Peserta PPAk berani ikutan ujian CA

Tanggal 19 April 2016 dilaksanakan ujian CA oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). PPAk Perbanas Institute mendaftarkan mahasiswanya untuk ikut ujian. Mata kuliah Manajemen Perpajakan dan Mata kuliah Sistem Informasi dan Pengendalian Internal diikuti oleh terbanyak peserta.

Mudah-mudahan para pengajar dapat mendorong keberanian para siswa untuk ikut ujian pada tahap berikutnya.

 

Salam PPAk




Pasar Elektronik di Indonesia menjadi rebutan bagi Negara Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok

Pasar Elektronik di Indonesia menjadi rebutan bagi Negara Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok

Produk elektronik Jepang dalam beberapa tahun telah mendominasi di Indonesia, karena Jepang selalu berusaha menjaga kualitas produk. Tapi pada akhir- akhir ini produk elektronik Jepang menghadapi ancaman dan jumlah penjualan mulai menurun, karena banyaknya produk elektronik dari Korea Selatan dan Tiongkok yang telah masuk ke Indonesian. Rupaya dengan langkah pasti Korea Selatan dan Tiongkok telah berhasil dan dapat membius para konsumen dengan membuat daya Tarik harga murah buat konsumen di Indonesia yang menjadikan pertimbangan utama jika membeli barang elektronik. Dan kedua negara tersebut telah membuat variasi produk-produknya yang mirip dengan produk Jepang.

Ternyata jurus jitu Korea Selatan membuahkan hasil, dampaknya raksasa elektronik Jepang yang tadinya sangat perkasa (Sony) menjadi kedodoran dan kalang kabut menghadapi serbuan dari Korea Selatan. Mereka datang bak predator yang akan mengalahkan produk elektronik dari Jepang. Dengan demikian produsen elektronik Jepang menghadapi tekanan dan persaingan yang begitu dahsyat dari produk pesaing (seperti Samsung, Oppo, Xiaomi dan LG).

Elektronik Jepang masih konsisiten dengan positioning pada kualitas produk dengan harga yang kompetitif. Sedangkan Korea Selatan lebih menonjolkan dan positining pada inovasi dan desain. Sedangkan Tiongkok sudah merubah dan meninggalkan image (citra) sebagai merek dengan harga murah dan menuju serta menonjolkan/meningkatkan kualitas produknya.

Bagi para konsumen di Indonesia memiliki pilihan lebih banyak, apakah kualitas bagus yang menjadi pilihan dan prioritas atau harga murah dengan inovasi serta desain yang bagus. Konsumen sebagai raja memiliki hak memilih sesuai dengan kemampuan dan tebal tidaknya dompet mereka. Yang lebih penting bahwa konsumen memilih produk sesuai kemampuan dan lebih bijak.




Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)

Pada akhir bulan April 2016 yang lalu, Ketua IAPI mengunjungi PPAk Perbanas Institute dalam rangka memulai adanya kerjasama (MOU) antara IAPI dengan Perbanas Institute.

Penanda tanganan MOU telah dilaksanakan pada tanggal 11 Mei 2016 yang lalu bersamaan dengan dilaksanakannya  Wisuda. Perbanas Institute boleh berbangga sebab diantara beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, Perbanas Institute telah tercatat sebagai perguruan tinggi yang tentu saja link dengan profesi, khususnya profesi Akuntan Publik.

Salam sukses




Evolusi Teori Kepemimpinan

Berbagai teori dan pemikiran manajemen muncul dan masing-masing memberikan kontribusi berkaitan dengan pemahaman mengenai leader dan leadership, serta hubungannya dengan perumusan strategi selama proses change management. Berikut adalah beberapa teori tersebut.

Trait Theory
Trait theory muncul pada awal-awal dilakukannya kajian atas pemimpin dan kepemimpinan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa memahami sifat atau karakter pemimpin dan kepemimpinan sangat penting untuk menentukan potensi kepemimpinan yang efektif dalam organisasi. Para pemimpin selalu menghadapi lingkungan bisnis yang sangat dinamis, dan perubahan merupakan sesuatu yang bersifat konstan. Untuk dapat menangani perubahan secara efektif, pengikut harus dapat memahami visi pemimpin dan bersedia menjaga komitmen untuk mencapai visi tersebut sesuai arahan pemimpin.

Di dalam perkembangan selanjutnya, sifat atau karakter seorang masih digunakan untuk mengidentifikasi baik atau tidaknya kualitas pemimpin. Dengan kata lain, pemimpinan yang berkualitas dapat diidentifikasi dari sifat atau karakter yang dimilikinya. Berkaitan dengan itu, terdapat lima ciri-ciri atau karakteristik yang sangat penting bagi seorang pemimpin untuk membuat pengikutnya sukses, yang meliputi intelligence, self-confidence, determination, integrity, dan sociability. Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan untuk dapat mengidentifikasi perubahan faktor-faktor lingkungan dan memiliki rasa percaya diri dan tekad untuk melakukan perubahan organisasi secara signifikan. Pemimpin juga harus memiliki integritas yang tinggi dan mampu menanamkan integritas dan nilai-nilai ini dalam pengikutnya. Kemampuan bersosialisasi menunjukkan kemampuan pemimpin untuk menciptakan dan meningkatkan kebersamaan dan menghasilkan pengikut militan.

Style Theory
Style theory memberikan beberapa kontribusi penting untuk teori kepemimpinan. Pertama, banyak pemimpin masih menggunakan gaya “authority-compliance” yang menekankan tugas dan persyaratan kerja dibandingkan penekanan pada manusia. Dalam jangka panjang, gaya kepemimpinan ini menyebabkan rendahnya semangat kerja dan menurunnya efisiensi. Kedua, “gaya manajemen country club“, tidak menekankan kepada proses produksi, tetapi lebih mementingkan hubungan kerja yang bersifat manusiawi (inner relationship). Gaya kepemimpinan country club menghasilkan semangat kerja yang tinggi, tetapi tetap menghasilkan tingkat efisiensi produksi rendah.

Ketiga, “impoverished management“, suatu gaya kepemimpinan yang menggunakan usaha yang sangat minim untuk mencapai tujuan atau mempertahankan tingkat kepuasan kerja. Gaya kepemimpinan ini sangat lemah dan menghasilkan semangat biasa-biasa saja, kinerja yang buruk dan standar etika yang tidak bagus.

Keempat, “team management“. Gaya ini melibatkan orang yang bekerja bersama-sama melalui visi bersama dan juga adanya hubungan saling percaya dan menghormati antara pemimpin dan pengikutnya. Diyakini bahwa gaya kepemimpinan “team management” dapat meningkatkan kepuasan kerja, moral kerja, sekaligus mempertinggi efisiensi produksi.

Kelima dan terakhir, “middle-of-the-road management“, gaya ini memadukan penekanan pada keseimbangan antara kinerja organisasi dengan kepuasan kerja. Mengingat adanya keseimbangan antara kinerja organisasi dengan kepuasan kerja, pendekatan ini idealnya adalah pendekatan yang efektif. Di dalam kenyataan, fakta yang terjadi tidak demikian. pendekatan ini malahan tidak efektif, dan malahan mengarah ke kinerja dan kepuasan kerja yang normal, tidak istimewa.

Model Kepemimpinan
Terdapat beberapa model kepemimpinan yang muncul sesuai dengan kronologinya, yaitu charismatic leadership, transactional leadership, transformational leadership, servant leadership, dan situational leadership. Pertama, charismatic leaders adalah pemimpin yang memiliki karakteristik antara lain dengan memberikan contoh yang kuat di dalam menginspirasi pengikut dan secara langsung mengarahkan pengikutnya dengan membangun atau menciptakan komitmen untuk berbagi visi.

