Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme: Bagian II

Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan  di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad dua puluh.

Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi  negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad dua puluh satu.

Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.

I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme. Konsekuensi-konsekuensi tersebut telah dikemukakan pada Bagian I ketika dibahas konsekuensi yang pertama.

Pada Bagian II ini akan dibahas tentang konsekuensi buruk kedua. Dikemukakan bahwasannya pandangan modernisme yang bersifat obyektivistik dan positivistik pada akhirnya menjadikan manusia dan masyarakat sebagai obyek dan dapat direkayasa layaknya mesin (Sugiharto, 1996).

Tulisan ini mendiskusikan pandangan kedua dengan penjelasan-penjelasan yang mendukung adanya kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan bisnis dewasa ini. Perhatian akan diarahkan pada dua bidang, yaitu dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial di dalam masyarakat maupun di dalam perusahaan sebagai sistem sosial. Dikemukakan juga pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif tersebut dan adanya pengembangan kapabilitas kolektif yang menunjukkan perubahan mendasar. Dengan begitu dapat ditunjukkan peralihan yang cerdas dari modernisme ke posmodernisme.

Paradigma positivisme yang berakar pada ilmu-ilmu alam menghasilkan kemajuan sains yang luar biasa pada abad dua puluh. Kemajuan ilmu pengetahuan (sains) membawa banyak kemajuan di berbagai bidang ilmu.

Ilmu-ilmu sosial pun mengadopsi pendekatan ilmu-ilmu alam. Dalam ranah ini, sofistikasi ilmu-ilmu sosial ditunjukkan melalui kemampuan untuk menemukan kebenaran obyektif yang bersifat tunggal, stabil atau tahan uji sepanjang waktu, serta berlaku universal. Prosedur-prosedur statistik atau kuantifikasi yang ketat dijalankan. Ekonometrika berkembang di bidang ilmu ekonomi hingga pada tingkat yang menunjukkan persimpangan yang memisahkan ilmu ekonomi dari ilmu sosial. Psikometri menjadi andalan keilmiahan di bidang psikologi dan sosiometri di dalam kajian-kajian sosiologi. Di bidang manajemen, berkembang scientific management. Semuanya ini tentu saja membawa perkembangan penting bagi ilmu-ilmu sosial.

Tokoh-tokoh penting terdiri dari Aristoteles (penalaran deductif); Descartes (realisme); Galileo (metode saintifik); Auguste Comte (positivisme); Vienna Circle (positivisme logis); Francis Bacon (penalaran induktif); Karl Popper (postpositivist) (Mack, 2010:6).

Menurut Snape & Spencer (dalam Richie & Lewis, 2003:16) pandangan-pandangan positivisme mencakup hal-hal berikut. Pertama, dunia pada dasarnya tidak tergantung pada dan juga tidak dipengaruhi oleh peneliti. Kedua, fakta-fakta dan nilai-nilai merupakan dua hal yang terpisah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian yang obyektif dan bebas-nilai. Ketiga, observasi merupakan wasit terakhir ketika terjadi perselisihan. Keempat, metode-metode ilmu alam (misalnya, pengujian hipotesis, penjelasan eksplanatif dan pemodelan) tepat untuk fenomena sosial karena perilaku manusia tunduk pada hukum-hukum keteraturan tertentu.

Pandangan-pandangan tadi ditopang oleh asumsi ontologis dan asumsi epistemologis dari positivisme. Dalam hal ontologi, positivisme menganut paham realisme, sedangkan di dalam hal epistemologi, positivisme meyakini   objektivisme (Scotland, 2012). Paradigma saintifik yang disebut Comte sebagai positivisme ini menunjukkan suatu pendirian bahwa realitas pada dasarnya bersifat apa adanya dan tidak dimediasi oleh pancaindera kita. Observasi tepat untuk dilakukan agar dapat dketahui makna yang terkandung di dalam realitas.  Pengetahuan yang dapat ditemukan (discoverable knowledge)  bersifat universal, yakni bersifat mutlak, bebas nilai, dan stabil sepanjang waktu.

Konsekuensi dari pendirian positivisme mendorong adanya penyelidikan-penyelidikan ilmiah untuk menyingkap hukum-hukum universal pada alam dan manusia dengan cara menempatkan keduanya sebagai obyek yang harus tunduk pada perlakuan-perlakuan yang diberikan. Demi obyektivitas, peneliti harus bertindak sebagai orang luar dan tidak melibatkan diri dengan pengalaman orang-orang yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian yang diklaim obyektif dilakukanlah rekayasa sosial menuju kondisi yang diprediksi dapat terjadi berdasarkan kajian ilmiah.

Keyakinan akan adanya satu-satunya kebenaran tunggal yang bersifat mutlak sudah disadari hanya akan menimbulkan hasil akhir berupa dominasi-marjinalisasi pihak yang satu terhadap pihak yang lain.  Konflik-konflik besar sampai dengan peperangan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang tentang kebenaran monolitik. Konflik-konflik yang berakhir dengan penghancuran yang satu terhadap yang lain tidak jarang dapat dibuktikan adanya cara pandang yag meyakini adanya kebenaran final yang hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Hal ini ada kalanya terjadi juga di dalam perusahaan. Masing-masing pihak berpandangan sebagai pemegang kebenaran sendiri sedangkan pihak lainnya salah sama sekali.

Penerapan model-model pembangunan negara-negara maju ke negara-negara berkembang begitu saja pernah dilakukan berdasarkan konsepsi postivisme. Kenyataannya, negara-negara sedang berkembang gagal memasuki tahapan tinggal landas berdasarkan program-program yang dikembangkan berdasarkan pengalaman-pengalam negara-negara maju telah gagal total.

