Cinta dan kematian

Menyebut kata “kematian” seperti mengingatkan sesuatu yang rasanya tidak ingin diingat-ingat, atau belum ingin menjumpainya, atau merasa ngeri, atau merasa belum siap dan lain-lain. Padahal kematian adalah suatu keniscayaan. Semua sadar bahwa suatu ketika akan sampai pada peristiwa itu, dalam kondisi siap ataupun tidak siap karena semua makhluk yang bernyawa pasti mati (QS 3:188), tetapi sebagaimana lagu bimbo….jangan pernah mengharapkan mati apalagi mencari kematian.

Menyikapi kematian, yang paling tepat adalah sebagaimana diungkapkan oleh “Hatim” dalam salah satu syairnya: ..aku tau rizkiku tidak mungkin tertukar dengan rizki orang lain karenanya aku tak pernah gelisah, dan aku sadar kematian bisa datang kapan saja menemuiku, karenanya aku senantiasa mempersiapkan kedatangannya ..

Jadi, tugas kita adalah mempersiapkan kedatangan tamu tersebut….dialah malaikat maut. Salah satu persiapan yang dapat dilakukan adalah menjaga kebeningan hati, karena hanya dengan beningnya hati bisa tumbuh kecintaan kepada Tuhan semesta alam, dan jika Cinta sudah bersemayam di dalam hati seorang hamba maka ketahuilah bahwa Tuhan juga sudah mencintainya karena tidak mungkin suara tepukan berasal dari sebelah tangan….demikian ungkapan indah Jalaludin Rumi.

Apa pentingnya mencintai Tuhan semesta alam?. Cinta merupakan kekuatan penggerak untuk orientasi pada kehidupan setelah kematian karena ada hasrat untuk bertemu dengan yang dicintainya (QS 18:110), dan jika orientasi itu sudah jelas maka akhirnya seluruh aktivitas ditujukan dan dijalani dengan konsep “apa yang disukai oleh yang dicintai”.

Bahkan jika gejolak Cinta itu telah begitu kuat maka akan sampai pada satu titik yang tercermin dalam kalimat yang diungkapkan oleh Rabithah Al Adawiyah. Di dalam riwayat dikisahkan suatu ketika Rabithah Al Adawiyah berlari dengan membawa obor ditangan kiri dan membawa kendi berisi air ditangan kanan, ia mengatakan, barangsiapa yang beribadah karena takut neraka maka akan aku siram neraka dengan air kendi ini dan barangsiapa beribadah karena mengharapkan surga maka akan aku bakar surga dengan api obor ini. Tidakkah patut Tuhan disembah meskipun IA tidak menciptakan surga dan neraka? Kalimat ini mengisyaratkan bahwa ketika Cinta dan rindu sudah bersemayam maka tidak diperlukan lagi hal lain bahkan “hadiah dan hukuman” pun tidak diperdulikan lagi karena yang diharapkan hanya perjumpaan dengan yang Maha dicintai.

Persoalan yang penting adalah bagaimana caranya menumbuh kembangkan rasa Cinta itu sehingga semua aktivitas dalam kehidupan yang singkat ini orientasinya jelas, dan kematian menjadi suatu peristiwa yang bukan hanya tidak ditakuti tetapi menjadi suatu hal yang tidak penting karena dianggap hanya pintu gerbang menuju perjumpaan dengan yang dicintai yaitu Al Haq.