Fungsi Biaya

Biaya Total (Total Cost) yang dikeluarkan sebuah perusahaan  dalam operasi bisnisnya terdiri dari biaya tetap (Fixed Cost) dan biaya variabel (Variabel Cost)

FC = k

VC = f(Q) = aQ

TC = f(Q) = FC + VC = k + aQ

Keterangan:  FC = biaya tetap

VC = biaya variabel

TC = Biaya total

k = konstanta

a = lereng (slope)




Situs ‘ted.com’ Sebagai Sebuah Sumber Belajar

One of many ways we can use to practise our English pronunciation is by reading or speaking loudly, even when we do not have friends to talk with actually we still can practise our pronunciation. Many people like listening to music and sing along with it so they can know how the words in the lyrics are pronounced. But not all people like singing, for them reading or watching are better and more interesting to do. So here I introduce you a website, http://www.ted.com/ where you can find many presentations from people in the world with fascinating topics. Each video is usually completed with transcript so we can listen and read the transcript at the same time to practise our listening, reading, and pronouncing skills.

May you find this info fruitful. Good luck.




mission_to_mars

 

INVASI MANUSIA KE PLANET MARS

Mars yang biasa disebut juga sebagai planet merah ini adalah planet terdekat keempat dari Matahari. Planet ini dianggap bisa menjadi calon rumah kedua bagi manusia jika Bumi tidak lagi mampu menopang kehidupan.

Mars memiliki karakteristik geologis yang menakjubkan, seperti gunung berapi terbesar di tata surya yaitu Olympus Mons, memiliki wilayah vulkanik yang disebut sebagai daerah Tharsis dan Elysium, yang didalamya juga terdapat gunung-gunung api seperti Arsia Mons, Pavonis Mons, Ascraeus Mons.[1] Seperti halnya Bumi yang mengandalkan Bulan sebagai satelit, Mars memiliki dua buah Bulan yang mengitarinya yaitu: Phobos dan Deimos. Planet Mars memiliki siklus musim yang mirip dengan Bumi namun yang menjadi permasalahan adalah kandungan Oksigen di Mars sangat tipis sehingga tidak memungkinkan dihuni mahluk hidup.[2]

Keingintahuan manusia yang begitu besar terhadap Mars menyebabkan diluncurkannya berbagai pesawat antariksa tidak ber-awak ke planet tetangga ini baik yang bisa dikatakan sukses mau pun tidak, bahkan sebelum manusia mendarat di Bulan. Kini sebuah perusahaan dirgantara SpaceX sedang mengembangkan teknologi yang memungkinkan kelak manusia bisa mendarat disana.[3] Tapi memang bagi manusia untuk bisa mendarat di Mars merupakan tantangan berat.

Jarak Mars dari Bumi tak kurang dari 54 juta kilometer dan untuk mengirim astronaut kesana diperlukan pesawat antariksa jenis baru yang bisa dihuni berbulan-bulan, bisa membawa cukup persediaan untuk perjalanan pulang dan mampu melindungi dari radiasi kosmis.[4] Radiasi kosmis adalah bahaya yang mengancam siapa pun yang berada di luar medan magnet Bumi.[5] Astronaut akan rentan terhadap partikel cepat yang disebut sinar kosmis yang bisa merusak DNA dan sel otak. Selain bahaya radiasi, sekedar menyediakan air minum dan udara untuk bernapas untuk astronaut saja sudah merupakan tantangan tersendiri.[6]

Persoalan-persoalan ini baru sebagian dari sekian banyak masalah yang ada. NASA kini sedang berusaha mencari solusi untuk berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan misi simulasi di Bumi. Tapi simulasi ini memiliki berbagai keterbatasan, salah satunya karena tidak adanya gravitasi nol. Dalam Misi simulasi terbaru NASA, enam relawan dikurung selama satu tahun di habitat Mars tiruan, di lereng gunung berapi. Namun tidak ada satu eksperimen pun di Bumi yang mampu menyimulasikan dengan tepat perasaan terkurung di dalam kaleng kecil jutaan kilometer dari Bumi.[7]

Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah manusia mampu menyelesaikan misinya mendarat di planet merah? Intinya, dari sisi teknologi kita sudah jauh lebih dekat ke Mars daripada ke Bulan saat Presiden Kennedy menetapkan target itu pada 1961. Yang belum kita miliki sekarang adalah biaya yang luar biasa besar.[8] Namun seiring berjalannya waktu, dana yang diperlukan bisa saja diperoleh dan teknologi akan terus berkembang, memungkinkan segala yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin.

 

[1] Nanang Widodo, “Sekilas Pengamatan Planet Mars”, Hal. 15, LAPAN.

[2] Nanang Widodo, “Sekilas Pengamatan Planet Mars”, Hal. 16, LAPAN

[3] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 29.

[4] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 38.

[5] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 39.

[6] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 37.

[7] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 42.

