dan apa yang lebih dahulu berperan dalam produksi.
- Bagaiman menentukan harga, yaitu harga faktor produksi itu sendiri maupun kaitan antara faktor produksi dengan harga output produksi.
Produksi merupakan suatu proses yang mentransformasikan input menjadi output. Segala jenis input yang masuk dalam proses produksi untuk menghasilkan output disebut faktor produksi. Ilmu ekonomi menggolongkan faktor produksi ke dalam capital (termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventori/persediaan), materials (bahan baku dan pendukung, yakni semua yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan output termasuk listrik, air dan bahan baku produksi), serta manusia (Labor). Input dapat dipisah-pisahkan dalam kelompok yang lebih kecil lagi. Manusia sebagai faktor produksi misalnya bisa dibedakan menjadi manusia terampil dan tidak terampil. Juga dapat digolongkan ke dalamnya adalah entrepreneurship (kewirausahaan) dari pemilik dan pengelola perusahaan. Kewirausahaan sendiri dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan organisasi usaha, mengambil risiko untuk menciptakan kegiatan usaha. Selain faktor-faktor di atas, manajemen juga merupakan satu faktor produksi tersendiri. (Mustafa dkk, 2006)
Menurut Yusuf Qardhawi, faktor produksi yang utama menurut. Al-Qur’an adalah alam dan kerja manusia. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Alam adalah kekayaan yang telah diciptakan Allah untuk kepentingan manusia, ditaklukkan-Nya untuk merealisasikan cita-cita dan tujuan manusia. Kerja adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia baik jasmani maupun akal pikiran, untuk mengolah kekayaan alam ini bagi kepentingannya. Tidak dimasukkannya modal sebagai salah satu faktor produksi dikarenakan modal adalah bentuk alat dan prasarana yang merupakan hasil dari kerja. Modal adalah kerja yang disimpan. Atas dasar itu maka unsur yang paling penting dan rukun yang paling besar dalam proses produksi adalah amal (kerja) usaha, dengannya bumi diolah dan dikeluarkan segala kebaikan dan kemanfaatannya sehingga menghasilkan produksi yang baik.
Dalam Al-Qur’an digambarkan kisah penciptaan Adam antara lain pada Surat al-Baqarah ayat 30 dan 31 yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhamnu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertashih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirma “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”
Dari pemaparan ayat di atas dapat dilihat bahwa ilmu juga merupakan faktor produksi terpenting dalam pandangan Islam. Teknik produksi, mesin serta sistem manajemen merupakan buah dan ilmu dan kerja.
Terdapat 2 prinsip dasar yang harus dijadikan pedoman dalam penentuan harga faktor produksi, yaitu: (1) Nilai keadilan (justice) dan (2) Pertimbangan kelangkaan (scarcity).
Penentuan harga faktor produksi haruslah adil, sebab keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam semua transaksi yang Islami. Kelangkaan mengacu pada kondisi relatif antara permintaan suatu barang atau jasa terhadap penawarannya. Mekanisme pasar akan menghasilkan harga yang mencerminkan kelangkaannya. Pertimbangan kelangkaan berarti penempatan harga pasar sebagai harga dari faktor produksi tersebut.
Faktor-faktor produksi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Alam adalah faktor produksi yang bersifat asli. Tanah dan segala zat yang dikandung di dalamnya maupun dipermukaannya, udara dan segala yang ada diangkasa adalah faktor produksi yang sangat penting. Alam juga merupakan faktor produksi asal, sebab dari alamlah kemudian segala jenis kegiatan produksi berlangsung. Isu yang menyangkut tentang sumber daya alam ini , yaitu :
- Ketersediaan sumber alam dalam jangka panjang.
- Bagaimana menentukan harga sumber daya alam karena manusia tinggal mengeskplorasikannya.
- Bagaimana menjaga kelestarian alam karena bersifat dapat habis.
