E – BOOK SELF PUBLISHING

Buku Self publishing ini disusun untuk dapat memberikan informasi tentang bagaimana
menerbitkan buku secara self publishing atau secara mandiri. Dan juga dapat memberikan semangat kepada calon penulis berbakat yang ada diseluruh indonesia.

Buku Self Publishing membuat Langkah Mudah Menerbitkan Buku Secara Mandiri yang dipublish oleh PENERBIT DEEPUBLISH.

Ebook-Self-Publishing

 

Semoga bermanfaat…

Sumber : Penerbit Deepublish




“Berdamai dengan Stres”

Siapa yang tidak kenal kata stres?  Barto mengalami stres ketika modal pinjaman sudah jatuh tempo, tetapi sepatu dagangan belum laku.    Pedri stres ketika harus menyelesaikan skripsi.   Roma stes ketika terjebak di tengah jalanan di Bekasi ketika menuju ke tempat kerja di Gatot Subroto.    Basil uring-

uringan ketika pekerjaan di kantor menumpuk.   Karto, Pedri, Roma, dan Basil semua mengalami stres.   Rekan-rekan dosen merasakan tekanan yang besar ketika harus menyelesaikan Laporan Penelitian sebagai salah satu tugas rutin tahunan setiap deadline.    Stres dialami setiap orang.  Secara umum, sumber stres berkaitan dengan pekerjaan seseorang (Morgan cs, 1996).

Lalu, darimana kita tahu bahwa kita sedang mengalami stres? Secara sederhana, stres dapat dideteksi dari fenomena yang dialami, seperti detak jantung yang berdebar-debar, berkeringat dingin, rambut rontok pada suatu ketika, jerawat bermunculan tanpa bisa dicegah, uring-uringan, dan masih banyak lagi muncul keluhan yang semuanya itu bisa dikategorikan sebagai keluhan fisiologis.   Selain itu, ada keluhan yang dapat dikategorikan sebagai keluhan psikologis, seperti tidak bisa tidur, makan serasa sekam, dan gelisah.   Ada juga beberapa orang yang mengalami perut mules ketika sedang stres.  Perut mules dikategorikan sebagai keluhan psikosomatis.   Setelah diperiksa secara medis, tidak ditemukan penyakit yang menyebabkan perut mules tadi.

Secara umum, stres dikatakan sebagai tekanan yang dirasakan mengganggu, sehingga yang bersangkutan tidak dapat maksimal dalam melakukan tugas-tugas kesehariannya.

Sekarang, mengapa Pedri stres ketika ujian skripsi?   Berbeda dengan Merlon yang tampak santai padahal dia sedang sidang skripsi?  Mengapa dua orang tersebut menunjukkan sikap yang berbeda ketika stres?  Perbedaan coping to stress pada masing-masing orang ditentukan oleh faktor personal dan situasional.   Krakteristik, kepribadian, intelegensi, sikap kerja,  pengalaman personal, dan values berpengaruh pada cara-cara yang dipilih untuk mengatasi stres.   Faktor kepemimpinan dan situasi sosial juga memberikan pengaruh pada cara-cara mengatasi stres (Morgan cs, 1996).    Maka, itulah alasan mengapa ada orang yang survive ketika melakukan coping to stress, dan ada orang  yang kewalahan ketika stres.

Lalu, pertanyaannya, apakah stres itu diperlukan? Ya, stres itu diperlukan, sejauh stres bersifat fungsional.   Artinya, stres itu fungsional, ketika stres dapat memicu produktivitas pribadi.   Dan sebaliknya, stres menjadi kontra produktif, ketika stres bersifat disfungsional.    Stres membuat seseorang semakin terpuruk.

