Corporate Social Responsibility dan Akuntansi Islam, Konvergensi atau Bertentangan?
Corporate Social Responsibility
CSR sebagai suatu konsep berkembang luas yang berdampak pada kepentingan stakeholder perusahaan, dalam hal ini masyarakat umum, sudah menjadi suatu
istilah yang banyak dibahas dalam bidang keilmuan di banyak perguruan tinggi.
Dalam hal ini tidak luput juga menjadi istilah yang banyak disebut-sebut dalam dalam praktek akuntansi syariah atau lebih tepatnya akuntansi Islam.
Namun perlu kiranya diperjelas antara apakah arti CSR itu sendiri, beserta beberapa hal yang berkenaan dengannya di satu pihak kemudian apakah akuntansi Islam beserta beberapa hal yang berkenaan dengannya, lantas jika ada dimanakah letak keterkaitan antara keduanya?
Apa itu pengertian atau definisi dari CSR?
Menurut Hartanti (2006) definisi CSR sejatinya telah diuraikan semenjak tahun 1950an. Semenjak itu definisi CSR berkembang luas di kalangan bisnis. Namun demikian kalangan akademisi dan pendidikan memandang perlu untuk melakukan kajian ilmiah terhadap CSR karena terlihat bahwa CSR sebagai suatu konsep berkembang luas yang berdampak pada kepentingan stakeholder perusahaan, dalam hal ini masyarakat umum.
Sedangkan menurut Karsten (2006) CSR sebagai suatu konsep dapat ditelusuri kembali di awal abad ke 19 di Belanda dan pada awal abad 20 di Amerika Serikat. Walaupun ada banyak ambiguitas dan perbedaan yang mungkin berlaku di berbagai negara, CSR secara bertahap menjadi konsep yang bersifat global, dimulai dengan adanya beberapa perusahaan MNC (multinational corporation) yang menaruh perhatian terhadap reputasi mereka. Pengalaman di Belanda menunjukkan bahwa walaupun CSR dimulai oleh sedikit sekali perusahaan, tetapi pemerintah (Belanda) telah menaruh perhatiaannya untuk mengembangkan konsep ini dalam rangka antisipasi terhadap perkembangan dunia.
Dari sisi akademisi, definisi paling tua mengenai CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen (Hartanti, 2006) dalam bukunya “Social Responsibility of the Businessman”. CSR berdasarkan Bowen adalah kewajiban dari seorang pebisnis untuk mengusahakan dan melaksanakan tindakan-tindakan dalam kerangka tujuan dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Seorang pebisnis haruslah berpikir lebih luas ketimbang angka-angka keuntungan dan kerugian. Pada saat itu, 85% pebisnis setuju dengan pendapat Bowen ini. Semenjak definisi CSR oleh Bowen ini, ada banyak versi dan definisi CSR. Namun umumnya definisi yang dianggap paling utuh adalah yang diketengahkan oleh Caroll (1979). Menurut Caroll, idealnya sebuah perusahaan memiliki empat macam tanggung jawab sosial, yaitu: ekonomi, hukum, etika dan diskresioner. Tanggung jawab ekonomi umumnya akan menempati urutan teratas dikarenakan sifat alami sebuah perusahaan adalah bergerak di bidang ekonomi/ bisnis. Walau begitu, masyarakat akan menuntut agar perusahaan senantiasa memenuhi tanggung jawab ekonominya tetap dalam kerangka hukum. Tanggung jawab etika adalah sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat untuk diterapkan oleh perusahaan diluar batassbatas hukum. Semen tara tanggung jawab diskresioner adalah bagian dari aktivitas filatropi perusahaan yang biasanya dilakukan secara sukarela.
Setelah definisi CSR oleh Caroll Inl, tidak ada pengembangan lebih lanjut mengenai definisi dan konsep CSR di bidang akademis. Definisi oleh Caroll ini selanjutnya senantiasa dijadikan titik awal untuk mengembangkan dan melakukan analisa empiris atas aktivitas dan kinerja tanggung jawab sosial perusahaan. Sebagai contoh: Aupperle, Carroll dan Hatfield serta Pinkston dan Caroll melakukan penelitian atas keempat dimensi CSR Caroll di Amerika serikat pada tahun 1985 dan 1996. Hasil penelitian empiris tersebut memperlihatkan bahwa bagi kalangan bisnis di negara tersebut tanggung jawab ekonomi menempati posisi yang paling penting, disusul dengan tanggung jawab hukum, etika dan diskresioner. Menariknya hasil penelitian dua dekade yang berbeda tersebut tetap memperlihatkan bahwa aktivitas philantrophy tetap dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontroversi dan oleh karenanya dihindari oleh perusahaan-perusahaan.
Sejarah Perkembangan CSR.
Masih menurut Hartanti (2006) Di Indonesia, isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) mulai mengemuka lima tahun belakangan ini. Umumnya kalangan pengusaha menerjemahkan konsep CSR sebagai bentuk “berbagi kepada masyarakat sekitar / kalangan tertentu”, atau sebagai bagian dari kedermawanan sosial. Sehingga tak heran banyak pula yang menyatakan CSR tak lebih dari sekedar philantrophy. Padahal, makna CSR seharusnya lebih dari sekedar philanthropy semata. Jelas, bahwa makna CSR sudah bergeser dari sisi ilmiahnya menjadi lebih kepada trend sosial yang mudah-mudahan tidak hanya berlangsung sekejap saja. Ada baiknya jika kita pahami apa dan bagaimana CSR sebenarnya.