Islam juga membolehkan pemilikan tanah dan sumber-sumber alam yang lain dan membolehkan penggunaannya untuk beraktivitas produksi, dengan syarat hak miliknya merupakan tugas sosial dan khilafat dari Allah atas milik-Nya, dengan mengikuti perintah-perintah Tuhan dalam usaha memperoleh milik. (Abdul Muhsin dalam Muhammad, 2004)
Tanah memiliki dua karakteristik, yaitu: (1) tanah sebagai sumber daya alam; dan (2) tanah sebagai sumber daya yang dapat habis.(Mannan, 1992)
Tanah sebagai sumber daya alam yang penggunaannya akan memberikan kontribusi pada dua komponen penghasilan, yaitu: (a) penghasilan dari sumber-sumber daya alam sendiri (yakni sewa ekonomis murni), dan (b) penghasilan dari perbaikan dalam penggunaan sumber-sumber daya alam melalui kerja manusia dan modal. Sementara karakteristik kedua bahwa Islam memandang, sumber daya yang dapat habis adalah milik generasi kini maupun generasi masa yang akan datang. Generasi kini tidak berhak menyalahgunakan sumber-sumber daya yang dapat habis sehingga menimbulkan bahaya bagi generasi yang akan datang.(Muhammad, 2004)
M.A. Mannan melontarkan kebijaksanaan pedoman dalam mengelola tanah sebagai sumber daya, yaitu:
- Pembangunan pertanian pada negara-negara Muslim dapat ditingkatkan melalui metode penanaman yang intensif dan ekstensif jika dilengkapi dengan suatu program pendidikan moral berdasarkan ajaran Islam.
- Penghasilan yang diperoleh dari penggunaan sumber daya yang dapat habis harus lebih digunakan untuk pembangunan lembaga-lembaga sosial (seperti: sekolah, rumah sakit) dan untuk infrastruktur fisik daripada konsumsi saat sekarang.
- Sewa ekonomis murni boleh lebih digunakan untuk memenuhi tingkat pengeluaran konsumsi sekarang.
Secara umum para ahli ekonomi sependapat bahwa tenaga kerja itulah produsen satu-satunya dan tenaga kerjalah pangkal produktivitas dari semua faktor-faktor produksi yang lain. Alam maupun tanah takkan bisa menghasilkan apa-apa tanpa tenaga kerja. Kekayaan alam semesta dapat berubah menjadi hasil produksi yang bernilai karena jasa tenaga kerja. Tenaga kerja meliputi buruh maupun manajerial. Karakter terpenting tenaga kerja dibandingkan dibandingkan dengan faktor produksi lain adalah karena mereka adalah manusia. Isu yang menyangkut hal ini adalah :
- Bagaimana hubungan antara tenaga kerja dengan faktor produksi lain.
- Bagaimana memberi “harga” atas tenaga kerja.
- Bagaimana menghargai unsur-unsur keadilan, kejiwaan, moralitas dan unsur-unsur kemanusiaan lain dari tenaga kerja.
Dalam memandang faktor tenaga kerja inilah terdapat sejumlah perbedaan. Faham ekonomi sosialis misalnya memang mengakui faktor tenaga kerja merupakan faktor penting. Namun paham ini tidak memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak milik individu, sehingga faktor tenaga kerja atau manusia turun derajatnya menjadi sekadar pekerja atau kelas pekerja. Sedangkan paham kapitalis, yang saat ini menguasai dunia, memandang modal atau kapital sebagai unsur yang terpenting, dan oleh sebab itu, para pemilik modal atau para kapitalislah yang menduduki tempat yang sangat strategis dalam ekonomi kapitalis.