Pada level perusahaan, pengelolaan dan tata kelola bisnis memang banyak mengambil inspirasi dari praktek-praktek bisnis dari negara-negara lain, tetapi tidak ada jaminan keberhasilan tanpa adanya adaptasi lokal. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang berada di dalam industri yang sama dituntut untuk menemukan kunci suksesnya masing-masing. Artinya, modernisme dengan paradigma positivismenya semakin surut penarapannya.

Peralihan dari positivisme sudah sepantasnya terjadi karena ada keyakinan yang lebi hunggul, yakni bahwasannya kenyataan-kenyataan sosial senantiasa unik dan kontekstual. Semua fenomena sosial maupun fenomena alam yang bersifat sosial selalu memiliki makna yang ditentukan oleh orang-orang yang ada di dalam masyarakat atau komunitas.  Oleh karena itu, pengetahuan tentang masyarakat atau komunitas sesungguhnya merupakan suatu pencaharian melibatkan suatu  sebuah analisis tentang realitas sebagai konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991).

Paradigma interpretivisme dan paradigma kritikal menawarkan cara pandang baru tentang alam dan realita sosial. Kedua paradigma ini  memiliki asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis yang yang bertentangan dengan asumsi-asumsi positivisme.

Dari sisi ontologi, interpretivisme memiliki keyakinan-keyakinan sebagai berikut. Pertama, realitas dikonstruksi secara tidak langsung melalui interpretasi individual dan pada dasarnya bersifat subyektif.  Kedua, masyarakat memiliki maknanya sendiri mengenai realitas. Ketiga, peristiwa-peristiwa bersifat distingtif dan tidak dapat digeneralisasi. Keempat, terdapat sudut pandang yang jamak mengenao setiap persitiwa. Terakhir, hubungan-hubungan di dalam ilmu sosial ditentukan berdasarkan makna dan simbol yang mengandung makna tertentu (Mack, 2010).

Asumsi-asumsi epistemologis yang dikemukan oleh paradigma interpretivisme menantang asumsi-asumsi positivisme juga. Menurut paham ini, pengetahuan mestinya diperoleh melalui sebuah strategi yang menghargai perbedaan-perbedaan  di antara orang-orang dan juga di antara obyek-obyek alam. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar ditemukan makna subyektif yang ada pada mereka yang terlibat di dalam peristiwa tertentu.  Pengetahuan dikembangkan secara induktif untuk menemukan teori, dibangn berdasarkan situasi yang spesifik, bukan berdasarkan reduksi yang simplistik. Pengetahuan semacam ini diperoleh berdasarkan pengalam personal. (Mack, 2010).

Paham interpretivisme semakin berkembang berkat kontribusi beberapa tokoh penting. Beberapa di antaranya (Mack, 2010) adalah   Edmund Husserl, Arthur Schultz (fenomenologi); Wilhelm Dilthey, Han-Georg Gadamer (hermenetik); Herbert Blumer (symbolic interaction); serta Harold Garfinkel (etnometodologi).

Lebih jauh dari itu, paradigma kritis–termasuk di dalamnya, posmodernisme–memandang penting dilakukannya penerapan cara pikir dan perilaku yang  emansipatif dan egalitarian. Pengetahuan senantiasa perlu ditinjau secara kritis karena senantia bersifat politis, diskursif, dan melibatkan kekuasan. Pengakuan atas kebenaran yang jamak dan melibatkan kepentingan-kepentingan yang dapat bertentangan mendorong upaya bersama untuk menemukan posisi yang lebih tinggi yang mampu membingkai semua kebenaran laksana prisma. Ada kalanya diperlukan dekonstruksi kreatif atas metanarasi sehingga kebenaran-kebenaran dapat muncul ke permukaan dan ditemukan pemahaman yang lebih holistik.

Pemikiran-pemikiran kritis disumbangkan oleh banyak tokoh. Di antaranya (Mack 2010) adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Erich Fromm (Frankfurt School dan Teori-teori kritis 1930-an); Karl Appel dan Jurgen Habermas (Teori-teori kritis 1970-an); Paulo Freire (critical pedagogy); Michel Foucault (strukturalisme);
Norman Fairclough (critical discourse analysis); Eve Kosofsky Sedgwick, Judith Butler (queer theory); Simone de Beauvoir, Betty Friedan (feminisme); Thomas Kuhn, Jacques Derrida (posmodernisme).

Pembahasan ini dapat diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa  modernisme dengan warisannya berupa saintisme telah menghasilkan suatu dunia yang tidak sehat. Dialog paradigma menjadi suatu kebutuhan agar  berbagai perspektif dapat menyumbangkan pemahaman secara optimal di dalam membangun dan memajukan dunia. Upaya-upaya untuk membaca ulang kebenaran secara kritis sebagaimana ditawarkan oleh paham intrepretivisme dan teori-teori kritikal memberikan harapan akan berkembangnya peradaban yang semakin manusiawi di dalam arti semakin menghargai kemanusiaan di dalam keberagaman (kebenaran).  E pluribus unum!

 

Referensi:

Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas (1991). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books.

Mack, Lindsay (2010). “The Philosophical Underpinnings of Educational Research.” Polyglossia Volume 19, October 2010, pp. 6-11.

Scotland, James (2012). “Exploring the Philosophical Underpinnings of Research: Relating Ontology and Epistemology to the Methodology and Methods of the Scientific, Interpretive, and Critical Research Paradigms.”  English Language Teaching; Vol. 5, No. 9; 2012, pp. 9-16.