Pengetahuan yang dimiliki, diperkuat dengan karakteristik pantang menyerah, serta pengalaman menghadapi kesulitan dalam kehidupan, membantu seseorang untuk mampu mengalahkan stres yang dialami.    Beragam cara dapat dilakukan untuk mengatasi stres, seperti lakukan hobi lari di lintasan perumahan, atau menanam sayur di halaman.  Prinsipnya, stres harus disalurkan melalui kegiatan yang bermanfaat.   Penyaluran energi yang menyesakkan ini dapat dilakukan secara individual maupun komunal.

Nah, mari berdamai dengan stres …

Note:

Ide tulisan dengan judul yang sama pernah dimuat di buletin Empower, Media Komunikasi Civitas Akademika Stimik Perbanas, Jakarta, September 2003.

Sumber Bacaan:

Morgan, Clifford T. , Richard A. King, John R. Weisz & John Schopler.    1996.   Introduction to psychology.   New York:  McGraw

 




“How to Improve Your Finance Skills (Even if You Hate Number)”

Harvard Business Review (March 31, 2017)

By Rebeeca Knight

If you’re not a numbers person, finance is daunting. But having a grasp of terms like EBITDA and net present value are important no matter where you sit on the org chart. How can you boost your financial acumen? How do you decide which concepts are most important to understand to your work and your understanding of the business? And who’s in the best position to offer advice?

 What the Experts Say

Even if you don’t need to know a lot about finance to do your day-to-day job, the more conversant you are on the subject, the better off you’ll be, according to Richard Ruback, a professor at Harvard Business School and the coauthor of the HBR Guide to Buying a Small Business. “If you can speak the language of money, you will be more successful,” he says. After all, if you’re trying to sell a product or strategy, you need to be able to demonstrate that it is both practical and high margin. “The decision-makers will want to see a simple model that shows revenue, costs, overhead, and cash flow,” he says. “They need to see why it’s a good idea.” Joe Knight, a partner and senior consultant at the Business Literacy Institute and the coauthor of Financial Intelligence, says that an absence of financial savvy is “career-limiting.” If you’re unable to contribute to a discussion on the company’s performance, you’re unlikely to advance. “You are not going to be involved in running projects unless you understand the financials,” he says. Here are some strategies to improve your financial intelligence.

 Overcome your fears

Stop avoiding finance because you’re afraid of numbers. It’s not rocket science, says Ruback. Think of it this way, “Finance is the way businesses keep score. It’s like counting balls and strikes in baseball,” but instead you’re “measuring progress through financial performance,” he says. “It’s not that complicated.” Besides, the math is easier than you might think, says Knight. “Finance and accounting are very simple. It’s mostly addition and subtraction and occasionally some multiplication and division,” he says. “There’s no magic.”

 Learn the lingo

There may not be any magic to finance, but there is a fair amount of jargon. Fortunately, there are many ways to learn the terminology, says Knight. You “just need to take initiative,” he says. If your company offers internal finance training, take advantage of it. If it doesn’t, consider enrolling in an online or community college class. Of course, there are also myriad books and reference guides on the topic. The most important concepts to grasp are “how to measure profitability, EBITDA, operating income, revenue, and operating expenses,” he says. A finance textbook or reference guide is a good investment; but “Google works too,” he says.

 Tackle the balance sheet

Next, says Knight, you need to immerse yourself in your organization’s income statements. “Take an interest in the balance sheet and then do the due diligence to understand it,” he says. The best way to learn, says Ruback, is to “reproduce the numbers” either electronically or on a sheet of paper and then “group them into categories so you can start to see how much your company spends and where it makes money,” he says. Convert the numbers to percentages so you more easily visualize the breakdown of revenue and expenditures. “You want to see the big picture.”

 Focus on key metrics

Boosting your financial expertise requires figuring out the metrics by which your company measures success. Your goal is to develop a deep understanding of the precise “link between profit and loss” and how that affects your organization’s performance over time, says Knight. That metric is often expressed in the form of a ratio. “There are four ratios common in every company: profitability, leverage, liquidity, and operational efficiency,” he says. And every organization has “two or three ratios within” those groups that are considered its primary measures of performance, in addition to “industry-specific ratios.” Paying closer attention to your company’s balance sheet and “listening to your company’s quarterly earnings calls” is helpful in getting a handle on these metrics. “They’re not hard to calculate. It just takes effort,” he says.