[8] National Geographic Indonesia, November 2016, “Mars. Perlombaan Menuju Planet Merah”, hal 50.




international_global_security

INTERNATIONAL GLOBAL SECURITY

 

Negara seperti juga manusia mempunyai naluri untuk selalu mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Maka lumrah jika tujuan utama sebuah negara adalah keamanan, terutama karena potensi ancaman baik internal maupun eksternal, selalu muncul meski di masa damai sekali pun. Berdasarkan itu, sebuah negara akan terus mencari cara untuk memperkuat dirinya agar bisa mempertahankan eksistensi di pergaulan internasional.

Robert Dahl mendefinisikan power atau kekuasaan sebagai kemampuan seorang aktor untuk membuat aktor lain melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan atau membuat aktor tersebut tidak melakukan hal yang sebetulnya ingin ia lakukan. Sedangkan menurut Hans Morgenthau, seorang pemikir realis, politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpenting dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik (Morgenthau 1965: 195).[1]

Pemikiran kaum realis memang lebih memberikan penekanan pada kekuatan dan konflik. Asumsi dasarnya adalah: 1) pandangan pesimis atas sifat manusia; 2) keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; 3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; 4) skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.[2]

Tidak seperti politik domestik, politik internasional tidak mempunyai badan pemerintahan. Tidak ada undang-undang yang mengatur tata cara pergaulan negara-negara di dunia internasional atau bahkan untuk menyelesaikan perselisihan antar mereka. Kondisi seperti ini yang dimaksud dengan lingkungan anarkis politik internasional. Kondisi anarki semacam itu yang mampu menciptakan keadaan perang (state of war). Dan karena absennya ‘badan pemerintahan dunia’ serta kondisi bahwa suatu negara tidak mungkin bergantung pada negara lain secara terus menerus, maka setiap negara harus memiliki kemampuan untuk menolong dirinya sendiri.[3]

Setiap negara yang ada di dunia internasional, mau tidak mau, saling bergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Apapun yang dilakukan suatu negara akan membawa pengaruh, baik atau buruk, menguntungkan atau tidak, terhadap negara lain. Hal ini berkaitan erat dengan persepsi yang mengakibatkan munculnya ‘dilema keamanan’,  dimana satu/beberapa negara bisa sekaligus berpotensi menjadi sumber kemananan atau ancaman bagi negara lain. Jelas bahwa tidak ada negara yang benar-benar kawan atau selamanya menjadi musuh. Contoh dilema keamanan yang paling klasik adalah saat perang dingin, yaitu dengan adanya perlombaan senjata AS dan Uni Sovyet.  Ketika itu kedua belah pihak terus meningkatkan kemampuan dan jumlah persenjataan terutama rudal nuklir. Kondisi yang berpotensi  ‘MAD’ atau Mutually Assured Destruction, yaitu kedua pihak sama-sama hancur jika senjata nuklir digunakan. Hal ini membuat baik AS dan Uni Sovyet tidak ada yang berani berinisiatif lebih dulu. Dilema keamanan disebabkan oleh dua faktor, yang pertama adalah sulitnya membedakan antara pertahanan (defensive) dengan penyerangan (offensive), dan yang kedua adalah sulitnya suatu negara untuk bisa memercayai niat damai negara lain itu akan selamanya.[4]

Jika kita kembali ke tujuan negara, dimana mempertahankan eksistensi adalah utama, maka negara harus selalu dalam kondisi waspada agar bisa mencegah atau meminimalisasi ancaman. Tidak adanya pemerintahan dunia, menyebabkan setiap negara mempunyai potensi membuat konflik dengan negara lain dengan menggunakan power yang dimiliki demi tujuan dan kepentingan negaranya sendiri.

Kini dengan adanya PBB, kondisi lingkungan internasional sepertinya tidak se-anarkis sebelumnya. Dulu ketika Belanda menduduki Indonesia, dunia internasional hanya menganggapnya sebagai kekuatan semata dan tidak ada sanksi. Tapi kini berbeda. Ketika Indonesia menduduki Timor-Timor, Indonesia mendapat sanksi internasional seperti dihentikannya bantuan militer dan nyaris dianggap sebagai negara pariah. Negara-negara di dunia, melalui PBB, kini bisa memberikan sanksi dan konsekuensi terhadap negara yang tidak mengikuti aturan main di pergaulan internasional. Tapi keberadaan PBB tidak semerta-merta bisa menjamin terciptanya perdamaian dunia. Perang konvensional memang nyaris tidak ada lagi, tetapi potensi ancaman terhadap suatu negara akan tetap ada. Belum lagi masalah terorisme yang kian marak, dimana dibutuhkan kerja sama antar negara untuk bisa memberantasnya karena aktor yang terlibat biasanya tidak terikat batas negara (non-state actor). Intinya kondisi bahwa negara-negara berdaulat hidup berdampingan, dimana masing-masing memiliki cara pandang dan kepentingan yang berbeda pada dasarnya adalah berbahaya dan berpotensi menimbulkan konflik.

 

 

 

 

 

 

[1] Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Cetakan II. Terjemahan Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. , 88.

[2] Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (2009) , Ibid. , 88.

[3] Art, Robert.J & Jervis, Robert (2009). International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues (9th ed). Pearson Education, Inc., 2.

[4] Art, Robert.J & Jervis, Robert (2009)., 3.




Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme:Bagian III

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad dua puluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad dua puluh satu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme. Konsekuensi-konsekuensi tersebut telah dikemukakan pada Bagian I ketika dibahas konsekuensi yang pertama.

