Manfaat Teh Hijau

manfaat-minum-teh-hijau




Fungsi Pecah (Hiperbola) oleh L. Listijowati Hadinugroho

Persamaan fungsi pecah

Y =  (ax + b)/(cx + d)

Y = variabel terikat

x = variabel bebas

a,b,c,d = bilangan konstanta

contoh: Y = (2x + 6)/ (x + 8)

 

 




Audit Command Language (ACL) Software

Dalam proses penyusunan laporan keuangan kita mengenal banyak aplikasi yang membantu akuntan dalam pelaksanaan tugas tersebut, sebut saja MYOB, Accurate, Zahir dan masih banyak lagi. Namun selain menyusun laporan keuangan tugas dan peran akuntan yang lain adalah sebagai auditor. Proses Audit yang dilakukan auditor adalah proses yang memerlukan ketelitian tinggi dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya akan sangat membantu apabila juga terdapat aplikasi yang dapat membantu auditor menjalannya perannya. Saat ini kita mengenal ACL Software sebagai sebuah aplikasi perangkat lunak yang telah dikenal baik dalam perannya sebagai aplikasi yang membantu tugas seorang auditor. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca melalui artikel-artikel di bawah ini.

http://www.acl.com/

https://en.wikipedia.org/wiki/ACL_(software_company)

http://catatandestra.blogspot.co.id/2014/05/pengertiankeuntunganmanfaat-acl-audit.html

Tutorial Mengenai ACL dapat di lihat di Chanel Youtube di bawah ini

http://tinyurl.com/gldxmh2

acl_logo2




Persamaan kwadrat oleh L. Listijowati Hadinugroho

Y = ax.x +bx + c

Y = variabel terikat

x = variabel bebas

a,b,c = bilangan konstanta

Contoh: Y= x.x – 5 x +6

 




Faith

Faith is trusting God when you don’t understand His plan.




Inovasi Pengrajin Kain Tradisional

Daerah manakah di Indonesia yang pernah Anda kunjungi?pernahkah sama-sama kita mencermati berbagai kekayaan alam dan budaya di Indonesia? Salah satu kekayaan budaya Indonesia adalah  kain khas Nusantara. Perkembangan kain-kain Nusantara mulai menggeliat namun gaungnya masih belum terdengar seperti layaknya keindahan alam Indonesia yang sudah sangat dikenal Dunia. Masyarakat dunia sudah sangat mengenal Batik sebagai salah satu kain khas asli Indonesia. Selain batik,  Indonesia juga memiliki kain khas lainnya yaitu tenun yang dibuat dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Kain tenun juga merupakan salah satu kerajinan di Indonesia yang pelan-pelan mulai mendapat perhatian tersendiri dari penikmat seni dan masyarakat Indonesia dan dunia. Beberapa diantaranya adalah kain tenun yang berasal dari daerah Nusa Tenggara seperti kain tenun buna, songket, ikat (Nusa Tenggara Timur); Subhanalee, tereng, songket, sasambo (Sasak dan Mbojo), Rangrang (Nusa Tenggara Barat) (https://m.tempo.co. ;http://hellolombokku.com). Namun beragamnya jenis kain ternyata tidak menjadi daya tarik kuat bagi para pecinta kain tanah air, baru setelah berkembangnya dan mulai dikenalnya pariwisata dimasing-masing daerah kemudian berimbas pada mulai dikenal meluasnya kain tenun tradisional tersebut.

Lombok merupakan salah satu pulau yang menjadi bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat 4.725 km persegi. Keberadaan berbagai objek wisata di Lombok yang mulai dikenal kemudian memiliki dampak terhadap mulai dikenalnya kain tradisonal khas lombok. Secara umum penghasil kain di Pulau Lombok bersal dari tiga daerah utama yaitu Desa Sade  dan Desa Sukarare (Lombok Tengah) dan Desa Pringgasela (Lombok Timur). Berdasarkan hasil penelusuran dari penulis ketiga desa ini merupakan acuan dari berbagai model dan motif kain di khas Lombok. Motif kain tersebut dari ketiga daerah tersebut hampir sama, yang membedakan hanya jumlah helaian dari masing-masing kain, dimana umumnya kain dari Desa Pringgasela memiliki tenunan yang lebih rapat.