 Play with numbers

Once you have a solid understanding of the balance sheet and what drives your company’s growth, try “experimenting and playing with the numbers” by going through a “series of ‘what if?’ scenarios,” says Ruback. For instance, What if prices were lower? What if revenue was higher? What if costs go down or up? “You’re not managing specific business decisions, you’re trying to understand and internalize how the models work” and the assumptions they make. That way, when you do need to “tabulate the consequence of a particular decision,” such as, whether or not to launch a new product or shut down a factory, you have the tools to do so. “People think budgets are static. But in most instances, you run the models to figure out what’s important and how much room there is for error.”

 Find a financial mentor

Connecting with a “senior financial or operations manager” who can “teach you,” and “answer your questions one-on-one” is another way to get better at finance, says Knight. “It’s a very natural way to learn,” he adds. Ruback agrees. “Mentors are always helpful for someone who is not good with numbers,” he says. This person can both help explain concepts and serve as a sounding board for any financial decisions you need to make. Ruback suggests asking your colleague “to try to replicate” your projections and models when needed. “It sharpens your focus,” he says. “You find that Jane made certain assumptions, while you made others. One is not right and the other is not wrong, but [the differences] help you figure out what’s reasonable.”

 Make it personal

Still lacking motivation? Make improving your financial skills, says Knight. “Every time you are paid, your organization makes less profit. So you need to think about what you can do to help the company remain profitable or be more so.” The goal is to develop an understanding of how your day-to-day actions help your employer to “drive revenue or mitigate costs,” he says. “Think of yourself as a miniature profit and loss statement: How do you add value?” This can be a useful exercise, but don’t let it consume you, says Ruback. After all, it’s easier to determine your impact on the bottom line if you’re in sales, but it’s not as straightforward if you’re in, say, HR. “Integrate your role with the contributions of others,” he says, “and focus on the problems you can control, not the ones you can’t.”




Parts of Speech in English language

Since I already wrote once about sentence pattern or sentence structure, I think it’s going to be interesting to discuss the continuation of it or at least things related with it.

So Folks, many times we hear the word sentences mentioned in our world of languages. Then we should have known that sentences consist of many words, yup! Words! In English language the word classes or categories are well known as Parts of Speech.
In English, there are 8 Parts of Speech that we usually learn or know.
1. Verb
2. Noun
3. Adjective
4. Adverb
5. Pronoun
6. Preposition
7. Conjunction
8. Interjection

Knowing those parts of speech well is really important since each of them has different function when we use them in our sentences. Therefore when we learn grammar, not only English I believe, also other languages even our own mother tongue, if we know the parts of speech well then we will be better in using languages we learn.

How well do you know English parts of speech? Dictionary will help you a lot an in understanding them and practicing using them or reading a lot will help us get familiar with the functions of those parts of speech. Later in my other writings I will try to discuss some very important parts of speech, but if you are curious you can just read the material on many sources on the Internet or books.




MENYIAPKAN TANGGA MERAIH SUKSES

MC. Oetami Prasadjaningsih*

Dosen FEB  ABFII Perbanas Jakarta, Psikolog interest Psikologi Positif.

 

 

Setiap orang selalu memimpikan hidup sukses. Ketika seseorang ditanyakan kepadanya perihal  suskes itu seperti apa? Beragam respon pasti keluar: kelak bisa berguna bagi orang lain, bisa membeli sebuah rumah, bisa punya keluarga yang sakinah, bisa menuntaskan anak-anak yang dititipkan, bisa jalan-jalan keliling negara,   dan pasti banyak ungkapan akan dipaparkan.