Pada Bagian III ini akan dibahas tentang konsekuensi buruk ketiga. Dikemukakan bahwasannya pengacuan pada ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan wibawa–dengan konsekuensi, disorientasi–nilai-nilai moral dan religius (Sugiharto, 1996).

Tulisan ini membahas hal tersebut dengan pertama-tama mendiskusikan kemerosotan dan disorientasi nilai-nilai moral dan religius secara umum sebagai akibat dari penempatan ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi. Selanjutnya diulas beberapa isu yang menunjukkan adanya dampak negatif dari cara pandang modernisme tersebut dan jalan keluar yang berkembang di dunia bisnis. Pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif yang diwariskan oleh modernisme telah lama disadari dan berangsur-angsur digantikan dengan sistem berpikir yang lebih maju. Meskipun begitu, upaya-upaya untuk membebaskan sistem-sistem sosial dari kungkungan pemikiran modernisme dan selanjutnya upaya menciptakan sistem-sitem sosial yang sehat dan berkelanjutan bukanlah perkara mudah. Letting go is hard to do.

Penempatan ilmu-ilmu postif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan nilai-nilai moral dan religius dalam dua hal yang akan didiskusikan di sini. Pertama, nilai-nilai moral direduksi menjadi parameter-parameter terukur sehingga membuat kehidupan menjadi monoton dan tanpa makna. Charles Handy mengulasnya di dalam bukunya The Hungry Spirit. Sebagai contoh, tindakan memberikan pertolongan kepada kaum miskin hanya dapat dikatakan berhasil jika ada peningkatan pada indikator-indikator ekonomi yang bersifat kasat mata, seperti peningkatan pendapatan. kebahagiaan dari mereka yang ditolong tidak dipandang penting sehingga pemberian bantuan serig disertai dengan rekayasa-relaya sosial yang tidak jarang justru merusak citra kemanusiaan pada kelompok yang dibantu.

Manusia moderen pada akhirnya mengalami peningkatan kemakmuran tetapi mengalami kekeringan spiritual. Perhatian di antara sesama ditunjukkan melalui benda-benda yang bersifat empiris. Sarana-sarana telekomunikasi, seperti media sosial yang dihasilkan oleh inovasi-inovasi dari ilmu-ilmu positif menujukkan modernitas. Namun ada kalanya sarana-sarana ini digunakan tanpa pertimbangan moral. Akibatnya, media sosial justru dapat menjadi sarana penyebar-luasan semangat negatif yang meracuni kehidupan bersama.

Kedua, penelitian-penelitian eksperimen ada kalanya tidak mempedulikan nilai-nilai moral. Penggunaan hewan sebagai obyek eksperimen sering dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan untuk menghargai keutuhan ciptaan. Semakin banyak juga penggunaan manusia untuk penelitian eksperimen dengan konsekuensi pada pelanggaran nilai-nilai etika dan moral.

Ketiga, empirisisme membawa manusia menyangsikan kemahakuasaan dan keterlibatan Tuhan dalam sejarah manusia. Peryataan yang melawan akal sehat yang dilontarkan astronot “Tuhan tidak ditemukan di luar angkasa” merupakan cerminan pola pikir empiris-positivis-obyektif. Penekanan pada fakta kasat mata membuat manusia tidak dapat menangkap kenyataan adanya kekuatan maha besar yang ada di balik dari semua perisiwa.

Keempat, wibawa otoritas keagamaan sering diukur dari hal-hal fisik dan lahiriah. Maka kedalam hidup spiritual ecnderung menjadi dangkal dan dikembangkan melalui jalan pintas. Kualitas dapat dikalahkan oleh kuantitas. Bentuk lebih diutamakan dari isi.

Peralihan zaman menunjukkan adanya kesadaran baru tentang pentingnya nilai-nilai intrinsik dan nilai-nilai transendental. Kehidupan manusia belakangan ini kembali mencari makna hidup yang lebih jauh dari sekadar ukuran-ukuran fisik dan jangka pendek. Kehidupan semakin diorientasikan pada kontribusi positif pada kemanusiaan dan planet  bumi. Banyak perusahaan mengembangkan program-program triple P secara terpadu: Profit, People, Planet.

Secara umum. pembangunan diyakini sebagai jalan pembebasan, Development as Freedom (Amartya Sen). Dalam konteks ini, pembangunan menekankan keadilan dan demokrasi. Hak setiap orang dihargai karena kemanusiaan, bukan karena kepemilikan. Posmodernisme menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan nilai-nilai spiritual dan keabadian pada dasarnya imanen, menyatu meskipun dapat dibedakan. Alam makrokosmos ditemukan dan direfleksikan di dalam kehidupan mikrokosmos. dan di dalam alam makrokosmos ditemukan kolase mikrokosmos-mikrokosmos.