Kedua, transactional leaders dimana pemimpin terlibat dalam suatu proses pertukaran sosial dan setiap hal dilakukan berdasarkan transaksi imbalan dengan pengikut. Transactional leaders adalah pemimpin yang bekerja dengan menekankan pada standar kerja, penugasan, dan berorientasi pada tugas. Transactional leadership terjadi ketika pemimpin memberikan imbalan dan penghargaan kepada pengikut sebagai persyaratan perjanjian, mengetahui kebutuhan para pengikutnya dan juga mendefinisikan proses perubahan yang ada untuk memenuhi kebutuhan perjanjian tersebut. Model kepemimpinan ini menempatkan hubungan antara leader dan follower didasarkan pada work performance sebagai kriteria untuk memberikan penghargaan atau sanksi, menggunakan kekuasaan untuk memaksa pengikut. Pemaksaan tersebut dapat berupa materialistic atau symbolic, immediate atau delayed, partial atau whole, dan dalam bentuk resources atau rewards.

Ketiga, transformational leaders didefinisikan sebagai pemimpin yang dapat mengidentifikasi potensi yang dimiliki pengikutnya. Transformational leadership adalah gaya kepemimpinan yang menginspirasi pengikut untuk berbagi visi dan memberdayakan mereka untuk mencapai tujuan dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan potensi pribadi bawahannya. Gaya kepemimpinan transformational berfokus pada team-building, motivati dan kolaborasi dengan karyawan pada berbagai level di dalam organisasi di dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Pemimpin transformasional menetapkan tujuan dan insentif untuk mendorong bawahan mencapai kinerja lebih tinggi, sambil memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi dan profesional, serta memungkinkan pengikut untuk melihat melampaui kepentingan mereka sendiri. Kondisi ini dapat terjadi pada saat pemimpin berhasil memberikan penyadaran kepada pengikut bahwa keberhasilan untuk mencapai tujuan organisasi dengan sendirinya akan membuat tujuan individu juga akan terapai. Dengan demikian, pengikut menjadi sadar dan mau menerima tujuan dan misi organisasi dan memberikan kontribusi yang jauh lebih baik bagi kepentingan organisasi dibandingkan kepentingan individu

Keempat, servant leadership adalah model kepemimpinan yang mementingkan kepentingan pengikut, menekankan kepada pengembangan pribadi karyawannya, dan memberdayakan bawahannya. Servant leader membantu orang lain berkembang, menyediakan visi, mendapatkan kredibilitas dan kepercayaan dari pengikutnya, dan dapat mempengaruhi orang lain.

Kelima dan terakhir, situational leadership yaitu model kepemimpinan yang menyatakan bahwa pendekatan kepemimpinan yang paling tepat tergantung pada situasi atau lingkungan yang dihadapi, dan model-model yang sesuai bersifat fleksibel yang dapat mencakup satu atau beberapa model kepemimpinan yang telah dibahas sebelumnya.

Disarikan dari makalah dengan judul “The Best Leadership Model for Organizational Change Management: Transformational Versus Servant Leadership”, oleh Tim M. Lowder (2009)




Islamic Corporate Governance

Perkembangan dunia bisnis saat ini semakin kompleks dengan berbagai permasalahan yang terjadi, banyak perusahaan-perusahaan besar yang terpaksa gulung tikar atau bangkrut dengan berbagai alasan. Dengan melihat kondisi tersebut di atas maka hal tersebut telah mendorong para pelaku bisnis untuk melakukan pengelolaan terhadap perusahaan dengan lebih baik lagi. Pengelolaan bisnis yang bisa menjamin terlaksananya komitmen-komitmen yang telah disepakati bersama tersebut dikenal dengan Good Corporate Governanc (GCG) atau dalam dunia internasional dikenal dengan nama Corporte Governance.
Teory yang mendukung Corporate Governance dikenal dengan Theory Agency yang dikembangkan oleh dikembang-kan oleh Michael Johnson, dimana teori tersebut memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Dengan demikian dalam teori Agency terjadilah tarik menarik kepentingan antara pemilik perusahaan dengan pihak manajemen, dimana pihak menajemen dapat melakukan pekerjaan berdasarkan kepentingan pribadi. Dengan demikian diduga pihak manajemen dapat melakukan kecurangan atau manipulasi yang semua bertujuan untuk menguntungkan kepentingan pribadi dan ujungnya akan dapat merugikan perusahaan. Dengan demikian munculah teori Agency yang mengatur hubungan antara pemilik perusahaan dengan manajemen perusahaan yang selanjutnya dikenal dengan Good Corporate Governance (GCG). Dalam teori Agency Theory terdapat 5 prinsip dalam pelaksanaan Good Corporate Governance, yaitu : (1) keterbukaan (transparency); (2) Akuntabilitas (accountability); (3) Tanggung Jawab (responsibility); (4) Independensi (independency) dan (5) Keadilan (fairness).
Beberapa pengertian atau definisi mengenai Corporate Governance antara lain: Corporate Governance sendiri pertama kali diperkenalkan oleh suatu komite yang bernama Cadbury Commitee, yang dibentuk sebagai suatu perwujudan keprihatinan terhadap akitivitas perusahaan-perusahaan di Inggris. Cadbury Commitee (1992) dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadburry Report mendefenisikan tata kelola perusahaan sebagai berikut:
”……..sistem dimana organisasi diarahkan dan dikontrol”
Definisi lain dari Cadbury Commitee memandang tata kelola perusahaan sebagai:
”seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan tanggung jawab mereka”.
Monks and Minow (2001) melihat tata kelola perusahaan sebagai berikut:
”istilah corporate governance mengacu kepada hubungan diantara tiga kelompok dalam menentukan arah dan kinerja perusahaan”. Selanjutnya International Corporate Governance Network yang mendorong Organisation for Economic Coperation and Development (OECD) mengeluarkan Principles on Corporate Governance dan mendefinisikan Corporate Governance sebagai sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board of director, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya struktur, perangkat untuk mencapai tujuan, dan pengawasan atas kinerja.
Adapun World Bank merumuskan tata kelola perusahaan (corporate governance) sebagai hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja perusahaan secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance telah menerbitkan pedoman pelaksanaan Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) untuk pelaku usaha di Indonesia, dan mendefinisikan Corporate Governance sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah perusahaan yang berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap memperhatikan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan norma yang berlaku.
Sedangkan konsep tata kelola perusahaan menurut solomon dan soloman (2004:14) adalah sebagai berikut:”corporate governance is the system of checks and balances, both internal and external to companies, which ensures that companies discharge their accountability to all their stakeholders and act in a socially responsible way in all areas of their bussiness activity”. Jadi menurut definisi diatas Corporate Governance adalah sistem cek dan balans antara pihak-pihak internal dan eksternal perusahaan yang memberikan keyakinan bahwa perusahaan menjalankan akuntabilitasnya kepada semua stakeholders dan bertindak dalam kerangka pertanggung jawaban untuk seluruh are aktivitas perusahaan.
Dalam perkembangannya teory Agency dipandang belum lengkap karena hanya membahas dari dua pihak saja yaitu pihak pemilik perusahaan dan pihak manajemen dengan mengabaikan pihak-pihak lain yang juga memiliki kepentingan terhadap perusahaan. Dari sinilah muncul teory Stakeholder yang bertujuan untuk lebih melengkapi teory agency. Teory stakeholder memiliki prespektif yang lebih luas dari pada teory Agency, dimana dalam teory Stakeholder mengatur hubungan antara perusahaan dengan seluruh pihak baik pihak yang mempengaruhi maupun pihak yang dipengaruhi oleh perusahaan, baik itu pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan. Dalam perjalanan perkembangan teori-teori tersebut baik teori Agency maupun teori Stakeholder, munculkan kritik dari para cendikia muslim yang memandang bahwa teori Agency dan teori Stakeholder hanya memandang hubungan antara pihak –pihak yang disebut sebagai manusia dan lingkungan sekitarnya. Kedua teori tersebut dipandang telah mengabaikan hubungan yang mendasar dalam kehidupan yaitu hubungan dengan Tuhan (Allah). Dengan demikian munculah sebuah konsep pemikiran bagaimana Islam mengelola dan melakasanakan sebuah proses bisnis. Dalam konsep Islam lebih ditekankan pada pengelolaan bisnis yang sehat dan berdasarkan prinsi-prinsip syariah yang sudah ditentukan dalam kitab suci Alqur’an.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa tata kelola perusahaan merupakan suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama ketiga kelompok dalam korporasi, yakni pemegang saham, dewan komisaris dan manajemen yang memiliki fungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan korporasi dalam rangka pencapaian target kinerjanya. Kesimpulan tersebut menegaskan bahwa tujuan dari Corporate Governance adalah mewujudkan keadilan bagi seluruh stakeholder melalui penciptaan transparansi dan akuntabilitas yang lebih benar. Keadilan bagi stakeholder juga bisa diindikasikan dengan peningkatan nilai yang wajar atas penyertaan mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islamic Corporate Governance (ICG) adalah sebuah pengembangan dari konsep Corporate Governance secara konvensional
Keadilan didalam Islam adalah salah satu nilai tauhid. Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk selalu bisa bersikap adil dalam setiap hal, baik masalah aqidah, syariah dan akhlak. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam sural Al-maidah ayat 8: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 5:8)