Kain asal Lombok yang beberapa lama ini sangat dikenal adalah kain rangrang yang merupakan motif kain berbentuk segitiga dengan berbagai warna yang mencolok.

img_1157

Kain diatas sempat menjadi perhatian dari masyarkat karena warna dan motifnya yang menarik, namun kemudian tidak dapat berkembang karena hasil wawancara penulis dengan salah satu kolektor dan pemerhati kain tradisional Indonesia Ibu Dr.Aviliani, kelemahan dari kain tenun Indonesia adalah kainnya yang terlalu tebal sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pakaian yang nyaman untuk orang-orang yang tinggal di daerah tropis seperti Indonesia. Hal ini kemudian memunculkan kesempatan bagi produsen kain pabrik atau sejenisnya untuk kemudian membuat kain motif serupa namun lebih tipis. Ternyata ketika kain tersebut dilempar kepasaran justru lebih diminati oleh konsumen karena lebih sesuai untuk dibuat pakaian dan harganya lebih murah.

Kain tenun sendiri bukan hanya merupakan kain, namun merupakan simbol, kisah dimana terkandung makna dan filosopi sejarah dari masing-masing daerah asal kain tersebut. Namun jika melihat peluang yang ada, pada saat ini pelaku industri kain nusantara banyak yang belum memahami mengenai selera konsumen, dengan tetap bertahan pada pakem-pakem pembuatan kain yang sudah diwarisi dari zaman nenek moyang mereka. Sementara terkadang hal tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang ada sekarang ini, hal ini kemudian menyebabkan kurang diminatinya kain tersebut bahkan oleh orang Indonesia sekalipun.

#gallery-1 { margin: auto; } #gallery-1 .gallery-item { float: left; margin-top: 10px; text-align: center; width: 33%; } #gallery-1 img { border: 2px solid #cfcfcf; } #gallery-1 .gallery-caption { margin-left: 0; } /* see gallery_shortcode() in wp-includes/media.php */

Lama kelamaan kelemahan tersebut mulai dibahas dan dilakukan perbaikan oleh para pengrajin kain. Kain diatas merupakan Contoh kain  kain yang dibuat dengan bahan yang lebih tipis disebut dengan kain seset.  Perkembangan lainnya adalah penggunaan warna-warna natural atau warna alam sebagai bahan pewarna diharapakan menjadi salah satu inovasi untuk menarik konsumen, mengingat kembali boomingnya istilah kembali pada alam (back to nature) hal ini juga sekaligus menjadi salah satu sumber keunggulan kompetitif dari produk kain asal Lombok.

img_1172

Perkembangan Sosial media juga ternyata berimbas kepada cara penjualan yang digunakan oleh para pengrajin dalam memasarkan kain tradisional mereka dengan mulai memiliki account di Facebook sebagai salah satu metode pemasaran baru bagi mereka. Dimana kefektifan dari metode sosial media masih perlu pendalaman lebih untuk melihat dampaknya terhadap penjualan kain asal Lombok.Semoga kedepan semakin banyak inovasi yang dibuat para pengrajin untuk dapat meningkatkan minat beli konsumen. Jaya terus kain Indonesia, jadilah pemenang di negara sendiri.




Teknologi ikut andil dalam Dehumanisasi ?

Humanisasi memiliki arti proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dehumanisasi berarti penghilangan harkat manusia. Immanuel Kant menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia., sehingga menurut konsep ini, anak manusia harus dididik oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam nuansa kehidupan manusia. Dengan penggunaan teknologi dalam pendidikan dapat dianggap sebagai nilai tambah namun tidak dapat menggantikan peran manusia dalam mendidik anak manusia tersebut. Dehumanisasi peserta didik tidak terjadi hanya karena teknologi, karena teknologi hanya sebagai nilai tambah bukan pengganti manusia (pendidik) dalam upaya mendidik anak manusia (peserta didik), karena yang seharusnya pendidikan harus menjadi proses humanisasi manusia, karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mendidik dan didik (educandum dan educabile).