Pemahaman terhadap peran manusia dalam proses produksi oleh para ekonomi konvensional tampak berevolusi. Semula manusia hanya dipandangdan sisi jumlah fisiknya ketika dipandang sebagai ’tenaga kerja’ atau labor. Sadar bahwa di samping ’tenaga’ manusia juga memiliki aspek ’keterampilan’ yang sifatnya lebih nonfisik, kemudian dibedakan antara tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Selanjutnya dibedakan pula manusia antara pemilik, pengelola, dan pekerja seperti yang baru saja dibahas. Manusia sebagai faktor produksi, dalam pandangan Islam, harus dilihat dalam konteks fungsi manusia secara umum yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, manusia memiliki unsur rohani dan unsur materi, yang keduanya saling melengkapi. Karenanya unsur rohani tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji proses produksi dalam hal bagaimana manusia memandang faktor-faktor produksi yang lain menurut cara pandang Al- Qur’an dan Hadis. (Mustafa dkk, 2006)
Menurut M.A. Mannan dikatakan bahwa dalam Islam, buruh (tenaga kerja) digunakan dalam arti yang lebih luas namun juga lebih terbatas. Lebih luas, karena hanya memandang pada penggunaan jasa buruh diluar batas-batas pertimbangan keuangan. Terbatas dalam arti bahwa seorang pekerja tidak secara mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.
Modal adalah kekayaan yang memberi penghasilan kepada pemiliknya. Atau kekayaan yang menghasilkan suatu hasil yang akan digunakan untuk menghasilkan suatu kekayaan lain. (Ahmad Ibrahim dalam Muhammad, 2004)
Awalnya pengertian modal mencakup segala kekayaan baik dalam wujud uang maupun bukan uang misalnya gedung, mesin dan lain-lain. Pada masa ini pengertian modal meluas mencakup segala wawasan, ketrampilan, pengetahuan dan kekayaan manusia (human capital) yang sangat berguna bagi kegiatan produksi. Isu terpenting tentang modal adalah bagaimana menentukan harganya, dimana dalam ekonomi konvensional harga ini dapat berupa bunga (untuk modal uang) dan sewa.
Di dalam sistem Islam modal (sebagai hak milik) adalah amanah dari Allah yang wajib dikelola secara baik. Manusia atau para pengusaha hanya diamanahi oleh Allah untuk mengelola harta atau modal itu sehingga modal itu dapat berkembang. Terhadap perlakuan modal sebagai salah satu faktor produksi, Islam memiliki terapi sebagai berikut: (Muhammad, 2004)
- Islam mengharamkan penimbunan dan menyuruh membelanjakannya, juga Islam menyuruh harta yang belum produktif segera diputar, jangan sampai termakan oleh zakat.
- Di samping Islam mengizinkan hak milik atas modal, Islam mengajarkan untuk berusaha dengan cara-cara lain agar modal tersebut jangan sampai terpusat pada beberapa tangan saja.
- Islam mengharamkan peminjaman modal dengan cara menarik bunga.
- Islam mengharamkan penguasaan dan kepemilikan modal selain dengan cara-cara yang diizinkan syari’ah, seperti: kerja, hasil akad jual beli, hasil pemberian, wasiat dan waris.
- Islam mewajibkan zakat atas harta simpanan atau harta produktif dalam bentuk dagang pada setiap ulang tahun. Tidak boleh menggunakan modal dalam produksi secara boros.
Modal tidak termasuk faktor produksi yang pokok dalam Islam, melainkan hanya sebagai sarana produksi yang menghasilkan dan juga sebagai suatu perwujudan tanah dan tenaga kerja sesudahnya. Modal sendiri merupakan suatu hasil dari kerja mengelola alam yang tersimpan. Jadi jelaslah bahwa memang modal bukan suatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan akibat dari faktor produksi lainya. Namun hal ini tidak pula dapat mengesampingkan modal sebagai faktor produksi, tetapi posisinya tidak diutamakan, segaimana utamanya tenaga kerja, sumber daya alam dan ilmu itu sendiri.
Wirausaha (entrepreneur) pada dasarnya dapat dikatakan sebagai motor penggerak kegiatan produksi. Kegiatan produksi berjalan karena adanya gagasan, upaya dan motivasi untuk mendapatkan manfaat sekaligus bersedia menanggung segala resiko. Tenaga kerja dapat digantikan dengan mesin, tidak demikian dengan wirausahawan.