Berkaitan dengan ayat tersebut diatas, maka sesuai dengan salah satu prinsip Corporate Governance yang menekankan adanya prinsip keadilan atau fairness. Adapun pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah telah diatur oleh Peraturan Bank Indonesia No.11/33/PB/2009, dimana Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah harus menjalankan GCG dengan berlandaskan lima prinsip dasar yaitu:
1. Transparasi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Pengungkapan informasi merupakan hal penting, sehingga semua pihak yang berkepentingan tahu pasti apa yang telah dan akan terjadi.
2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggung jawaban organ bank sehingga pengelolaanya berjalan secara efektif. Dalam peraktek perbankan syariah juga harus benar-benar dijalankan sesuai dengan prinsip syraiah. Dalam hal ini terdapat peran penting Dewan Pengawas Syariah dalam mengawasi operasional perbankan syraiah agar tetap berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.
3. Pertanggung jawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.
4. Profesional (professional), yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak objektif dan bebas dari pengaruh/ tekanan dari pihak manapun (independen), serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah.
5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Islamic Corporate Governance saat ini mulai terus dikembangkan dan diterapkan di Lembaga-lembaga keuangan yang berbasis syariah, khususnya bank syariah. Good Corporate Governance merupakan struktur dan mekanisme yang mengatur pengelolaan perusahaan sehingga menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun pemangku kepentingan. Semakin baik Good Corporate Governance yang dimiliki suatu perusahaan maka diharapkan semakin baik pula kinerja dari suatu perusahaan tersebut. Dalam perbankan Islam, persoalan governance sangat berbeda dengan governance dalam bank konvensional karena perbankan Islam mempunyai kewajiban untuk menaati seperangkat peraturan yang berbeda-beda, yaitu hukum Islam (syariat) dan pada umumnya mengikuti harapan kaum muslimin dengan memberikan modal kemitraan berdasarkan aransemen profit and loss sharing (PLS) atau cara-cara pembiayaan lainnya yang dibenarkan oleh syariat. Tujuan GCG dalam perbankan syariah adalah untuk menegakkan keadilan, kejujuran, dan perlindungan terhadap kebutuhan manusia sesuai dengah maqashid al syariah.
Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut, bank wajib berpedoman pada berbagai ketentuan dan persyaratan yang terkait dengan pelaksanna Good Corporate Governance. Selain itu, dalam pelaksanaan Good Corporate Governance, industri perbankan syariah juga harus memenuhi prinsip syariah. Ketidak sesuaian tata kelola bank dengan prinsip syariah akan berpotensi menimbulkan berbagai risiko, terutama risiko reputasi bagi industri perbankan syariah. Self Assessment harus dilakukan secara berkala agar dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelaksanaan GCG dan dilakukan secara komprehensif dalam melaksanakan GCG dengan baik.
Bank Syariah sebagai lembaga keuangan Islamn berkewajiban untuk memiliki kepatuhan terhadap prisip-prinsip syariah disemua aspek baik; produk, instrumen, opersi, praktek dan manajemen yang akan dicapai dengan pembentukan kerangka kerja tata kelola syariah yang tepat. Dengan demikian pengawasan syariah memainkan peran penting dalam lembaga keuangan Islam dan merupakan bagian dari pokok komponen dari kerangka tata kelola Syariah (hamza,2013). Didalam bank Syariah wajib adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). Salah satu peran dari Dewan Pengawas Syariah adalah untuk memberikan nasihat kepada institusi keuangan Islam dalam hal untuk memastikan kesesuaian dengan aturan syariah dalam menjalankan operasionalnya disepanjang waktu serta memberikan dukungan dan memvalidari dokumentasi yang relevan atas produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah. (Zulkifli Hasan, 2011)




Kajian Akuntansi Forensik mengenai PERSEPSI MEDIA TERHADAP MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Kajian Akuntansi Forensik mengenai

PERSEPSI MEDIA TERHADAP MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Oleh

Rushadi, Dosen ABFI Perbanas

 

 

ABSTRACT

The primary purpose of this research is to measure media perception score to describe the condition of services in the Constitutional Court. This is also aimed at identifying and inventorying various inputs as to public services in the Constitutional Court in terms of media perception. For the purpose of the research, Likert measurement scale is applied to each question/comment derived from the five quality determinants. The source of data includes primary and secondary data. Data are directly collected from the source by distribution of questionnaires on purposive sampling method. Subsequently, the data are classified by the characteristics of respondents. Secondary data are collected from the available materials in media publications at Media Center of Constitutional Court. Further, the respondents in the research are among others media workers or personnel at various levels e.g. Journalist, Editorial Staff and Chief Editor. Data analysis is performed by combining quantitative and descriptive analysis. In the following stage, media perception score is carried out applying the formula below: Total Media Perception =  20 x . Media Perception Score per aspect = 20 x  Based on the measurement and findings in the research, it is concluded that media perception about Constitutional Court represented by the four aspects including: Constitutional Court’s Authority, Competence, Public Disclosure and Information Services for Mass Media  is “Effective”.

Keywords: Media Perception, Services

 

1. Latar Belakang

Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan moderen yang menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan dan perimbangan peran (checks and balances) sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya di Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas pentingnya sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk mengawal konstitusi dan menjaga demokrasi, MK memiliki visi utama menegakkan konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat serta misi utama menjadi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya dan membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi upaya mewujudkan visi dan misi tersebut bukan merupakan suatu mission impossible bagi masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Dukungan penuh dari seluruh elemen yang dikemukakan di atas sudah barang tentu hanya mungkin terjadi apabila masyarakat memahami dengan baik kedudukan, wewenang (dan kewajiban) serta fungsi dan tugas pokok MK di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.  Pemahaman ini tentunya akan  dimiliki dan berkembang di kalangan  masyarakat apabila pendidikan tentang konstitusi dan Pancasila serta sosialisasi dan komunikasi tentang keberadaan MK dilakukan dengan efektif  di  kalangan masyarakat. Dalam konteks ini media massa dipandang memiliki kedudukan dan peran yang strategis.

Pada era globalisasi media massa telah menjadi corong informasi yang cukup ampuh. Apapun yang diinformasikan melalui media, hampir dipastikan akan berdampak terhadap persepsi publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, bila informasi yang disampaikan melalu media massa merupakan sesuatu yang salah, boleh jadi persepsi masyarakat akan menjadi salah pula. Sebaliknya, bila masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar,transparan, akurat sesuai dengan fakta yang ada dan informasi tersebut dikemas serta disampaikan dengan cara yang baik maka boleh jadi akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Oleh sebab itu, media massa mempunyai peranan penting di dalam mendukung tugas pokok MK dalam membangun konstitusionalitas Indonesia.

Berdasarkan latar belakang ini dapat dikemukakan bahwa survei terhadap persepsi media massa terhadap keberadaan dan perananan MKRI mempunyai urgensi yang penting untuk dilaksanakan, khususnya dalam rangka mendapatkan masukan untuk peningkatan kinerja MKRI sebagai lembaga peradilan modern yang merdeka, unggul dan terpercaya.

 

2. Landasan Teori

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Sedangkan pengertian media massa sendiri adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi sehingga pesan dapat diterima oleh khalayak dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang serempak (Cangara: 2003).

Media massa bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan (Sobur: 2001)

Steven H. Chaffee dan Michael J. Petrick (1975) menyatakan bahwa ‘the mass political persuader’ mencoba menggunakan media untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi kandidat presidennya. Meyakinkan warga negara untuk memilih kandidatnya merupakan tujuan yang cukup jelas..