Secara philosophy, konsep CSR dapat dikategorikan dalam tiga paradigma; Pristine Capitalist, Enlightened Self-Interest dan Social Contract. Pandangan yang pertama merupakan perwakilan sistem ekonomi liberal dan kapitalis, dengan Milton Friedman sebagai tokohnya. Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab sosial bagi sebuah bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, untuk tumbuh, berkembang dan melaksanakan efisiensi ekonomi dengan penggunaan sumberdaya sedemikian rupa selama tetap menaati peraturan, yaitu tidak berlaku curang dalam sebuah sistem kompetisi bebas dan terbuka. Sehingga semua konotosi tanggung jawab sosial di luar definisi di atas dianggap sebagai penyalahgunaan dana pemegang saham.
Di sisi pandang yang lain, Sosial Contract berpendapat bahwa sebuah perusahaan dapat berusaha dalam perekonomian karena adanya kontrak sosial (social contract) dengan masyarakat dan oleh karenanya bertanggungjawab atau terikat dengan keinginan masyarakat tersebut. Sehingga dalam pandangan kelompok ini dengan adanya kontrak sosial tersebut perusahaan bertindak sebagai agen moral (moral agent), konsekuensinya perusahaan harus memaksimumkan manfaat keuntungan sosial bagi masyarakat. Akan halnya Enlightened Self-Interest berada di sisi pertengahan, dimana menurut pandangan ini stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya akan dapat dicapai jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggungjawab sosial kepada masyarakat, paling tidak dalam tingkat yang minimal.
Dari ketiga uraian di atas, jelas terlihat bahwa definisi CSR bisa berbeda-beda tergantung bagaimana kita berpihak dalam ketiga sudut pandang tersebut. Idealnya suatu perusahaan memilki etika dalam visi dan misinya. Dalam era dimana kesadaran akan tanggung jawab sosial semakin meningkat, argumentasi bahwa tanggung jawab perusahaan hanyalah untuk menghasilkan keuntungan bagi para pemegang sahamnya adalah sesuatu yang absurd atau tidak pas. Sebuah perusahaan bagaimanapun juga adalah sebuah subsistem yang membutuhkan subsistem lain (dalam hal ini stakeholders) untuk beroperasi dan mencapai tujuannya. Tetap berargumentasi bahwa perusahaan harus memaksimumkan keuntungan sosial juga dapat dianggap berlebihan. Posisi jalan tengah (Enlightened Self-Interest) pada akhirnya dianggap memberikan solusi yang terbaik. Namun pandanngan ini juga tidak beresiko. Masalahnya, unsur reward dan penalty amat berperan dalam pemilihan level CSR yang diingini bagi penganut paham ini. Jika perusahaan merasa tidak tidak ada tekanan untuk berperilaku sosial maka, sebagaimana karakteristik perusahaan yang bersifat memaksimumkan laba, perusahaan akan bertindak tak bertanggung jawab. Phenomena inilah yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang (Shiraz, 1998)
Perkembangan CSR, Citra dan Kepedulian Manajer Puncak (CEO).
Sejak awal perkembangannya hingga kini, konsep dan definisi mengenai CSR pada hakekatnya senantiasa berubah baik dari sisi masyarakat bisnis maupun akademisi. Salah satu alasan adalah karena adanya pengaruh dari ketiga pandangan di atas. Alasan lain ialah karena berubahnya permintaan/harapan dari masyarakat terhadap peranan perusahaan terkait dengan tanggung jawab sosialnya. Sebagai contoh di Amerika, karena pengaruh pandangan Milton Friedman dalam hal tanggung jawab sosial, selama beberapa periode adalah sebuah hal yang illegal bagi perusahaan untuk melakukan sumbangan/donasi bagi kegiatan-kegiatan sosial. Sesuatu yang amat berbeda jika dibandingkan dengan era sa at ini.
Berkut ini menurut Pambudi (2006) CSR dapat dijalankan melalui tiga pilar yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Kegiatan yang dilakukan dalam berupa community development yang kemudian dikembangkan untuk mencapai citra yang baik di mata para stakeholders perusahaan. Adanya beberapa pihak yang masih memandang pelaksanaan CSR dalam konteks profitabilitas perusahaan merupakan tantangan tersendiri, karena seyogyanya perusahaan juga harus memperhatikan orang dan Lingkungan sekitarnya. Di sini kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan CSR.
“Sebuah perusahaan kecil adalah kekayaan pribadi seseorang, tapi ketika perusahaan itu menjadi besar, ia menjadi kekayaan semua pekerja.