Demikianlah penekanan yang berlebihan atas kebenaran tunggal dari ilmu-ilmu positif dalam modernisme kini telah ditinggalkan dan digantikan dengan kebenaran-kebenaran yang jamak sebagaimana diklaim oleh posmodernisme. Nilai-nilai moral dan etika menjadi panduan yang semakin penting bagi pencapaian kehidupan yang bermakna. Dunia bisnis semakin menunjukkan wajah manusiawi karena kerja telah menyatu dengan ibadah. Peradaban umat manusia mengalami peningkatan karena tantangan modernisme dapat dilampaui dengan cerdas.

 




Mengembangkan Personal Mastery Sebagai Landasan Spiritual Learning Organization

Pendahuluan

Organisasi merupakan temuan manusia yang monumental. Hingga saat ini, keluarga sebagai organisasi paling tua di sektor kebudayaan telah menjadi basis yang tidak tergantikan di dalam hal kultivasi kehidupan dan kebudayaan umat manusia. Perusahaan-perusahaan bisnis dalam segala ukurannya telah mendorong berkembangnya perekonomian di seluruh dunia sejak kaum Quakers mempraktekkannya atau bahkan lebih tua dari itu hingga dewasa ini. Organisasi-organisasi politik-pemerintahan dalam segala bentuk dan ragamnya memainkan peranan yang sangat nyata bagi pengaturan kehidupan publik.

Organisasi boleh dibilang begitu pervasif dalam kehidupan manusia. Karya-karya besar sulit dibayangkan terlaksana tanpa organisasi dan pengorganisasian yang hebat. Bagi manusia moderen, apakah ada ruang kehidupannya yang tidak diisi dengan mengandalkan dukungan dari organisasi-organisasi? Jika dihitung-hitung sejak awal hingga penghujung hari, manakah kebutuhan manusia moderen yang tidak bergayutan dengan produk-produk atau jasa-jasa dari organisasi-organisasi? Sejak awal kehidupan hingga akhir hayat, jarang didapati ada ruang-ruang yang sungguh-sungguh bebas dari kehadiran organisasi-organisasi, entah secara langsung dan disadari maupun secara tidak langsung dan tidak disadari.

Organisasi-organisasi menentukan perkembangan peradaban umat manusia: semakin maju dan berkembang secara positif, stagnan, atau mundur dan membuat manusia terancam mengalami degradasi bahkan kehancuran. Perusahaan-perusahaan kecil dapat dibawanya bertumbuh menjadi raksasa-raksasa bisnis, tetapi dapat juga dibuatnya lenyap tanpa bekas secara mendadak. Lembaga-lembaga pendidikan yang diorganisasikan dengan baik telah menyediakan tempat pembelajaran yang mampu mengembangkan dan mendiseminsasikan ilmu pengetahuan bagi perkembangan peserta pembelajaran dan masyarakat secara keseluruhan. Sejumlah negara bertumbuh semakin makmur dan sejahtera lantaran organisasi dan pengorganisasian pemerintahannya cerdas dan selaras dengan spirit kehidupan sesuai dengan peerkembangan zamannya. Sebaliknya, negara-negara atau pemerintahan-pemerintahan duniawi tertentu di masa lampau menjadi lenyap juga karena organisasi dan pengorganisasiannya bermasalah. Keluarga-keluarga dapat menjadi tenpat persemaian kehidupan yang penuh kebahagiaan dan damai di kala pengorganisasiannya memadai dan sebaliknya menjadi sarana kehancuran mental-fisik-spiritual ketika penataannya tidak peduli dengan azas pro-life. Dunia di era globalisasi dapat dijadikan suatu desa kecil penuh harmoni, tetapi dapat juga dijadikan lautan api yang menyiksa jiwa-jiwa dari para penghuni planet bumi. Perang besar atau damai yang berdimensi luas senantiasa melibatkan organisasi dan pengorganisasian.

Mengakhiri abad keduapuluh dan memasuki abad keduapuluh satu, organisasi-organisasi dan pengorganisasian di abad keduapuluh tidak lagi memadai. Para ahli menggagas berbagai alternatif organisasi atau pengorganisasian. Semuanya pada akhirnya bermuara pada organisasi pembelajar (learning organization), yang terutama dipopulerkan oleh Peter M. Senge (1990), melalui karyanya The Fifth Discipline.

Learning organization (LO) mencerminkan organisasi dan pengorganisasian yang paling mampu menjawab kebutuhan masyarakat pengetahuan (knowledge society) seperti yang dialami saat ini. Kehidupan yang bergerak maju karena informasi dan pengetahuan sebagai modal utamanya menuntut suatu organisasi yang lebih cerdas di dalam memudahkan pengembangan, perolehan, distribusi, dan pendayagunaan pengetahuan secara unggul.

Bagi Senge (1990:14), LO merupakan “… suatu organisasi yang mampu secara terus-menerus memperluas kapasitasnya untuk menciptakan masa depannya.” Dikatakannya bahwa melalui pembelajaran, anggota-anggotanya dapat menciptakan kembali dirinya secara terus-menerus. Dengan begitu, LO mampu melakukan pembaharuan internal terus-menerus sehingga tercipta inovasi-inovasi yang memungkinkan disediakannya tanggapan-tanggapan yang paling tepat bagi masyarakat. Penggambaran seperti ini jauh mengatasi dengan tepat kelemahan-kelemahan yang ada pada organisasi birokratis  yang pernah berjaya di abad keduapuluh.