Snape, Dawn & Spencer, Liz (2003) “The Foundations of Qualitative Research.” Dalam Richie, Jane & Lewis Jane       (eds., 2003), Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers. London: SAGE Publications, pp. 1-23.

Sugiharto, I. Bambang (1996). Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.

 




Identifikasi Reputasi Jurnal Internasional

Hal-hal yang dilakukan oleh Tim PAK Kemristekdikti untuk menilai suatu jurnal internasional antara lain:

  1. Mengunjungi laman jurnal yang bersangkutan
  2. Diperiksa mengenai
    • Konsistensi jumlah artikel tiap issue terbitan
    • Konsistensi bulan waktu penerbitan pada setiap volume
    • Apakah artikel yang diterbitkan masuk dalam cakupan bidang ilmu yang tertulis pada ‘subject area and category’
    • Apakah jurnal direview dengan benar
  3. Dicek ke http://www.scimagojr.com
  4. Ditelusuri apakah masuk https://scholarlyoa.com/publishers/
  5. Ditelusuri pula alamat fisik pengelola  jurnalnya melalui https://www.google.com/maps
  6. Email pengelola bila menggunakan gmail akan menimbulkan kecurigaan
  7. Anggota editorial board diperiksa karya ilmiahnya, antara lain melalui https://www.scopus.com/feedback/author/home.uri#/
  8. Dilacak pula ke https://scholar.google.com/ asal muasal anggota editorial board serta bidang ilmunya

Rujukan

PAK Kemristekdikti. 5 Desember 2016. [4] Informasi Seputar PAK




Demo, kind of marketing

INTERNAL MARKETING

  • Pentingnya pemasaran internal baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan bahaya.
  • Krisis tidak akan diketahui selama belum terjadi. Ketidakmampuan mengetahui terjadinya krisis merupakan kejadian fatal yang dapat merugikan banyak pihak. Pembiaran krisis akan diikuti oleh banyak pihak. Jika pihak terkait menyadari hal itu tetapi sedang menikmati krisis tersebut.
  • Demo yang dilakukan beberapa waktu yang lalu merupakan contoh bagaimana salah satu pihak tidak menganggap suatu hal prinsip tetapi pihak lain menjadikan hal tersebut merupakan suatu prinsip. Bahkan dilawan dengan tindakan sejenis yang mengakibatkan retak-retak hubungan semakin terlihat jelas menjadi tanda-tanda retak-retak yang semakin merekah.
  • Jika tidak diambil tindakan segera akan terjadi ANTIKLIMAKS.

Di bawah ini suatu kutipan yang dapat diambil hikmahnya.

Employees Will Be Heard

“Employees are increasingly important voices during crises,” says Shel Holtz, principal of Holtz Communication + Technology in San Francisco. “Thanks to social media, what an employee says is heard by a lot of people.”

Employees at Starbucks found themselves thrust into controversy in March 2015 after the company launched a marketing campaign aimed at getting its customers to talk about race by writing the slogan “Race Together” on its cups. The public backlash was fast and furious: Almost three-fifths of the 79,000 social media mentions of the campaign on its first day were negative. The overall sentiment was that Starbucks was oversimplifying a complex issue and exploiting racial tension for publicity.

But Starbucks’ CEO Howard Schultz did the right thing in following up with employees immediately, according to Paul A. Argenti, professor at Dartmouth College’s Tuck School of Business. He quickly wrote an all-staff memo thanking Starbucks employees for their work on the weeklong initiative and describing the other efforts the company was pursuing to address diversity and inequality. “Starbucks has been really good at dealing with crises internally, and Schultz is excellent at writing internally and using it externally,” Argenti says.

Indeed, Schultz took a proactive approach by making that “internal” memo public—aligning his strategies for handling the crisis within and outside the company. “Internal communications should at least be concurrent with external communications,” Holtz says.

A month later, Starbucks proved that it had successfully weathered the storm: The company’s stock hit an all-time high.

Thanks to social media, the public now has direct access to a trusted source of information: employees. And today’s media-savvy populace tends to put greater faith in what rank-and-file staff have to say than in what comes from corporate spokespeople, according to the 2016 Edelman Trust Barometer. “Inside information is always viewed as more reliable than third-party information,” says Steven Fink, president and CEO at Lexicon Communications Corp. in Los Angeles.

HR and communications experts differ in their opinions about whether employees should be able to communicate externally on behalf of the company following a crisis or if only designated spokespeople should do so, but they agree that trying to block social media channels is simply not feasible. Instead of attempting to halt the flood of communication, HR would do better to offer employees accurate and timely information that they can disperse to their own online networks, experts say.

“Give them the information and the confidence to address it with their communities,” Holtz says, especially if the crisis involves employees’ subject matter expertise. “Most organizations don’t take that approach, and I think that’s wrong,” he adds.

“Employees are probably going to be the single biggest determinant in how fast and how well an organization recovers from a crisis, and they’ll be the first contact with customers as recovery occurs,” says Paul Barton, principal consultant at Paul Barton Communications in Phoenix.

That means that failing to keep workers in the loop during emergencies can come at a high cost. “Employees recognize how an organization communicates a crisis,” says Iloma Simmons, SHRM-CP, senior employee relations specialist at JLL, a professional services firm based in Chicago. How leaders handle these situations will dictate how much faith employees and business partners will have in them, she says.

Just as important as planning before disaster strikes is the flip side—assessing communications afterward.

Communicating is also important for ensuring continued productivity. If staff are unaware of their organization’s response, “people are spending more time talking about what’s happening than doing their jobs,” says Jeanne Achille, president and CEO of The Devon Group in Red Bank, N.J.