Media massa bisa menarik karena sifatnya yang langgeng dalam pengertian bahwa informasi yang dipublikasikan tersebut bisa disimpan dan kemudian informasi tersebut bisa mudah didapatkan kembali sewaktu-waktu diperlukan. Dengan demikian,di sinilah letak kekuatan media massa.

Persepsi merupakan aktivitas dari mengindra, menginterpretasikan dan memberikan penilaian terhadap obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus yang ada di lingkungannya (Young: 1956). Kemudian, dapat kita pahami bahwa persepsi adalah suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kondisi secara terus-menerus yang dipengaruhi oleh arus informasi dari lingkungannya (Mar’at: 1981). Persepsi itu merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang terintigrasi dalam diri individu (Walgito: 1991).

Sedangkan Gibson, dkk (1989) yang menyatakan definisi persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsir dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek), tanda-tanda dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Gibson, dkk (1989) juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat simpulkan bahwa persepsi masyarakat terhadap suatu realitas sosial sangat dipengaruhi oleh arus informasi dari lingkungannya, dan informasi tersebut dapat diperoleh dengan cepat melalui media massa. Di sisi lain, media massa tidak lahir dari ruang hampa, akan tetapi memiliki latar belakang kepentingan yang beragam.

Menurut Moenir (2000) dalam Setyowati dan Suharto (2007) pelayanan merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain, Sedangkan yang dimaksud pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan landasan faktor material, melalui sistem prosedur, dan metode tertentu dalam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai haknya.

Pelayanan publik yang dilakukan birokrasi menurut Widodo dalam Setyowati dan Suharto (2007) adalah suatu perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan sebagai abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara).

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan    perundang-undangan.

Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001).

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001).

Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).

Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Pola kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan Osborne dan Gaebler (1992).

Pengukuran skor Persepsi Media ini bertujuan untuk mengetahui persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, dalam pengukuran persepsi media terhadap MK diperlukan aspek-aspek pokok yang dijadikan tolok ukur.

Dari perpektif akuntansi khususnya Akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum baik untuk penyelesaian hukum di dalam maupun di luar pengadilan (Tuanakotta, 2010: 4). Karena dapat diterapkan di sektor publik maupun swasta, dengan demikian jika memasukkan pihak yang berbeda maka menurut D. Larry Crumbey dalam Tuanakotta (2010: 5) mengemukakan bahwa secara sederhana bahwa akuntansi forensik dapat dikatakan sebagai akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial, atau tinjauan administratif.

 

Sebagai obyek, yang dinilai dari Mahkamah Konstitusi adalah aspek-aspek yang melekat pada sebuah mahkamah konstitusi dan mengacu pada nilai-nilai kualitas sebuah lembaga peradilan (court excellence). Adapun nilai yang diukur meliputi, kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), keadilan (fairness), ketidak berpihakan (impartiality), keleluasaan dalam pengambilan keputusan (independence of decision making), kompetensi (competence), integritas (integrity), keterbukaan (transparency), aksesibilitas (accessibility), ketepatan waktu (timeliness) dan kepastian (certainty).

 

3. Metodologi

Sesuai dengan tujuannya maka penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif untuk mengetahui skor persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi. adapun jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian survei.

Responden yang menjadi sasaran adalah insan media/pers yang meliput berita di Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari pimpinan redaksi, wartawan dan reporter. Sumber data meliputi data primer dan data sekunder. Data dikumpulkan dengan cara langsung dari sumbernya melalui penyebaran kuesioner yang mengacu pada skala linkert dengan menggunakan teknik purposive sampling (sample bertujuan). Sedangkan pengumpulan data sekunder adalah dengan mendapatkan data dari bahan yang telah tersedia, yaitu data pemberitaan media yang terkumpul di bagian Media Center MK sepanjang tahun 2012.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara teknik analisis kuantitatif dan analisis deskriptif. Pengujian konsistensi dan tingkat kepercayaan data (analisis reliabilitas data) dengan menggunakan indikator statistik Cronbach’s alpha. Analisis faktor (factor analysis) digunakan untuk mendapatkan konfirmasi bahwa data yang diperoleh berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan di dalam kuesioner telah sesuai dengan pengelompokkan kelima aspek pelayanan perkara yang telah dikemukakan sebelumnya.

Pada tahap berikutnya dilakukan perhitungan skor persepsi media dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Persepsi Media Total : 1

Dalam hal ini:

PMk adalah persepsi media pada setiap aspek :

k = 1 sampai dengan 4 menggambarkan setiap aspek persepsi media (dari keempat aspek yang telah didefinisikan di atas).

Selain skor persepsi media total, penelitian ini juga menghitung skor persepsi media pada setiap aspek, yang rumusnya adalah sebagai berikut:

Skor Persepsi Media per aspek 2

Dalam hal ini:

PMk adalah persepsi media pada setiap aspek

k = 1 sampai dengan 4 merupakankan setiap aspek persepsi media (dari keempat aspek yang telah didefinisikan di atas).

i = 1 sampai dengan n merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan di dalam kuesioner untuk setiap aspek persepsi media.

Berdasarkan perhitungan skor indeks sesuai dengan formula di atas maka penilaian indeks pelayanan perkara dapat dikategorikan ke dalam lima pengelompokan nilai sebagai berikut:

Rushadi

4. Hasil-hasil Penelitian

Deskripsi Data

Penelitian ini mengukur persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi.  Sampel dari penelitian ini adalah sebanyak 146 responden atau 52,42 persen dari jumlah populasi.

4

Berdasarkan jenis kelamin, 73% adalah laki-laki dan 27% perempuan. Berdasarkan tingkat usia, 79% berusia 20-39 tahun, 19% berusia 40-49 tahun, 1% berusia 50-59 tahun, dan 1% berusia di atas 60 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikannya, 5% adalah lulusan SLTA, 9% Diploma, 81% Sarjana S1, dan 5% Magister. Berdasarkan jenis media massa dimana responden bekerja, 52% Televisi, 23% Surat Kabar, 12% Media Online, 6% Radio, 3% Majalah, dan 1% Tabloid. Berdasarkan skala media tempat responden bekerja, 64% Nasional, 33% Lokal dan 3% Internasional. Sedangkan, berdasarkan jabatan responden maupun bidang yang digeluti dalam institusi media tempat responden berkerja, 42% adalah wartawan, 20% pimpinan, 6% redaktur, 5% editor, dan 27% lainnya bekerja pada jabatan-jabatan spesifik seperti sekertaris, manager lapangan, pengolah data, peliput fotografi dan video, dan lain sebagainya.

 

Reliabilitas Data

Berdasarkan hasil uji reliabilitas data, secara umum diperoleh rata-rata skor Standardized Cronbach’s alpha di atas 0.65 (berkisar antara 0.67 sampai 0.95). Hal tersebut menunjukkan  bahwa data yang diperoleh berdasarkan jawaban responden memiliki tingkat kepercayaan dan konsistensi yang cukup tinggi.

 

Confirmatory Factor Analysis

Confirmatory Factor Analysis menggunakan analisis Structural Equation Modeling untuk mengetahui model keterkaitan antar variabel sesuai dengan definisi konsepsional yang diberikan. Variable persepsi media terhadap MK dioperasionalisasikan lebih lanjut ke dalam empat aspek yaitu: Aspek kewenangan Mahkamah Konstitusi (WENANG), Aspek kompetensi (KOMPETEN), Aspek Keterbukaan Informasi Publik (KETERBUK), Aspek Pelayanan Informasi Bagi Media Massa (PELMED).

5

Berdasarkan bagan di atas, variabel persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi merupakan variabel latent yang dapat direfleksikan melalui dimensi Kewenangan, Kompetensi, Keterbukaan Informasi Publik dan Pelayanan Informasi bagi Media Massa.

Pada dimensi kewenangan, hasil menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan tidak dapat secara langsung merefleksikan aspek kewenangan akan tetapi melalui lima aspek yaitu: pengujian Undang-Undang (PUU), Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara (SKLN), Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Pembubaran Parpol dan Pendapat DPR (PRTAI), dan pelaksanaan kewenangan secara umum (PWEW).  Kelima aspek  tersebut kemudian secara signifikan dapat merefleksikan variabel kewenangan.