Ada banyak cara mengajarkan untuk berhasil, tapi tidak banyak cara mengajarkan untuk bahagia. Manakah yang akan dipilih menyiapkan tangga sukses kita dan keluarga ?

Sesungguhnya faktor apa yang bisa berkontribusi untuk mendapatkan arah kuat meraih mimpi kesuksesan kita?.  Sekolah dengan gigih dan usaha keras selalu ditanamkan sejak kecil, dan tak jemu-jemunya selalu diingatkan oleh orang tua dan guru atau lingkungan saat itu untuk tidak menyontek, belajar yang rajin, tekun, tidak mengakali teman. Kata jujur dan disiplin, selalu belajar keras, harus fokus, semangat,  aktif, perlu luwes, harus siap bersaing adalah kata yang akrab terdengar di telinga saat kita menempuh pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.  Jika kita flash back, apa yang didengungkan orang tua dan guru-guru zaman lima-enam puluhan ternyata masih up date dengan kekinian di era digital , sekalipun sudah silih berganti generasi. Sebuah penelitian yang dilakukan  yang dilakukan tahun 2012, Thomas J Stanley, di USA, secara kualitatif dimana awalnya mendapatkan 200 ribu milliorner sukses, lalu disaring lebih ketat kadar kebahagiaannya melalui beberapa parameter bisnis dan keluarganya  (: yakni yang kaya, bisnisnya luar biasa, menikmati hidup dan keluarganya beres), selanjutnya hanya terpilih dan dilakukan wawancara secara mendalam terhadap 200 millioner saja.  Mereka adalah  yang rata-rata telah berumur dan kaya bukan dari warisan tetapi dari modal zero,  diperoleh gambaran gaya hidupnya  sebagai berikut: ( ditulis dalam buku Millioner Mind)

  1. Bergaya hidup hemat
  2. Anti hutang
  3. Loyal terhadap pasangan
  4. Hidup dalam damai sejahtera Tuhan
  5. Berpikir man of production (mencari peluang)
  6. Berintegritas, disiplin
  7. Bisa membagi aktivitas untuk urusan profan dan Tuhan
  8. Percaya akan Tuhan, tekun ibadah
  9. Religius ( Belajar mendengarkan suara Tuhan, minta bimbingan Tuhan dalam berbisnis)
  10. Tuhan adalah mentornya.

Selanjutnya, Thomas J Stanley  menelaah lebih seksama di tahun 2016 meyampaikan urutan utama faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan orang ternyata kecerdasan intelektual menempati urutan ke 21, bersekolah di dekolah favorit urutan ke 23, dan IPK pada urutan ke 30. Sepuluh faktor utama sukses adalah:

  1. Kejujuran
  2. Disiplin
  3. Gaul, mempunyai good interpersonal skill
  4. Dukungan dari pasangan hidup
  5. Bekerja lebih keras dari yang lain
  6. Mencintai apa yang dikerjakan
  7. Good and strong leadership
  8. Semangat dan berkepribadian kompetitif
  9. Good life management
  10. Ability to sell idea & product

Disinilah kita diyakinkan bahwa konsep” pinter”/pandai bermakna luas, tidak cukup di kelas namun keluasan dan keluwesan berteman menjadi modal penting untuk survive. Tongkrongan dan ngobrol dengan kalangan beragam yang kadang dipandang sebelah mata dan sering dianggap  tidak berfaedah, pada suatu waktu  memberi sumbangan pada pandangan atau kemunculan  gagasan dalam berpikir, mematangkan cara memilih pasangan hidup, belajar memimpin dan dipimpin orang lain, mempunyai “mirror” dari banyak pengalaman teman-teman.