A communications blackout is likely to affect how employees feel about returning to work as well. “Once a crisis is over, we need employees to come back in a positive, willing way to work,” says Ivan Thompson, vice president for HR and CHRO at the University of Texas Southwestern Medical Center in Dallas.

Sidebar: 8 Tips for Communicating with Employees During a Crisis

1. Be proactive. Anticipate and plan for crises that your organization could encounter before they happen.
2. Get a team together. During the planning phase, identify employees who will make up the crisis management team—the people who will know what to do when disaster strikes.
3. Don’t expect employees to come to you. Implement a notification system that quickly reaches out to employees with accurate information and guidance.
4. Don’t put up roadblocks. Trying to keep employees from communicating about crises via social media is futile. Instead, help them shape their messages by giving them correct information in a timely manner.
5. Act fast—but only say what you know to be true. Speed is of the essence when it comes to crisis communications, but it shouldn’t come at the price of accuracy.

6. Don’t go silent. If your organization is not yet ready to respond to an emergency, HR should at least let staffers know that the organization is gathering information and will follow up as soon as it can.

7. Test—then test again. The most well-crafted communication plan won’t be very helpful if employees have no idea what it is or how to use it. At least once a year, test the process to find out from workers what it does and doesn’t do well, and then adjust accordingly.
8. Evaluate. Post-crisis assessments are as important as pre-crisis plans. After the fact, review how the internal communication plan was executed. Determine what succeeded and what can be improved.

Smooth Delivery

Even though different internal audiences may need different information, depending on how the crisis affects them and their ability to do their jobs, employers should keep messages consistent. Doing so makes it unlikely that employees will have different understandings of the situation or will feel like they’re not being treated the same as their colleagues. “Anyone who’s impacted by a crisis should receive the same information at the same time,” Simmons says.

She made sure that happened at imaging company Canon, where she worked when Hurricane Sandy hit the eastern seaboard in 2012. All communications directed at Canon employees on the East Coast—such as office closures, assistance hotlines and donation options—were also communicated to workers in the Midwest. “I made sure the information on the regional level was disseminated on the national level by working with senior management and putting that information in e-mails and weekly newsletters,” she says.

It’s also best if all communication originates from the same source—preferably senior leaders—and if employees at all rungs on the corporate ladder are given the same message.

You need to communicate with everyone at once because you want everyone to think and act like owners,” Argenti says. During crises, company leaders should ideally communicate with their staff face to face—which is what leaders at The New York Times did in the aftermath of the Sept. 11 attacks, Argenti says. When that’s not possible, a videoconference or audio message from the CEO can be an effective alternative. “After [Sept. 11], Goldman Sachs’ CEO used voice mail, and hearing his voice was comforting for employees,” he says.

As tempting as it may be to go silent until you have a firm handle on the situation, don’t. It’s better to simply communicate what you do and don’t know. “Even if complete information is not available, at least communicate so that there’s not an information vacuum,” Thompson says.

At the same time, don’t share anything you can’t verify. “Speed is of the essence, but it should be tempered by the need for accurate information,” Thompson adds.

Work with company leaders to communicate with employees as quickly and efficiently as possible. “HR should know the best ways to get in touch with employees,” Achille says. If the messaging comes from managers rather than directly from the CEO, help train those supervisors in crisis communications. “HR needs to make sure those managers know how to deliver a crisis message,” she says.

Achille advises having a standby statement: “We’re looking at the situation, and we’ll be back in touch shortly,” for example. “You want to at least acknowledge you have a sense of what’s going on,” she says. “You set expectations that will quiet down the noise level among employees.”

Plan and Review

When a crisis hits, don’t wait for employees to come to you for information. HR should immediately reach out. At Nashville-based design and architecture firmGresham, Smith and Partners, employees used to be notified about emergencies via a recorded message when they called a specific phone number.

But during a test of the system, HR found that, among the 680 employees at the company’s headquarters, only a dozen actually checked the message over a two-week period. “It required multiple steps and left it in the hands of employees to get the message rather than being sent the message,” says Johnetta Scales, HR training and development manager at the company.

The firm implemented a new system during the past year that pushes notifications out to affected employees via phone, e-mail and text. This year, the organization used the new system twice during severe snowstorms.

“We wanted to reach employees and let them know to stay off the roads and work from home, rather than having to wonder if the office is open, if anybody is there, if they should try to make it,” Scales says. “We were really happy with that.”

Like Cisco’s HR team, the HR staff at Gresham, Smith and Partners realized that one communication channel was not enough. The process needs to account for the reality that people have different preferred modes of communication.

“HR needs to be intimately connected with the best ways to get in touch with its employees,” Achille says. “Not everyone is sitting in front of a computer all day long.”

Of course, plans need to be in place long before a disaster hits. “We think of crises as acute, and that’s accurate. But it’s normal to have crises, so you should always be prepared for them,” Achille says.

Planning should involve determining not only what and how to communicate to employees but also who will serve as the designated crisis management group. “HR should be embedded in that team,” Thompson says.

Testing is an essential part of planning. HR departments should simulate crises to test communication procedures at least quarterly, Holtz recommends.

“It’s important to practice and drill and then evaluate those drills for continuous improvement,” Barton says.

The planning phase should take into account any emergencies that might potentially affect an organization—even the most extreme. Immediately after the Sept. 11 attacks, PetSmart’s employees asked the organization how they could donate money, blood and products to the relief efforts. “We didn’t know what to tell them,” says Barton, who worked at PetSmart at the time. Following that event, the HR team changed its process so that the company can instantly provide employees with a comprehensive list of ways they can help.

Just as important as planning before disaster strikes is the flip side—assessing communications afterward. This can help the organization improve the system the next time around. “There should always be a postmortem,” Achille says.