Dalam mengunakan teknologi, terdapat beberapa hal yang membentuk kepribadian seseorang, diantaranya keluarga, sekolah dan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, teknologi akan tetap berfungsi sebagai alat bantu, sebagai penunjang fasilitas pembelajaran, dan bukan sebagai faktor utama. Dalam konteks pendidikan yang penting adalah, bahwa peserta didik dapat menyerap dan mengerti materi yang diajarkan kepadanya. Walau demikian memang harus diwaspadai, bahwa teknologi dapat mengubah kebiasaan seseorang, dan kemudian membentuk menjadi satu budaya baru. Sebelum hal itu terjadi, seseorang harus menyadari bahwa ada resiko tersebut yang harus diperhitungkan apakah itu positif atau negatif. Dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan sisi negatif, maka kegunaan teknologi akan memberi manfaat. Hal ini berarti tidak selalu teknologi menjadikan penyebab dehumanisasi.




Analogi to Analisa (PART II)

Analogi – Analisa to Rekomendasi (PART II)
(Kasus Pengembangan IT pada Sebuah Perguruan Tinggi)

screen-shot-2016-10-12-at-11-56-32-am

Lanjutan dari kasus sebelumnya (Analogi to Analisa (PART I),
(Analisa Arsitektur Infrastruktur Komputer & Analisa Departemen IT dan Rekomendasi)

Layanan berbasi IT merupakan hal yang banyak diinginkan oleh perguruan tinggi mengingat banyaknya stakeholder yang harus dilayani. Namun untuk mengimplementasikannya perlu banyak portimbangan karena pada umumnya kebutuhan ini datangnya pada fase dimana perguruan tinggi sudah berjalan dan sudah ada beberapa bagian sistem maupun teknologi informasi yang sudah dipakai. Untuk itu diperlukan analisa yang runut untu mendapatkan gambaran tentang apa saja yang perlu dilakukan. Dibawah ini adalah contoh sebuah kasus dan pendekatan analogi existing sistem untuk mendapatkan gambaran awal apa yang saja yang diperlukan untuk pengembangan layanan IT-nya).