Makna belajar saat ini juga tak dapat diabaikan dari teknologi, belajar dapat diperoleh  dari dunia bumi dan maya. Perubahan yang amat cepat harus disikapi dengan pengelolaan diri yang semakin kuat, kapan harus tekun tugas, bersantai, dan kapan berselancar di alam maya yang bermakna. Kebiasaan mengelola diri tidak selalu tiba-tiba “menjadi” baik tetapi berproses, kadang harus terbentur dan jatuh bangun, butuh sahabat/orang lain yang kadang menjadi reminder kita, bahkan ada kalanya  terhimpit karena keadaan. Jadi jangan terlalu khawatir kalau kita tidak menjadi 10 besar di kelas, atau IPKnya tidak hebat bahkan tidak cum laude, tetaplah berjuang karena  anak tangga  sukses dapat dipilih.

Ubahlah Madesu: Masa Depan Susah menjadi Madesu: Masa Depan Sukses. Salam perjuangan, tetap optimis.

 




DOSEN DAN TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI (TEORI DAN PRAKTEK

PRESENTASI  tentang :

DOSEN DAN TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI (TEORI DAN PRAKTEK)

TEORI DAN PRAKTIK TRI-DHARMA-PT

 

Oleh: Profesor Andi Faisal Bakti, MA, Ph. D.
Dipresentasikan pada Seminar Nasional “Membangun Kebijakan Kompetensi Tridarma Perguruan Tinggi Kota Jakarta.“
Auditorium IPDN Jakarta, Jum’at 10-02-2017




Sentence Structure or Sentence Patterns

My students seem still difficult to understand the verb they use in their sentences. I can recognize it from sentences they analyzed and the result of the analysis. Then I wonder, still until now, how I am able to help them understand that in English sentences in fact the patterns we have are quite similar as the ones we have in Indonesian. In Indonesian language a sentence is usually started by a subject, followed by a predicate, and so on. Well sometimes, before we have the subject, we like putting an adverb which is showing the time of the activity. Hmmm yaa adverb of time can be placed at some different positions, but the Subject, Predicate, Object, they cannot replace one another. It is not okay to put a predicate at the beginning of a sentence then followed by a subject, it’s just not the way is it is. There are rules to follow. If learners of English are good at creating a well-structured Indonesian sentence, I think it is going to be easier too for them to create sentences in English because English language has a quite similar pattern, which is Subject, Verb are used in a sentence where a subject will come first at the beginning of a sentence and it will be followed by verb and so on.

It’s just a short thought of the day that I like to share you since I am checking my students’ works and I keep finding this kind of errors in their writings.

Let’s brainstorm here 🙂
Comments are very welcome.

Cheers,




Media Sosial dalam Bisnis Bagian 1 – Mengapa Media Sosial?

Oleh: Mardiana Sukardi
Berikut adalah tulisan pertama dari beberapa tulisan (berseri) yang berkaitan dengan penggunaan media sosial yang marak dalam kegiatan bisnis. Kemudahan yang ditawarkan oleh media sosial tentunya juga memiliki dampak atau risiko yang perlu dipertimbangkan dan diantisipasi dari awal. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan pelaku bisnis yang menggunakan media sosial dalam kegiatan bisnisnya.

—————————————-

Banyak perusahaan atau organisasi menggunakan berbagai macam media sosial untuk menjangkau para pelanggan dan calon pelanggan, dalam menjual produk dan jasanya. Perbankan dan perusahaan keuangan atau asuransi, jasa layanan konsultan, ticketing/travelling, dan lain sebagainya, baik perusahaan berskala kecil, menengah, sampai enterprise. Sehingga dalam perkembangannya media sosial sangat memungkinkan menjadi enterprise’s official presence bagi suatu perusahaan (Cunningham, 2011). Yaitu, di mana kehadiran sosial media ini mewakili kehadiran perusahaan atau organisasi dalam menjalin komunikasi dan menyampaikan informasi kepada para stake holder.