All internal crisis communication processes should support a dialogue that allows the business to communicate to employees and that lets HR hear from workers about their status and concerns.

“Good employee communication is two-way,” Holtz says.

While no one can control when a natural disaster will hit—or when a product will malfunction, or when a vicious rumor will go viral—HR professionals can control how they communicate in the wake of these events. Doing so will help employees get the information they need as quickly as possible without jeopardizing their trust in the company over the long term. That’s at least one crisis averted.

https://www.shrm.org/hr-today/news/hr-magazine/1116/pages/communicating-with-employees-during-a-crisis.aspx




Break Event Point (BEP)

Break Event Point (Titik Impas)

Bila C (Q) = f(Q) dan R(Q) = f(Q) , maka Laba = R-C.

Bila R > C —-> laba, kurva R di atas C

Bila R < C —-> rugi, kurva R di bawah C

Bila R = C, berarti impas (laba = 0), —-> Titik Impas ada pada perpotongan R dan C

Syarat Break Even Point (BEP) —> R = C




Perlindungan karya cipta

Didalam UU yang terbaru mengenai Hak Cipta yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 disebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengertian pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan pengertian ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

UU Hak Cipta ini memberikan perlindungan kepada pemilik karya cipta secara moral (moral right) maupun ekonomi (economic right) dan hak cipta juga bisa dijaminkan dengan cara fiducia maupun dialihkan sebagaimana benda bergerak pada umumnya, namun yang menarik di dalam UU Hak cipta yang terbaru menyebutkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan cara wakaf (Pasal 16 ayat 1).

Perlindungan yang diberikan ini sangat wajar mengingat bahwa pembuat karya cipta telah mengeluarkan segala kemampuannya untuk menciptakan sebuah karya cipta yang dapat dimanfaatkan untuk seluruh manusia. Maka dengan demikian kepemilikan atas karya cipta tersebut merupakan hak eksklusif baginya. Ia berhak melakukan apapun terhadap karyanya tersebut antara lain untuk menyebarkannya ditengah masyarakat, mengumumkan atau mendapatkan keuntungan materi dari karya cipta tersebut.

Berdasarkan UU tersebut terlihat bahwa Negara telah memberikan perlindungan bagi setiap individu yang melahirkan karya cipta dan hak cipta tersebut mengandung nilai ekonomi dan kemanfaatannya. Namun, ironisnya teryata berdasarkan informasi dari Republika online yang diupload pada 25 Januari 2012 dikatakan bahwa Indonesia sering dibilang surga bagi para pengedar barang-barang bajakan atau tiruan mulai dari barang elektronik sampai aneka garmen. Bahkan pada Tahun 2007, Indonesia tercatat sebagai negara yang masuk kedalam lima besar negara yang banyak melakukan pelanggaran HKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas umat islam, perlu mengedepankan aspek bermuamalah dalam perspektik hukum islam, dalam hal ini yang hendak diangkat adalah tentang perlindungan terhadap HKI dalam perspektif Hukum Islam. Ternyata persoalan HKI telah menjadi perhatian bagi para ulama, terbukti dengan keluarnya Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 1/MUNAS/VII/MUI/15/2005 tentang HAKI, bahkan sebelumnya ada fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Hak Cipta.

Fatwa tersebut lahir, tentu diawali dengan pengkajian yang mendalam dari aspek dalil atau landasan hukum. Salah satu dalil dalam melahirkan fatwa tersebut adalah sebagaimana disebutkan didalam QS An Nisa :29 dan QS As Syu’ara: 183 yang secara umum menjelaskan adanya larangan untuk memakan harta orang lain secara batil dan larangan mengurangi hak-hak orang lain.

Berdasarkan ayat tersebut diatas, jelas terlihat bahwa karya cipta merupakan hal yang bermanfaat dan berhasil guna bagi pemiliknya (sekaligus mengandung hak bagi penciptanya untuk mendapatkan perlindungan baik secara moral maupun secara ekonomi), sehingga melakukan pembajakan terhadap karya cipta seseorang masuk kedalam kategori pelanggaran dan dzolim terhadap hak orang lain. Bahkan secara tegas MUI menyebutkan bahwa karya cipta termasuk kedalam kategori hak kekayaan yang memerlukan perlindungan hukum.

Dengan demikian sangat pantas jika seorang pembuat karya cipta berhak atas hasil karya ciptanya. Dengan kata lain, ia berhak memperoleh manfaat hasilnya dan ia juga memiliki hak istimewa atas karya cipta tersebut dimana hak tersebut dilindungi oleh syara’ dan karena merupakan hak pribadi maka setiap orang yang akan memanfaatkan karyanya memerlukan izin terlebih dahulu dari pencipta karya tersebut. Pelanggaran terhadap perlindungan hak cipta ini tentu bukan hanya masuk kedalam kategori pelanggaran Hukum namun juga sekaligus melanggar larangan Allah untuk melindungi hak orang lain atau tidak merugikan manusia karena mengurangi hak-haknya. Wallahu a’lam.




Kurs Dolar dan Ekonomi Dunia

http://www.economist.com/news/leaders/21711041-rise-greenback-looks-something-welcome-ignore-central-role

 




YANG PERTAMA MENERAPKAN on -LINE BANKING

 

Di jajaran perbankan nasional, pada tahun 1987  menjadi pionir yaitu dalam jasa ATM. “Perkembangan ATM (Automated Teller Machine), yang diberi nama “Niaga Cash”, sangat menggembirakan. Dengan kemampuan sistem komputer on line, nasabah dapat menarik dananya pada setiap

ATM CIMB Niaga selama 24 jam.” (Sumber: Laporan Tahunan1988)

Dibulan   Juni    1989,    dilakukan  initial     public    offering (IPO)     di Bursa Efek jakarta.