Dan ketika perusahaan itu berkembang lebih lanjut, ia milik masyarakat, menjadi milik negara.” (Chung Ju-Yung, pendiri Hyundai)
MAK adalah perusahaan papan atas bisnis hospital equipment di Tanah Air yang juga sudah merambah pasar mancanegara. Gempa 27 Mei 2006 bukan cuma menghancurkan sejumlah fasilitas pabriknya di kawasan Sleman, tapi juga meluluhlantakkan sekitar 200 rumah karyawannya yang tersebar di kawasan bencana itu. Tiga hari setelah tragedi itu, Buntoro, pimpinan perusahaan MAK meminta karyawannya masuk kerja dan melupakan kesedihan yang melanda, termasuk rumah mereka yang telah rata dengan tanah. “Saya bilang sama mereka, ‘Kerjalah, jangan terus bersedih. Anda cari uang. Rumah, biar saya yang bereskan. You do your job, I do my job’,” ujar lelaki yang sedikitnya menderita kerugian hingga Rp 2 miliar akibat gempa.
Bagi Buntoro, apa yang dilakukannya merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan CSR (corporate social responsibility). CSR? Ya. Sebabnya, ia melakukan apa yang melebihi tugasnya sebagai pemimpin perusahaan. la tak sekedar mencari profit untuk kemudian memberikan remunerasi melebihi upah minimum yang ditentukan, tapi juga memperhatikan nasib karyawannya, pada saat yang mengenaskan sekalipun. Total karyawan MAK sendiri mencapai 350 orang.
Tentu saja kita boleh setuju ataupun tidak dengan pemahaman di atas. Pemahaman apakah itu CSR, atau filantropi (kecintaan pada manusia) seorang Buntoro terhadap nasib karyawannya, membuka ruang debat. Namun, yang jelas, rasanya langkah itu jauh lebih bermartabat ketimbang apa yang terjadi pada PT Lapindo Brantas yang menimbulkan bencana di kawasan Porong, Sidoardjo, Jawa Timur. Demi mencetak profit tapi tanpa diimbangi langkah operasi yang prudent, lumpur panas perusahaan ini telah menghancurkan bukan hanya manusia beserta kegiatan ekonominya, tapi juga ekosistem di sekitarnya. Dan yang menyedihkan, manajemen perusahaan itu tampak sempat bingung untuk menunjukkan tanggung jawabnya. Masyarakat yang menjadi stakeholders-nya dibiarkan mengatasi sendiri lumpur panas yang menghancurkan lingkungan tempat mereka tinggal.
Kembali pada Buntoro. Mesti diakui, CSR kini menjadi salah satu konsep yang tengah “genit”, tak terkecuali dengan pelesetannya; celebrity social responsibility merujuk pada aktifnya Bono U2, Angelina Jolie, Brad Pitt, dan selebritas lain – termasuk artis skala lokal – dalam aktivitas sosialnya masing-masing. Di dunia, Edward Teach dari CFO Magazine pernah mencatat bahwa kata CSR mencapai 4.680.000 hits di Google. Jauh meninggalkan “shareholder value” yang mencapai 2.340.000 hits.
Saking populernya, di Tanah Air, bahkan banyak para pemimpin bisnis yang seperti tak ingin “ketinggalan kereta” bila tak menyebut CSR sebagai salah satu nilai-nilai yang dianut perusahaannya. Atau, setidaknya sebagai “bendera” aktivitas sosial yang pernah dilakukannya. Mereka seperti khawatir tak menjadi good citizen (warga negara yang baik) ketika tak pandai melafalkannya, dan tak menyebutkan tiga huruf itu tatkala mengiklankan aktivitas kedermawanannya.
Padahal, yang menarik, manakala Indonesia tengah mulai demam konsep ini, di mancanegara, telah menyusul konsep lain yang berupaya menyempurnakannya. Ya, menyempurnakannya, lantaran CSR dipandang too corporate centric. Terlalu mengarah pada korporasi. Sebagai citizen (warga negara), perusahaan dipandang sudah cukup menjadi warga negara yang baik dengan cara taat pajak dan berperilaku etis, seperti tidak menyuap, terlibat korupsi, serta menciptakan produk yang bertanggung jawab, atau berproduksi dengan penuh tanggung jawab. Kasus Lapindo Brantas, di luar faktor “X” – katakanlah sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan -, alhasil merupakan contoh perusahaan yang bukan good citizen.
Konsep yang berupaya menyempurnakannya itu adalah social responsibility yang tengah diarahkan menjadi ISO. Dalam konsep ini, bukan hanya perusahaan yang punya tanggung jawab sosial, tapi juga pemerintah serta individu. Semua komponen ini punya tanggung jawab sosial yang sama. Artinya, bukan cuma perusahaan dan para pemimpinnya yang bertanggung jawab sosial. Seluruh komponen dalam sebuah millieu bernama negara, punya kesetaraan tanggung jawab untuk menjaga planet dan keharmonisan kepentingan seluruh stakeholders tempat mereka tinggal.
Tren para CEO atau pengelola korporasi yang merasa pentingnya CSR sebagai bagian dari aktivitas perusahaannya, sepengamatan penulis bukanlah isapan jempol. Dari sisi komponen tanggung jawab sosial perusahaan, para pengelola korporasi ini berusaha mempraktikkan komponen CSR dengan upayanya masing-masing.