Begitu pula pada dimensi kompetensi, hasil menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan tidak dapat secara langsung merefleksikan aspek kompetensi akan tetapi melalui tiga aspek yaitu: kompetensi Hakim (HKM), kompetensi pegawai (PEMK) dan kompetensi secara lembaga (LMK).  Ketiga aspek  tersebut kemudian secara signifikan mampu merefleksikan variabel kompetensi, dengan loading factor di atas 0.80.

Selanjutnya, pada dimensi keterbukaan informasi publik aspek informasi yang berkaitan dengan perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (PPP) dan informasi yang berkaitan dengan kebijakan umum Mahkamah Konstitusi (KUMK) dapat secara signifikan merefleksikan dimensi Keterbukaan Informasi Publik dengan loading factor di atas 0.90.

Sementara variabel latent lainnya adalah Pelayanan Informasi bagi Media Massa yang mencerminkan persepsi berkaitan dengan sarana-prasarana, kemudahan dan kecepatan memperoleh informasi, keakuratan informasi, dan keramahan pelayanan.  Variabel-variabel tersebut secara signifikan direfleksikan oleh pernyataan-pernyataan dalam kuesioner, dengan loading factor tertinggi pada butir pertanyaan ke sepuluh sebesar 0.85.

Mengacu pada hasil CFA, maka skor persepsi media dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata dari jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

Skor Persepsi Media terhadap Mahkamah Konstitusi

Persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner secara keseluruhan memiliki total skor 74,34.

6

Berdasarkan hasil perhitungan indeks yang ditampilkan pada bagan di atas dapat dipahami bahwa nilai indeks persepsi media secara kesuluruhan sudah ‘baik’. Nilai tertinggi ada pada aspek kewenangan (76.62), sedangkan aspek kompetensi mendapat nilai yang relatif paling rendah (73.75) dibandingkan dengan ketiga aspek lainnya.

 

Skor Aspek Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Data mengenai persepsi media di Mahkamah Konstitusi menginformasikan bahwa pelaksanaan kewenangan berkaitan dengan PUU memperoleh skor 75,59; SKLN memperoleh skor 73,22; PHPU memperoleh skor 75,24; Pembubaran Parpol memperoleh skor 73,39; dan pelaksanaan kewenangan secara umum memperoleh skor 77,14.

Beberapa hal yang dapat diungkapkan adalah adanya persepsi dari sejumlah responden yang menyangsikan dilaksanakannya putusan Mahkamah konstitusi oleh pihak-pihak yang terkait. Kesangsian terbanyak ada pada pelaksanaan putusan yang terkait dengan pengujian undang-undang (PUU). Sebanyak 16.5%  (0.8% sangat tidak setuju dan 15.7%  tidak  setuju) menyatakan ketidaksetujuannya bahwa putusan PUU telah dilaksanakan oleh pihak yang terkait.

Selain persepsi tentang penerapan putusan, sejumlah responden juga menyatakan ketidaksetujuan terhadap kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam memutuskan perkara tentang pembubaran partai politik (10.8%) dan memberikan jawaban kepada DPR dalam hal dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden (12.4%).

 

Skor Aspek Kompetensi Mahkamah Konstitusi

Persepsi media di Mahkamah Konstitusi yang berkenaan dengan aspek kompetensi Mahkamah Konstitusi menginformasikan bahwa kompetensi Hakim memperoleh skor 75,34; Kompetensi pejabat dan pegawai memperoleh skor 69,62; kompetensi secara lembaga memperoleh skor 78,25.

Dalam kaitan dengan kompetensi hakim konstitusi, adanya tanggapan ketidaksetujuan (11.2%) dan netral (28.4%) dari sejumlah responden media terhadap pernyataan “dalam menangani perkara, para Hakim Konstitusi telah bersikap independen dari pengaruh lembaga eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga negara lainnya.”  Dengan kata lain hal ini mengindikasikan adanya persepsi kurang berkenan dari sejumlah responden dalam hal independensi hakim MK. Hal ini dapat disebabkan mekanisme rekrutmen hakim MK yang berasal/dipilih oleh tiga lembaga negara lainnya sehingga dipersepsikan oleh sejumlah responden belum bersikap independen. Atau mungkin ada faktor-faktor lain yang  dapat menjelaskan munculnya persepsi tersebut.

Berkaitan dengan kompetensi pejabat dan pegawai, jawaban netral tertinggi ditemukan pada butir pernyataan pertama yaitu posisi jabatan di Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal telah diisi oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya, dengan 46.6% responden menjawab netral. Sedangkan jawaban netral kedua (45.8%) diperoleh sebagai respon terhadap pertanyaan “Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak terjadi di kalangan para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi.” Pertanyaan kedua mendapat tanggapan ketidaksetujuan yang cukup signifikan dari sejumlah responden (22.8%: 4.2% sangat tidak setuju dan 18.6% tidak setuju).

Jawaban netral pada dasarnya dapat dipahami dari bebagai sisi. Pertama, sebagai salah satu indikasi bahwa sebagian responden kurang mengetahui secara pasti mengenai fakta sesungguhnya yang terkait dengan pertanyaan, baik itu secara umum maupun secara detail, sehingga responden memilih untuk menyatakan netral. Kedua, dipahami sebagai tanggapan ketidaksetujuan yang bersifat sopan dan diam-diam (polite and silent disagreement). Dalam struktur dan budaya masyarakat yang ‘eweuh pekewuh’ (sungkan dan menjaga perasaan orang lain), sikap ‘no comment ‘ atau netral dapat berarti ‘lain’ atau ‘kurang enak’ bila disampaikan secara terbuka dan eksplisit. Namun, terlepas dari apapun kemungkinan interpretasi terhadap tanggapan netral tersebut, tanggapan netral ini dapat dipahami sebagai tantangan dan masukan untuk perbaikan kompetensi menyeluruh pejabat dan pegawai MK ke depan, baik dari sisi pengembangan core competencies (kompetensi-komptesi utama), integritas dan komitmen serta kepemimpinannya, baik secara individual maupun unit kerja.

Penafsiran terhadap tanggapan netral dan (atau) tanggapan ketidaksetujuan dari responden tidak dapat dipahami sepotong-sepotong.  Interpretasi harus bersifat mnyeluruh dengan juga memperhatikan jawaban-jawaban kesetujuan (setuju dan sangat setuju).  Adanya jawaban kestujuan yang tinggi juga perlu diperhatikan untuk menambah pemahaman menyeleuruh tentang persepsi responden. Sebagai contoh, jawaban kesetujuan tertinggi (59%: 48.7 setuju dan  10.3% sangat setuju) ditemukan sebagai respond terhadap butir pertanyan “Para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi dalam aktivitas sehari-hari telah bersikap ramah dan berperilaku sederhana serta menghindarkan dari kesan berlebihan.” Tanggapan kesetujuan terbesar kedua (58.10%: 49.60% setuju dan sangat setuju 8.50%) ditemukan sebagai respon terhadap butir pernyataan “para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi telah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan publik dengan penuh tanggung jawab”.

Berdasarkan informasi ini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya presepsi positif terhadap perilaku dan tanggung jawab para pejabat dan pegawai Mahkamah Konstitusi telah berkembang di kalangan media. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengubah dan menggeser persepsi netral menjadi persepsi setuju atau sangat setuju, bahkan juga mengubah dan menggeser persepsi ketidaksetujuan (sangat tidak setuju dan tidak setuju) lebih ke kanan, menjadi postif (setuju/sangat setuju), atau paling tidak menjadi netral.

 

Skor Aspek Keterbukaan Informasi Publik

Keterbukaan informasi berkaitan dengan perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi memperoleh skor 75,25 (kategori baik). Sedangkan keterbukaan informasi berkenaan dengan kebijakan umum memperoleh skor 73,87 (kategori baik). Sehingga total skor yang diperoleh adalah 74,53 (kategori baik).