Setelah selesai masa penawaran, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pemesanan saham CIMB Niaga mencapai 20,9 juta saham atau sekitar empat kali lipat dari saham yang ditawarkan (yakni sebanyak 5 juta saham)… berarti saham CIMB Niaga banyak diminati investor dan masyarakat.

Citra CIMB Niaga yang positif di hadapan masyarakat, penanganan manajemen yang berhati-hati serta indikator kinerja keuangan yang meyakinkan sangat mendukung sukses go public ini.” (Sumber: “40 Tahun Kiprah CIMB Niaga”)

“… CIMB Niaga will always be conscious of its social commitments as a corporate citizen ofIndonesia, a responsibility held as an extension and part of our business responsibility to our shareholders and our clients.” (Sumber: laporan Tahunan 1992)

Pada masa yang penuh tantangan berat bagi CIMB Niaga. CIMB Niaga berhasil mengatasi dampak dari krisis ekonomi dan perbankan nasional yang terjadi mulai tahun 1997 di Indonesia. Sementara itu, CIMB Niaga tetap mempertahankan posisinya dalam 10 bank terbaik dalam Kualitas Pelayanan. Dengan dukungan pemegang saham mayoritas yaitu Commerce Asset – Holding Berhad, lembaga keuangan Malaysia terkemuka, CIMB Niaga siap untuk mewujudkan visinya menjadi satu dari lima bank terbesar di Indonesia.

Pada tahun 1981-1982, CIMB Niaga menerapkan jaringan banking on-line antar cabang dan menjadi salah satu bank yang pertama di Indonesia. “Dibidang operasi, yang menonjol adalah ditingkatkannya sistim komputer di seluruh cabang-cabang CIMB Niaga di Jakarta dan Surabaya. Dalam peningkatan sistim ini diharapkan, setiap nasabah yang menjadi nasabah dari salah satu cabang CIMB Niaga di Jakarta, dapat menyetor dan mengambil uang tunai maupun kliring di semua kantor cabang CIMB Niaga di Jakarta Raya.” (Sumber: Laporan Tahunan 1983).

Budaya kerja di CIMB Niaga semakin diperkuat di mana para pendiri, shareholders dan manajemen senantiasa bekerja dengan prinsip kepentingan stakeholders harus didahulukan. Itulah inti dasar Good Corporate Governance.

Berbagai produk & jasa baru untuk menjawab kebutuhan nasabah,  telah dibuka Cabang Pembantu Kebayoran. Cabang baru ini dengan cepat berhasil menghimpun dana dan melaksanakan Proffesional Loan Program (P.L.P), yaitu program pemberian kredit kepada golongan profesi seperti Dokter, Insinyur, dan lain-lain.” (Sumber: Laporan Tahunan 1976).

Dengan penghapusan pagu kredit dan pengurangan kredit likuiditas Bank Indonesia

(PaketKebijakan 1 Juni 1983 – Pakjun 1983), CIMB Niaga menyadari kecenderungan iklim perbankan yang berkembang ke arah persaingan merebut pasar. Karena itu walaupun indikator-indikator keuangannya memungkinkan untuk ekspansi, CIMB Niaga memilih kebijakan operasional yang lebih konservatif dan hati-hati dengan titik berat pada peningkatan pelayanan, pendidikan dan konsolidasi organisasi. Kebijakan operasional CIMB Niaga tadi tampaknya sejalan dengan perkembangan ekonomi yang mengalami kelesuan selama pertengahan dasawarsa 1980-an, sebagai dampak berkepanjangan dari kemerosotan laju pertumbuhan ekonomi negara-negara industri maju yang berawal tahun 1980.” (Sumber: “40 Tahun Kiprah CIMB Niaga)

Kembali melakukan berbagai terobosan untuk semakin mengenali dan dekat dengan nasabah  pada tahun 1987 dicanangkan sebagai Tahun Kualitas dan tahun 1994-1998 sebagai Tahun Nasabah.

Tahun nasabah ditandai dengan penambahan jaringan authorized money changer, di cabang Jakarta-Kota, cabang Hasanuddin, cabang Cirebon, cabang Ujung Pandang, membuka unit-unit Kas Mobil diberbagai kampus, dan dihasilkannya berbagai produk-produk perbankan baru.” (Sumber: Laporan Tahunan 1985)

CIMB Niaga ditempatkan sebagai Bank Take Over di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Berbeda dengan bank-bank lain yang diambil alih, CIMB Niaga tidak memiliki masalah penyelewengan dana BLBI ataupun pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada kelompok terafiliasi. Apa yang terjadi pada bulan April 1999 saat mana CIMB Niaga diambil alih oleh BPPN, semata-mata disebabkan karena ketidakmampuan pemegang saham Bank Niaga menyediakan 20% kebutuhan dana rekapitalisasi.” (Sumber: Laporan Tahunan 1999)

Setelah mencermati perkembangan pasar, mulai tahun 1998 CIMB Niaga memperluas pasar perbankan konsumer dan memperbesar basis nasabah yang solid dan loyal dari kelompok menengah-atas yang dikembangkan ke kelompok menengah dengan cara menciptakan berbagai produk unggulan yang merupakan solusi tepat-guna demi meningkatkan kepuasan nasabah.

Mulai tahun 2001, CIMB Niaga mengubah sistem teknologi informasinya dengan sistem yang lebih canggih dan sempurna. Investasi pada bidang teknologi ini bertujuan untuk memberikan pelayanan yang mudah diakses nasabah di manapun dan kapanpun, cepat, aman, serta merupakan solusi bagi nasabah.