Peter M. Senge (1990) mengemukakan lima disiplin yang terpadu dari sebuah LO. Disiplin-disiplin itu terdiri dari personal mastery, model mental (mental models), pembelajaran tim (team learning), visi bersama (shared vision), dan berpikir kesisteman (sytems thinking). Disiplin di dalam hal ini dimaksudkan sebuah tingkat profesiensi tertentu. Disiplin-disiplin ini memerlukan pengembangan terus-menerus.

Tulisan ini berisi uraian tentang personal mastery. Pertama-tama akan disinggung kembali tentang apa yang dimaksdukan dengan personal mastery (PM). Selanjutnya akan diuraikan beberapa cara yang perlu dilakukan untuk mengembangkan PM secara berkelanjutan. Pada bagian akhir, akan dikemukakan beberapa implikasi bagi organisasi, dalam hal ini bagi para manajer guna mendukung perkembangan PM dari orang-orang yang terlibat.

Apa sesungguhnya Personal Mastery?

Senge (1990:126) memaksudkan personal mastery sebagai disiplin pertumbuhan dan pembelajaran pribadi. Dijelaskannya bahwa orang-orang yang memiliki tingkat PM yang tinggi sangat diperlukan bagi pembelajaran organisasi (organizational learning, OL).  Pernyataannya menarik untuk disimak. “… People with high levels of personal mastery are continually expanding their ability to create the results in life they truly seek. From their quest for continual learning comes the spirit of the learning organization.” (Senge, 1990:126).

Menegaskan pandangannya di atas, PM diyakninya sebagai sebuah landasan esensial bagi LO, bahkan dikatakan sebagai fondasi spiritual bagi LO (Senge, 1990:412). Dalam konteks ini, PM merupakan sebuah disiplin yang ditandai oleh upaya terus-menerus yang dilakukan untuk memperjelas dan memperdalam visi pribadi, memusatkan energi, mengembangkan kesabaran, dan memahami realitas dengan obyektif (Senge, 1990:142).

Menurut Senge (1990:412). ada dua gerakan di dalam diri yang akan terjadi ketika PM telah menjadi sebuah kemampuan yang tinggi. Pertama, orang akan senantiasa tergerak untuk mencari tahu apa yang hal terpenting dalam hidup seseorang dan memusatkan perhatian atau seluruh hidup untuk hal tersebut. Visi pribadi yang luhur perlu dibangun dengan sebaik-baiknya.  Kedua, orang dengan PM yang telah menyatu di dalam diri akan senantiasa berupaya untuk untuk melihat kenyataan yang ada saat ini dengan lebih jernih. Hal ini penting agar kita dapat terhindar dari kepuasan semu dan kelambanan di dalam menyadari masalah-masalah yang dapat menghambat pencapaian visi pribadi yang luhur.

Ketika terjadi kesenjangan di antara apa yang ideal, yaitu visi pribadi yang luhur dan kenyataan saat ini terjadilah situasi “tegangan kreatif” (“creative tension”). Kesenjangan ini semestinya menjadi sumber motivasi untuk pembelajaran. Kondisi yang ada perlu diubah agar semakin mendekati visi pribadi. Perubahan yang nyata bagi organisasi dapat dihasilkan ketika keinginan yang kuat untuk berubah timbul dari dalam hati dan pikiran yang jernih dari setiap pribadi yang bergabung di dalam organisasi.

Orang-orang yang memiliki PM yang tinggi tidak akan pernah berhenti belajar. Mereka tidak pernah merasa telah tuntas dalam menguasai sesuatu ketrampilan. Mereka bagaikan orang-orang yang sedang di dalam perjalanan atau pencaharian tanpa henti menuju tujuan hidup yang bermutu tinggi.

Beberapa ciri pokok dari orang-orang  yang memiliki PM tinggi di antaranya adalah adanya perasaan terpanggil untuk mengerjakan sesuatu hal penting yang dicerminkan oleh visi pribadinya; mau menerima kenyataan yang ada dan berusaha memperbaikinya terus-menerus; memiliki keinginan yang kuat untuk mencari tahu tentang keadaan yang ada dan cara-cara untuk memperbaikinya secara mendasar; merasakan satu kesatuan dengan orang-orang lain dan kehidupan itu sendiri tanpa kehilangan keyakinan diri atas keunikan dirinya; menempatkan diri sebagai bagian dari proses kreatif yang luas dan tidak dapat mengendalikannya secara sepihak (Senge, 1990:412).

Karakter orang-orang dengan PM yang tinggi menunjukkan ciri pembelajar seumur hidup. Kehidupan yang lebih baik menuntut inisiatif, ketekunan, dan kesediaan untuk melewati kesulitan-kesulitan di dalam mengusahakan perubahan. Di sisi lain diperlukan juga kemampuan untuk kemampuan untuk menghadapi ketidak-pastian di masa depan. Perubahan organisasi sering melibatkan pertimbangan mengenai kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak yang ada kalanya bertolak belakang dan memerlukan sinkronisasi  yang tidak mudah. Semuanya ini relevan dengan situasi dunia saat ini yang lebih cednderung pada kondisi kompleksitas dinamis (dynamic complexity), terutama karena dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan teknologi.