Hal yang perlu dicermati dari sisi keterbukan informasi tentang perkembangan perkara adalah masalah kecepatan dan kemudahan dalam meminta salinan risalah sidang dan putusan dalam bentuk dokumen. Sebanyak 32.5% responden menyatakan ketidaksetujuan (4.45 sangat tidak setuju dan 28.1% tidak setuju) dan 39.5% menyatakan netral. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa mayoritas responden memiliki persepsi yang kurang berkenan terhadap penyediaan fisik (hard copy) dokumen penting ini. Masalah penyediaan salinan risalah sidang secara langsung dan ketersediaan salinan putusan secara cepat di website MKRI juga mendapat tanggapan netral dari cukup banyak responden (33.3%). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada dasarnya mereka tidak atau kurang memiliki persepsi positif yang kuat dalam kaitan dengan pelayanan penyediaan risalah dan putusan.

Dalam hal kebijakan dan umum, hal yang perlu diperhatikan lebih banyak adalah mengenai keterbukaan dalam kaitan dengan aspek keuangan. Kemudahan mengakses laporan keuangan MKRI dalam hal ini mendapat tanggapan netral yang paling banyak dari responden. Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi keterbukaan informasi publik dalam hal laporan keuangan belum terbentuk positif pada mayoritas responden.

 

Skor Aspek Pelayanan Informasi Bagi Media Massa

Dari 17 pertanyaan yang diajukan dalam aspek pelayanan terhadap media terdapat tiga pertanyaan yang memiliki tanggapan yang perlu diamati lebih lanjut karena jumlah responden yang menanggapinya secara netral cukup signifikan dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. 40.2% responden memiliki persepsi netral ketika dihadapkan dengan pernyataan “Saya merasa mudah untuk menemui pejabat atau petugas yang dapat memberikan keterangan secara resmi mengenai berbagai informasi terkini terkait dengan Mahkamah Konstitusi.” Kenetralan ini tentunya perlu dicermati dan diantisipasi oleh MKRI apabila hal tersebut ternyata mengindikasikan gejala ketidaksetujuan diam-diam (silent disagreement).

Selain masalah aksesibilitas langsung untuk mendapatkan informasi terkini dari pejabat MKRI yang berwenang, persepsi selalu merasa dihubungi dan perasaan dihargai ketika melakukan peliputan di MKRI juga mendapat tanggapan netral dari cukup banyak (31.3%) responden. Secara umum tentunya dapat diyakini bahwa masalah pemberitahuan kegiatan kepada pihak media masa sudah menjadi kebiasaan rutin pihak humas MKRI. Namun, terlepas dari praktik rutin tersebut, fakta adanya 31.3% yang bersifat netral, bahkan lebih dari 10% menyatakan tidak setuju merupakan suatu indikasi untuk ditanggapi dengan bijak oleh pihak humas.

 

Skor Persepsi Media berdasarkan Data Demografis

Dilihat dari jenis kelamin, responden laki-laki lebih memberikan nilai yang tinggi dibandingkan responden perempuan. Hal ini dapat diartikan bahwa standar penilaian dari responden perempuan lebih tinggi daripada responden laki-laki.

7

Sedangkan jika dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan responden, maka responden dengan pendidikan sarjana memberikan penilaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan lainnya. Sementara itu, responden dengan tingkat pendidikan diploma memberikan penilaian yang lebih rendah dibandingkan dengan responden pada tingkat pendidikan lainnya.

8

Jika dibedakan berdasarkan usia responden, maka responden pada rentang usia di atas 60 tahun memberikan penilaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden pada rentang usia lainnya.  Hal tersebut boleh jadi mengindikasikan bahwa responden pada rentang usia tersebut lebih lunak atau lebih memiliki sikap toleransi dalam memberikan penilaian. Namun demikian, terdapat kemungkinan lainnya yaitu bahwa pada saat di lapangan, para petugas pelayanan lebih ramah atau memberikan prioritas terhadap responden yang sudah berusia senja, sehingga skor terhadap persepsi media yang diberikan oleh para responden di rentang usia di atas 60 tahun pun menjadi baik. Sementara itu, respondenpada rentang usia 50 – 59 tahun memberikan penilaian yang lebih rendah dibandingkan dengan responden pada tingkat pendidikan lainnya.

9

Selanjutnya, bila skor persepsi media dihubungkan dengan jenis media massa yang meliputi: televisi, surat kabar, media online, radio, majalah, tabloid dan media lainnya, maka skor tertinggi adalah 76,54 dan skor terendah adalah 68,39. Sedangkan untuk skala media skor tertinggi diberikan oleh media yang bertaraf internasional dengan skor 76,92.

 

5.   Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan skor yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, temuan penelitian ini dapat disimpulkan  sebagai berikut: Berdasarkan temuan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi dilihat dari keempat aspek meliputi: Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kompetensi, Keterbukaan Informasi Publik dan Pelayanan Informasi bagi Media Massa sudah ‘baik’.

Ditinjau dari sisi pelaksanaan survei secara kesuluruhan dapat ditemukan beberapa kelemahan yang perlu mendapatkan perbaikan untuk waktu yang akan datang. Berapa kelemahan tersebut antara lain:

  • Pengembangan definisi konsepsional dan operasional yang terkait dengan variabel penelitian masih dirasakan belum komprehensif dan masih perlu dipertajam melalui studi kepustakaan yang lebih mendalam. Konsep persepsi media yang digunakan masih dirasakan belum terlalu kuat ditinjau dari sisi teori dan informasi penelitian yang pernah ada. Permasalahan yang dihadapi dalam hal ini adalah keterbatasan dalam hal literatur tentang teori dan penelitian-penelitian yang pernah di bidang persepsi media, khususnya dalam kaitannya dengan lembaga peradilan.
  • Metode pengambilan sampel yang bersifat purposive random sampling perlu ditinjau kembali. Ketiadaan proporsi yang seimbang antara berbagai kategori dan kelompok responden dapat membuat perbandingan yang dilakukan menjadi biased apabila data dari purposive random sampling tidak terjamin normalitas-nya.
  • Jumlah pertanyaan yang masih terlalu banyak dalam praktiknya cukup merepotkan dan melelahkan para responden yang bersifat sukarela. Hal ini dikuatirkan akan dapat mempengaruhi konsistensi jawaban yang diberikan apabila para responden tidak serius dalam menjawab pertanyaan yang tertera di dalam kuesioner.
  • Analisis data berdasarkan pendekatan structural equation modeling masih bersifat sangat terbatas di dalam survei ini, yakni terbatas pada pengujian konsistensi faktor atau dimensi dari variabel-variabel yang digunakan. Dengan kata lain berbagai variabel yang diformulasikan berdasarkan kelima dimensi kualtas pelayanan dan dipilah berdasarkan ketiga bidang pelayanan masih belum diteliti hubungannya satu satu lain. Sementara hubungan dan keterkaitan antar variabel sama sekali belum disentuh di dalam analisi penelitian ini.
  • Masalah persepsi media tidak hanya dapat diteliti berdasarkan wawancara dengan pihak media. Analisis terhadap isi berita yang dipublikasi oleh media itu sendiri juga dapat mencerminkan persepsi media dengan sesungguhnya. Penelitian survei dinilai tidak mampu melakukan analisis terhadap isi pemberitaan yang dilakukan oleh media, sehingga tidak semua persepsi dapat ditangkap secara komprehensif melalui penelitian survei ini.

 

6.     Saran-Saran

Berdasarkan temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, maka ada beberapa saran yang dapat dikemukakan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi dalam rangka menentukan langkah strategis selanjutnya berkenaan dengan optimalisasi pendayagunaan media massa bagi distribusi informasi yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi bagi masyarakat luas.