Analogi Pendahuluan

  • Sistem Informasi Perguruan Tinggi ibarat sebuah bangunan rumah tingkat satu bergaya Belanda yang secara fungsional masih layak berdiri dan ditinggali, di tengah-tengah kemajuan gaya arsitektur modern di sekitarnya, yang dalam keadaan tidak begitu bersih karena mekanisme pemeliharaannya yang kurang baik
  • Rumah yang pada masanya tersebut terbilang sangat baik, semakin lama semakin penuh dihuni oleh keluarga yang terus beranak pinak dan berkembang biak dengan pesat
  • Keadaan terkini yang penuh dengan perubahan dan gejolak membuat sebagian dari penghuni rumah mulai merasa kesulitan untuk tinggal secara nyaman, tidak saja karena semakin sempitnya ruang tinggal dan tempat beraktivitas, tetapi semakin diperlukannya berbagai kebutuhan baru yang pada jaman Belanda dahulu belum ada, misalnya: ruang kedap suara untuk bermain musik, kolam renang bergaya yakuzi untuk berekreasi, kanal listrik khusus untuk alat-alat elektronik standar internasional, jumlah lantai yang harus ditingkatkan untuk mengadaptasi kuantitas anggota keluarga yang bertambah, dan lain sebagainya – yang pada intinya memaksa keluarga tersebut untuk melakukan perombakan tidak hanya terhadap tata ruang rumah, namun melibatkan arsitektur secara keseluruhan
  • Sehubungan dengan hal itu, kepala keluarga mengadakan rapat keluarga yang dihadiri berbagai perwakilan kerabat untuk menyampaikan isu tersebut di atas – sebagian merasa bahwa tidak perlu diadakan perombakan rumah besar-besaran karena sebenarnya yang sekarang sudah nyaman, sementara yang lain merasa sudah saatnya perubahan besar-besaran dilakukan
  • Rapat keluarga tersebut berakhir dengan tiga pilihan besar sebagai berikut: pilihan pertama adalah merubuhkan rumah tersebut dan membangunnya kembali sesuai dengan kebutuhan dan gaya arsitektur modern; pilihan kedua adalah melakukan renovasi terhadap sebagian besar dari rumah tersebut; dan ketiga adalah memenuhi kebutuhan kecil-kecil secara bertahap tanpa membongkar rumah yang ada (tambal sulam)
  • Karena ketiga skenario tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan kebetulan ketika diadakan voting ternyata seimbang, maka diputuskan dibentuk sebuah tim yang terdiri dari wakil-wakil keluarga untuk memutuskan pilihan mana yang terbaik
  • Langkah pertama yang dilakukan oleh tim tersebut adalah mencoba mencari cetak biru dan berbagai dokumen arsitektur rumah sebagai salah satu cara obyektif untuk menilai kelayakan pengambilan keputusan terhadap tiga skenario yang ada
  • Dari hasil pencarian tersebut, malangnya yang didapatkan hanyalah dokumen desain interior bangunan, sementara cetak biru arsitekturnya sudah hilang sama sekali – dengan kata lain, tim merasa sulit untuk memutuskan pilihan mana dari ketiga skenario yang ingin diambil, terutama dalam menentukan cost-benefit-nya
  • Usaha lain kemudian dilakukan, yaitu mencoba mencari arsitek yang dulu membangun rumah tersebut, namun arsitek tersebut sulit dihubungi karena sudah bertahun-tahun tidak berjumpa; seandainya bertemu, belum tentu ybs. punya fotocopy bangunan tersebut, atau masih hafal mengenai struktur rumah yang dulu dibangunnya, atau mau menggambar ulang mengenai hasil karyanya tersebut
  • Karena usaha tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak efektif – disamping keluarga tidak mau terlalu menggantungkan diri terhadap keberadaan arsitektur terkait – maka diundanglah beberapa arsitektur lain untuk mencoba membantu mereka dalam mengambil keputusan dari tiga pilihan yang ada
  • Pada mulanya, ketika para arsitektur tersebut bertemu dengan pimpinan keluarga, dengan melihat kenyataan yang ada, pihak ketiga ini jelas memilih skenario yang pertama karena sebagai profesional tidak mau mengambil resiko apapun untuk melaksanakan skenario kedua maupun ketiga, karena kedua skenario terakhir tersebut jika dijalankan akan berada di atas asumsi-asumsi yang spekulatif
  • Namun ketika pihak ketiga ini bertemu dengan anggota keluarga yang lainnya (yang setuju dan tidak setuju dengan isu perombakan rumah), terlihat bahwa skenario kedua dan ketiga menjadi valid – walaupun untuk melakukannya dibutuhkan usaha-usaha yang akan terlihat aneh di mata tetangga, seperti misalnya membuat ruangan bergaya modern menempel di sisi bangunan bergaya Belanda tersebut dengan cat yang berwarna lain
  • Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah melakukan skenario kedua dan ketiga, sebenarnya beberapa anggota keluarga yang kebetulan masih terlibat dalam pembuatan bangunan lama dapat melakukannya (terbukti dengan beberapa “karya” yang telah dihasilkannya selama ini)
  • Sementara itu, tim keluarga beserta para arsitektur barunya lebih baik berkonsentrasi pada skenario pertama yang dahulu telah memutuskan untuk melakukan pendekatan sebagai berikut: membeli tanah di sebelah rumah lama yang ada, merancang bangunan baru sesuai dengan visi dan misi yang jauh ke depan, melakukan pembangunan dan pengembangan sesuai dengan dana yang tersedia, dan secara perlahan-lahan memindahkan orang-orang yang tinggal di rumah lama ke bangunan yang baru (pilot project, paralel) – dan menjual tanah serta bangunan bergaya Belanda yang lama
  • Ada baiknya, di dalam anggota keluarga ada yang disekolahkan sebagai arsitek ahli agar selain dapat terlibat dalam pembangunan dan pengembangan bangunan baru, dapat mengerti mekanisme dan metoda baku dalam proses pembangunan dan pengembangan tersebut, terutama yang berkaitan dengan pembuatan cetak biru arsitektur terkait
  • Namun satu hal yang harus diingat adalah, bahwa pimpinan keluarga harus terlebih dahulu meyakinkan para anggota keluarganya, mengapa rangkaian angkah-langkah tersebut di atas harus diambil, karena masih banyaknya anggota keluarga yang merasa bahwa tidak perlu dilakukan langkah sedramatis ini, karena sebenarnya masih nyaman berada tinggal di rumah yang lama