Gambaran di atas menunjukkan adanya kemampuan untuk pembelajaran seumur hidup yang mengintegrasikan pembelajaran dalam konteks kecerdasan inetektual, emosional, spiritual. Adversity quotient dan kemampuan untuk memahami bekerjanya kekuasaan dan seni penggunaan politik organisasi untuk kebaikan umum pun tidak dapat diabaikan.

Bagaimana Mengembangkan Personal Mastery?

Peter M. Senge (1990) mengemukakan beberapa prinsip dan praktik yang dapat digunakan untuk mengembangkan PM. Pertama, perlu dikembangkan sebuah visi pribadi yang jelas dan menantang. Visi ini perlu dikembangkan berdasarkan misi (purpose) yang luhur. Untuk membedakan keduanya, Senge menjelaskan,

… Purpose is similar to a direc tion, a general heading. Vision is a specific destination, a picture of a
desired future. Purpose is abstract. Vision is concrete. Purpose is “advancing man’s capability to explore the heavens.” Vision is “a man on the moon by the end of the 1960s.” Purpose is “being the best I can be,” “excellence.” Vision is breaking four minutes in the mile.”(Senge, 1990:412).

Kedua, kemampuan untuk mengelola tegangan kreatif perlu ditingkatkan terus-menerus. Ketika keadaan yang ada jauh lebih rendah dari visi yang dicanangkan, orang dapat memilih untuk mengubah keadaan agar semakin menuju kondisi yang ditargetkan pada visi atau sebaliknya menurunkan visi. Pembelajaran berkembangan dengan baik pada pilihan yang pertama. Dorongan untuk menekan kesenjangan terjadi karena manusia menginginkan kondisi yang nyaman. Di sini dibutuhkan kemampuan untuk bertekun dan menunggu sampai tindakan-tindakan yang diambil memberikan hasil positif.

Ketiga, perlu dikembangkan kemampuan untuk menangani “konflik struktural” di dalam diri sendiri. Konflik ini terjadi karena di satu sisi kita berkomitmen tinggi terhadap sebuah visi yang ideal, luhur, dan mampu membawa kita kepada jati diri yang sempurna. Namun di sisi yang lain, muncul bisikan dari dalam batin kita sendiri yang menyebabkan  keragu-raguan  untuk mewujudkan visi tersebut. Sistem pendidikan kita sejak kecil tidak jarang menekankan ketidakberdayaan (powerlessness) kita untuk mencapai hal-hal besar. Juga sering ditanamkan dalam diri kita tentang  ketidak-layakan (unworthiness) kita untuk meraih visi yang besar.  Ibarat putri duyung mendamba, kita boleh saja memiliki cita-cita luhur untuk memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar dan kehidupan tetapi suara batin kita menahan laju kita dari dalam. Diperlukan suatu upaya resolusi konflik struktural. Pemeriksaan yang cermat dapat menunjukkan mengapa kedua hal ini terjadi. Selanjutnya diperlukan suatu penyeimbangan agar beban-beban yang dialami dapat dilepaskan dan kita memasuki tingkatan baru dan merasa layak dan mampu untuk mewujudkan visi dalam kesatuan yang harmonis dengan lingkungan. Melalui latihan-latihan terus-menerus, keyakinan diri akan semakin bertumbuh dan sebaliknya ketakutan semakin dapat ditekan. sebagaimana diketahui umum, ketakutan adalah musuh utama bagi perubahan.

Keempat, perlu dikembangkan komitmen terhadap kebenaran secara terus-menerus. Upaya-upaya untuk memperbaiki pemahaman kita mengenai berbagai peristiwa sangat diperlukan agar kita dapat menemukan solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan. Teori-teori yang kita anut perlu dikritisi dengan menilai daya tahannya di dalam menjelaskan situasi-situasi yang terjadi berdasarkan fakta. Dinamika yang kompleks memerlukan fleksibilitas di dalam penerapan teori-teori. Sulit ditemukan satu-satunya teori yang mampu menjawab semua permasalahan secara tuntas. Kemampuan berpikir kritis-konstruktif dapat membantu kita untuk memastikan kebenaran yang dapat diterima dan dijadikan acuan di dalam menetapkan langkah untuk mewujudkan visi pribadi yang telah disusun.

Kelima, alam bawah sadar penting untuk dikenali dan didayagunakan secara optimal. Konon alam bawah sadar manusia itu seperti samudra raya dengan kekuatan yang dahsyat. Berhubung alam bawah sadar tidak memiliki tujuan sendiri, maka kekuatan ini hanya bisa dimanfaatkan jika tersambung dengan alam sadar manusia. Kegiatan-kegiatan menyepi dan bersemedi yang berkembang pada masa lalu mungkin memiliki relevansi dengan upaya peningkatan kapasitas diri ini: Pemeriksaan yang cermat atas alam bawah sadar dan pengintegrasiannya dengan alam sadar. Ketika kemampuan ini dimanfaatkan untuk mencapai visi dan misi dapat disediakan energi yang cukup untuk mencapai hasil yang optimal dengan mengatasi hambatan-hambatan yang ditemui. Per ardua ad astra!