Dibandingkan dengan website, yang lebih dulu digunakan oleh banyak perusahaan atau organisasi, maka informasi yang disampaikan ke stake holder akan lebih cepat diterima dengan melalui media sosial. Informasi yang disampaikan dalam website hanya akan dapat dibaca oleh stake holder, apabila mereka membuka website tersebut, yang dikenal dengan istilah pull technology. Sedangkan informasi melalui media sosial akan dengan sendirinya muncul pada layar timeline sosial media yang digunakan oleh stake holder atau dikenal dengan istilah push technology.

Informasi yang dirilis oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pada bulan Oktober 2016 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta dari total penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Berarti sekitar 51,8% penduduk Indonesia sudah menggunakan internet, dengan konsentrasi paling besar ada di Pulau Jawa, yaitu sekitar 86,3 juta orang. Dari penelitian yang dilakukan APJII ini juga terlihat bagaimana perilaku pengguna internet di Indonesia, salah satunya berkaitan penggunaan media sosial. Tiga media sosial yang paling banyak digunakan adalah Facebook (71,6 juta), Instagram (19,9 juta), dan Youtube (14,5 juta). Jumlah pengguna Facebook di Indonesia yang mencapai angka 71,6 juta ini, tentunya akan terus bertambah, dan menjadikan Facebook sebagai media sosial yang paling banyak digunakan.

Ke depannya jumlah pengguna media sosial ini makin bertambah dengan adanya penetrasi mobile phone yang makin tinggi. Jumlah pengguna Facebook di Indonesia yang menggunakan mobile phone ini diperkirakan mencapai 92,4%. Meskipun Twitter tidak masuk dalam 3 besar media sosial yang disampaikan pada data APJII, tapi penggunaannya pun cukup tinggi. Data penggunaan Twitter yang dirilis oleh Twitter (2015) menunjukkan adanya kenaikan jumlah tweet per hari. Pada tahun 2007 jumlah tweet mencapai 5.000 tweet per hari, dan meningkat menjadi 300 ribu tweet per hari pada tahun 2008. Jumlah ini meningkat menjadi 2,5 juta tweet per hari tahun 2009, dan pada tahun 2015 jumlah tweet per hari mencapai 50 juta, atau 600 tweet per detik. Dan untuk sosial media berbasis video Youtube mencatatkan angka 2 juta views per harinya.

Ada banyak alasan dan motivasi berkembangnya media sosial saat ini, utamanya adalah bahwa knowledge workers dapat berkontribusi dan berbagi pengetahuan dengan lebih mudah. Dan dengan berkembangnya teknologi Web 2.0, maka penggunaan sosial media lebih mudah diadaptasi oleh pengguna internet, yang juga bagian dari stake holder suatu perusahaan. Kelebihan yang diberikan oleh teknologi Web 2.0 memungkinkan para pengguna media sosial untuk mengunggah informasi sendiri pada akun media sosial yang dimiliki. Hal ini yang belum diakomodir oleh teknologi web sebelumnya, dimana perubahan halaman web hanya bisa dilakukan oleh admin web saja. Sekarang ini, semua pengguna yang tidak memiliki latar belakang di bidang Teknologi Informasi pun dapat dengan mudah mengunggah informasi pada laman media sosialnya.

Selain itu, disamping kemudahan penggunaan yang menyebabkan perkembangan media sosial melesat, ada isu yang muncul berkaitan dengan penggunaan media sosial sebagai enterprise’s official presence suatu perusahaan atau organisasi. Isu yang pertama adalah bagaimana melindungi organisasi dari risiko keamanan baik informasi internal atau eksternal, termasuk di dalamnya adalah netiquette (etika dalam berinternet). Sudah bukan rahasia lagi kalau media sosial banyak digunakan dalam tindak kejahatan. Berbagai macam jenis penipuan, penyebaran informasi palsu, dan komentar yang negatif akan memberikan dampak terhadap suatu perusahaan. Kegiatan ini dapat saja dilakukan oleh perusahaan pesaing, pelanggan yang tidak puas, atau bahkan dari karyawan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian perusahaan yang menggunakan media sosial tentunya harus dapat dengan baik mengelola penggunaan media sosial ini. Karena apabila tidak dikelola dengan baik, beberapa risiko yang muncul akan jauh menghabiskan tenaga dalam menanganinya, daripada keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan media sosial.