Beberapa prinsip dan implementasi tata kelola perusahaan yang baik bukanlah hal yang baru di CIMB Niaga. Sejak pertengahan dasawarsa 1980-an

kepada setiap karyawan telah diberlakukan Standar Etika dan Perilaku Karyawan termasuk pengaturan hal-hal yang terkait dengan Pertentangan Kepentingan. CIMB Niaga juga mempunyai tradisi memisahkan dengan tegas peran dan latar belakang hubungan personil antara Komisaris dengan Direksi. Selalu ditegaskan pentingnya prinsip-prinsip kemandirian, transparansi, keadilan, tanggung jawab,akuntabilitas dan kepatuhan dipegang teguh dalam setiap tindakan dan perilaku usaha sehari-hari.” (Sumber: Laporan Tahunan 2000)

Pada 28 Mei 2008 (setelah mendapat persetujuan RUPSLB), PT Bank Niaga Tbk berganti nama menjadi PT Bank CIMB Niaga Tbk,

Menkumham memberikan persetujuan pergantian nama dari PT Bank Niaga Tbk menjadi PT Bank CIMB Niaga Tbk. Selanjutnya  Bank Indonesia memberikan persetujuan pergantian nama tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




Kursus & Bahan IELTS Gratis

University of Queensland Australia mulai 27 November 2016 menawarkan kursus gratis IELTS.

Sila klik: University of Queensland free online courses on IELTS

Di sini juga ada berbagai materi IELTS, klik: Bahan IELTS




PASUTRI sebagai ENTREPRENEURSHIP

Pasangan suami istri adalah mengemban amanah dalam keluarga, tugas suami memenuhi kebutuhan nafkah tidak selalu didominasi oleh yang namanya suami saja sekarang sudah bergeser bahwa peran istri untuk mendukung usaha suami sangatlah penting. Katanya laki-laki bekerja keras dari pagi sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam itu pepatah lama, wanita bahkan lebih dari itu . Sekarang banyak wanita yang menggantikan pekerjaan laki-laki, ternyata wanita lebih gigih, berani dan tahan banting buktinya banyak wanita yang berhasil dengan memulai usaha kecil-kecilan  sampai akhirnya sukses tanpa meninggalkan kewajiban seorang wanita dalam mengatur rumah tangganya. Wanita berarti bisa untuk diajak kerjasama dalam memajukan usaha, alangkah baiknya kerjasama ini dilakukan dengan pasangan hidupnya, agar tujuan  sejalan minimal memajukan ekonomi rumah tangganya maksimal menunjukkan karya yang dibangun bersama untuk kepentingan masyarakat banyak.

Pasangan suami istri bisa dipastikan mempunyai Visi dan Misi yang sejalan, bisnis yang akan dirintis mempunyai pemikiran dan ketertarikan usaha yang simultan, lebih  mudah dalam menggerakkan  kegiatan bisnisnya apalagi didukung oleh anggota keluarganya.

Related image Image result for bisnis pasutriImage result for Bisnis sukses pasangan suami istriImage result for Bisnis sukses pasangan suami istri Image result for Bisnis sukses pasangan suami istri

Toko Pakaian                        Mengubah Sampah    Baju Muslim ke mancanegara   Susu kambing olahan       Exportir Kue Kering

ini beberapa contoh usaha sukses yang dikelola dengan rasa cinta, mereka orang-orang yang sukses dalam menjalankan bisnis yang dirintis dari nol .

Miliki Keterampilan Dalam Mengatur Skala Prioritas

Tugas seorang pelaku bisnis tidaklah mudah banyak tantangan yang dihadapi , bahkan bisa dibilang cukup berat. Tentunya hal ini ditujukan untuk mengembangkan usahanya yang mulai naik daun pasti akan menyita waktu lebih banyak.

Semakin meningkatnya usaha yang dimilikinya, kini pelaku bisnis akan disibukkan dengan tugas- tugas baru yang tidak biasanya dilakukan apalagi memulai bisnis memang diawali setelah perkawinan yang mulanya belum terpikir untuk mengarungi hidup dengan menjalankan usaha. Tugas secara rutin akhirnya  harus diselesaikan dengan segera supaya tidak menumpuk dan menghambat roda usaha tersebut  maka diperlukan komitmen yang tinggi dan dibutuhkan keterampilan khusus serta niat yang besar untuk tumbuh. Rajin, disiplin, semangat , bekerja dengan hati, kasih sayang dan mempunyai pemikiran dalam menggapai kehidupan yang lebih baik merupakan kunci sukses dalam mengembangkan usaha.

Contoh mengenai mengatur apa yang harus diprioritaskan pertama kali dalam menjalankan usaha tersebut adalah mengatur proporsi dalam menjalankan usaha, menjalin hubungan baik dengan mitra kerja,  menjalin hubungan yang baik dengan keluarga dan menjalin baik dengan lingkungan serta aktif dalam media sosial sebagai sarana usaha.

Buatlah target yang pas untuk membagi tugas walaupun usaha adalah bersama suami atau istri, dan milikilah kedisiplinan sehingga pekerjaan yang dilakukan tepat waktu. Hal ini penting karena meningkat atau tidaknya usaha yang dijalankan bergantung pada managemen waktu tersebut.

Sama halnya dengan  membuka usaha pasutri, managemen waktu juga diperlukan supaya hasil yang akan dicapai lebih maksimal dan mengurangi suatu resiko maksudnya mengantisipasi   adanya  kendala berarti selama menjalankan bisnis tersebut diusahakan lancar dan mempunyai target berhasil.