Terakhir, PM perlu diintegrasikan dengan kamampuan berpikir kesisteman (ST). Kemampuan untuk melakukan pembelajaran terus-menerus dapat dipertahankan melalui perpaduan antara akal dan intuisi, senantiasa melihat keterkaitan diri kita dengan lingkungan yang lebih luas (dunia), pengembangan kepedulian (compassion), dan perhatian yang besar terhadap keseluruhan. Dengan cara ini, pencapaian visi pribadi memiliki makna karena adanya dampak positif yang dapat diberikan kepada sesama dan lingkungan yang lebih luas. Kesabaran, ketekunan, dan rasa syukur yang sehat juga dapat diperoleh dengan memahami bahwa tindakan-tindakan individual dapat memiliki rangkaian yang panjang agar tiba pada hasil yang nyata. Di sisi lain, perkembangan ini memberikan harapan untuk bertindak karena keyakinan bahwa setiap tindakan lokal yang positif dapat berdampak global. Oleh karena itu, masing-masing individu akan semakin terdorong untuk mengambil tanggung jawab penuh atas bagiannya masing-masing meskipun kelihatannya sederhana karena pengetahuan akan dampak luas yang akan dihasilkan pada seluruh sistem. So, think globabally, act locally!

Penutup: Implikasi Manajerial 

Para pemimpin, khususnya yang mengampu jabatan manajerial dapat menempuh dua hal untuk mendukung perkembangan PM dari para karyawan atau anggota. Pertama, perlu dikembangkan budaya organisasi yang menghargai komitmen pada peningkatan PM secara terus-menerus. Hal ini dapat diwujudkan melalui sistem pengakuan, pelatihan, dan kesejahteraan yang diberikan kepada karyawan. Perusahaan-perusahaan tertentu mulai memberlakukan pemanfaatan istirahat siang untuk saat-saat teduh atau menyediakan sesi-sesi retret, refleksi, atau cuti untuk kegiatan religius–seperti ibadah ke tanah suci dan sebagainya.

Kedua, dapat dikembangkan pendekatan pembelajaran berdasarkan model (vicarious learning). Kearifan-kearifan lokal atau tokoh-tokoh ideal dalam perkembangan PM dapat dijadikan contoh bagi para karyawan. Para pemimpin seyogyanya menjadi contoh atau model dengan pertama-tama menjadi orang yang berkomitmen pada upaya untuk memajukan PM-nya sendiri. Pengalaman-pengalaman pribadi mereka dapat dibagikan kepada para karyawan sehingga tercipta pembelajaran kelompok dalam disiplin PM. Action speaks louder than words.

Harapan saya, uraian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Tidak ada jalan tunggal menuju kematangan pribadi, tetapi sharingini dapat berguna karena setiap pribadi memiliki tanggung jawab atas upaya menyempurnakan dirinya sendiri terus-menerus menuju tingkatan yang paling ideal. Dengan gerakan ini, niscaya semua organisasi ciptaan manusia dapat berkembang menjadi organisasi-organisasi pembelajar yang unggul. Semoga.

 

 

 




wasiat bagi anak angkat

Sistem hukum Islam merupakan salah satu dari tiga sistem hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bicara mengenai sistem hukum Islam maka sumber hukumnya adalah Al Quran, As Sunah sebagai dua sumber Hukum Utama, namun selain itu ada sumber hukum lain yaitu Ijtihad, qiyas, Urf/adat istiadat dan lainnya.

Salah satu hal penting didalam Sistem Hukum Islam adalah bagaimana Islam mengatur mengenai Hukum Waris dan yang berkaitan dengan hal tersebut seperti persoalan Hibah dan wasiat.
Perihal waris didalam Hukum Islam sudah sangat jelas dan tegas tentang tata cara pembagiannya dan juga tentang para pewaris yang berhak. Namun dalam praktek dimasyarakat ada satu hal yang memerlukan perhatian yaitu adanya kebiasaan untuk pemberikan waris atau keinginan memberikan waris kepada anak angkat yang sebenarnya didalam Hukum Islam anak angkat bukanlah pewaris yang berhak atas warisan orang tua angkatnya yang meninggal dunia.

Berdasarkan kajian yang ada, anak angkat memang tidak berhak atas waris namun terobosan yang dapat dilakukan berdasarkan ijtihad dan qiyas yaitu dengan jalan memberikan wasiat sehingga anak angkat bisa mendapatkan harta dari peninggalan orang tua angkatnya. Hal ini adalah bentuk ijtihad yang merupakan bagian dari sumber Hukum islam pula dan ternyata perihal ini telah dikuatkan dalam hukum positif yang dituangkan secara jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991).