  1. Dari sisi relasi terhadap media tabloid sekiranya perlu ditingkatkan, hal ini berdasarkan skor persepsi media terhadap Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan jenis media, skor terendah didapati dari media tabloid dengan skor 68,39.
  2. Dari sisi distribusi, informasi mengenai kebijakan umum Mahkamah Konstitusi seperti laporan keuangan secara berkala sesuai dengan Undang-Undang KIP, program kegiatan berkenaan dengan sosialisasi konstitusi, Rencana dan Strategi Institusi, dan lain sebagainya, sekiranya bisa mendapat perhatian lebih. Sehingga masyarakat umum melalui media massa bisa memahami pentingnya Konstitusi dalam bernegara.
  3. Dari sisi produksi, perlu adanya semacam edukasi terhadap pihak-pihak media berkenaan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi secara umum, maupun berkenaan dengan proses peradilan, yang dituangkan dalam program-program kegiatan dan dilakukan secara berkala. Hal ini akan berdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas informasi tentang Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh pihak media terhadap publik.
  4. Mengingat adanya indikasi rendahnya persepsi media terhadap kompetensi pejabat dan pegawai Mahkamah konstitusi, meskipun fakta yang sesungguhnya belum tentu demikian adanya maka pengembangan lebih lanjut tentang kompetensi pegawai dan sosialisasi kepemimpinan kolektif pejabat Mahkamah Konstitusi perlu mendapat perhatian lebih.

 

Terkait dengan dengan beberapa  kelemahan penelitian disarankan agar pada penelitian selanjutnya dilakukan beberapa perbaikan sebagai berikut:

  • Dilakukan studi kepustakaan yang lebih mendalam tentang konsepsi teoretis dan bukti-bukti empiris yang telah ada dalam kaitan dengan persepsi media bidang hukum dan terhadap lembaga peradilan. Tujuan studi kepustakaan yang mendalam ini adalah untuk mendapatkan model penelitian yang komprehensif yang memiliki landasan teoretis yang kuat tentang dinamika persepsi media.
  • Mencoba menerapkan metode sampling yang lebih proporsional dari sisi kategori dan pengelompokan responden. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan data dengan normalitas yang tinggi dan paling representatif mewakili populasi yang sesungguhnya.
  • Melakukan verifikasi terhadap butir-butir pertanyaan yang dinilai tidak terlalu representatif dan tidak merefleksikan definisi operasional dari variabel yang diteliti. Penyederhanaan jumlah pertanyaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari hasil perhitungan analisis confirmatory factor analysis yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Pada penelitian selanjutnya diharapkan kuesioner yang digunakan hanya menggunakan butir-butir pertanyaan yang relevan dan memilki nilai refleksi yang tinggi terhadap variabel persepsi media yang digunakan.
  • Untuk meningkatkan analisis hubungan struktural antar variabel dalam penelitian selanjutnya perlu ditambahkan analisis structural equation modeling di antara empat aspek pokok persepsi media yang diformulasikan di dalam penelitian ini. Melalui analisis hubungan struktural ini akan dapat diketahui apakah terdapat hubungan sebab-akibat atau sekedar hubungan asosiatif diantara berbagai variabel-variabel persepsi media yang diteliti. Implikasi kebijakan dan strategis dari analisis berdasarkan structural equation modeling diperkirakan akan lebih menarik dan bermanfaat, baik dari segi teoretis maupun empiris.
  • Penelitian survey ini perlu dilengkapi dengan penelitian kualitatif yang bertujuan menganalisis isi pemberitaan yang dilakukan oleh pihak media. Analisis isi berita (news content analysis) diperkirakan akan memperkaya analisis persepsi media secara komprehensif.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Cangara, Hafied. Pengantar Imu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Chaffee, Steven H., Michael J. Petrick, Using the Mass Media, Communication Problems in American Society, New York: McGraw-Hill, Inc., 1975

Gaffar. Janedri M., 2009, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Surakarta, 17 Oktober 2009.

Hamad, Ibnu. Komunikasi sebagai Wacana, Jakarta: La Tofi Enterprise, 2010.

Hall, Jane, Gore  Media Coverage – Playing Hardball, http://archives.cjr.org/00/3/hall.asp, 2000

Hiebert, Ray Eldon, Donald F. Ungurait, Thomas W. Bohn, MASS MEDIA VI, An Introduction to Modern Communication, New York: Longman, 1991

Kristina Setyowati & Didik Gunawan Suharto. 2007. Kualitas pelayanan di kantor Pertanahan Kabupaten Sragen. Spirit Publik, Vol 3. No 2. p.160-178, Oktober 2007.

Kuswandi, Wawan, Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996

Larasati. Endang, 2008, Reformasi Pelayanan Publik (Public Services Reform) dan Partisipasi Publik, Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol 5. No. 2, Mei 2008.

Muji Gunarto. 2009. Pengertian SERQUAL. 2 Januari 2009.  Diakses tanggal 17 Oktober 2011 jam 19.00 WIB.

Mar’at. Sikap Manusia Dan Pengukurannya, Jakarta: Ghalia, 1981.

Mulyana, Dedy.  2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Moenir, H.A.S. 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Rasyid, Ryaas, 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia. PT. Pustaka LP3ES, Jakarta.

Rivers, William L, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, 2003, Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Jakarta: Kencana.

Tuanakotta, Theodorus M, Akuntansi Forensik dan Audit nvestigatif, FEUI, 2010

Thoha, Miftah.1995. Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi. Pusdiklat Pegawai Depdikbud, Sawangan-Bogor.

——–.1998. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Media Widya Mandala, Yogyakarta.

——–.2002. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan aplikasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sobur, Alex. Analisis teks media: suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik dan analisis framing, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori dan Konteks Organisasi Publik. Graha Ilmu, Bandung.

Siagian, Sondang P. 1988. Organsiasi, Kepemimpinan & Perilaku Administrasi. CV. Haji Masagung, Jakarta.

Undang-Undang No 25 Tahun 2009 mengenai Pelayanan Publik.

Wijayanto. Bayu, 2009, Kualitas Pelayanan Publik, Universitas Indonesia.

Young, K. Social Psychology, New York: McGraw-Hill Publiser, 1956.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya.




Cyberlaundering

Kemajuan dan kecanggihan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang terjadi sekarang ini menimbulkan dinamika perputaran uang yang cepat dan mudah dalam dunia maya / cyber. Muncul uang dalam bentuk yang berbeda yaitu e-money, dalam bentuk simbol pada layar komputer, bekerja 24 jam sehari, dan dapat dipindahkan dari waktu ke waktu sehingga sulit dipantau dan dilacak oleh penegak hukum. Uang tidak lagi terlihat dalam bentuk fisik, tidak dapat diraba, tetapi dapat dilihat dalam bentuk data. Penggunaan teknologi dalam dunia maya oleh para pelaku pencucian uang inilah yang kemudian memunculkan fenomena cyberlaundering (pencucian uang melalui dunia maya).[1]

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai Cyberlaundering maka akan dibahas dulu istilah Pencucian Uang atau Money Laundering. Definisi Pencucian Uang (Money Laundering) adalah suatu upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia.[2]

Money Laundering berkaitan dengan tindak pidana asal, seperti korupsi, penyelundupan, illegal logging, penyuapan, narkotika, terorisme, penculikan, perdagangan senjata gelap, perjudian, prostitusi, dan lain sebagainya. Modus yang digunakan adalah dengan mengintegrasikan harta kekayaan dari hasil kejahatan asal ke dalam sistem perbankan dengan kepentingan mengaburkan asal-usul harta tersebut sehingga akhirnya dapat dikeluarkan secara sah. Proses Pencucian Uang ada tiga, yaitu:

  1. Placement: Penempatan uang hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan.
  2. Layering: Memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan (audit trail) asal usul dana.
  3. Integration: Mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman.

Dalam hal ini perbankan merupakan salah satu Penyedia Jasa Keuangan yang menyimpan dan menyalurkan uang yang berasal dari negara maupun masyarakat. Tetapi lembaga perbankan ini juga seringkali dijadikan sarana untuk menyimpan harta yang berasal dari tindak pidana. Targetnya adalah negara-negara yang mempunyai ketentuan yang longgar dalam bidang perbankan, atau yang masih menjunjung tinggi prinsip rahasia bank. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pencuci uang untuk menyamarkan uang dari hasil kejahatan mereka.