Wirausaha dapat juga diartikan sebagai pengorganisasian faktor-faktor produksi yang ada atau dengan kata lain manajemen. Manajemen disini tentunya tidak lepas dari pengertian manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang diberikan kemampuan akal. Dari akal inilah manusia memiliki ilmu yang akhirnya dapat mengelola sumber daya alam dan manusia dengan baik.
Manajemen adalah upaya mulai sejak timbulnya ide usaha dan barang apa yang ingin diproduksi/berapa dan kualitasnya bagaimana dalam angan-angan si manajer. Kemudian ide tersebut dipikir-pikirnya dan dicarikan apa saja keperluannya yang termasuk dalam faktor-faktor produksi sebelumnya. Islam menyuruh melakukan manajemen dan mengharuskan kepada manajer untuk mengikuti jalan keadilan dan menjauhi jalan yang akan membahayakan masyarakat. Atas dasar tersebut manajer Islam mengharamkan untuk mengatur produksi barang-barang yang haram dan tidak membolehkan perencanaan produksi barang-barang seperti ini.
Fungsi Produksi
Atas dasar-dasar yang matang tentang perilaku produsen yang sesuai dengan syari’at Islam, maka kita dapat melihat suatu fungsi produksi yang mencerminkan perilaku produsen Islami. Menurut Muhammad Abdul Mannan (1992), perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi permintaan pasar melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini didukung oleh M.M. Metwally (1992) yang menyatakan bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variabel tingkal keuntungan tetapi juga oleh variabel pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds. Sehingga fungsi utilitas dari pengusaha muslim adalah sebagai berikut:
Di mana:
F = tingkat keuntungan
G = tingkat pengeluaran untuk good deeds/charity
Menurut Metwally, pengeluaran perusahaan untuk charity akan meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan, karena G akan menghasilkan efek penggandaan (multiplier effects) terhadap kenaikan kemampuan beli masyarakat. Kenaikan kemampuan beli masyarakat itu pada gilirannya akan meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan.
Fungsi daya guna tersebut merupakan fungsi dari jumlah keuntungan dan jumlah pengeluaran untuk sedekah, dengan kendala keuntungan setelah pembayaran zakat, yang besarnya kurang dari tingkat minimum yang aman buat perusahaan.
Tingkat keuntungan diperoleh dari pengurangan pendapatan total dengan biaya produksi dan sedekah yang dapat disebut dengan keuntungan bersih sebelum zakat. Selain itu ada variabel zakat yang besarnya bergantung kepada keuntungan bersih. Metwally menambahkan variabel tambahan pengeluaran dari keuntungan. Jadi tingkat keuntungan (F) dapat dituliskan sebagai berikut:
Dimana:
a = tingkat zakat
b = tingkat pengeluaran lain
R = pendapatan total
C = biaya produksi
S = sedekah
Tujuan suatu aktivitas produksi adalah memaksimumkan fungsi daya guna/utilitas dengan kendala keuntungan minimum yang dapat diterima. Kondisi optimum terjadi pada saat penerimaan marginal (marginal revenue) sama dengan biaya marginal (marginal cost). Fungsi daya guna produksi yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biaya dan pendapatan, melainkan juga dipengaruhi oleh variabel sedekah dan zakat, memberikan dampak yang jika dilihat sekilas akan mengurangi produksi.
Namun tidaklah demikian, Metwally mengatakan bahwa terwujudnya keseimbangan dalam produksi yang Islami terjadi pada saat penerimaan marginal sama dengan biaya marginal seperti halnya kondisi produksi non Islam. Ini tidak berarti akan menghasilkan tingkat produksi yang sama pada perusahaan dengan produksi Islami dengan perusahaan produksi non Islam. Tingkat produksi islami lebih besar jika dibandingkan dengan produksi non Islam pada struktur biaya yang sama. Hal ini dikarenakan adanya variabel S (sedekah) yang secara imlpisit mempengaruhi fungsi produksi yang mendorong kemampuan daya beli masyarakat yang senantiasa meningkat sehingga produksi juga akan terus ditingkatkan.