 

Analisa Arsitektur Infrastruktur Komputer

  • Arsitektur terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu Sistem Informasi Akademik dan Keuangan yang berbasis pada teknologi lama (sentralisasi dengan menggunakan dump terminal) dan Sistem Informasi Universitas untuk keperluan komunikasi yang berbasis teknologi baru
  • Secara jaringan cukup baik, dalam arti kata telah tersedia infrastruktur yang menghubungkan setiap titik koneksi di dalam kompleks Universitas Atmajaya
  • Secara kuantitas dan spesifikasi komputer, terlihat adanya kepincangan (kuantitas relatif sedikit, spesifikasi relatif rendah) – namun hal tersebut tidak terpisahkan dari tingkat kebutuhan dan literacy user terhadap peranan dan fungsi komputer sebagai alat bantu dalam aktivitas sehari-hari
  • Sistem akademis tersentralisasi di BAAK, dan tanpa adanya server sebagai redudansi (jika terjadi masalah dengan server, kegiatan transaksi akademis berhenti)

 

Analisa Departemen TI

  • Tidak ada anggota yang memiliki kompetensi dan keahlian strategis di bidang sistem informasi yang dapat mengantar Perguruan Tinggi untuk dapat memiliki sistem informasi seperti yang diinginkan (memiliki visi dan misi jauh ke depan)
  • Terdapat beberapa orang yang memiliki kemampuan teknis cukup baik, namun kurang lengkap (tidak didasari dengan teori dan konsep yang kuat) sehingga kerap terjadi kesalahpahaman dalam membicarakan permasalahan teknis antar anggota di Departemen TI
  • Cara kerja tim belum bersifat proaktif, dalam arti kata masih menunggu permasalahan yang ada
  • Adanya inkonsistensi dalam menyampaikan informasi dan melakukan tindakan; di satu pihak tahu persis adanya kekurangan sistem informasi yang dimiliki, di lain pihak tidak ada usaha melakukan perbaikan atau pemikiran untuk memperbaikinya (disamping ada produk-produk tambal sulam yang telah dihasilkan)

 

Rekomendasi

  • Yayasan dan Manajemen Universitas harus memiliki prinsip dan kesepahaman yang sama dalam hal mengembangkan sistem informasi Perguruan Tinggi agar tahu persis arah dan tujuannya (misalnya: SI/TI sebagai enabler change management, atau SI/TI sebagai penunjang manajemen sehari-hari, atau SI/TI sebagai alat meningkatkan efisiensi kerja, dsb.)
  • Harus ditunjuk satu orang yang memiliki kompetensi dan otoritas penuh dan mengerti permasalahan serta bertanggung jawab memenuhi visi dan misi sistem informasi yang dicanangkan tersebut, karena tanpa adanya orang tersebut, tidak ada gunanya pihak luar membantu karena tidak ada ownership dan transfer of knowledge (lebih baik secara karir dibandingkan dengan secara manajemen proyek)
  • Biarkan orang tersebut berdasarkan keahlian dan otoritas yang diberikan padanya menentukan langkah-langkah yang paling efektif baginya, termasuk di dalamnya mekanisme memilih pihak luar untuk membantu; yang bersangkutan secara langsung bertanggung jawab kepada Ketua Steering Commitee dan Organization Commitee

 

 

 

 

 

— oOo —




Analogi to Analisa (PART I)