Selain Bank, Penyedia Jasa Keuangan yang lain adalah: Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Pialang Asuransi, Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Perusahaan Efek, Manajer Investasi, Kustodian, Wali Amanat, Perposan sebagai Penyedia Jasa Giro, Pedagang Valuta Asing, Penyelenggara Akat Pembayaran Menggunakan Kartu, Penyelenggara e-money atau e-wallet, Koperasi yang melakukan simpan pinjam, Pegadaian, Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

Tindakan Pencucian Uang atau Money Laundering yang dilakukan di dunia maya / cyber dengan menggunakan Internet disebut sebagai Cyberlaundering. Seiring dengan maraknya e-commerce melalui internet, kegiatan cyberlaundering menjadi semakin terbuka. Risiko yang terjadi adalah kemungkinan pengiriman dana (cyberpayment) dari pihak ketiga yang tidak dikenal dan selanjutnya dana tersebut ditransfer dari satu kartu ke kartu lainnya, yang dikenal dengan e-money.[3] Pengertian Electronic Money atau e-money didefinisikan sebagai “stored-value or prepaid products in which a record of the funds or value available to a consumer is stored on an electronic device in the consumer’s possession” (produk stored-value atau prepaid dimana sejumlah nilai uang disimpan dalam suatu media elektronis yang dimiliki seseorang).[4]

He Ping dalam Journal of Money Laundering Control, Vol. 8, No. 1, (2004), yang berjudul: “New Trends in Money Laundering – From the Real World to Cyberspace”, mengemukakan bahwa kelebihan e-money jika dibandingkan dengan uang tradisional, adalah sebagai berikut:

  1. Menggunakan sebuah kartu atau alat yang dapat menyimpan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga tidak memerlukan tempat atau container yang besar untuk membawanya;
  2. Mudah ditransfer kapan dan dimana saja dengan bantuan internet; dan
  3. Lebih sulit dilacak karena tidak memiliki nomor seri. Selain itu, teknologi penyandian dalam proses transfer secara e-money semakin mempersulit untuk mengetahui asal-usulnya.

Dengan 3 (tiga) kelebihan tersebut, banyak pelaku pencucian uang yang berpindah ke fasilitas ini. Mereka dapat memindahkan uang hasil kejahatan itu kapan dan kemana saja karena e-money tidak membutuhkan lembaga perantara. Kondisi ini menyebabkan transaksi yang menggunakan e-money sulit dilacak karena tidak ada rekam jejak. Di samping itu, karena e-money memang didesain untuk memfasilitasi transaksi internasional, transaksi tersedia dalam beragam mata uang sehingga memudahkan oknum pencuci uang melakukan kejahatannya dari satu negara ke negara lain.

Dengan adanya Internet ternyata justru memberikan akses yang lebih mudah bagi para pelaku kejahatan pencucian uang. Untuk bisa mencegah dan memberantas pencucian uang melalui Internet, bukan hanya dibutuhkan para penegak hukum yang lebih jeli dalam melakukan penyidikan tetapi juga dasar hukum yang jelas mengenai kejahatan di dunia maya (Cyber Law).

 

[1] Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal). Diakses dari: http://korup5170.wordpress.com/opiniartikel-pakar-hukum/anti-pencucian-uang-di-indonesia-dan-kelemahan-dalam-implementasinya-suatu-tinjauan-awal/

[2] Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan,. Edisi Pertama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) , (Jakarta: 2003). Hal: 2.

 

[3] Edi Nasution, Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan. Hal 10

[4] Siti Hidayati, Ida Nuryanti, Agus Firmansyah, Aulia Fadly, Isnu Yuwana Darmawan, Kajian Operasional E-Money, Bank Indonesia, Oktober, 2006. Hal: 4.




Realitas Sejati

 

Semua orang didunia ini seharusnya menyadari bahwa manusia akan kembali menjadi tanah dan tidak berguna lagi. Dunia yang menawarkan kenikmatan, suatu saat akan ditinggalkan. Manusia tidak mampu mempertahankan apapun selama-lamanya, termasuk harta benda yang dengan susah payah diperolehnya. Semua ditinggalkannya. Rata-rata manusia bisa menempati dan tinggal di dunia ini sebatas umur 80 tahun saja, itupun sudah diatas rata-rata hidup manusia.

Roh Tuhan sebagai realitas sejati. Harusnya saya selalu menyadari akan adanya realitas sejati ini dalam keseluruhan hidup saya. Kefisikan saya  ini ada umurnya dan apabila sudah tidak mampu menopang lagi maka mereka akan luruh dan saya kembali kepada yang punya. Saya sebenarnya sudah diajari untuk selalu ingat akan Tuhan. Apabila pada saat saya hidup di dunia ini tidak bisa merasakan kehadiran Tuhan, bagaimana kelak saya bisa mencari Tuhan. Roh saya akan kehilangan arah dalam mendekati roh Tuhan, maka sudah selayaknya saya mulai selalu belajar untuk mengenalNYA, Belajar merasakan kehadiranNYA.

Dengan belajar filsafat dan sosiologi, saya mulai bisa merasakan persinggungan antara pemikiran hasil kerja otak dan bidang agama. Persinggungan antara sesuatu yang empiris dan non empiris. Muncul dibenak saya kesadaran untuk mengenal diri sendiri secara utuh. Untuk apa sejatinya saya hidup didunia ini. Tentunya Tuhan menginginkan saya berguna atau keinginan saya sendiri untuk berguna sebagai timbal balik atas kebaikan Tuhan kepada saya. Porsi saya masih dalam taraf belajar. Semoga Tuhan berkenan atas usaha-usaha saya. Kelak Tuhan bisa melihat biji sesawi yang saya pegang. Meskipun sangat kecil dan tidak pantas, Tetapi karena kasih Tuhan kepada saya maka bisa diajak masuk dalam orang-orang pilihannya




BI Rate menjadi BI 7-day

Terlampir berita  dari BI mengenai BI Rate.

BANK INDONESIA MEREFORMULASI SUKU BUNGA KEBIJAKAN

“Bank Indonesia mereformulasi suku bunga kebijakan, dari BI Rate menjadi BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter”, demikian disampaikan Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo. Lebih lanjut Gubernur BI menyampaikan bahwa penguatan operasi moneter ini tidak mengubah sikap (stance) kebijakan moneter yang sedang diterapkan. Perubahan suku bunga kebijakan ini berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016. Dalam masa transisi sampai dengan sebelum 19 Agustus 2016, Bank Indonesia akan tetap menggunakan BI Rate sebagai suku bunga kebijakan. Dalam periode yang sama, BI akan mulai mengumumkan BI 7-day Repo Rate sebagai bagian dari suku bunga operasi moneter (term structure). Penguatan operasi moneter ini telah melalui kajian yang lama dan mendalam serta sejalan dengan praktik terbaik (best practice) di berbagai bank sentral di dunia.

Penguatan kerangka operasi moneter tersebut memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal kebijakan moneter dengan suku bunga (Reverse) Repo Rate 7 hari sebagai acuan utama di pasar keuangan. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga, mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di pasar uang antarbank (PUAB) untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan. Untuk itu, penguatan operasi moneter akan disertai dengan langkah-langkah untuk percepatan pendalaman pasar uang.

Implementasi penggunaan BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebagai suku bunga kebijakan yang baru ini berlaku mulai 19 Agustus 2016. Pada saat implementasi, Bank Indonesia akan menjaga koridor suku bunga yang simetris dan lebih sempit, yaitu batas bawah koridor (deposit facility rate/DF rate) dan batas atas koridor (lending facility rate/LF rate) berada masing-masing 75 bps di bawah dan di atas BI 7-day (Reverse) Repo Rate.

Sejalan dengan penguatan kerangka operasi moneter tersebut, Bank Indonesia akan mempercepat pelaksanaan program pendalaman pasar keuangan. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain mencakup: (i) memperkuat peran suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) bagi terbentuknya struktur suku bunga di pasar uang untuk tenor dari overnight sampai dengan 12 bulan; (ii) mempercepat transaksi Repo dengan mendorong bank-bank berpartisipasi ke dalam General Master Repo Agreement (GMRA); (iii) mengurangi segmentasi dan meningkatkan kapasitas transaksi pasar dengan mendorong perbankan untuk lebih membuka akses counterparty.

Bank Indonesia telah dan akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan penguatan kerangka operasi moneter yang ditempuh dapat berjalan dengan baik.

 

 




Pengaruh Pers.Keluarga pada Nilai dan Tata Kelola Perusahaan

Download lampiran