Sehingga yang paling utama dilakukan oleh perusahaan sebelum menggunakan media sosial adalah memilih media sosial yang paling tepat sebagai partner dalam branding maupun dalam kegiatan marketing dan sales. Dan yang harus dilakukan oleh perusahaan pengguna media sosial adalah memetakan dari awal risiko apa saja yang akan muncul, sehingga dapat dipersiapkan sedini mungkin hal-hal untuk mengantisipasi risiko tersebut.
(bersambung)

Jakart, 24 Februari 2017




Edhi Juwono – Jangan Terlalu Mudah Mengambil Kesimpulan

Ada sebuah pelajaran moral yang patut disimak untuk menjadi arif di dalam menyikapi kejadian-kejadian yang berkembang di dalam masyarakat kita yang dewasa ini, yaitu mudahnya orang mengambil kesimpulan dari peristiwa yang dilihat atau didengar olehnya.

 

TENGGELAMNYA KAPAL PESIAR

Seorang guru menceritakan sebuah kisah kepada murid-muridnya di kelas. Kisahnya dimulai dengan sebuah kapal pesiar yang mengalami kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. Sepasang suami istri berlari menuju skoci untuk menyelamatkan diri. Sampai di sana, mereka menyadari bahwa anak mereka sudah berada di skoci, dan hanya ada tempat untuk satu orang yang tersisa. Segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu. Sang istri hanya dapat menatap kepada suaminya sambil meneriakkan sebuah kalimat sebelum skoci menjauh dan kapal itu benar-benar menenggelamkannya.

Setelah menceritakan kisah itu, guru itu bertanya pada murid-muridnya, “Menurut kalian, apa yang sang istri itu teriakkan kepada suaminya?”

Sebagian besar murid-murid itu menjawab,
“Aku benci kamu!”
“Kamu tahu aku buta!!”
“Kamu egois!”
“Tidak tahu malu!”

Namun, guru itu kemudian menyadari bahwa ada seorang murid yang diam saja. Guru itu meminta murid yang diam itu untuk menjawab. Kata si murid, “Guru, saya yakin si istri pasti berteriak, ‘Tolong jaga anak kita baik-baik.”

Guru itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu sudah pernah mendengar cerita ini sebelumnya?”

Murid itu menggeleng. “Belum. Namun, hal itu yang dikatakan oleh ibu saya kepada ayah saya sebelum dia meninggal karena penyakit kronis.”
Guru itu menatap seluruh kelas dan berkata, “Jawaban ini benar.”

Kemudian, sang guru melanjutkan kisahnya. Kapal itu kemudian benar-benar tenggelam dan sang suami membawa pulang anak mereka sendirian.

Bertahun-tahun kemudian setelah sang suami meninggal, anak itu menemukan buku harian ayahnya. Di sana dia menemukan kenyataan bahwa, saat orangtuanya naik kapal pesiar itu, mereka sudah mengetahui bahwa sang ibu menderita penyakit kronis dan akan segera meninggal. Oleh karena itu, pada saat darurat itu, ayahnya memutuskan untuk mengambil satu-satunya kesempatan untuk bertahan hidup. Dia menulis di buku harian itu, “Betapa aku berharap untuk mati di bawah laut bersama denganmu. Tapi demi anak kita, aku harus membiarkan kamu tenggelam sendirian untuk selamanya di bawah sana.” Cerita itu selesai. Dan seluruh kelas pun terdiam.