Analogi to Analisa (PART I)
(Kasus Pengembangan IT pada Sebuah Perguruan Tinggi)
screen-shot-2016-10-12-at-11-56-32-am

Layanan berbasi IT merupakan hal yang banyak diinginkan oleh perguruan tinggi mengingat banyaknya stakeholder yang harus dilayani. Namun untuk mengimplementasikannya perlu banyak portimbangan karena pada umumnya kebutuhan ini datangnya pada fase dimana perguruan tinggi sudah berjalan dan sudah ada beberapa bagian sistem maupun teknologi informasi yang sudah dipakai. Untuk itu diperlukan analisa yang runut untu mendapatkan gambaran tentang apa saja yang perlu dilakukan. Dibawah ini adalah contoh sebuah kasus dan pendekatan analogi existing sistem untuk mendapatkan gambaran awal apa yang saja yang diperlukan untuk pengembangan layanan IT-nya).

Analogi Pendahuluan

  • Sistem Informasi Perguruan Tinggi ibarat sebuah bangunan rumah tingkat satu bergaya Belanda yang secara fungsional masih layak berdiri dan ditinggali, di tengah-tengah kemajuan gaya arsitektur modern di sekitarnya, yang dalam keadaan tidak begitu bersih karena mekanisme pemeliharaannya yang kurang baik
  • Rumah yang pada masanya tersebut terbilang sangat baik, semakin lama semakin penuh dihuni oleh keluarga yang terus beranak pinak dan berkembang biak dengan pesat
  • Keadaan terkini yang penuh dengan perubahan dan gejolak membuat sebagian dari penghuni rumah mulai merasa kesulitan untuk tinggal secara nyaman, tidak saja karena semakin sempitnya ruang tinggal dan tempat beraktivitas, tetapi semakin diperlukannya berbagai kebutuhan baru yang pada jaman Belanda dahulu belum ada, misalnya: ruang kedap suara untuk bermain musik, kolam renang bergaya yakuzi untuk berekreasi, kanal listrik khusus untuk alat-alat elektronik standar internasional, jumlah lantai yang harus ditingkatkan untuk mengadaptasi kuantitas anggota keluarga yang bertambah, dan lain sebagainya – yang pada intinya memaksa keluarga tersebut untuk melakukan perombakan tidak hanya terhadap tata ruang rumah, namun melibatkan arsitektur secara keseluruhan
  • Sehubungan dengan hal itu, kepala keluarga mengadakan rapat keluarga yang dihadiri berbagai perwakilan kerabat untuk menyampaikan isu tersebut di atas – sebagian merasa bahwa tidak perlu diadakan perombakan rumah besar-besaran karena sebenarnya yang sekarang sudah nyaman, sementara yang lain merasa sudah saatnya perubahan besar-besaran dilakukan
  • Rapat keluarga tersebut berakhir dengan tiga pilihan besar sebagai berikut: pilihan pertama adalah merubuhkan rumah tersebut dan membangunnya kembali sesuai dengan kebutuhan dan gaya arsitektur modern; pilihan kedua adalah melakukan renovasi terhadap sebagian besar dari rumah tersebut; dan ketiga adalah memenuhi kebutuhan kecil-kecil secara bertahap tanpa membongkar rumah yang ada (tambal sulam)
  • Karena ketiga skenario tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan kebetulan ketika diadakan voting ternyata seimbang, maka diputuskan dibentuk sebuah tim yang terdiri dari wakil-wakil keluarga untuk memutuskan pilihan mana yang terbaik
  • Langkah pertama yang dilakukan oleh tim tersebut adalah mencoba mencari cetak biru dan berbagai dokumen arsitektur rumah sebagai salah satu cara obyektif untuk menilai kelayakan pengambilan keputusan terhadap tiga skenario yang ada
  • Dari hasil pencarian tersebut, malangnya yang didapatkan hanyalah dokumen desain interior bangunan, sementara cetak biru arsitekturnya sudah hilang sama sekali – dengan kata lain, tim merasa sulit untuk memutuskan pilihan mana dari ketiga skenario yang ingin diambil, terutama dalam menentukan cost-benefit-nya
  • Usaha lain kemudian dilakukan, yaitu mencoba mencari arsitek yang dulu membangun rumah tersebut, namun arsitek tersebut sulit dihubungi karena sudah bertahun-tahun tidak berjumpa; seandainya bertemu, belum tentu ybs. punya fotocopy bangunan tersebut, atau masih hafal mengenai struktur rumah yang dulu dibangunnya, atau mau menggambar ulang mengenai hasil karyanya tersebut