Memperhatikan rujukan dibenarkannya memberikan wasiat kepada anak angkat sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Dr. M Misno (Dosen STEI Tazkia) adalah bahwa diperbolehkannya memberikan wasiat untuk mendapatkan bagian dari harta warisan kepada anak angkat adalah berdasarkan analogi atas apa yang ditetapkan di Mesir, yaitu tentang diperbolehkannya memberikan wasiat kepada cucu yang orangtuanya telah meninggal mendahului kakek/nenek yang meninggal dan meninggalkan harta warisan

Wasiat seperti ini dikenal dengan sebutan wasiat wajibah dan secara hukum baik Hukum Islam maupun Hukum positif telah dibenarkan, namun tentu saja perlu diperhatikan beberapa syarat agar pelaksanaan wasiat wajibah ini dapat diberlakukan, yaitu (antara lain sebagaimana hasil penelitian Dr. M Misno dalam bukunya wasiat wajibah bagi anak angkat):
1. Anak angkat tersebut telah memiliki hubungan yang kuat dengan orangtua angkatnya
2. Anak angkat tersebut belum bisa mandiri
3. anak angkat tersebut tidak pernah mendapatkan hibah dalam bentuk apapun dari orang tua angkatnya

Berdasarkan hal tersebut maka jelaslah bahwa anak angkat bisa mendapatkan bagian dari harta warisan orang tua angkatnya namun tentu saja yang harus diperhatikan adalah jangan sampai wasiat wajibah tersebut membuat hak ahli waris yang lain menjadi terdzolimi karena persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif sehingga bisa membuat hubungan silaturahim diantara keluarga menjadi rusak bahkan terputus, sehingga didalam Al Qiuran banyak sekali ayat yang bicara mengenai warisan, dan salah satu ayat tersebut yang patut kita renungi adalah bahwa Allah SWT berfirman didalam QS Annisa:32 yaitu “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan Ibu Bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah bagiannya, sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatunya”.
Wallahu a’lam bishowab




Potensi Indonesia 2030: McKinsey Global Report

Salah satu materi kuliah umum asuransi dari Presdir & CEO BCALife (Ibu Christine Setyabudhi) di Perbanas Institute, 7 Desember 2016 memaparkan white paper yang dilakukan oleh McKinsey Global Report Institute, yaitu bahwa pada 2030, Indonesia memiliki masyarakat kelas menengah (sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi) sebanyak 135 juta orang dan 113 juta tenaga trampil dan ahli yang secara kumulatif membuat Indonesia diprediksi menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-7 terbesar di dunia serta menyimpan kekuatan potensi pasar konsumen sebesar US$ 1,8 triliun.

Mengacu pada hasil prediksi tersebut, banyak hal yang dapat dikembangkan di dalam rangka mengantisipasinya seperti yang dituliskan oleh MGI (McKinsey Global Institute). Silahkan klik link di bawah ini.

http://www.mckinsey.com/global-themes/asia-pacific/the-archipelago-economy

 




Change Management: Key Actions to Change Mind-sets and Behavior

Perubahan adalah suatu keniscayaan. Sesuatu yang tidak berubah seharusnya dan sepantasnya bersiap digeser dengan berbagai hal. Di dalam bahasa McKinsey, organisasi harus memberikan respon yang semakin cepat atas terjadinya sudden shifts in the marketplace atau adanya kejutan-kejutan eksternal yang salah satunya bersumber dari perubahan teknologi dan munculnya praktik dan model bisnis baru.

Di dalam konteks menghadapi dan menjalankan perubahan ini, salah satu tugas manajemen adalah mempersiapkan karyawannya. Berbagai riset yang dilakukan oleh McKinsey atau pun praktik bisnis yang dijalankan berbagai organisasi menunjukkan bahwa perubahan mindset dan perilaku karyawan di dalam mengantisipasi perubahan tergantung pada 4 (empat) hal.

Keempat hal itu terdiri dari: (1) Fostering understanding and conviction. Konsepnya terletak pada kalimat “Saya paham apa yang harus saya lakukan dan hal itu logis dilakukan”; (2) Reinforcing with formal mechanisms, yang berarti: struktur, proses, dan sistem yang ada di dalam organisasi mendukung dijalankannya perubahan yang harus saya lakukan; (3) Developing talent and skills (Karyawan sadar bahwa mereka memiliki bakat dan keterampilan yang diperlukan to behave in the new way); dan (4) Role modeling, merupakan tindakan untuk memberikan contoh, di dalam arti, perubahan perilaku dan mind sets hendaknya juga dilakukan oleh semua unsur organisasi, terutama pimpinan.

Silahkan membaca artikel lengkapnya:

http://www.mckinsey.com/business-functions/organization/our-insights/the-four-building-blocks–of-change

 




Energi Terbarukan: Kekuatan dari Matahari Pegunungan Andes

Dibayangi dengan keterbatasan dalam kepemilikan sumber energi dan didorong oleh kelimpahan dari 320 hari setahun menerima siraman energi matahari, negara-negara Amerika Latin menjadi leader di dalam pengembangan energi bersih dan terbarukan. Negara-negara ini diberikan kelimpahan di dalam penguasaan air, angin, dan matahari.

Saat ini, Chile telah berhasil mengembangkan energi dari sinar matahari yang dapat menghasilkan daya sebesar 196 MW yang bersumber dari 775.000 panel surya dan diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan daya listrik di kota dengan jutaan penduduk.

http://www.economist.com/news/americas/21711307-power-andean-sun-latin-america-set-become-leader-alternative-energy?cid1=cust/ddnew/n/n/n/2016128n/owned/n/n/nwl/n/n/AP/8320151/email&etear=dailydispatch