PENELITIAN KUALITATIF : PENDEKATAN GROUNDED THEORY

B.  GROUNDED
THEORY

1.   Pengertian
Grounded Theory

Pendekatan
grounded teori (Grounded Theory Approach) adalah metode penelitian kualitatif
yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori dari
kancah. Pendekatan ini pertama kali disusun oleh dua orang sosiolog; Barney
Glaser dan Anselm Strauss. Untuk maksud ini keduanya telah menulis 4 (empat)
buah buku, yaitu; “The Discovery of Grounded Theory” (1967),
Theoritical Sensitivity (1978), Qualitative Analysis for Social Scientists
(1987), dan Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and
Techniques (1990). Menurut kedua ilmuwan ini, pendekatan Grounded Theory
merupakan metode ilmiah, karena prosedur kerjanya yang dirancang secara cermat
sehingga memenuhi keriteria metode ilmiah. Keriteria dimaksud adalah adanya
signifikansi, kesesuaian antara teori dan observasi, dapat digeneralisasikan,
dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta bisa dibuktikan. Dan merekajuga
mengatakan bahwa, penelitian seharusnya memunculkan konsep-konsep (variabel)
dan hipotesis berdasarkan data-data nyata yang ada di lapangan: “de-emphasis
on the prior step of discovering what concepts and hypotheses are relevant for
the area one wished to research. …In social research generating theory goes
hand in hand with verifying it; but many sociologists have diverted from this
truism in their zeal to test either existing theories or a theory that they
have barely started to generate
”.  yang berarti pada penekanan
pada langkah sebelumnya menemukan apa konsep dan hipotesis relevan untuk satu
bidang yang ingin diteliti….. dalam teori yang menghasilkan penelitian social
yang sejalan dengan membuktikanya, tapi banyak peneliti sosial yang mengalihkan
dari kebenaran yang mungkin tidak dapat disangkal kedalam semangat mereka untuk
menguji teori yang telah ada maupun yang baru saja mereka mulai untuk generasi
teori selanjutnya.

Sesuai
dengan nama yang disandangnya, tujuan dari Grounded Theory Approach adalah
teoritisasi data. Teoritisasi adalah sebuah metode penyusunan teori yang
berorientasi tindakan/interaksi, karena itu cocok digunakan untuk penelitian
terhadap perilaku. Penelitian ini tidak bertolak dari suatu teori atau untuk
menguji teori (seperti paradigma penelitian kuantitatif), melainkan bertolak
dari data menuju suatu teori. Untuk maksud itu, yang diperlukan dalam proses
menuju teori itu adalah prosedur yang terencana dan teratur (sistematis).
Selanjutnya, metode analisis yang ditawarkan Grounded Theory Approach adalah
teoritisasi data (Grounded Theory).

Pada
dasarnya Grounded Theory dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu-ilmu
sosial, namun demikian seorang peneliti tidak perlu ahli dalam bidang ilmu yang
sedang ditelitinya. Hal yang lebih penting adalah bahwa dari awal peneliti
telah memiliki pengetahuan dasar dalam bidang ilmu yang ditelitinya, supaya ia
paham jenis dan format data yang dikumpulkannya.

Grounded
Theory (GT) merupakan metodologi penelitian kualitatif yang berakar pada
kontruktivisme, atau paradigma keilmuan yang mencoba mengkontruksi atau
merekontruksi teori atas suatu fakta yang terjadi di lapangan berdasarkan pada
data empirik. Kontruksi atau rekontruksi teori itu diperoleh melalui analisis
induktif atas seperangkat data diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan.

Dalam
buku “Metodologi Penelitian” yang ditulis,Emzir, Secara Terperinci, Strauss dan
Corbin mendefinisikan Grounded Theory sebagai berikut :

A grounded Theory is
one of that is inductively derived from the  study of phenomenon it
represents. That is, it is discovered, developed, and provisionally
verified  through systematic data collection, analysis of data
pertaining to that phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory
stand in reciprocal relationship with each other. One does not begin with a
theory, then prove it. Rather  one begins with an area of study and
what is relevant to that area as allowed to emerge

Sesuai
dengan uraian diatas bahwa  Teori dasar (GT) adalah suatu teori yang
secara induktif di peroleh dari pengkajian fenomena yang mewakilinya. Teori
tersebut ditemukan, dikembangkan, dan untuk sementara waktu dibuktikan melalui
penumpulan data yang sistematis, analisis data yang menyinggung fenomena
tersebut. Oleh karena itu , pengumpulan data, analisis data, dan teori berada
di dalam hubungan timbal balik satu dengan lainnya. Orang tidak mulai dengan
teori, orang mulai dengan suatu area kasus dan apa yang berkaitan dengan area
tersebut dibiarkan muncul.

Cresswell
dalam bukunya Educational Research menuliskan :

A grounded theory
design is a systematic, qualitative procedure used to generate a theory that
explains, at a broad conceptual level, a process, an action, or an interaction
about a substantive topic. In grounded theory research, this is a “process”
theory_ it explains an educational process of events, activities, actions, and
interactions that occur over time. Also, grounded theorist proceed through
systematic procedure of collecting data, identifying categories (used synonymously
with themes), connecting these categories, and forming
 a
theory that explains the process.

     Seperti
yang telah dikemukakan oleh Creswell  diatas bahwa Grounded Theory merupakan teori
yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena sebuah
prosedur peneliti kualitatif yang sistematis. Pendekatan Grunded
theory merupakan suatu cara yang terdiri dari serangkaian tahap yang dilakukan
secara cermat yang dianggap memberi jaminan suatu teori yang baik sebagai hasil
atau secara kualitas dianggap baik.

2.  Ciri-Ciri
Utama Penelitian  Grounded Theory

Seperti
terungkap dari paparan latar belakang di atas, penggunaan
danpengembangan di berbagai disiplin ilmu membuat GT terbagi dalam tiga
pendekatan. Meskipun demikian, ketiga pendekatan itu, dan juga desain-desain
yang diterapkan secara khusus dalam berbagai bidang ilmu, tetap menggunakan
konsep dasar dalam The Discovery of Grounded Theory sebagai titik tolak
(Goulding, 1999). Oleh sebab itu, untuk memahami GT secara lebih komprehensif,
elemen-elemen yang terkandung dalam setiap pendekatan perlu dikaji secara
seksama. Menurut Creswell (2008: 440), ada enam karakteristik dari penelitian
Grounded Theory. Enam karakteristik tersebut adalah : Process approach,
Theoretical sampling, Constant comparative data analysis, a core category,
theory generalization, and memos.

a.  
Process approach

Dalam
penelitian GT, proses merujuk pada urutan tindakan-tindakan dan interaksi antar
manusia dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan sebuah topik, seperti
pengalihbahsaan novel Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia. Dalam topik
seperti ini, berdasarkan transkrip wawancara atau catatan pengamatan yang
dilakukan pada partisipan, peneliti GT dapat mengidentifikasi dan mengisolasi
tindakan-tindakan dan interaksi antar manusia, seperti interaksi antara
penerbit dan penterjemah pada saat negoisasi, tindakan- tindakan yang dilakukan
penterjemah selama proses pengalihbahasaan, dan sebagainya. Aspek-paspek yang
diisolasi ini disebut kategori-kategori, yang digunakan sebagai tema-tema
informasi dasar dalam rangka memahami suatu proses.

b.  Theoretical
sampling

Sebagaimana
lazimnya dalam penelitian kualitatif, instrumen pengumpul data penelitian GT
adalah peneliti sendiri. Data-data yang dikumpulkan dapat berbentuk transkrip
wawancara, percakapan, catatan wawancara, dokumen-dokumen publik, buku harian
dan jurnal responden, dan catatan reflektif peneliti (Charmaz, dalam Creswell,
2008: 442) . Proses pengumpulan data itu dilaksanakan dengan mengunakan ada dua
metode secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam (depth
interview). Bentuk data yang paling sering digunakan berbagai peneliti adalah
hasil wawancara karena data seperti ini lebih mampu mengungkapkan pengalaman
responden dalam kata-kata mereka sendiri. Hal yang spesifik yang membedakan
pengumpulan data pada penelitian GT dari pendekatan kualitatif lainnya adalah
pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak, pada GT sangat
ditekankan untuk menggali data perilaku yang sedang berlangsung (life history)
untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat
kausalitas. Seorang peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan
“Mengapa suatu kondisi terjadi?”, “Apa konsekwensi yang timbul
dari suatu tindakan/reaksi?”, dan “Seperti apa tahap-tahap kondisi,
tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung?”