  • Karena usaha tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak efektif – disamping keluarga tidak mau terlalu menggantungkan diri terhadap keberadaan arsitektur terkait – maka diundanglah beberapa arsitektur lain untuk mencoba membantu mereka dalam mengambil keputusan dari tiga pilihan yang ada
  • Pada mulanya, ketika para arsitektur tersebut bertemu dengan pimpinan keluarga, dengan melihat kenyataan yang ada, pihak ketiga ini jelas memilih skenario yang pertama karena sebagai profesional tidak mau mengambil resiko apapun untuk melaksanakan skenario kedua maupun ketiga, karena kedua skenario terakhir tersebut jika dijalankan akan berada di atas asumsi-asumsi yang spekulatif
  • Namun ketika pihak ketiga ini bertemu dengan anggota keluarga yang lainnya (yang setuju dan tidak setuju dengan isu perombakan rumah), terlihat bahwa skenario kedua dan ketiga menjadi valid – walaupun untuk melakukannya dibutuhkan usaha-usaha yang akan terlihat aneh di mata tetangga, seperti misalnya membuat ruangan bergaya modern menempel di sisi bangunan bergaya Belanda tersebut dengan cat yang berwarna lain
  • Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah melakukan skenario kedua dan ketiga, sebenarnya beberapa anggota keluarga yang kebetulan masih terlibat dalam pembuatan bangunan lama dapat melakukannya (terbukti dengan beberapa “karya” yang telah dihasilkannya selama ini)
  • Sementara itu, tim keluarga beserta para arsitektur barunya lebih baik berkonsentrasi pada skenario pertama yang dahulu telah memutuskan untuk melakukan pendekatan sebagai berikut: membeli tanah di sebelah rumah lama yang ada, merancang bangunan baru sesuai dengan visi dan misi yang jauh ke depan, melakukan pembangunan dan pengembangan sesuai dengan dana yang tersedia, dan secara perlahan-lahan memindahkan orang-orang yang tinggal di rumah lama ke bangunan yang baru (pilot project, paralel) – dan menjual tanah serta bangunan bergaya Belanda yang lama
  • Ada baiknya, di dalam anggota keluarga ada yang disekolahkan sebagai arsitek ahli agar selain dapat terlibat dalam pembangunan dan pengembangan bangunan baru, dapat mengerti mekanisme dan metoda baku dalam proses pembangunan dan pengembangan tersebut, terutama yang berkaitan dengan pembuatan cetak biru arsitektur terkait
  • Namun satu hal yang harus diingat adalah, bahwa pimpinan keluarga harus terlebih dahulu meyakinkan para anggota keluarganya, mengapa rangkaian angkah-langkah tersebut di atas harus diambil, karena masih banyaknya anggota keluarga yang merasa bahwa tidak perlu dilakukan langkah sedramatis ini, karena sebenarnya masih nyaman berada tinggal di rumah yang lama

 

Analisa Users/Stakeholders

  • Masih menggunakan paradigma lama (tingkat satu dari empat tingkat dalam evolusi sistem informasi di perusahaan), dimana secara transaksi dan kegunaan, komputer masih tersentralisasi di dua departemen besar, yaitu BAAK sebagai pelaksana transaksi dan SIMU sebagai departemen pengolah data
  • Sebagian besar stakeholder manajemen Perguruan Tinggi masih menempatkan dirinya sebagai user dan/atau operator, belum sebagai decision maker – sehingga merasa masih tidak perlu menggunakan komputer karena mekanisme aktivitas manual masih baik dilaksanakan
  • Tertib administrasi manual di Perguruan Tinggi secara umum sudah baik; sebenarnya hal ini mempermudah untuk mengimplementasikan sistem informasi, namun karena secara prinsip manajemen dan pengetahuan komputer masih kurang, menghambat pengembangan diri dan implementasi sistem terkait
  • Dalam menentukan kebutuhan, users/stakeholders masih mengacu pada permintaan laporan pihak eksternal (luar), bukan atas inisiatif kebutuhan pengambilan keputusan sehari-hari

 

Analisa Program Aplikasi

  • Secara fungsional dan transaksional, aplikasi tersebut cukup baik karena melingkupi seluruh aktivitas inti dari sistem administrasi akademik
  • Struktur programnya agak berbelit-belit karena mengikuti prosedur manajemen bergaya lama yang berbasis dokumen fisik (paper based mechanism)
  • Dokumentasi program minimum (user manual dan reference manual) hampir tidak ada sehingga menyulitkan untuk mempelajari alur pemikiran program terkait
  • Dokumentasi pengembangan program (technical document) tidak dibuat, sehingga program tersebut sulit jika tidak dapat dikatakan mustahil untuk dikembangkan oleh orang lain, karena tidak adanya pijakan pengembangan yang valid secara teknis
  • Secara kualitas, aplikasi berada pada level 1 menuju level 2 (dari 5 skala kualitas pengembangan aplikasi yang ada)

 

Analisa Sistem Basis Data

  • Content data yang terkandung cukup lengkap dan menggunakan standard yang baik – beberapa struktur terlihat cukup baik dan beberapa struktur kurang baik (ada sebagian yang telah diperbaiki dalam perjalanannya)
  • Menggunakan cara representasi data konvensional (kualitasnya cukup baik), yang dalam hal menunjang aktivitas fungsional dan transaksional statis sangat baik, namun dalam memenuhi kebutuhan perubahan yang dinamis (seperti pembuatan laporan baru, query-query ad-hoc baru) sangat buruk (butuh waktu, biaya, dan tenaga untuk setiap perubahan keperluan yang ada)
  • Sistem backup data cukup baik di beberapa tempat, namun prosedurnya masih perlu diperbaiki
  • Dokumentasi struktur data dan keterkaitannya tidak ada, sehingga sulit untuk menentukan hubungan keterkaitan yang valid antara satu struktur data dengan struktur data lainnya (yang biasa direpresentasikan dalam bentuk tabel data) – dengan kata lain, jika ingin dibuatkan laporan dari basis data ini, semua didasarkan pada asumsi si programmer semata

 

Bersambung ke Part II

(Anlisa Komponen lain)

 

 

— oOo —




Seminar dan Musyawarah APTIKOM DKI Jakarta

Tanggal 14 September 2016 yang lalu diadakan Seminar yang berjudul “ICT Education: Beyond Standard and Good Practice” dan Musyawarah Wilayah APTIKOM DKI Jakarta. Seminar kali ini membahas pentingnya sertifikasi, khususnya bagi para mahasiswa agar setelah lulus dari institusi dimana ia menuntut ilmu, ia pun memiliki bekal sertifikat sebagai bukti mahasiswa mampu dalam bidang tertentu.

Dengan pembicara BapakIr. Surono, MPhil, PGDipl. (Ketua Komisi Harmonisasi dan Kelembagaan BNSP) dan Prof. DR. R. Eko Indrajit, M.Sc, MM, suasana seminar berlangsung hidup dan banyak pertanyaan mengenai masalah sertifikasi.

Musyawarah kali ini pun terbilang seru, karena di acara ini dipilih ketua APTIKOM DKI Jakarta dan terpilihlah Bapak DR. Mochamad Wahyudi, MM, M.Kom, M. Pd. sebagai ketua yang baru untuk periode kepengurusan 2016-2020.

dsc_0368

Sebelum acara dimulai, ramah tamah antar peserta

img-20160914-wa0011

Pembukaan oleh Ketua APTIKOM DKI Jakarta yang lama

img-20160914-wa0012

Sambutan oleh Ketua terpilih