Guru itu tahu bahwa murid-murid sekarang mengerti moralitas dari cerita tersebut, bahwa kebaikan dan kejahatan di dunia ini tidak sesederhana yang sering kita pikirkan. Ada berbagai macam komplikasi dan alasan di baliknya yang terkadang tidak mudah untuk dimengerti. Oleh karena itulah, kita sebaiknya jangan pernah melihat setiap peristiwa hanya dari luar dan kemudian langsung menghakimi, apalagi tanpa tahu apa-apa.

Mereka yang sering membayar untuk orang lain, mungkin bukan berarti mereka kaya, melainkan karena mereka lebih menghargai hubungan daripada uang.

Mereka yang bekerja tanpa ada yang menyuruh, mungkin bukan karena mereka bodoh, melainkan karena mereka lebih menghargai konsep tanggung jawab.

Mereka yang minta maaf duluan setelah bertengkar, mungkin bukan karena mereka bersalah, melainkan karena mereka lebih menghargai orang lain.

Mereka yang mengulurkan tangan untuk menolongmu, mungkin bukan karena mereka merasa berhutang, melainkan karena menganggap kamu adalah sahabat.

Mereka yang sering mengontakmu, mungkin bukan karena mereka tidak punya kesibukan, melainkan karena kamu ada di dalam hatinya.

Mereka yang sering menyanjungmu setinggi langit, mungkin bukan karena engkau pahlawan, melainkan mungkin karena mereka memaafkan keburukanmu.

Mereka yang selalu menghinamu dan menghakimimu, mungkin bukan karena mereka membencimu, melainkan karena mereka ingin menguji ketulusan cintamu.




Situs Bersejarah ‘Choeung Ek’ di Phnom Penh Kamboja

Teman teman, saya ingin bercerita sedikit tentang pelajaran yang bisa diambil dari berkunjungnya saya suatu waktu di masa lalu ke Phnom Penh, Kamboja. Phnom Penh adalah ibukota negara Kamboja, salah satu kota paling terkenal di sana, tapi jangan bayangkan saat teman teman ke sana situasinya akan seperti di Jakarta. Yes, mungkin seperti di Jakarta, tapi Jakarta tahun berapa. Mungkin sekarang kondisi di sana sudah lebih baik, namun waktu saya ke sana tahun 2012, Phnom Penh terlihat begitu ‘sederhana’ seperti Jakarta jaman dulu. Kondisi rakyatnya pun tak se’baik’ se’makmur’ di kota besar di Indonesia, dan ini adalah salah satu akibat dari kejahatan Khmer Merah di tahun 70an di mana rakyat sengaja dibuat bodoh oleh pemerintah yang berkuasa. Orang orang pintar di masa itu dihabisi, rakyat dibantai, dan tempat pembantaiannya yang bernama Killing Fields of Choeung Ek itu sekarang dijadikan situs bersejarah dan objek wisata bagi para pelancong. Yang teman teman lihat di gambar adalah sebuah gedung di area Killing Fields of Choeung Ek, di mana di sana diletakkan tengkorak dari korban pembantaian yang berhasil dikumpulkan. Yang menjadi pelajaran buat kita adalah berhati-hatilah dengan kondisi kita di masa sekarang, di mana mungkin berbagai macam hiburan yang ada dibuat agar kita, anak-anak kita, generasi muda kita terlena sehingga kita menjadi malas, malas belajar, malas mencari ilmu, dibodohi dengan hedonism, kita menjadi konsumtif (baca:boros), dsb. Kita harus pandai memanfaatkan fasilitas yang ada untuk maju, untuk memajukan bangsa ini, sama-sama terus saling mendorong, jangan egois, maunya pintar sendiri juga sebuah kesalahan. Bangsa ini perlu banyak orang pandai, orang baik, orang yang senang berbagi, sehingga kita bisa maju bersama sama. Jangan SOS, Senang Orang Susah, Susah Orang Senang. Jadi begitu ya teman teman. Mari saling mengingatkan, berbagi manfaat, dan terus saling mendoakan. Semoga tulisan pendek ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Salam semangat dari saya.