Bisnis yang cocok bagi Pasutri:

Bisnis makanan, bisnis online, pendidikan dan penitipan anak, penginapan atau kos-kosan, penitipan hewan, usaha cemilan , freelance online, usaha travel , bisnis Hobby , Bimbingan penganten baru, katering dan masih banyak lagi kadang yang kreatif yang belum pernah dipikirkan oleh orang lain begitu kita menjadi pasutri ide itu akan muncul secara tiba-tiba .

Membuka usaha atau bisnis yang cocok dilakukan oleh pasangan suami istri bisa menjadi alternatif terbaik dalam mendukung peningkatan ekonomi keluarga.

Ya, siapa sangka jika suami istri bisa menjadi mitra kerja yang sangat baik pada saat membuka bisnis.

Tentu saja, sebelum memulai bisnis tersebut harus mengetahui terlebih dahulu bisnis-bisnis apa saja yang cocok dilakukan oleh pasangan suami istri Mungkin salah satu langkah yang dapat diambil agar  pasangan bisa tetap memiliki sumber penghasilan tanpa harus mengorbankan kehidupan keluarga adalah dengan membangun sebuah bisnis yang bisa dijalankan bersama dengan rasa cinta..

Image result for ungkapan cinta




Anotasi “Becoming a strategic leader : your role in your organization’s enduring success “

Judul : Becoming a strategic leader : your role in your organization’s enduring success
Pengarang : Richard L.Hughes, Katherine C. Beatty
Penerbit : Jossey-Bass
Tahun : 2005
ISBN : 0-7879-6867-6
Jumlah Halaman : 268

TUJUAN. buku ini adalah sebagai panduan atau pegangan para eksekutif dan manajer untuk melaksanakan proses kepemimpinan strategis di semua tingkatan organisasi.
POKOK BAHASAN. Dalam bab satu dibahas sifat unik dari kepemimpinan yang strategis dan kesulitan dan tantangan yang dihadapi. Penulis meneliti secara mendalam gagasan mengenai strategi organisasi sebagai proses pembelajaran dan menyimpulkannya dengan melihat implikasi karena menggunakan pandangan tersebut. Bab dua Pemikiran yang strategis, mengacu pada dimensi kognitif dari kepemimpinan strategis. Aspek ini dapat meliputi, misalnya, memahami tren lingkungan yang memiliki kepentingan strategis untuk organisasi. Hal ini juga dapat meliputi kemampuan untuk menyaring gelombang informasi untuk mengenali fakta atau masalah yang secara strategis paling penting. Aspek-aspek lainnya adalah melihat hal-hal dari perspektif perusahaan, menghargai kontribusi dari semua fungsi dan departemen yang berbeda dalam organisasi secara keseluruhan, dan melihat semuanya dengan cara yang baru dan berbeda. Bab tiga membahas selubung tindakan strategis, dimensi perilaku kepemimpinan dari kepemimpinan yang strategis. Perlunya bertindak dengan niat yang trategis tidak perlu dinyatakan secara berlebihan. Pada akhirnya, semuanya bermuara pada apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemimpin. Visi yang besar dan rencana yang rinci akan sia-sia jika tidak memiliki tujuan. Gagasan yang tajam tidak akan bernilai kecuali menghasilkan keputusan yang berkomitmen agar sumber daya melakukan aktivitas tertentu dan bukan hal lainnya. Pemberian pengaruh yang strategis adalah subyek dari bab empat. Subyek ini mengacu pada cara yang dipakai para pemimpin dalam memengaruhi orang lain dan cara-cara mereka membuka diri untuk menerima pengaruh dari orang lain. Pengaruh adalah saluran di mana pikiran dan tindakan mengaliri seluruh organisasi. Menjaga arah yang positif dan jalur strategis organisasi adalah hal yang penting. Bab lima adalah untuk memeriksa sifat dan efektivitas kerjasama kepemimpinan yang strategis. Kami mengacu pada penelitian yang telah kami lakukan terhadap kelompok dalam konteks program CCL. Mengembangkan Pemimpin Strategis (DSL). Individu dan kelompok menggunakan kepemimpinan yang strategis ketika mereka berpikir, bertindak, dan mempengaruhi orang lain dengan cara yang dapat meningkatkan keunggulan organisasi secara kompetitif yang berkelanjutan. Bab enam menjelaskan jenis lingkungan yang dimaksud. Bab ini melihat aspek budaya organisasi, struktur, dan sistem yang paling mungkin untuk menghasilkan dan mendukung jenis kepemimpinan yang akan membuat organisasi dapat bergerak maju melalui pembelajaran yang terus-menerus. Dalam bab tujuh kembali ke fokus yang lebih personal dan menawarkan saran beberapa saran penting tentang bagaimana pembaca dapat mengembangkan dengan baik kemampuan kepemimpinan mereka yang strategis. Upaya tersebut menyangkut pemilihan pengalaman yang kaya dalam memperoleh kesempatan boelajar.

KEKHASAN. buku ini menguraikan kerangka kepemimpinan strategis dan berisi saran-saran praktis tentang bagaimana mengembangkan individu, tim, dan keterampilan organisasi yang dibutuhkan untuk lembaga menjadi lebih mudah beradaptasi, fleksibel, dan tahan banting. Para penulis juga menunjukkan bagaimana manajer individu dapat melatih kepemimpinan strategis yang efektif melalui pendekatan-pemikiran khas dan sistemik

REKOMENDASI. Buku ini sangat cocok untuk pimpinan dan eksekutif dan para manajer, agar dapat membuat perencanaan jangka panjang dan pendek, dan agar organisasi dapat semakin maju dengan pembelajaran yang terus menerus.