Dalam
GT, masalah sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan
pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan cara penyampelan teoritik. Penyampelan teoritik merupakan
pengambilan sampel yang dilakukan peneliti dengan cara memilih data-data atau
konsep-konsep yang terbukti berhubungan dengan dan mendukung secara teoritik
teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena
yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab
masalah penelitian. Sebagai contoh, jika peneliti sedang meneliti
“tingginya kecenderungan penerbitan novel-novel horror terjemahan”, penikmat
(pembaca) novel-novel horor merupakan kandidat yang paling sesuai untuk
diwawancarai. Penterjemah, penerbit, dan kritisi sastra memang dapat dijadikan
sumber informasi yang relevan, namun peran mereka tidak begitu sentral karena
penerbitan bahan bacaan sangat ditentukan oleh konsumen (pembaca).

Paparan
ini mengungkapkan bahwa pada dasarnya yang di sampel dalam penelitian GT bukan
obyek formal penelitian (orang atau benda-benda), melainkan obyek material yang
berupa fenomena-fenomena yang sudah dikonsepkan. Akan tetapi, karena fenomena
itu melekat dengan subyek (orang atau benda), maka dengan sendirinya obyek
formal juga ikut disampel dalam perses pengumpulan atau penggalian fenomena..
Subyek-subyek yang diteliti secara berproses ditentukan di lapangan, ketika pengumpulan
data berlangsung. Cara penyampelan inilah yang disebut dalam penelitian
kualitatif sebagai snow bowl sampling.

Sesuai
dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam GT diarahkan
dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean. Ada tiga
pola penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan kegiatan
pengumpulan data; (a) penyampelan terbuka, (b) penyampelan relasional dan
variasional, serta (c) penyampelan pembeda.

c. 
Constant comparative data analysis

Dalam
penelitian GT, peneliti terlibat dalam proses pengumpulan data,
pengelompokan data ke dalam kategori-kategori, pengumpulan data tambahan, dan
pembandingan informasi yang baru itu dengan kategori-kategori yang muncul.
Proses pengembangan kategori-kategori informasi yang berlangsung secara
perlahan-lahan ini dinamai prosedur perbandingan konstan (constant comparative
procedure). Perbandingan konstan ini merupakan prosedur analisis data induktif
yang digunakan untuk memunculkan dan menghubungkan kategori-kategori dengan
cara membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, satu peristiwa
dengan satu kategori, dan satu kategori dengan kategori lainnya.

d. 
A core category

Dari
seluruh kategori utama yang diperoleh dari data, peneliti memilih satu kategori
sebagai inti fenomena dalam rangka merumuskan teori. Setelah mengidentifikasi
beberapa kategori (misalnya, 8 hingga 10—tergantung pada besarnya data,
peneliti memilih satu kategori inti sebagai basis penulisan teori.

Berikut
ini adalah enam kriteria untuk menentukan kategori inti (Strauss and
Corbin, dalam Creswell, 2008: 444).

(a)           It
must be central ; that is, all other major categories can relate to it.

(b)         It
must appear frequently in the data. This mean that within all or almost all
cases, there are indicators pointing to the concept.

(c)          The
explanation that evolves by relating the categories is logical and consistent,
there is no forcing of  data.

(d)         The
name or phrase used to describe the central category should be sufficiently
abstract.

(e)          As
the concept is refined, the theory grows in depth and explanatory power.

(f)          When
conditions vary, the explanation still holds, although the way in which a
phenomenon is expressed might look somewhat different. 

Pemaparan di
atas memperlihatkan bahwa memilih kategori inti terlalu awal
adalah sangat riskan. Akan tetapi, bila terlihat bahwa salah satu kategori
mucul dengan frekuensi tinggi dan terhubung dengan jelas pada
kategori-kategori lain, kategori itu dapat dipilih sebagai kategori inti.

e.  Theory
generation (Penurunan Teori)

Dalam
penelitian GT, yang dimaksud dengan teori adalah penjelasan atau
pemahaman yang abstrak tentang suatu proses mengenai sebuah topik
substantif yang didasarkan pada data. Teori ini disusun oleh peneliti
sewaktu mengidentifikasi kategori inti dan kategori-kategori proses yang
menjelaskannya. Karena teori ini dilandaskan pada fenomena yang spesifik,
teori ini tidak dapat diaplikasikan digeneralisasikan secara meluas pada
fenomena lain. Oleh karena itu, Charmaz (dalam Creswell, 2008:
446) mengatakan teori ini bersifat “middle range”, ditarik dari beberapa
individual atau sumber data dan memberi penjelasan yang akurat hanya pada
sebuah topik yang substantif.

f.   Memos

Dalam
penelitian GT, memo merupakan catatan-catatan yang dibuat peneliti
untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan
kategori-kategori yang dikodekan. Dengan kata lain, memo merupakan catatan
yang dibuat peneliti bagi dirinya sendiri dalam rangka menyusun hipotesis
tentang sebuah kategori, kususnya tentang hubungan-hubungan antara
kategori-kategori yang ditemukan.

3.            Prinsip-Prinsip
Metodologi Grounded Theory

Haig, 2004 (dalam
Emzir, 2011: 196) mengemukakan beberapa prinsip grounded theory yaitu ;

a.   Perumusan
Masalah Penelitian

Sebagai
penelitian berparadigma kualitatif, GT mengasumsikan bahwa di
dalam kehidupan sosial selalu ditemukan regulasi-regulasi yang relatif
sudah terpola. Pola- pola regulasi yang ditemukan melalui
penelitian itulah yang dirumuskan menjadi teori. Substansi rumusan masalah
dalam pendekatan GT masih bersifatumum, yaitu dalam bentuk pertanyaan yang
masih memberi kelonggaran dankebebasan untuk menggali fenomena secara luas, dan
belum sampai menegaskanmana saja variabel yang berhubungan dengan ruang lingkup
masalah dan mana yangtidak. Demikian pula tipe hubungan antarvariabelnya belum
perlu dieksplisitkandalam rumusan masalah yang dibuat.

Seperti
lazimnya pada setiap penelitian, rumusan masalah yang disusun pada tahap awal
adalah yang memiliki substansi yang jelas serta diformulasikan dalam
bentuk pertanyaan. Ciri rumusan masalah yang disarankan dalam GT adalah;
(1) berorientasi pada pengidentifikasian fenomena yang diteliti; (2)
mengungkap secara tegas tentang obyek (formal dan material) yang akan
diteliti, serta (3) berorientasi pada proses dan tindakan. Contoh rumusan
masalah awal pada GT; “Bagaimanakah novel detektif Inggris
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?” Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan
masalah ini bermaksud untuk; (1) mengenali secara tepat dan
mendalam proses penerjemahan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, (2) obyek formal penelitian adalah penterjemah yang sedang
menerjemahkan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa Indonesia;
sedangkan obyek materialnya adalah metode yang dilakukan oleh penterjemah
itu dalam menyelesaikan penerjemahan novel dimaksud, dan (3) orientasi
utama yang disoroti adalah tahapan dan teknik-teknik penterjemahan yang
dipilih.

b.   Deteksi Fenomena

Fenomena
stabil secara relative, cirri umum yang muncul dari dunia yang kita lihat untuk
dijelaskan. Fenomena meliputi cakupan ontologism yang bervariasi yang
meliputi objek, keadaan, proses, dan peristiwa, serta cirri-ciri lain yang
sulit digolongkan. Oleh karena itu, lebih baik mendiskripsikan fenomena dalam
istilah perannya sebagai objek khusus pejelasan dan prediksi.

c.  Penurunan theory (theory generation)

Penurunan
teori dalam grounded theory menurut Strauss dan Glaser, bahwa grounded theory
muncul secara induktif dari sumber data sesuai dengan metode perbandingan tetap
(constant comparison). Kemudian Strauss dan Glaser juga mengkritisi teori
Logico deductive theorizing yaitu metode hipoteka-deduktif (pengambilan teori
atau hipotesis dan mengujinya secara tidak langsung dengan memperoleh
konsekuensinya yang merupakan ketersediaan mereka menguji langsung secara
empiris) bahwa pertama, teori deduktivisme melebih-lebihkan dalam penempatan
pengujian teori dalam ilmu pengetahuan, dan kedua, penalaran induktif dapat
membentuk perumusan ide-ide teoritis.

d.  Pengembangan teori

Dalam
pengembangan teori grounded theory tidak hanya berhenti dalam pengembangan
teori secara hypothetico deductive ortodoks, karena penelitian ini belum
dikembangkan secara teoritis, oleh karena itu, dalam pengembangan teori ini
seorang peneliti memiliki pengetahuan tentang hakikat mekanisme kausal dan
membangun mekanisme dengan membayangkan sesuatu yang sama dengan mekanisme
alami yang kita ketahui. Peneliti juga disarankan untuk secara konstan waspada
terhadap persepektif baru yang mungkin membantu mereka mengembangkan teori
dasar mereka, walaupun mereka tidak menyelidiki poin tersebut secara mendetail
(Strauss & Glaser dalam Emzir, 2011: 206).

e. 
Penilaian Theory

Dalam
penilaian ini, aliran empirisme yang dominan tentang penilaian teori dicirikan
dalam pertunjukan hipotetiko deduktif normal, dimana teori ditaksir kecukupan
empirisnya dengan memastikan apakah prediksi tesnya dibuktikan oleh data yang
relevan. Sedangkan Glaser & Strauss tidak menyatakan perhitungan yang tepat
menyangkut hakikat dan tempat pengujian teori dalam ilmu social, mereka
menjelaskan bahwa ada yang lebih pada penilaian teori dari pada pengujian untuk
kecukupan empiris.

f. 
Grounded theory yang direkontruksi

Pengaruh
pragmatism Amerika pada metodologi grounded theory berbagai macam, dampak
filosofi kontemporer  ilmu pengetahun pada tulisan Glaser dan Strauss
hamper tidak ada. Hal ini pun juga dirasakan oleh ahli pragmatics seperti
Dewey. Akan tetapi, Glaser & Strauss tetap mengabaikan pengembangan yang
bersangkutan didalam metodologi filosofis.perlu diingat bahwa asal ahli
pragmatism grounded theory, sebagai suatu rekontruksi filosofis, tidak harus
dipahami sebagai suatu laporan akurat dari perhitungan Glaser dan Strauss
tentang grounded theory.

4.   Metode
Pengumpulan Data

Metode
pengumpulan data dalam penelitian grounded theory adalah wawancara. Menurut
Strauss & Corbin, dalam Cresswel 1998 (Emzir, 2011: 209-210) wawancara
dilakukan untuk mengumpulkan data, dimana wawancara dilakukan untuk menyerap
(satarute) (menemukan informasi yang kontinu untuk menambah hingga tidak ada
lagi yang dapat ditemukan) kategori. Suatu kategori mewakili unit informasi
yang tersusun dari peristiwa, kejadian, dan instansi. Peneliti juga
menganalisis dan mengumpulkan pengamatan dan dokumen tetapi bentuk data ini
tidak biasa. Menurut Creswell (Emzir, 2011: 210) menyatakan pengumpulan data
dalam studi grounded theory merupakan proses zigzag, keluar lapangan untuk
memperoleh informasi, menganalisis data, dan seterusnya. Partisipan
diwawancarai secara teoritis dalam theoretical sampling untuk membentuk teori
yang paling baik. Proses pengambilan informasi melalui pengumpulan data dan
membandingkannya dengan kategori yang muncul disebut metode komparatif konstan
(constant comparative) analisis data (Creswell, 1998 dalam Emzir, 2011: 210).

5.         Proses
Analisis Data

Menurut
Emzir (2011: 210) menyatakan bahwa proses analisis data dalam penelitian
Grounded Theory bersifat sistematis dan mengikuti format standar sebagai
berikut:

a.       Pengodean
terbuka (open coding)
, peneliti membentuk
kategori awal dari informasi tentang fenomena yang dikaji dengan pemisahan
informasi menjadi segmen-segmen. Pengodean terbuka adalah bagian analisis yang
berhubungan khususnya dengan penamaan dan pengategorian fenomena melalui
pengujian data secara teliti. Ada dua prosedur analisis dasar untuk proses
pengodean, yaitu; 1) membuat perbandingan, dan 2) membuat konsep-konsep dalam
grounded theory.

Adapun prosedur
analisis data dalam pengodean terbuka adalah, sebagai berikut:

–     Pelabelan
fenomena, konsep merupakan unit analisis dalam metode grounded theory, karena
konseptualisasi data adalah langkah awal dalam analisis dengan penguraian dan
pengkonsepan, berarti kita memisah-misahkan amatan, kalimat, paragraph, dan
memahami insiden, idea tau peristiwa-peristiwa diskrit dengan sesuatu yang
mewakili suatu fenomena.

–     Penemuan
kategori, proses pengelompokan konsep-konsep yang dianggap berhubungan dengan
fenomena yang sama disebut pengkategorian (categorizing). Fenomena yang
digambarkan oleh suatu kategori adalah konseptual, meskipun nama ini harus
abstrak dari pada nama yang diberikan terhadap konsep yang dikelompokan
dibawahnya. Kategori memiliki daya konseptual karena mampu mencakup kelompok
konsep atau kategori yang lainya.

–     Penamaan
kategori, dalam penamaan sebuah kategori merupakan hal yang penting, agar anda
dapat dapat mengingatnya, membahasnya, dan mengembangkanya secara analitik.

–     Penyusunan
kategori berdasarkan sifat dan ukuranya, dalam penyusunan kategori hal yang
pertama yang harus dilakukan adalah sifatnya, kemudian diukur. Sifat
adalah karakteristik atau atribut dari suatu kategori, dan ukuran menunjukan
lokasi dari pada suatu kontinum. Proses pengkodean terbuka tidak hanya
mendorong penemuan kategori namun juga sifat dan ukurannya.

–     Variasi
cara pengodean terbuka, ada beberapa cara pendekatan terhadap proses pengodean
terbuka, yaitu; a) analisis baris per baris (menganalisis wawancara dan
pengamatan), b) pengkodean perkalimat atau paragraph, dan c) menggunakan
seluruh dokumen, pengamatan, wawancara, dan bertanya.

–     Penulisan
catatan kode, terdapat banyak cara khusus yang berbeda dalam melakukan
pencatatan ini, dan setiap orang harus menemukan metode yang bekerja paling
baik untuk dirinya. Pengkodean merupakan proses penguraian data, pengkonsepan,
dan penyusunan kembali dengan cara baru. Inilah proses utama penyusunan teori
dari data.

b.      Pengodean
berporos(axial coding),
seperangkat prosedur
penempatan data kembali dengan cara-cara baru setelah pengodean terbuka, dengan
membuat kaitan antar kategori. Ini dilakukan dengan memanfaatkan paradigm
pengodean yang mencakup kondisi, konteks, strategi aksi/interaksi, dan
konsekuensi. Adapun model paradigm dalam pengodean berporos, yaitu; 1) kondisi
kausal, peristiwa, insiden, kejadian yang menyebabkan terjadinya atau
berkembangnya suatu fenomena. 2) fenomena, gagasan utama, peristiwa, kejadian,
insiden utama di seputar aksi atau interaksi yang ditujukan untuk mengelola,
mengatasi, atau mengaitkan sejumlah tindakan. 3) konteks, sejumlah sifat
tertentu yang berhubungan dengan fenomena, yaitu lokasi kejadian atau insiden
yang terkait dengan suatu fenomena sepanjang kisaran ukuran. Konteks menunjukan
sejumlah kondisi dilaksanakannya strategi aksi/interaksi. 4) kondisi perantara,
kondisi structural yang berhubungan dengan suatu fenomena. Kondisi tersebut
dapat mendukung atau menghambat strategi yang digunakan dalam konteks tertentu.
5) strategi tindakan/interaksional, strategi yang dirumuskan untuk mengelola,
mengatasi, melaksanakan, dan menanggapi fenomena dalam sejumlaah kondisi
tertentu yang dirasan. Dan 6) konsekuensi, hasil/akibat dari tindakan, dan
interaksi.

c.       Pengodean
selektif (selective coding)
, proses pemilihan
kategori inti, pengaitan kategori inti terhadap kategori lainnya secara
sistematis, pengabsahan hubungannya, mengganti kategori yang perlu diperbaiki
dan dikembangkan lebih lanjut. Kategori inti adalah fenomena utama yang menggabungkan
kategori lainnya. adapun dalam pengodean selektif ini dapat dilakukan dengan;
1) menjelaskan dan menganalisis alur cerita (menjelaskan alur cerita,
mengidentifikasi cerita, konseptualisasi alur cerita, menentukan fenomena yang
menonjol, dan hambatan dalam menjelaskan alur cerita). 2) mengaitkan kategori
lain diseputar kategori (kembali ke cerita, dan kesulitan dalam pengurutan
kategori), 3) menentukan sifat dan ukuran inti cerita, 4) Mengabsahkan hubungan
(mengungkap pola-polanya, mensistematiskan dan menetapkan hubungan, dan
cara-cara menemukan  kombinasi tersebut, dan mengelompokan
kategori.   

d.      Akhirnya,
peneliti dapat mengembangkan dan menggambarkan secara visual suatu matrik
kondisional yang menjelaskan kondisi social, historis, dan ekonomis yang
mempengaruhi fenomena sentral.




PENELITIAN KUALITATIF : PENDEKATAN ETNOGRAFI

A.  ETNOGRAFI

1.      Pengertian
Etnografi

Etnografi
merupakan suatu metode penelitian ilmu sosial. Penelitian ini sangat percaya
pada ketertutupan, pengalaman pribadi,dan partisipasi yang mungkin, tidak hanya
pengamatan, oleh para peneliti yang terlatih dalam seni etnografi. Para
etnografer ini sering bekerja dalam tim yang multidisipliner. Di mana titik
fokus penelitiannya dapat meliputi studi intensif budaya dan bahasa, bidang
atau domain tunggal, ataupun gabungan metode historis, observasi, dan
wawancara.

Pada
awalnya etnografi berakar pada bidang antropologi dan sosiologi. Namun para
praktisi dewasa ini melaksanakan penelitian etnografi dalam segala bentuk. Ahli
etnografi melakukan studi persekolahan, kesehatan masyarakat, perkembangan
pedesaan dan perkotaan, konsumen dan barang konsumsi, serta arena manusia
manapun.

Perlu
dicatat bahwa penelitian etnografi ini juga dapat didekati dari titik pandang
preservasi seni dan kebudayaan, dan lebih sebagai suatu usaha deskriptif
daripada usaha analitis. Biasanya para peneliti etnografi memfokuskan
penelitiannya pada suatu masyarakat, namun tidak selalu secara geografis saja,
melainkan dapat juga memerhatikan pekerjaan, pangangguran, dan aspek masyarakat
lainnya. Beserta pemilihan informan yang mengetahui dan memiliki suatu
pandangan  atau pendapat tentang berbagai kegiatan masyarakat.

Beberapa
ahli mengemukakan pengertian tentang penelitian etnografi salah satunya adalah
Emzir (2011: 143) yang menyatakan Etnografi adalah suatu bentuk
penelitian yang berfokus pada makna sosiologi melalui observasi lapangan
tertutup dari fenomena sosiokultural. 

Sementara
Harris (dalam John W. Creswell; 2007) menjelaskan bahwaethnography
is a qualitative design in which the researcher describes and interprets the
shared and learned patterns of values, behaviors, beliefs, and language of a
culture-sharing group
As both a process and an outcome of research
(Agar, 1980), ethnography is a way of studying a culture-sharing group as well
as the final, written product of that research.
yang berarti penelitian
etnografi merupakan sebuah penelitian kualitatif dimana seorang peneliti menguraikan
dan menafsirkan pola bersama dan belajar nilai-nilai, perilaku, keyakinan, dan
bahasa dari berbagai kelompok. Baik sebagai proses dan hasil penelitian,
etnografi adalah sebuah cara belajar kelompok pada suatu budaya baik sebagai
akhir, dalam hasil penulisan penelitian.

Beberapa definisi lain
tentang penelitian etnografi :

1.  “When
used as a method, ethnography typically refers to field work (alternatively,
participant-observation) conducted by a single investigator who ‘lives with and
lives like’ those who are studied, ussually for a year or more”. (John Van
Maanen, 1996
). Dalam hal ini, penelitian etnografi dilakukan ketika
digunakan sebagai metode, etnografi biasanya mengacu kepada kerja lapangan
(alternative-partisipan-pengamatan) dilakukan oleh seorang peneliti tunggal
yang hidup dengan dan hidup seperti orang-orang yang diteliti, biasanya
dilakukan kurang lebih satu tahun atau lebih.

2.   “Ethnography
literally means ‘a portrait of a people’. An ethnography is a written
description of particular culture – the customs, beliefs, and behavior – based
on information collected through fieldwork.” (Marvin Harris and Orna Johnson,
2000
).Secara harfiah penelitian etnografi berarti gambaran sebuah
masyarakat. Yang berarti etnografo adalah gambaran umum suatu budaya atau
kebiasaan, keyakinan, dan perlikau yang berdasarkan atas informasi yang telah
dikumpulkan melalui penelitian lapangan.

3.   “Ethnography
is the art and science of describing a group or culture. The description may be
small tribal group in an exotic land or a classroom in middle-class suburbia
.”
(David M. Fetterman, 1998), (Genzuk, 2005:1). Etnografi adalah seni dan
ilmu yang menggambarkan tentang sebuah kelompok atau budaya. Penggambaran
mungkin mengenai tentang kelompok suku kecil dalam sebuah daerah yang menarik
atau sebuah kelas menengah maupun pinggiran kota

4.   “Etnographic
designs are qualitative research procedures for describing, analyzing, and
interpreting a culture-sharing group’s shared patterns of behavior, beliefs,
and language that develop over time.” (John W. Creswell, 2008:473)
.”
Rancangan penelotian etnografi adalah prosedur penelitian kualitatif untuk
menggambarkan, menganalisis, dan menafsirkan suatu pola kelompok berbagai
budaya yang dilakukan bersama baik perilaku, keyakinan dan bahasa yang
berkembang dari waktu kewaktu.

Dari
beberapa definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian
etnografi adalah sebuah penelitian kualitatif yang berfokus pada makna
sosiologi dengan menggambarkan, menganalisa dan memberi penafsiran dari sebuah
pola budaya tertentu.

2.      Asumsi
Dasar Penelitian Etnografi

     Karena
cakupan penelitian etnografi yang bersumber pada budaya dan observasi serta
melakukan wawancara merupakan standar dasar pada penelitian etnografi maka perlu
kiranya dikembangkan beberapa asumsi yang menjadi dasar utama peneliti sebelum
melakukan penelitian. 

     Beberapa
asumsi dasar penelitian etnografi yang dikemukakan oleh Emzir (2011: 148-149)
adalah sebagai berikut : 1) Etnografi mengasumsikan kepentingan penelitian yang
prinsip utamanya dipengaruhi oleh pemahaman kultural masyarakat.
2) Penelitian etnografi mengasumsikan suatu kemampuan mengidentifikasi
masyarakat yang relevan dengan kepentingannya.  3) Dengan penelitian
etnografi peneliti diasumsikan mampu memahami kelebihan kultural dari
masyarakat yang diteliti, meguasai bahasa atau jargon teknis dari kebudayaan
tersebut dan memiliki temuan yang didasarkan pada pengetahuan komprehensif dari
budaya tersebut. 

     Lebih
lanjut, Gall, Gall and Borg dalam bukunya “Educational Research an
Introductioní” 
menyatakan peneliti etnografi setidaknya memiliki
beberapa pandangan tentang lintas budaya yang menjadi obyek penelitiannya
diantaranya : 1) Ethnology: mencakup teori-teori dasar budaya
yang merupakan data pembanding dari beberapa budaya yang berbeda.
2) Pemerolehan budaya: yang memfokuskan diri pada konsep, nilai-nilai
budaya, kemampuan dan tingkah laku yang merupakan budaya umum yang terjadi pada
masing-masing kebudayaan. 3) Pergeseran budaya: yang fokus pada penelitian
tentang seberapa besar struktur sosial mengintervensi kehidupan
seseorang dalam suatu kasus tertentu.

3.         Prinsip-Prinsip
Metodologi Penelitian Etnografi

Penelitian
etnografi merupakan penelitian terperinci yang dapat menggambarkan suatu
kegiatan, kejadian yang biasa terjadi sehari-hari pada suatu komunitas
tertentu. Ini merupakan dasar kekuatan penelitian etnografi yang memberikan
gambaran utuh tentang apa yang terjadi di lapangan. Berbeda halnya dengan
penelitian kuantitatif yang menangkap kebenaran hakikat perilaku sosial di
masyarakat dengan sandaran studi latar artifisial atau pada apa yang dikatakan
orang bukan melihat dan terjun secara langsung mempelajari apa yang dilakukan
oleh obyek penelitian tersebut.

     Hammersley
(1990) dalam Genzuk (2005: 3) yang tersaji dalam buku Emzir“Metodologi
Penelitian Pendidikan Kualitatif dan Kuantitatif
” (2011: 149-152) menyatakan
3 prinsip metodologis yang digunakan dalam corak metode etnografi diantaranya:

a. Naturalisme :
ini menggambarkan bahwa penelitian etnografi yang dijalankan bertujuan untuk
menangkap suatu karakter yang muncul secara alami dan didapatkan melalui kontak
langsung, bukan melalui interfensi atau rekayasa eksperimen.

b. Pemahaman:
yang menjadi landasan utama disini adalah bahwa tindakan manusia berbeda dari
perilaku objek fisik. Tindakan tersebut tidak hanya tanggapan stimulus namun
juga interpretasi terhadap suatu stimulus. Untuk itu meneliti latar budaya yang
lebih dikenal lebih baik dari pada meneliti yang masih asing agar terhindar
dari resiko kesalahpahaman budaya.

c. Penemuan:
Penelitian etnografi merupakan penelitian yang didasari oleh penemuan sang
peneliti. Ini merupakan bentuk otentik sebuah penelitian dimana suatu fenomena
dikaji tidak hanya berdasar pada serangkaian hipotesis yang mungkin bisa saja
terjadi kegagalan namun menjadi nyata setelah dibutakan oleh asumsi yang
dibangun ke dalam hipotesis tersebut.

4.         Karakteristik
Penelitian Etnografi

Creswell
dalam bukunya “Educational Research, planning, conducting and evaluating
quantitative and qualitative research” menyebutkan beberapa karakter penelitian
etnografi diantaranya:

a.  Cultural
theme
Merupakan suatu budaya yang terimplementasikan atau
tergambarkan pada suatu grup atau komunitas tertentu (Spradley:1980b.)

b.   A
Culture –sharing group
: merupakan penelitian yang dapat dilaksanakan pada 2
orang atau lebih yang memiliki kesamaan sikap, perilaku dan bahasa. 

c.   Fieldwork:
Dalam penelitian etnografi Fieldwork  bermakna tempat
dimana peneliti dapat menggabungkan data pada seting tempat dan lokasi yang
dapat dipelajari .

d.   Description
in etnography
: Merupakan gambaran terperinci dari obyek yang dilakukan
penelitian.

e.   A
Context
: merupakan seting tempat, situasi atau lingkungan yang melingkupi
kelompok budaya yang dipelajari.

f.   Researcher
Reflexivity
: Mengacu pada sebuah kondisi dimana seorang peneliti dalam
kondisi yang sadar dan terbuka atas perannya sebagai peneliti yang dengannya
dapat timbul rasa saling mempercayai antara peneliti dan obyek yang ditelitinya.

5.         Jenis
– Jenis Penelitian Etnografi

Menurut Creswell,
para ahli banyak menyatakan mengenai beragam jenis penelitian etnografi, namun
Creswell sendiri membedakannya menjadi 2 bentuk yang paling popular yaitu
Etnografi realis dan etnografi kritis. Penjelasannya sbb : 

a.          Etnografi
realis

Etnografi realis
mengemukakan suatu kondisi objektif suatu kelompok dan laporannya biasa ditulis
dalam bentuk sudut pandang sebagai orang ke -3. Seorang etnografi realis
menggambarkan fakta detail dan melaporlan apa yang diamati dandidengar dari
partisipan kelompok dengan mempertahankan objektivitas peneliti

b.         Etnografi
kritis

Dewasa ini populer juga
etnograi kritis. Pendekatan etnografi kritis ini penelitian yang mencoba merespon
isu-isu sosial yang sedang berlangsung.misalnya dalam masalah
jender/emansipasi, kekuasaan, status quo, ketidaksamaan hak, pemerataan dsb.

Jenis-Jenis etnografi
lainnya diungkapkan Gay, Mills dan Aurasian sbb:

–        Etnografi
Konfensional: laporan mengenai pengalaman pekerjaan lapangan yang dilakukan
etnografer

–        Autoetnografi:
refleksi dari seseorang mengenai konteks budayanya sendiri

–        Mikroetnografi:
studi yang memfokuskan pada aspek khusus dari latar dan kelompok budaya

–        Etnografi
feminis: studi mengenai perempuan dalam praktek budaya yang yang merasakan
pengekangan akan hak-haknya.

–        Etnografi
postmodern: suatu etnografi yang ditulis untuk menyatakan keprihatinan mengenai
masalah-masalah sosial terutama mengenai kelompok marginal.

–        Studi
kasus etnografi: analisis kasus dari seseorang, kejadian, kegiatan dalam
perspektif budaya.

6.         Prosedur
Penelitian Etnografi

Menurut Creswell,
walau tidak ada satu cara saja dalam menititi etnografi namum secara umum
prosedur penelitian etografi adalah sbb:

a.       Menentukan
apakah masalah penelitian ini adalah paling cocok didekati dengan studi
etnogafi. Seperti telah kita bahas sebelumnya bahwa etnografi menggambarkan
suatu kelompok budaya dengan mengekloprasi kepercayaan, bahasa dan 
perilaku (etnografi realis); atau juga mengkritisi isu-isu mengenai kekuasaan,
perlawanan dan dominansi (etnografi kritis).

b.      Mengidentifikasi
dan menentukan lokasi dari kelompok budaya yang akan diteliti. Kelompok
sebaiknya gabungan orang-orang yang telah bersama dalam waktu yang panjang
karena disini yang akan diteliti adalah pola perilaku, pikiran dan kepercayaan
yang dianut secara bersama.

c.       Pilihlah
tema kultural atau isu yang yang akan dipelajari dari suatu kelompok. Hal ini
melibatkan analisis dari kelompok budaya.

d.      Tentukan
tipe etnografi yang cocok digunakan untuk memlajari konsep budaya tersebut.
Apakah etnografi realis ataukah etnografi kritis.

e.       Kumpulkan
informasi dari lapangan mengenai kehidupan kelompok tersebut. Data yang
dikumpulkan bisa berupa pengamatan, pengukuran, survei, wawancara, analisa
konten, audiovisual,pemetaan dan penelitian jaringan. Setelah data terkumpul
data tersebut dipilah-pilah dan dianalisa.

f.       Yang
terahir tentunya tulisan tentang gambaran atau potret menyeluruh dari kelompok
budaya tersebut baik dari sudut pandang partisipan maupun dari sudut pandang
peneliti itu sendiri.

Siklus penelitian
etnografi

1)             Pemilihan
suatu proyek etnografi

Siklus dimulai dengan
pemilihan suatu proyek etnografi kemudian peneliti etnografi    mempertimbangkan
ruang lingkup dari penyelidikan mereka.

2)             Pengajuan
pertanyaan etnografi

Dalam
sebuah etnografi seseorang dapat mengajukan sub-sub pertanyaan yang berhubungan
dengan (1) suatu deskripsi tentang konteks, (2) analisis tentang tema-tema
utama, dan (3) interpretasi perilaku cultural.

3)             Pengumpulan
data etnografi

Cara
pengumpulan data adalah denngan cara observasi partisipan, anda akan mengamati
aktivitas orang, karakteristik fisik situasin social, dan apa yang akan menjadi
bagian dari tempat kejadian selama pelaksanaan pekerjaan lapangan, apakah
seseorang mempelajari sebuah desa suku tertentu untuk satu tahun atau pramugari
pesawat udara untuk beberapa bulan, jenis observasi akan berubah.

4)             Pembuatan
Rekaman Etnografi

Tahap
ini mencakup pengambilan cacatan lapangan, pengambilan foto, pembuatan peta,
dan penggunaan cara-cara lain untuk merekam observasi anda.

5)             Analisis
data Etnografi

Terdapat Empat Jenis
Analisis:

a)      Analisis
domain

b)      Memperoleh
gambaran umum dan menyeluruh dari objek penelitianatau situasi social.

c)      Analisis
Taksonomi

d)     Menjabarkan
domain-domain yang dipilih menjadi lebih rinci
untuk    mengetahui struktur internalnya.

e)      Analisis
komponensial

f)       Mencari
ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan
cara  mengontraskan antarelemen.

g)      Analisis
tema budaya

h)      Mencari
hubungan di antara domain dan hubungan dengan keseluruhan, yang selanjutnya
dinyatakan ke dalam tema-tema sesuai dengan fokus dan subfokus penelitian.

6)             Penulisan
sebuah Etnografi

        Penulisan
sebuah etnografi memaksa penyelidik ke dalam suatu jenis analisis yang lebih
intensif. Peneliti etnografi hanya dapat merencanakan dari awal perjalanan penyeledikan
mereka kedalam pegertian yang paling umum.




Sharing Materi Seminar Finance & Accounting Club : Iman Harymawan, Ph.D

Silahkan klik link dibawah ini untuk mengunduh materi

Link Materi :

Research In Accounting & Finance




Beda Rumusan masalah dan Pertanyaan penelitian

Masih sering ditemukan dalam bab 1 skripsi mahasiswa strata 1 ekonomi, isi dari rumusan masalah berbentuk pertanyaan penelitian. Hal ini sebenernya kurang tepat, karna sebenarnya masalah penelitian berbeda dengan pertanyaan penelitian.

Masalah penelitian merupakan penyebab atau alasan seseorang melakukan penelitian, sedangkan pertanyaan penelitian merupakan manifestasi atau bentuk penegasan masalah yang akan dicari jawabannya dalam bentuk kalimat tanya.

Mungkin gampangnya kita contohkan sebagai berikut:

Rumusan Masalah:

Seperti anjuran dokter untuk menjaga kesehatan maka saya disarankan makan setiap hari secara teratur. Walaupun saya sudah melaksanakan perintah dokter tersebut tetapi siang ini saya sakit perut.

Dari contoh Rumusan masalah di atas dapat kita simpulkan bahwasanya masalah yang ada adalah Hal yang janggal antara nasihat dokter yang diterapkan dengan rasa sakit yang diderita. Dari rumusan masalah / masalah penelitian tersebut dibentuklah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Apakah makanan yang saya makan pagi tadi bermasalah
  2. Apakah minuman yang saya makan pagi tadi bermasalah

 

Penelitian dalam bentuk Empiris seperti yang sering dilakukan mahasiswa sarjana ekonomi, baik akuntansi maupun manajemen umumnya membahas mengenai pembuktian teori. Masalah penelitian dan pertanyaan penelitian yang dapat dibentuk dalam mengerjakan penelitian empiris umumnya dilakukan dengan cara komparasi atau membandingkan antar pengaruh dari variabel yang sama pada penelitian yang berbeda. Contoh:

Masalah penelitian:

Adi (2015) menemukan hasil bahwa LDR dan CAR berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan sementara Yono (2016) menemukan hasil bahwa LDR dan CAR tidak mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Dikarenakan terdapat ketidakonsistenan hasil dari penelitian terdahulu maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh LDR dan CAR terhadap profitabilitas perusahaan.

Dari contoh di atas dapat kita simpulkan bahwasanya masalah dalam penelitian adalah ketidak konsistenan hasil dari penelitian yang pernah ada. Dari rumusan masalah / masalah penelitian tersebut dibentuklah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

  1. Apakah LDR berpengatuh terhadap profitabilitas perusahaan.?
  2. Apakah CAR berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan.?



Tutorial Menulis Esai Pendek

Kegiatan tulis-menulis bukanlah hal mudah untuk dilakukan, baik yang formal maupun informal. Namun siapa saja pastinya dapat menulis dengan baik apabila dia dapat menguraikan idenya dengan teratur dan terarah. Tutorial yang saya ingin sampaikan di sini adalah ide mengenai tahap-tahap menulis esai yang baik yang pernah saya pelajari, terutama jika tulisan yang ingin dibuat adalah tulisan esai formal. Walau begitu menurut saya pribadi tahap menulis yang akan saya paparkan berikut tetap akan bermanfaat untuk bentuk tulisan apapun sehingga tulisan kita dapat lebih dipahami oleh pembaca.

Esai yang baik biasanya terdiri dari 3 bagian tulisan, 1. Pendahuluan (introduction) 2. Isi (body) 3. Penutup/kesimpulan (conclusion).

Menulis Paragraf Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan biasanya dapat ditulis hanya dalam satu paragraf mengenai ide/topik yang ingin kita tulis untuk esai tersebut, dilanjutkan dengan kalimat-kalimat yang berisi tentang ide pendukung dari topik tersebut sebagai kerangka menuju bagian paragraf isi sehingga pembaca dapat mengetahui topik yang akan mereka baca dan apa saja ide pendukung yang akan mereka baca di paragraf-paragraf selanjutnya sehingga akhirnya mereka merasa tertarik untuk terus membaca esai tersebut sampai habis.

Menulis Paragraf- Paragraf Isi
Paragraf-paragraf isi jumlahnya bergantung pada ide pendukung yang sudah disampaikan oleh penulis di paragraf pendahuluan. Misalnya topik esai adalah tentang tipe mahasiswa pada saat ujian dan paragraf isi dapat berupa tipe-tipe mahasiswa tesebut, yang kemudian tiap tipenya saya tuliskan dalan setiap paragraf dengan detil. Seandainya tipe mahasiswa tersebut ada 3, maka paragraf isi pun akan ada minimal 3 paragraf. Di paragraf isi itulah penulis akan mengembangkan ide pendukung yang sebelumnya sudah disampaikan berupa kerangka pada pargraf pendahuluan.

Menulis Paragraf Penutup/Kesimpulan
Paragraf penutup cukup ditulis dalam satu paragraf berisi kesimpulan dari hal-hal yang telah ditulis. Biasanya pada paragraf penutup akan ada pengulangan kerangka paragraf isi yang singkat, sehingga pembaca diingatkan mengenai apa saja yang telah dibacanya pada paragraf-paragraf sebelumya dan ini sangat penting bagi penulis, karena pastinya seorang penulis berharap para pembacanya dapat mengingat tulisannya dengan baik.
Demikian tutorial menulis esai yang dapat saya sampaikan. Berikut ini link ke tulisan saya yang kurang lebih mengikuti tahapan penulisan yang sudah saya jelaskan tadi (http://adelinguist.blogspot.com/2015/02/iseng-nulis-tipe-mahasiswa-saat-ujian.html), namun karena tulisannya informal, paragraf-paragraf yang saya tulis lebih bebas, panjang, dan tidak mengikuti persis aturan atau tahapan yang baku yang saya telah jelaskan. Walau begitu jika tulisannya lebih formal biasanya aturannya lebih ketat sehingga kita diharapkan dapat mematuhi tahapan yang sudah baku. Contoh lain untuk esai yang benar-benar mengikuti tahapan yang ada dapat dilihat di bawah ini
“The Hazards of Movie going”
Source: John Langan “College Writing Skills with Readings”

I am a movie fanatic. When friends want to know what picture won the Oscar in 1980 or who played the police chief in Jaws, they ask me. My friends, though, have stopped asking me if I want to go out to the movies. The problems in getting to the theater, the theater itself, and the behavior of some movie-goers are all reasons why I often wait for a movie to show up on TV.

First of all, just getting to the theater presents difficulties. Leaving a home equipped with a TV and a DVD-player isn’t an attractive idea on a humid, cold, or rainy night. Even if the weather cooperates, there is still a thirty-minute drive to the theater down a highway, followed by the hassle of looking for a parking space. And then there are the lines. After hooking yourself to the end of a human chain, you worry about whether there will be enough tickets, whether you will get seats together, and whether many people will sneak into the line ahead of you.

Secondly, once you have made it to the box office and bought your tickets, you are confronted with the problems of the theater itself. If you are in one of the run-down older theaters, you must adjust to the dusty smell of seldom-cleaned carpets. Broken springs hide in the cracked leather seats, and half the seats you sit in seem loose or tilted so that you sit at a strange angle. The newer theaters with small rooms next to each other offer their own problems.
Sitting in an area only one-quarter the size of a regular theater, movie-goers often have to put up with the sound of the movie next door. This is especially upsetting when the other movie involves racing cars or a karate war and you are trying to enjoy a quiet love story. And whether the theater is old or new, it will have floors that seem to be coated with rubber cement. By the end of a movie, shoes almost have to be ripped off the floor because they have become sealed to a deadly mix of spilled soda, hardening bubble gum, and crushed candy.

Thirdly, some of the movie-goers are even more of a problem than the theater itself. Little kids race up and down the aisles, usually in giggling gangs. Teenagers try to impress their friends by talking back to the screen, whistling, and making what they consider to be hilarious noises. Adults act as if they were at home in their own living rooms and comment loudly on the ages of the stars or why movies aren’t as good anymore. And people of all ages crinkle candy wrappers, stick gum on their seats, and drop popcorn tubs or cups of crushed ice and soda on the floor. They also cough and burp, squirm endlessly in their seats, file out for repeated trips to the rest rooms or kiosk, and elbow you out of the armrest on either side of your seat.

In conclusion, after arriving home from the movies one night, I decided that I was not going to be a movie-goer anymore. I was tired of the problems involved in getting to the movies and dealing with the theater itself and some of the patrons. The next day I arranged to have cable TV service installed in my home. I may now see movies a bit later than other people, but I’ll be more relaxed watching box office hits in the comfort of my own living room.

Semoga bermanfaat. Saya berharap apabila berkenan teman-teman dapat memberikan saran yang membangun. Terima kasih.

Jakarta, 25 Januari 2011

Adelina




Studi Kasus Mata Kuliah Etika Profesi TIK Gasal 2014

Etika adalah lebih dari sekedar mengatakan sesuatu melanggar hukum atau tidak, namun merupakan kemampuan untuk dapat mendefinisikan apa yang benar/boleh dilakukan dan salah/tidak boleh dilakukan.

Etika juga sangat bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh seseorang, termasuk nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya, dan tentunya hukum yang berlaku.

Berikut adalah kumpulan blog mahasiswa Teknik Informatika FTI Perbanas Institute, terkait studi kasus pelanggaran hukum dan etika pada bidang TIK di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir:

Dimas dan “Etika Profesi” : Sebuah blog untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi 

Tugas Etika Profesi oleh Wahyu Wahono

Beberapa kasus pelanggaran Etika TIK di Indonesia

Etika Profesi by Dimas Rahman

Etika Profesi by Andhika

Etika Profesi pada bidang ITE

 

 

 

 

 

 




Pentingnya transformasi organisasi untuk keberlangsungan hidup perusahaan (Studi kasus PT. SIDOMUNCUL) oleh Abdul Latief (UAS Seminar Sistem Informasi)

Pentingnya Transformasi Organisasi untuk keberlangsungan hidup Perusahaan

(Studi kasus PT. SIDOMUNCUL)

 

Abdul Latief[1]

111000501

Email : Abdullatief009@gmailcom

 

 

Abstrak

Di zaman seperti sekarang perusahaan dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasinya atau melakukan transformasi organisasi agar dapat bertahan di tengah persaingan yang ketat, dan salah satu perusahaan yang dapat bertransformasi mengikuti perkembangan zaman adalah PT SIDOMUNCUL dari perjalanannya menjadi Homeindustry hingga sekarang menjadi perusahaan besar bahkan sampai ke Singapore[2], hal ini dapat terjadi karena mereka melakukan transdormais organisasi mereka itulah efek positif jika perusahaan melakukan tranformasi organisasi sehingga mereka bisa terus berproduksi, jika mereka tidak melakukan ini mereka tidak akan berkebang bahkan mungkin tegerus oleh para kompetitornya seperti yang di alami oleh Nokia, oleh karena pentingnya transformasi organisasi ini bagi perusahaan, perusahaan yang ingin melakukan tranformasi dapat menggunakan 4 pendekatan yaitu 4R (Reframing,Restructure, Revitaliztion dan Renewal dan didukung dengan sistem informasi yang baik.

 

Prolog

Dewasa ini sudah banyak perusahaan-perusahaan yang telah melakukan transformasi organisasi tentunya hal ini dilakukan oleh pihak perusahaan khusus para pemegang keputusan (Decision maker) agar perusahaan dapat terus berkembang dan menyesuaikan diri agar dapat tetap bersaing di pasarnya, jika perusahaan tidak melakukan perubahan dengan cepat maka kemungkinan perusahaan itu akan kalah saing dan tentunya dapat berakhir dengan gulung tikar atau bangkrut beberapa perusahaan gulung tikar seperti Batavia Air, Adam Air, dll. Ditambah dengan kebijakan luar perusahaan seperti kebijakan pemerintah yang baru-baru ini dikeluarkan prihal kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) dan juga kebijakan UMR (Upah Minimum Regional), keadaan-keadaan ini menuntut perusahaan yang ada untuk melakukan transformasi organisasi agarperusahaan dapat terus berjalan. Nur saiydah mengatakan dalam jurnalnya “Perubahan organisasi merupakan hal yang esensial untuk persaingan jangka pendek dan keberlangsungan jangka panjang, yang menjadi tantangan manajerial.”[3]

Dalam kasus kasus PT SIDOMUNCUL ini kita bisa lihat beberapa kali tranformasi organisasi dimulai 1940 merintis usaha jamu dengan hanya tiga karyawannya awal produksi pada tahun 1941 dan pada 1950 diberi nama SIDOMUNCUL pada tahun 1970 di buat CV Industri Jamu & Farmasi  dan 1975 menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul karena tidak mampu memenuhi produktivitas perusahaan pada 1984 dipindahkan di Jalan Kaligawe Semarang dan juga meremajakan alat-alat menjadi alat-alat yang lebih modern, 1997 mendirikan pabrik baru, tahun 2004 dibuat divisi “food” seperti produksi permen dan produk lainnya dan pada tahun 2013 masuk pada Bursa efek[1]. Dari kisah diatas kita melihat kesungguhan SIDOMUNCUL untuk terus berkembang dan beberapa kali kebijakan dibuat seperti perusahaan menjadi CV lalu menjadi Perseroan samapai pemindahan lokasi pabrik, membuat produksi lain dengan mendirikan divisi “food” dan juga masuk ke pasar saham, dengan jumlah 1.500.000.000 saham baru atau 10% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO, Irwan hidayat selaku Direktur utama mengatakan mengalokasian dana dari IPO setelah dikurangi biaya emisi 56 % untuk modal kerja, 42% untuk investasi dan 2 % untuk pegembangan sistem teknologi informasi dan komputerisasi perseroan[2]. Para pemangku jabatan di SIDOMUNCUL telah melakukan banyak hal untuk melakukan transformasi organisasi yang mana untuk keberlangsungkan hidup perusahaan. Ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari proses unit usaha kecil SIDOMUNCUL sampai menjadi Peseroan seperti terus berkembang dan berinovasi, memperbarui fasilitas perusahaan termasuk Sistem informasi.

[…………………………………………………………………………………………]

 

Selengkapnya di:

Transformasi Organisasi untuk keberlangsungan hidup




Menyatukan Public Relations dan Marketing dengan Social Media oleh Detti Apriliani Garniti (UAS Seminar Sistem Informasi)

Menyatukan Public Relations dan Marketing
dengan Social Media
Detti Apriliani Garniti
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Asean Banking Finance and Informatics Institute Perbanas
Jakarta, Indonesia
detti.1307@gmail.com
Abstrak : Tingginya persaingan di dunia bisnis membuat perusahaan berlomba-lomba menangkap hati para pelanggan dengan tujuan mempertahankan dan mencari pelanggan baru. Berbagai cara ditempuh oleh perusahaan tersebut agar mereka dapat lebih dekat dengan para pelanggan sehingga pelanggan dapat dengan mudah menikmati produk-produk mereka. Internet membuat dunia semakin tidak mengenal batas sehingga semua orang dapat terhubung walau dipisahkan oleh lautan dan benua. Pemanfaatan internet dalam menggapai
pelanggan menjadi solusi optimal bagi setiap perusahaan. Pemanfaatan social media oleh para pemain bisnis telah berhasil digunakan untuk mendekati pelanggan dengan cepat, dan efisien. Social media berhasil menyatukan fungsi public relations, dan marketing, sehingga mampu membuat perusahaan semakin dekat dengan pelanggan.
Prolog
Persaingan dalam dunia bisnis telah mencapai kondisi yang disebut sebagai red ocean dimana persaingan menjadi sangat ketat dan jenuh (Kim dan Mauborgne, 2004). Para pemain bisnis berlomba-lomba memperebutkan bagian paling besar dalam pasar permintaan yang tidak
bertambah banyak. Hal ini membuat prospek untuk mendapatkan profit dan growth menjadi lebih kecil. Recurring revenue menjadi satu-satunya cara bagi perusahaan untuk tetap bertahan dalam industri. Model bisnis kini lebih berfokus untuk mempertahankan loyalitas
pelanggan sehingga mereka akan tetap membeli produk yang dibuat oleh perusahaan berulang-ulang.

Ketika era industrialisasi di Inggris baru berlangsung, perusahaanlah yang menentukan keberhasilannya sendiri dengan hanya memproduksi barang sesuai dengan perhitungan untung-rugi yang sederhana dan pasar pasti akan menyerap semua produk tersebut . Namun, ada abad ini konsumen, yang membentuk pasar, seolah-olah menjadi pelaku tunggal penentu keberhasilan perusahaan. Konsumen atau pelanggan sekarang tidak sama dengan konsumen atau pelanggan di masa lalu. Konsumen masa kini memiliki karakteristik semakin
demanding, cenderung tidak cepat puas, sensitif terhadap perubahan harga, dan mengalami pergeseran nilai-nilai sosial dan budaya.

[………………………………………………….]

Selengkapnya di:

Menyatukan Public Relations dan Marketing dengan Social Media Detti oleh Apriliani Garniti




EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI DAN PERKEMBANGAN E-GOVERNMENT PROGRAM e-KTP DI INDONESIA oleh Mardiana (UAS Seminar Sistem Informasi)

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI DAN PERKEMBANGAN E-GOVERNMENT PROGRAM e-KTP DI INDONESIA[1]

 

Mardiana 1111000490

Email: jayamardiana@gmail.com

Cell phone: +62-81511880-777[2]

 

Abstrak : Efektivitas implementasi dan perkembangan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam trasnformasi e-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik. Implementasi e-Government dalam program e-KTP mengingat potensi pemanfaatan e-KTP yang demikian besar bagi bangsa. Diharapkan dengan mulai diperbaikinya pelayanan administrasi kependudukan tingkat kesadaran penduduk terhadap kepemilikan identitas menjadi meningkat dan menimbulkan dampak positif terhadap program nasional e-KTP ini sehingga tercapai keselarasan untuk mencapai Good Government.

Keyword : ICT, e-Government, e-KTP, Good Government

Prolog

Pemanfaatan penyelenggaraan pemeritahan berbasis ICT (Information and Communication Technology) menuntut transformasi e-Government untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparasi, inovasi dan partisipasi. e-Government harus dipersiapkan secara terintegrasi antara sistem dan kebijakan birokrasi, karena keselarasan diperlukan sebagai prasyarat untuk mencapai transformasi agar dapat menghindari terjadinya kegagalan dan penurunan kinerja layanan. Mencerminkan satu definisi yang dibuat oleh Bank Dunia ( The World Bank Group, 2001 ) : “e-Government refers to the use by government agencies of information technologies (such as Wide Area Network, the internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens, business, and other arms of government”.[3]

[……………………………………………………..]

Selengkapnya di:

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI DAN PERKEMBANGAN E-GOVERNMENT PROGRAM e-KTP DI INDONESIA Mardiana 1111000490




Transformasi organisasi: Studi kasus PT Pertamina oleh Made Yogeswara (UAS Seminar Sistem Informasi)

A. Transformasi Organisasi
Transformasi. Ya, transformasi. Kata itu agak familiar dengan telinga kita. Bila menyinggung transformasi, maka akan langsung teringat dengan film “Transformers”. Film yang menceritakan tentang sebuah kendaraan biasa yang dapat berubah menjadi suatu robot yang hebat dan kuat yang mampu menyelamatkan dunia dengan melawan robot-robot jahat. Dari kalimat tersebut sudah dapat ditafsirkan mengenai apa itu transformasi, yaitu berubah, yang tentunya dalam konteks berubah menuju ke arah yang lebih baik. Kemudian dari perubahan dari mobil ke robot tersebut terdapat suatu tujuan untuk mengalahkan robot-robot yang jahat menguasai dunia. Sama halnya dengan transformasi, yang memiliki tujuan untuk mencegah hal yang buruk terjadi atau paling tidak meminimalisir terjadinya hal yang buruk.

Pada proses transformasi diri dari remaja ke dewasa, tentunya ada proses dimana kita belajar akan hal-hal dalam kehidupan, termasuk diantaranya hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Misalnya, pada saat remaja, kita tidak boleh merokok, tidak boleh mengkonsumsi narkoba, tidak boleh mabuk-mabukkan.
Lalu untuk apakah larangan itu? Tentunya agar dalam masa transformasi fisik kita dari remaja beranjak ke dewasa tidak mengalami hal-hal buruk yang disebutkan tadi, atau normalnya tidak terkena penyakit dan kecacatan. Kemudian pada proses transformasi pola pikir menuju kedewasaan pikiran, kita juga mengalami proses pembelajaran yang bersifat menyesuaikan terhadap keadaan disekitar kita, sebagai contoh adalah, sebagai pelajar, mengingat dari jenjang ke jenjang kita akan menerima pelajaran atau pendidikan yang semakin kompleks, kita “dituntut” untuk menyesuaikan pola pikir dan pola belajar kita terhadap kompleksitas pelajaran yang diterima.

[……………………………]

Selengkapnya di:

TRANSFORMASI ORGANISASI (DENGAN CONTOH KASUS PT PERTAMINA) – Made Yogeswara