Berikut ini akan digambarkan perbedaan keseimbangan produksi Islami dan non Islam. Digambar ini akan dilihat perbedaan jumlah produksinya. Walaupun produksi Islami mengakibatkan tingkat harga (p’) yang lebih tinggi tetapi jumlah produksinya (q’) lebih tinggi pula. Ini menunjukkan bahwa tingkat harga yang tinggi pada produksi Islami tidak menguragi daya beli masyarakat bahkan aktivitas produksi lebih terpacu.
Grafik 1
Keseimbangan suatu perusahaan Islam dan non Islam
Kesimpulan
Sama halnya dengan aktivitas ekonomi lainnya, konsumsi dan distribusi, aktivitas produksi yang merupakan aktivitas hulu dari suatu kegiatan ekonomi harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip Islam. Prinsip-prinsip Islam yang menekankan keseimbangan juga berlaku dalam bidang produksi. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumbernya menganjurkan diperhatikannya nilai-nilai moral dalam melakukan aktivitas produksi. Tidak hanya keuntungan semata yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan Islami melaikan juga kemaslahatan bagi semua elemen kehidupan.
Prinsip-prinsip yang sangat ditekankan dalam menjalankan suatu proses produksi adalah keseimbangan dan keadilan. Adanya usaha untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan juga harus diikuti dengan adanya usaha mensejahteraan mereka yang terkait secara langsung maupun tidak dengan aktivitas produksi. Keuntungan yang ingin dicapai oleh perusahaan seharusnya tidak terbatas pada keuntungan duniawi semata tetapi juga memperhatikan keuntungan yang bersifat ukhrowi dengan adanya tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas produksi hendaknya dapat diperhitungkan sehingga adanya suatu mekanisme tanggung jawab didalamnya.
Faktor-faktor produksi menjadi suatu bahasan yang tidak kalah penting. Perbedaan prinsip menjadikan sudut pandang yang berbeda dalam melihat faktor-faktor produksi yang ada. Dalam Islam, faktor produksi sebenarnya hanyalah alam dan manusia itu sendiri. Tanah, air, udara dan segala sesuatu yang ada dibumi merupakan bagian dari faktor alam. Sedangkan manusia yang diberikan kemampuan akal menurunkan faktor produksi seperti tenaga kerja dan manajerial sebagai suatu keahlian dalam mengelola faktor-faktor produksi. Faktor modal hakekatnya hanyalah hasil dari kerja manusia yang disimpan untuk kelanjutan proses produksi selanjutnya.
Dari penjabaran inilah, fungsi produksi Islami dapat diturunkan sebagai reperensentasi yang memudahkan kita untuk mempelajari mekanisme-mekanisme apa yang mempengaruhi aktivitas ekonomi lainnya baik itu secara mikro maupun makro. Terlihat bahwa fungsi produksi Islami mencapai keseimbangan yang lebih tinggi yang juga berdampak pada tingkat harga dan jumlah produksi yang lebih tinggi pula. Kesemuanya itu mengindikasikan adanya suatu perubahan kearah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Wallahu’alam …
Daftar Pustaka
Karim, Adiwarman A., 2002, Ekonomi Mikro Islam, The International Institute of Islamic Thought Indonesia, Jakarta.
M.B. Hendrie Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Kampus Fakultas Ekonomi UII, Jogjakarta
Mannan, Muhammad Abdul, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta.
Marthon, Said Sa’ad, 2001, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim, Jakarta.
Metwally, M.M., 1995, Teori dan Model Ekonomi Islam, Pt Bangkit Daya Insani, Jakarta.
Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE, Yogyakarta.
Nasution, Mustafa Edwin, Nurul Huda, dkk., 2006, Pengenalan Ekslusif Ilmu Ekonomi Islam, Kencana Pranada Group, Jakarta.
Qardhawi, Yusuf, 2004, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta.