PENELITIAN KUALITATIF : PENDEKATAN GROUNDED THEORY
B. GROUNDED
THEORY
1. Pengertian
Grounded Theory
Pendekatan
grounded teori (Grounded Theory Approach) adalah metode penelitian kualitatif
yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori dari
kancah. Pendekatan ini pertama kali disusun oleh dua orang sosiolog; Barney
Glaser dan Anselm Strauss. Untuk maksud ini keduanya telah menulis 4 (empat)
buah buku, yaitu; “The Discovery of Grounded Theory” (1967),
Theoritical Sensitivity (1978), Qualitative Analysis for Social Scientists
(1987), dan Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and
Techniques (1990). Menurut kedua ilmuwan ini, pendekatan Grounded Theory
merupakan metode ilmiah, karena prosedur kerjanya yang dirancang secara cermat
sehingga memenuhi keriteria metode ilmiah. Keriteria dimaksud adalah adanya
signifikansi, kesesuaian antara teori dan observasi, dapat digeneralisasikan,
dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta bisa dibuktikan. Dan merekajuga
mengatakan bahwa, penelitian seharusnya memunculkan konsep-konsep (variabel)
dan hipotesis berdasarkan data-data nyata yang ada di lapangan: “de-emphasis
on the prior step of discovering what concepts and hypotheses are relevant for
the area one wished to research. …In social research generating theory goes
hand in hand with verifying it; but many sociologists have diverted from this
truism in their zeal to test either existing theories or a theory that they
have barely started to generate”. yang berarti pada penekanan
pada langkah sebelumnya menemukan apa konsep dan hipotesis relevan untuk satu
bidang yang ingin diteliti….. dalam teori yang menghasilkan penelitian social
yang sejalan dengan membuktikanya, tapi banyak peneliti sosial yang mengalihkan
dari kebenaran yang mungkin tidak dapat disangkal kedalam semangat mereka untuk
menguji teori yang telah ada maupun yang baru saja mereka mulai untuk generasi
teori selanjutnya.
Sesuai
dengan nama yang disandangnya, tujuan dari Grounded Theory Approach adalah
teoritisasi data. Teoritisasi adalah sebuah metode penyusunan teori yang
berorientasi tindakan/interaksi, karena itu cocok digunakan untuk penelitian
terhadap perilaku. Penelitian ini tidak bertolak dari suatu teori atau untuk
menguji teori (seperti paradigma penelitian kuantitatif), melainkan bertolak
dari data menuju suatu teori. Untuk maksud itu, yang diperlukan dalam proses
menuju teori itu adalah prosedur yang terencana dan teratur (sistematis).
Selanjutnya, metode analisis yang ditawarkan Grounded Theory Approach adalah
teoritisasi data (Grounded Theory).
Pada
dasarnya Grounded Theory dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu-ilmu
sosial, namun demikian seorang peneliti tidak perlu ahli dalam bidang ilmu yang
sedang ditelitinya. Hal yang lebih penting adalah bahwa dari awal peneliti
telah memiliki pengetahuan dasar dalam bidang ilmu yang ditelitinya, supaya ia
paham jenis dan format data yang dikumpulkannya.
Grounded
Theory (GT) merupakan metodologi penelitian kualitatif yang berakar pada
kontruktivisme, atau paradigma keilmuan yang mencoba mengkontruksi atau
merekontruksi teori atas suatu fakta yang terjadi di lapangan berdasarkan pada
data empirik. Kontruksi atau rekontruksi teori itu diperoleh melalui analisis
induktif atas seperangkat data diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan.
Dalam
buku “Metodologi Penelitian” yang ditulis,Emzir, Secara Terperinci, Strauss dan
Corbin mendefinisikan Grounded Theory sebagai berikut :
A grounded Theory is
one of that is inductively derived from the study of phenomenon it
represents. That is, it is discovered, developed, and provisionally
verified through systematic data collection, analysis of data
pertaining to that phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory
stand in reciprocal relationship with each other. One does not begin with a
theory, then prove it. Rather one begins with an area of study and
what is relevant to that area as allowed to emerge.
Sesuai
dengan uraian diatas bahwa Teori dasar (GT) adalah suatu teori yang
secara induktif di peroleh dari pengkajian fenomena yang mewakilinya. Teori
tersebut ditemukan, dikembangkan, dan untuk sementara waktu dibuktikan melalui
penumpulan data yang sistematis, analisis data yang menyinggung fenomena
tersebut. Oleh karena itu , pengumpulan data, analisis data, dan teori berada
di dalam hubungan timbal balik satu dengan lainnya. Orang tidak mulai dengan
teori, orang mulai dengan suatu area kasus dan apa yang berkaitan dengan area
tersebut dibiarkan muncul.
Cresswell
dalam bukunya Educational Research menuliskan :
A grounded theory
design is a systematic, qualitative procedure used to generate a theory that
explains, at a broad conceptual level, a process, an action, or an interaction
about a substantive topic. In grounded theory research, this is a “process”
theory_ it explains an educational process of events, activities, actions, and
interactions that occur over time. Also, grounded theorist proceed through
systematic procedure of collecting data, identifying categories (used synonymously
with themes), connecting these categories, and forming a
theory that explains the process.
Seperti
yang telah dikemukakan oleh Creswell diatas bahwa Grounded Theory merupakan teori
yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena sebuah
prosedur peneliti kualitatif yang sistematis. Pendekatan Grunded
theory merupakan suatu cara yang terdiri dari serangkaian tahap yang dilakukan
secara cermat yang dianggap memberi jaminan suatu teori yang baik sebagai hasil
atau secara kualitas dianggap baik.
2. Ciri-Ciri
Utama Penelitian Grounded Theory
Seperti
terungkap dari paparan latar belakang di atas, penggunaan
danpengembangan di berbagai disiplin ilmu membuat GT terbagi dalam tiga
pendekatan. Meskipun demikian, ketiga pendekatan itu, dan juga desain-desain
yang diterapkan secara khusus dalam berbagai bidang ilmu, tetap menggunakan
konsep dasar dalam The Discovery of Grounded Theory sebagai titik tolak
(Goulding, 1999). Oleh sebab itu, untuk memahami GT secara lebih komprehensif,
elemen-elemen yang terkandung dalam setiap pendekatan perlu dikaji secara
seksama. Menurut Creswell (2008: 440), ada enam karakteristik dari penelitian
Grounded Theory. Enam karakteristik tersebut adalah : Process approach,
Theoretical sampling, Constant comparative data analysis, a core category,
theory generalization, and memos.
a.
Process approach
Dalam
penelitian GT, proses merujuk pada urutan tindakan-tindakan dan interaksi antar
manusia dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan sebuah topik, seperti
pengalihbahsaan novel Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia. Dalam topik
seperti ini, berdasarkan transkrip wawancara atau catatan pengamatan yang
dilakukan pada partisipan, peneliti GT dapat mengidentifikasi dan mengisolasi
tindakan-tindakan dan interaksi antar manusia, seperti interaksi antara
penerbit dan penterjemah pada saat negoisasi, tindakan- tindakan yang dilakukan
penterjemah selama proses pengalihbahasaan, dan sebagainya. Aspek-paspek yang
diisolasi ini disebut kategori-kategori, yang digunakan sebagai tema-tema
informasi dasar dalam rangka memahami suatu proses.
b. Theoretical
sampling
Sebagaimana
lazimnya dalam penelitian kualitatif, instrumen pengumpul data penelitian GT
adalah peneliti sendiri. Data-data yang dikumpulkan dapat berbentuk transkrip
wawancara, percakapan, catatan wawancara, dokumen-dokumen publik, buku harian
dan jurnal responden, dan catatan reflektif peneliti (Charmaz, dalam Creswell,
2008: 442) . Proses pengumpulan data itu dilaksanakan dengan mengunakan ada dua
metode secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam (depth
interview). Bentuk data yang paling sering digunakan berbagai peneliti adalah
hasil wawancara karena data seperti ini lebih mampu mengungkapkan pengalaman
responden dalam kata-kata mereka sendiri. Hal yang spesifik yang membedakan
pengumpulan data pada penelitian GT dari pendekatan kualitatif lainnya adalah
pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak, pada GT sangat
ditekankan untuk menggali data perilaku yang sedang berlangsung (life history)
untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat
kausalitas. Seorang peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan
“Mengapa suatu kondisi terjadi?”, “Apa konsekwensi yang timbul
dari suatu tindakan/reaksi?”, dan “Seperti apa tahap-tahap kondisi,
tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung?”
Dalam
GT, masalah sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan
pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan cara penyampelan teoritik. Penyampelan teoritik merupakan
pengambilan sampel yang dilakukan peneliti dengan cara memilih data-data atau
konsep-konsep yang terbukti berhubungan dengan dan mendukung secara teoritik
teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena
yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab
masalah penelitian. Sebagai contoh, jika peneliti sedang meneliti
“tingginya kecenderungan penerbitan novel-novel horror terjemahan”, penikmat
(pembaca) novel-novel horor merupakan kandidat yang paling sesuai untuk
diwawancarai. Penterjemah, penerbit, dan kritisi sastra memang dapat dijadikan
sumber informasi yang relevan, namun peran mereka tidak begitu sentral karena
penerbitan bahan bacaan sangat ditentukan oleh konsumen (pembaca).
Paparan
ini mengungkapkan bahwa pada dasarnya yang di sampel dalam penelitian GT bukan
obyek formal penelitian (orang atau benda-benda), melainkan obyek material yang
berupa fenomena-fenomena yang sudah dikonsepkan. Akan tetapi, karena fenomena
itu melekat dengan subyek (orang atau benda), maka dengan sendirinya obyek
formal juga ikut disampel dalam perses pengumpulan atau penggalian fenomena..
Subyek-subyek yang diteliti secara berproses ditentukan di lapangan, ketika pengumpulan
data berlangsung. Cara penyampelan inilah yang disebut dalam penelitian
kualitatif sebagai snow bowl sampling.
Sesuai
dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam GT diarahkan
dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean. Ada tiga
pola penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan kegiatan
pengumpulan data; (a) penyampelan terbuka, (b) penyampelan relasional dan
variasional, serta (c) penyampelan pembeda.
c.
Constant comparative data analysis
Dalam
penelitian GT, peneliti terlibat dalam proses pengumpulan data,
pengelompokan data ke dalam kategori-kategori, pengumpulan data tambahan, dan
pembandingan informasi yang baru itu dengan kategori-kategori yang muncul.
Proses pengembangan kategori-kategori informasi yang berlangsung secara
perlahan-lahan ini dinamai prosedur perbandingan konstan (constant comparative
procedure). Perbandingan konstan ini merupakan prosedur analisis data induktif
yang digunakan untuk memunculkan dan menghubungkan kategori-kategori dengan
cara membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, satu peristiwa
dengan satu kategori, dan satu kategori dengan kategori lainnya.
d.
A core category
Dari
seluruh kategori utama yang diperoleh dari data, peneliti memilih satu kategori
sebagai inti fenomena dalam rangka merumuskan teori. Setelah mengidentifikasi
beberapa kategori (misalnya, 8 hingga 10—tergantung pada besarnya data,
peneliti memilih satu kategori inti sebagai basis penulisan teori.
Berikut
ini adalah enam kriteria untuk menentukan kategori inti (Strauss and
Corbin, dalam Creswell, 2008: 444).
(a) It
must be central ; that is, all other major categories can relate to it.
(b) It
must appear frequently in the data. This mean that within all or almost all
cases, there are indicators pointing to the concept.
(c) The
explanation that evolves by relating the categories is logical and consistent,
there is no forcing of data.
(d) The
name or phrase used to describe the central category should be sufficiently
abstract.
(e) As
the concept is refined, the theory grows in depth and explanatory power.
(f) When
conditions vary, the explanation still holds, although the way in which a
phenomenon is expressed might look somewhat different.
Pemaparan di
atas memperlihatkan bahwa memilih kategori inti terlalu awal
adalah sangat riskan. Akan tetapi, bila terlihat bahwa salah satu kategori
mucul dengan frekuensi tinggi dan terhubung dengan jelas pada
kategori-kategori lain, kategori itu dapat dipilih sebagai kategori inti.
e. Theory
generation (Penurunan Teori)
Dalam
penelitian GT, yang dimaksud dengan teori adalah penjelasan atau
pemahaman yang abstrak tentang suatu proses mengenai sebuah topik
substantif yang didasarkan pada data. Teori ini disusun oleh peneliti
sewaktu mengidentifikasi kategori inti dan kategori-kategori proses yang
menjelaskannya. Karena teori ini dilandaskan pada fenomena yang spesifik,
teori ini tidak dapat diaplikasikan digeneralisasikan secara meluas pada
fenomena lain. Oleh karena itu, Charmaz (dalam Creswell, 2008:
446) mengatakan teori ini bersifat “middle range”, ditarik dari beberapa
individual atau sumber data dan memberi penjelasan yang akurat hanya pada
sebuah topik yang substantif.
f. Memos
Dalam
penelitian GT, memo merupakan catatan-catatan yang dibuat peneliti
untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan
kategori-kategori yang dikodekan. Dengan kata lain, memo merupakan catatan
yang dibuat peneliti bagi dirinya sendiri dalam rangka menyusun hipotesis
tentang sebuah kategori, kususnya tentang hubungan-hubungan antara
kategori-kategori yang ditemukan.
3. Prinsip-Prinsip
Metodologi Grounded Theory
Haig, 2004 (dalam
Emzir, 2011: 196) mengemukakan beberapa prinsip grounded theory yaitu ;
a. Perumusan
Masalah Penelitian
Sebagai
penelitian berparadigma kualitatif, GT mengasumsikan bahwa di
dalam kehidupan sosial selalu ditemukan regulasi-regulasi yang relatif
sudah terpola. Pola- pola regulasi yang ditemukan melalui
penelitian itulah yang dirumuskan menjadi teori. Substansi rumusan masalah
dalam pendekatan GT masih bersifatumum, yaitu dalam bentuk pertanyaan yang
masih memberi kelonggaran dankebebasan untuk menggali fenomena secara luas, dan
belum sampai menegaskanmana saja variabel yang berhubungan dengan ruang lingkup
masalah dan mana yangtidak. Demikian pula tipe hubungan antarvariabelnya belum
perlu dieksplisitkandalam rumusan masalah yang dibuat.
Seperti
lazimnya pada setiap penelitian, rumusan masalah yang disusun pada tahap awal
adalah yang memiliki substansi yang jelas serta diformulasikan dalam
bentuk pertanyaan. Ciri rumusan masalah yang disarankan dalam GT adalah;
(1) berorientasi pada pengidentifikasian fenomena yang diteliti; (2)
mengungkap secara tegas tentang obyek (formal dan material) yang akan
diteliti, serta (3) berorientasi pada proses dan tindakan. Contoh rumusan
masalah awal pada GT; “Bagaimanakah novel detektif Inggris
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?” Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan
masalah ini bermaksud untuk; (1) mengenali secara tepat dan
mendalam proses penerjemahan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, (2) obyek formal penelitian adalah penterjemah yang sedang
menerjemahkan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa Indonesia;
sedangkan obyek materialnya adalah metode yang dilakukan oleh penterjemah
itu dalam menyelesaikan penerjemahan novel dimaksud, dan (3) orientasi
utama yang disoroti adalah tahapan dan teknik-teknik penterjemahan yang
dipilih.
b. Deteksi Fenomena
Fenomena
stabil secara relative, cirri umum yang muncul dari dunia yang kita lihat untuk
dijelaskan. Fenomena meliputi cakupan ontologism yang bervariasi yang
meliputi objek, keadaan, proses, dan peristiwa, serta cirri-ciri lain yang
sulit digolongkan. Oleh karena itu, lebih baik mendiskripsikan fenomena dalam
istilah perannya sebagai objek khusus pejelasan dan prediksi.
c. Penurunan theory (theory generation)
Penurunan
teori dalam grounded theory menurut Strauss dan Glaser, bahwa grounded theory
muncul secara induktif dari sumber data sesuai dengan metode perbandingan tetap
(constant comparison). Kemudian Strauss dan Glaser juga mengkritisi teori
Logico deductive theorizing yaitu metode hipoteka-deduktif (pengambilan teori
atau hipotesis dan mengujinya secara tidak langsung dengan memperoleh
konsekuensinya yang merupakan ketersediaan mereka menguji langsung secara
empiris) bahwa pertama, teori deduktivisme melebih-lebihkan dalam penempatan
pengujian teori dalam ilmu pengetahuan, dan kedua, penalaran induktif dapat
membentuk perumusan ide-ide teoritis.
d. Pengembangan teori
Dalam
pengembangan teori grounded theory tidak hanya berhenti dalam pengembangan
teori secara hypothetico deductive ortodoks, karena penelitian ini belum
dikembangkan secara teoritis, oleh karena itu, dalam pengembangan teori ini
seorang peneliti memiliki pengetahuan tentang hakikat mekanisme kausal dan
membangun mekanisme dengan membayangkan sesuatu yang sama dengan mekanisme
alami yang kita ketahui. Peneliti juga disarankan untuk secara konstan waspada
terhadap persepektif baru yang mungkin membantu mereka mengembangkan teori
dasar mereka, walaupun mereka tidak menyelidiki poin tersebut secara mendetail
(Strauss & Glaser dalam Emzir, 2011: 206).
e.
Penilaian Theory
Dalam
penilaian ini, aliran empirisme yang dominan tentang penilaian teori dicirikan
dalam pertunjukan hipotetiko deduktif normal, dimana teori ditaksir kecukupan
empirisnya dengan memastikan apakah prediksi tesnya dibuktikan oleh data yang
relevan. Sedangkan Glaser & Strauss tidak menyatakan perhitungan yang tepat
menyangkut hakikat dan tempat pengujian teori dalam ilmu social, mereka
menjelaskan bahwa ada yang lebih pada penilaian teori dari pada pengujian untuk
kecukupan empiris.
f.
Grounded theory yang direkontruksi
Pengaruh
pragmatism Amerika pada metodologi grounded theory berbagai macam, dampak
filosofi kontemporer ilmu pengetahun pada tulisan Glaser dan Strauss
hamper tidak ada. Hal ini pun juga dirasakan oleh ahli pragmatics seperti
Dewey. Akan tetapi, Glaser & Strauss tetap mengabaikan pengembangan yang
bersangkutan didalam metodologi filosofis.perlu diingat bahwa asal ahli
pragmatism grounded theory, sebagai suatu rekontruksi filosofis, tidak harus
dipahami sebagai suatu laporan akurat dari perhitungan Glaser dan Strauss
tentang grounded theory.
4. Metode
Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data dalam penelitian grounded theory adalah wawancara. Menurut
Strauss & Corbin, dalam Cresswel 1998 (Emzir, 2011: 209-210) wawancara
dilakukan untuk mengumpulkan data, dimana wawancara dilakukan untuk menyerap
(satarute) (menemukan informasi yang kontinu untuk menambah hingga tidak ada
lagi yang dapat ditemukan) kategori. Suatu kategori mewakili unit informasi
yang tersusun dari peristiwa, kejadian, dan instansi. Peneliti juga
menganalisis dan mengumpulkan pengamatan dan dokumen tetapi bentuk data ini
tidak biasa. Menurut Creswell (Emzir, 2011: 210) menyatakan pengumpulan data
dalam studi grounded theory merupakan proses zigzag, keluar lapangan untuk
memperoleh informasi, menganalisis data, dan seterusnya. Partisipan
diwawancarai secara teoritis dalam theoretical sampling untuk membentuk teori
yang paling baik. Proses pengambilan informasi melalui pengumpulan data dan
membandingkannya dengan kategori yang muncul disebut metode komparatif konstan
(constant comparative) analisis data (Creswell, 1998 dalam Emzir, 2011: 210).
5. Proses
Analisis Data
Menurut
Emzir (2011: 210) menyatakan bahwa proses analisis data dalam penelitian
Grounded Theory bersifat sistematis dan mengikuti format standar sebagai
berikut:
a. Pengodean
terbuka (open coding), peneliti membentuk
kategori awal dari informasi tentang fenomena yang dikaji dengan pemisahan
informasi menjadi segmen-segmen. Pengodean terbuka adalah bagian analisis yang
berhubungan khususnya dengan penamaan dan pengategorian fenomena melalui
pengujian data secara teliti. Ada dua prosedur analisis dasar untuk proses
pengodean, yaitu; 1) membuat perbandingan, dan 2) membuat konsep-konsep dalam
grounded theory.
Adapun prosedur
analisis data dalam pengodean terbuka adalah, sebagai berikut:
– Pelabelan
fenomena, konsep merupakan unit analisis dalam metode grounded theory, karena
konseptualisasi data adalah langkah awal dalam analisis dengan penguraian dan
pengkonsepan, berarti kita memisah-misahkan amatan, kalimat, paragraph, dan
memahami insiden, idea tau peristiwa-peristiwa diskrit dengan sesuatu yang
mewakili suatu fenomena.
– Penemuan
kategori, proses pengelompokan konsep-konsep yang dianggap berhubungan dengan
fenomena yang sama disebut pengkategorian (categorizing). Fenomena yang
digambarkan oleh suatu kategori adalah konseptual, meskipun nama ini harus
abstrak dari pada nama yang diberikan terhadap konsep yang dikelompokan
dibawahnya. Kategori memiliki daya konseptual karena mampu mencakup kelompok
konsep atau kategori yang lainya.
– Penamaan
kategori, dalam penamaan sebuah kategori merupakan hal yang penting, agar anda
dapat dapat mengingatnya, membahasnya, dan mengembangkanya secara analitik.
– Penyusunan
kategori berdasarkan sifat dan ukuranya, dalam penyusunan kategori hal yang
pertama yang harus dilakukan adalah sifatnya, kemudian diukur. Sifat
adalah karakteristik atau atribut dari suatu kategori, dan ukuran menunjukan
lokasi dari pada suatu kontinum. Proses pengkodean terbuka tidak hanya
mendorong penemuan kategori namun juga sifat dan ukurannya.
– Variasi
cara pengodean terbuka, ada beberapa cara pendekatan terhadap proses pengodean
terbuka, yaitu; a) analisis baris per baris (menganalisis wawancara dan
pengamatan), b) pengkodean perkalimat atau paragraph, dan c) menggunakan
seluruh dokumen, pengamatan, wawancara, dan bertanya.
– Penulisan
catatan kode, terdapat banyak cara khusus yang berbeda dalam melakukan
pencatatan ini, dan setiap orang harus menemukan metode yang bekerja paling
baik untuk dirinya. Pengkodean merupakan proses penguraian data, pengkonsepan,
dan penyusunan kembali dengan cara baru. Inilah proses utama penyusunan teori
dari data.
b. Pengodean
berporos(axial coding), seperangkat prosedur
penempatan data kembali dengan cara-cara baru setelah pengodean terbuka, dengan
membuat kaitan antar kategori. Ini dilakukan dengan memanfaatkan paradigm
pengodean yang mencakup kondisi, konteks, strategi aksi/interaksi, dan
konsekuensi. Adapun model paradigm dalam pengodean berporos, yaitu; 1) kondisi
kausal, peristiwa, insiden, kejadian yang menyebabkan terjadinya atau
berkembangnya suatu fenomena. 2) fenomena, gagasan utama, peristiwa, kejadian,
insiden utama di seputar aksi atau interaksi yang ditujukan untuk mengelola,
mengatasi, atau mengaitkan sejumlah tindakan. 3) konteks, sejumlah sifat
tertentu yang berhubungan dengan fenomena, yaitu lokasi kejadian atau insiden
yang terkait dengan suatu fenomena sepanjang kisaran ukuran. Konteks menunjukan
sejumlah kondisi dilaksanakannya strategi aksi/interaksi. 4) kondisi perantara,
kondisi structural yang berhubungan dengan suatu fenomena. Kondisi tersebut
dapat mendukung atau menghambat strategi yang digunakan dalam konteks tertentu.
5) strategi tindakan/interaksional, strategi yang dirumuskan untuk mengelola,
mengatasi, melaksanakan, dan menanggapi fenomena dalam sejumlaah kondisi
tertentu yang dirasan. Dan 6) konsekuensi, hasil/akibat dari tindakan, dan
interaksi.
c. Pengodean
selektif (selective coding), proses pemilihan
kategori inti, pengaitan kategori inti terhadap kategori lainnya secara
sistematis, pengabsahan hubungannya, mengganti kategori yang perlu diperbaiki
dan dikembangkan lebih lanjut. Kategori inti adalah fenomena utama yang menggabungkan
kategori lainnya. adapun dalam pengodean selektif ini dapat dilakukan dengan;
1) menjelaskan dan menganalisis alur cerita (menjelaskan alur cerita,
mengidentifikasi cerita, konseptualisasi alur cerita, menentukan fenomena yang
menonjol, dan hambatan dalam menjelaskan alur cerita). 2) mengaitkan kategori
lain diseputar kategori (kembali ke cerita, dan kesulitan dalam pengurutan
kategori), 3) menentukan sifat dan ukuran inti cerita, 4) Mengabsahkan hubungan
(mengungkap pola-polanya, mensistematiskan dan menetapkan hubungan, dan
cara-cara menemukan kombinasi tersebut, dan mengelompokan
kategori.
d. Akhirnya,
peneliti dapat mengembangkan dan menggambarkan secara visual suatu matrik
kondisional yang menjelaskan kondisi social, historis, dan ekonomis yang
mempengaruhi fenomena sentral.