Akuntansi dan Berbagai Permasalahan di Bidangnya
Berbagai Permasalahan di bidang Akuntansi (konvensional) a.l.:
Sebelum masuk kepada Akuntansi Islam, maka perlu diketahui adanya berbagai
permasalahan dari akuntansi (konvensional) sebagai suatu profesi, sebagaina yang
diuraikan oleh Harahap (2007: 27-30) dalam bukunya yang berjudul Krisis Akuntansi
Kapitalis a.l sbb:
Earning Management:
Mengatur laba ini dalam kamus akuntansi dikenal dalam berbagai istilah: ada yang menyebut “window dressing” atau “lipstick accounting” untuk menciptakan laporan keuangan lebih cantik. Ada istilah cooked book atau Income smoothing untuk mengatur laba dengan menu yang diinginkan sponsor atau terakhir dipakai istilah earning management. Semua istilah itu berkonotasi negatif karena ingin menciptakan angka laba yang distortif inflatif tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak memberikan informasi yang akurat dan reliable lagi bahkan dinilai menjadi “fuzzy numbers” atau angka yang membingungkan.
Upaya mengatur laba ini kadang bisa didukung oleh standar akuntansi yang dipakai. Artinya dengan menerapkan standar akuntansi yang diterima umum pun saat ini kita bisa memanaj laba supaya sesuai dengan keinginan sponsor. Sifat akuntansi yang banyak mengandung taksiran (estimasi), pertimbangan (Judgment) dan sifat accrual membuka peluang untuk bisa mengatur laba. Taksiran penyusutan, bad debts, nilai persediaan, pemilihan standar penilaian persediaan misalnya FIFO, LIFO, standar penyusutan misalnya straight line, double declining, dan sebagainya bisa mengubah angka laba. Sistem akrual bisa mempengaruhi alokasi waktu dari hasil dan biaya yang menimbulkan perubahan laba periodik. Ini semua bisa menjadikan laba menyesuaikan diri dengan keinginan penyaji (cooked book) apalagi KAP (Kantor Akuntan Publik) nya tidak independen dan memiliki kepentingan serta moral hazard maka lengkaplah penipuan dibidang profesi akuntan itu yang belakangan ini banyak kita dengar. Sejauh ini profesi akuntan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya dalam tataran imbauan dan penerapan kode etik yang longgar paling tidak di Indonesia. Praktik-praktik earning management di BEJ Jakarta menurut beberapa penelitian menunjukkan eksistensinya. Jika hal ini terjadi maka profesi akuntan yang modalnya adalah kepercayaan masyarakat berada dalam situasi bahaya. Karena kontrak sosialnya bisa putus karena dia melupakan tanggungjawab sosialnya.
Di kalangan akademisi sendiri sebenarnya ada upaya untuk keluar dari konvensi standar akuntansi yang ada sekarang. Tom Lee misalnya menganjurkan “cash flow accounting” atau akuntansi berbasis kas yang tidak menggunakan basis akrual untuk menghindari earning management melalui sistem akrual. Dengan sistem ini diharapkan laba akuntansi lebih riel kendati pun sebenarnya hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. Belakang ini ada upaya dari beberapa perusahaan untuk merubah standar akuntansi yang dapat memberi peluang untuk mendistorsi laba seperti pencatatan bonus plan atau pension plan dan sebagainya. Bahkan yang lebih radikallagi beberapa perusahaan seperti Verizon Comlnunication Incorporation mencoba membuat standar akuntansi sendiri dan ternyata menghasilkan laporan laba yang lebih keeil dari laba menurut standar akuntansi yang berlaku. Kita di Indonesia sudah selayaknya memikirkan hal ini sebelum kasus ENRON, WorldCom, Adelphia Com, Merck, Lippo. Kimia Farma merambah dan menambah banyaknya kasus skandal akuntansi di Tanah air.
Menurunnya Pamor Akuntansi di Amerika
Profesi akuntan sudah ada sejak kehadiran manusia selaku makhluk sosial dimuka bumi. Pasang surut peranannya juga sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pada zaman pra sejarah mung kin peranannya lain dengan peranannya pada zaman Romawi Yunani, berbeda pula pada era kejayaan Islam, dan juga dengan era dominasi Barat Kapitalis saat ini.
Di era Islam profesi akuntan ini disebut “muhasabah” atau kelembagaannya disebut “muhtasib”. Pada periode ini akuntan memiliki fungsi jamak bukan hanya bertanggung jawab menilik, mengawasi aspek keuangan individu dan lembaga masyarakat tetapi juga aspek-aspek lain seperti: mengawasi kelayakan bangunan, menjaga kesehatan makanan (baik yang haram. yang membahayakan, yang tidak jujur), kualitas yang berbeda dari yang disampaikan, iklan yang tidak jujur, pelaksanaan kontrak, pelaksanaan ibadah seperti mereka yang tidak shalat, tidak puasa, dan tidak bayar zakat, serta berbagai kecurangan seperti korupsi, ketidakefisienan, dan praktik-praktik pemborosan lainnya. Cakupan fungsi muhtasib era itu sangat luas dan tidak membedakan antar aspek keuangan dan non-keuangan, aspek ibadah dan muamalat (non-ibadah), aspek dunia dan akhirat.
Di era saat ini Profesi akuntan difokuskan pada fungsi pemberian informasi, dan penyajian informasi yang reliable sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan proses pengambilan keputusan. Dalam sivilisasi Barat Kapitalis saat ini akuntan adalah merupakan kepercayaan publik sebagai informan atau penyaksi informasi sehingga informasi yang disajikan penyaji laporan dianggap memenuhi kualitas reliable dan relevan.
Namun kenyataannya banyak ditemukan laporan-laporan yang tidak sesuai dengan harapan itu. Laporan keuangan dianggap hanya sebagai laporan yang ditukangi, laporan yang memakai kosmetik, laporan yang dimasak, income smoothing, dan creative accounting. Para akuntan yang melakukan perbuatan tercela ini telah mencoreng nama akuntan baik di level internasional maupun nasional. Kasus Arthur Anderson yang hancur karena kasus Enron, dan praktik skandal korporasi lainnya yang mengemuka belakangan ini memukul telak profesi akuntan. Profesi akuntan ini hanya hidup di atas kepercayaan publik. Jika kepercayaan publik ini hilang maka secara otomatis sebenarnya eksistensinya secara substantive hilang. walaupun masih dipakai itu hanya sekedar memenuhi persyaratan yang diwajibkan lembaga tertentu, misalnya bank atau atas faktor paksaan lainnya.
Menurunnya kepercayaan publik ini sudah mulai terasa, walaupun Amerika misalnya telah melakukan beberapa perbaikan untuk mengembalikan kepercayaan itu seperti keluarnya Sarbanes Oxley Act (SOA), aturan lain dalam peningkatan good corporate governance dan proses pengadilan dari mereka pelaku kejahatan korporasi tersebut. Walaupun demikian ternyata penurunan kepercayaan ini terjadi juga dalam penurunan di sektor pendidikan dan akademik bidang Akuntansi.
Demikian uraian yang saya cuplik dari Harahap (2007: 27-30) yang intinya adalah
bahwa akuntansi kapitalis sebagai suatu profesi sedang mengalami berbagai krisis
yang sifatnya “profesional multidimensional”.
Akuntansi Dalam Islam
Mengenai latar belakang, pengertian dan apa itu akuntansi dalam Islam saya juga mengutip dari buku Harahap (2007:350-376) yang berjudul Teori Akuntansi Edisi Revisi, sbb.:
Menurut Harahap (2007) salah seorang penulis Barat mengungkapkan bahwa dengan runtuhnya Uni Soviet bersama ideologi Leninisme Komunisme, ideologi yang tinggai hanya kapitalisme dan Islam. Kemudian, penulis ini melanjutkan bahwa ternyata Islam memiliki tingkat compatibility yang sangat dekat dengan Islam. Di dalam buku Akuntansi Pengawasan dan Manajemen· Dalam Perspektif Islam (Harahap, 1992), disimpulkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan di Barat, ternyata konsepsi Islam yang diturunkan kepada manusia oleh Allah Swt. meialui Rasulullah Saw. ternyata merupakan suatu sistem way of life yang utuh, sesuai dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan serta fenomena alam yang ada. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai sudut dan disiplin ilmu seperti ilmu alam, astrologi, sosiologi, medical, psikologi, ekonomi, dan juga akuntansi. Dalam bab ini kita mencoba bagaimana konsep Islam pada akuntansi.
Penelitian dan penulisan yang mengkaji akuntansi dalam Islam sudah mulai merebak, baik di Baratmaupun di tanah air sendiri. Literatur yang membahas topik ini di tanah air dapat dilihat dalam buku Akuntansi Pengaawasan dan Manajemen dalam Perspektif Islam (Harahap, 1992), Akuntansi Islam (Harahap, 1999), Organisasi dan Akuntansi Syariah (Triwiyono,2000) dan sebagainya. Pembahasan akuntansi dalam Islam ini tidak mengada-ada dan tidak bersifat apologia, tetapi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan sumber referensinya yang sah. Akuntansi dalam Islam dapat kita lihat melalui pedoman suci umat Islam, AlQuran sebagai berikut. Dalam AlQuran Surat Al-Baqarah ayat 282 merupakan ayat terpanjang dalam Alquran adalah sebagai berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarrkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. jika yang berutang itu orang yang lemah akal atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah wakilnya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki laki di antara kamu. jika tidak ada dua orang laki-laki maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa seorang lagi mengingatkannya. janganlah saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menuliskan utang itu, baik kecil maupun besar sampai waktu membayarnya. :Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan. (Tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalahmu itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara leamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan yang demikian itu maka sesungguhnya hal itu adalah kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. (Lihat AlQuran dan Terjemahannya, YPPA, PT Bumi Restu Kemudian), dalam catatan kakinya, “muamalah” diartikan seperti kegiatan berjual-beli, berutang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya. Berutang-piutang tentu mempunyai pengertian yang luas dalam bisnis. Pendirian perusahaan oleh pemilik modal menyangkut utang-piutang antara dia dengan manajemennya. Pengelolaan harta pemilik modal oleh manajemen merupakan hubungan kerja sarna, utang-piutang (atau agency relationship). Hubungan transaksi dagang maupun bentuk bisnis lainnya se1alu mempunyai konteks utang-piutang, pinjaman kepada lembaga keuangan mempunyai hubungan utang-piutang. Oleh karena itu, setiap iembaga perusahaan sarat dengan kegiatan muamalah sebagaimana diimaksudkan ayat 282 tadi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pemeliharaan akuntansi wajib hukumnya dalam suatu perusahaan bahkan juga pribadi.
Dalam Islam selalu ditekankan jangan melakukan kecurangan dan menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Ketentuan ini harus ditegakkan dengan cara apa pun. Harus ada sistem yang dapat menjaga agar semua hak-hak stakeholders termasuk sosial dan pemerintah dijaga dan jangan sampai ada yang dirugikan dalam kontrak kerja sarna apakah dalam bidang jua! beli, mudharabah, atau musyarakah.
Prof. Dr. Hamka dalam tafsir AI-Azhar juz 3 tentang surat AI-Baqarah ayat 282 ini mengemukakan beberapa hal yang relevan dengan akuntansi sebagai berikut.
Perhatikanlah tujuan ayat! Yaitu kepada sekalian orang yang
beriman kepada Allah supaya utang piutang itu ditulis, itulah dia yang berbuat sesuatu pekerjaan karena Allah, karena perintah Allah dilaksanakan. Sebab itu, tidaklah layak berbaik hati kepada kedua belah pihak lalu berkata tidak perlu dituliskan karena kita sudah percaya mempercayai. Padahal umur kedua belah pihak sama-sama ditangan Allah. Si Anu mati dalam berutang, tempat berutang menagih pada warisnya yang tinggal. Si waris bisa mengingkari utang itu karena tidak ada surat perjanjian.
Beliau mengungkapkan secara jelas betapa wajibnya memelihara tulisan.
Dan perintah inilah yang selalu diabaikan umat Islam sekarang ini. Bahkan yang lebih parah sudah sampai pada suatu situasi seolah-olah menuliskan transaksi seperti ini menunjukkan kekurangpercayaan satu sarna lain, padahal ini merupakan perintah Allah Swt. kepada umatnya yang tentunya harus dipatuhi.
Buya Hamka melanjutkan lagi:
… dan apabila dibelakang hari perlu dipersaksikan lagi sudah ada hitam diatas putih tempat berpegang dan keragu-raguan hilang, sebab sampai sekecil-kecilnyapun dituliskan. Mengomentari tentang transaksi kontan Buya Hamka menulis sebagai
berikut:
… di zaman kemajuan sebagai sekarang, orang berniaga sudah lebih teratur sehingga membeli kontan pun dituliskan orang juga, sehingga si pembeli dapat mencatat berapa uangnya keluar pada hari itu dan si penjual pada menghitung penjualan berapa barang yang laku dapat pula menjumlahkan dengan sempurna. Tetapi yang semacam ini terpuji pada syara.’ Kalau dikatakan tidak mengapa (dalam Alquran. pen) tandanya ditulis lebih baik.
Pendapat Buya Hamka ini menunjukkan bahwa sebenarnya syara’ pun menganjurkan pencatatan baik yang tunai maupun yang masih accrual sebagaimana yang sekarang diterapkan dalam akuntansi.
Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam Islam, sejak munculnya peradaban Islam sejak Nabi Muhammad Saw. telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanannya adalah untuk tujuan kebeenaran, kepastian, keterbukaan, keadilan antara dua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi. (Lihat sejarah akuntansi Bab 2). Dengan perkaataan lain, clapat kita sebutkan bahwa Islam mengharuskan pencatat:ln untuk tujuan keadilan dan kebenaran. Sementara itu, pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diharuskan. Akan tetapi, menurut Buya Hamka justru karena sesuai syara’, mungkin ketidakwajiban ini disebabkan hal ini sudah merupakan urusan yang sifatnya tidak perlu diatur oleh Suatu kitab suci. Dan mengenai hal ini Rasulullah mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu.” Urusan dunia (dalam tanda kutip) yang diserahkan bulat-bulat kepada manusia meruupakan bukti kebebasan berpikir sekaligus membuktikan “kedinamisan” Islam, dan menjaga agar AlQuran tetap up to date dan tidak pernah ketingggalan karena perubahan dan kemajuan cara berpikir man usia. Tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pencatatan sebagai berikut.
- Menjadi bukti dilakukannya transaksi (muamalah) yang menjadi dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya.
- Menjaga agar tidak terjadi manipulasi atau penipuan, baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu (laba). Bagaimana menurut akuntansi? Dalam akuntansi tujuan pencatatan adalah: pertanggungjawaban (accountability) atau sebagai bukti transaksi; penentuan pendapatan (income determination); informasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan, dan lain-lain. Akuntansi juga merupakan upaya untuk menjaga terciptanya keadilan dalam masyarakat karena akuntansi memelihara catatan sebagai accountaability dan menjamin akurasinya. Pentingnya keadilan ini dapat dilihat dari AlQuran surat AI-Hadid ayat 24 sebagai berikut.
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Dalam Alquran surat AI-Syuraa’ ayat 182-183 berbunyi sebagai berikut. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Penggunaan sistem akuntansi jelas merupakan manifestasi dari pelaksaanaan perintah itu karena sistem akuntansi dapat menjaga agar aset yang dikelola terjaga accountability-nya sehingga tidak ada yang dirugikan, jujur, adil, dan kepada yang berhak akan diberikan sesuai haknya. Upaya untuk mencapai keadilan, baik dalam pelaksanaan utang-piutang maupun dalam hubungan kerja sarna berbagai pihak seperti dalam persekutuan, musyarakah, mudharabah memerlukan sarana pencatatan yang menjaga agar satu sarna lain tidak dirugikan sebagaimana spirit ayat di atas. Dari usul fiqih disebutkan untuk mencapai sesuatu yang diwajibkan, sarana untuk menncapainya pun menjadi wajib. “Mala yummitul wajibu ila bihi fahuwa wajibun.” jika untuk melaksanakan sesuatu yang hukumnya wajib harus dengan dia, dia itu pun menjadi wajib. Oleh karena itu, dapat disebutkan memelihara pencatatan baik sebagai informasi, untuk penyaksian, untuk pertanggungjawaban, untuk pemeliharaan hak, atau untuk keadilan, hukumnya termasuk menjadi wajib.
Benar dan Wajar
Di atas sering penulis menggunakan perkataan wajar dan juga perkataan benar, dalam tulisan ini penulis ingin mengingatkan kita tentang pemakaian kata ini. Dalam permulaan sejarahnya sampai sekitar abad XX, laporan keuangan masih dikatakan benar atau true. Namun, akhirnya, laporan keuangan tidak dikatakan benar lagi, tetapi dipakai istilah wajar, layak atau fairly stated. Keadaan ini menunjukkan bahwa akuntansi konvensional dengan berbagai instrumen dan sifat-sifatnya merasa tidak bisa menjamin “kebenaran” output akuntansi itu. Akuntansi Islam harus bisa menjamin bahwa informasi yang disusun dan disajikan harus benar dan bebas dari unsur penipuan dan ketidakadilan, bebas dari pemihakan kepada kepenntingan tertentu. Informasi yang diberikan harus transparan, teruji, dan dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Setelah skandal Enron ada kecenderungan akan kembali ke konsep benar. Hal ini clapat dilihat bunyi pernyataan akuntan sebagai berikut.
Akuntansi Islam: State of the Art
Dari sisi lain, Islam disifati juga sebagai Rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk sekalian alam. Kalau sebelumnya agama, kitab atau kepercayaan yang dibawa para nabi dan tokoh agama lainnya bersifat lokal, bangsa atau primordial. Misalnya Nabi Daud as., Luth as., Ibrahim as., Musa as., Isa (Yesus) as. Semuanya hanya untuk kaumnya. Islam mengayomi semua makhluk itu. Kalau kapitalisme memiliki kaum pemilik modal dan komunis memayungi kaum buruh, Islam memayungi keduanya bahkan semuanya termasuk segala makhluk yang ada di bumi ini.
Persepsi masyarakat terhadap agama seperti itulah yang terbawa dalam pemikiran intelektual Barat terhadap agama Islam sampai sekarang. Islam dianggap memiliki wilayah sendiri yang sangat kecil seperti peran agama waktu dulu. Sehingga bagaimana mereka memperlakukan dan memahami fungsi agama waktu itu begitulah mereka menganggap fungsi dan peran agama Islam ini. Bahkan dalam hal-hal tertentu mereka menganggap lebih jelek lagi karena mengapa membikin agama yang bam lagi? Mengapa kita menerima agama mereka yang terjajah atau dari negara miskin? Dan hal ini ditambah lagi oleh perlawanan yang dilakukan oleh sebagian oknum Muslim yang juga ada yang bersifat destruktif, teror, kekerasan, pembunuhan, dan sikap lainnya yang mengurangi ketenangan hidup bangsa Eropa yang sudah mapan. Islam dianggap mengganggu sifat konsumerisme, hedonisme, demokrasi, liberalisme, dan sifat bebas lainnya termasuk free sex, hippies, dan lain sebagainya. (Montgomary Watt, 1985)
Akuntansi Islam dalam Sejarah
Dalam buku-buku teori akuntansi masalah sejarah ini telah banyak dibahas. Vernon Kam (1990) dalam buku Accounting Theory-nya menyatakan sebagai berikut.
Menurut sejarahnya, kita mengetahui bahwa sistempembukuan double entry muncul di Italia pada abad ke-13. Itulah catatan yang paling tua yang kita miliki mengenai sistem akuntansi double entry sejak akhir abad ke-13 itu, namun adalah mungkin sistem double entry sudah ada sebelumnya.
Kita menggaris bawahi kalimat terakhir ini. Artinya, ada kemungkinan akuntansi khususnya akuntansi Islam sudah ada sebelum Pacioli. Pendapat ini banyak didukung oleh berbagai penemuan sebagai berikut.
- Muhammad Khir (Harahap, 1991)
Dalam menanggapi pendapat di atas menyatakan sepenuhnya setuju sikap itu.
Namun, ia menyatakan sebagai berikut.
Saya ingin membahas lebih lanjut pemahaman terhadap pertummbuhan double entry ini dari zaman dulu sampai zaman sekarang ini. Sebagian besar para akuntan dan para ekonom setuju bahwa faktor utama sebagai penyebab perkembangan teknologi akuntansi adalah akibat pembentukan pertumbuhan perusahaan dalam lingkungan pasar yang demikian kompleks.
Pertanyaan lainnya adalah apa kekuatan yang menimbulkan dan menndorong pembentukan dan pertumbuhan perusahaan, jawabnya adalah:
- Jiwa kapitalis
- Aspek sosial
- Tujuan akhir bukan laba, tetapi kepuasan masyarakat.
Pendapat ini juga dapat menjadi dasar untuk menyatakan bahwa akuntansi sudah ada sebelum Pacioli.
- DR. Ali Shawki Ismail Shehata
Menanggapi soal ini, Shehata (Khir dalam Harahap, 1991) menyatakan:
“Suatu pengkajian selintas terhadap sejarah Islam menyatakan bahwa akuntansi dalam Islam bukanlah merupakan seni dan i!mu yang baru,” sebenarnya bisa dilihat dari peradaban Islam yang pertama yang sudah memiliki Baitul Maal yang merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai “Bendahara Negara” serta menjamin kesejahteraan sosial. Muslim sejak itu telah memiliki jenis akuntansi yang disebutkan dalam beberapa karya tulis umat Islam. Tulisan ini muncul lama sebelum double entry ditemukan oleh Lucas Pacioli di Italia tahun 1494.”
- Hendriksen
Seorang guru besar akuntansi berkebangsaan Amerika menulis sebagai berikut: ” …. the introduction of Arabic numerical greatly facilitated the growth of accounting” (Harahap, 1995 dan lihat Hendriksen dalam bukunya Accounting Theory terbitan RD Irwin Inc. Illinois). (Penemuuan angka Arab sangat membantu perkembangan akuntansi) kutipan ini menandai bahwa anggapan tadi dapat kita catat bahwa penggunaaan angka Arab (1,2,3, dan seterusnya) mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu akuntansi. Artinya besar kemungkinan bahwa dalam peradaban Arab sudah ada metode pencatatan akuntansi.
- Kitab Suci AlQuran
Pendapat di atas ternyata didukung oleh kitab suci umat Islam. Dalam AlQuran surat Al-Baqarah ayat 282 dapat kita baca sebagai berikut.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi ….. (lihat AlQuran dan terjemahannya, YPPA, PT Bumi Restu).
Kemudian, dalam catatan kakinya muamalah diartikan seperti kegiatan jual-beIi, berutang piutang, sewa menyewa dan sebagainya.
Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam Islam sejak munculnya peradaban Islam sejak Nabi Muhammad SAW. Telah ada perintah untuk kebenaran, keadilan antara dua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi (tren sekarang disebut accountability). Sementara itu, pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diharuskan karena ini sudah dianggap merupakan urusan yang sifatnya tidak periu diatur oleh suatu kitab suci. Dan mengenai hal ini Rasulullah mengatakan, “Kamu lebih tahu urusan duniamu”. Kesimpulan lain akuntansi bagi Islam adalah kewajiban dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof Islam terkenal 700 tahun kemudian tidak me”ngenal akuntansi.
- Robert Arnold Russel
Russel (Harahap: 1995a) sewaktu menjelaskan perkembangan seorang pengusaha sukses di Italia yang bernama Alberto pada zaman medival (pertengahan) pada saat Pacioli menerbitkan bukunya mengatakan bahwa kemajuan ekonomi pada masa itu terletak pada penerapan sistem akuntansi double entry Arab yang lebih canggih. Ia menyatakan (Harahap, 1993), sebagai berikut.
“Success of the new multiagent, long distance trading and banking business depended on the adoption of the new accounting system. By changing over from the old paragraph style of entry of the small business age to the Arab’s more sophisticated double entry system, merchant were able to keep an accurate picture sophissticated double entry system, of the various dealings, keep track of a score of agents, and use their capital to the best advantage. It took the Albert nearly a generation to get on top off the new system, but once it was mastered, it made sure every florish was working for the firm.”
(Keberhasilan bisnis rnultiagen, perdagangan dan perbankan jarak jauh tergantung pada penerapan sistem akuntansi yang bam. Dengan mengubah dari metode lama yang diterapkan pada era bisnis skala kecil ke metode (sistem) akuntansi double entry Arab yang lebih canggih, pedagang telah mampu menyusun gambaran yang tepat ten tang berbagai transaksi dagang, mampu mericatat posisi masing-masing agen, dan mampu menggunakan modalnya untuk investasi (kegiatan) yang lebih menguntungkan. Hampir satu generasi keluarga Albert baru dapat menguasai sistem baru ini, tetapi sekali sistem itu telah dikuasai maka dapat menjamin semua sistem yang ada akan bekerja untuk kepentingan perusahaan).
- W. Montgemory Watt
Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1972, 1995) tampaknya sependapat dengan Russel. Pengakuannya adalah sebagai berikut.
Ketika kita menyadari segala keluasan eksperimen, pikiran dan tulisan orang Arab
kita akan berpendapat bahwa tanpa orang Arab, ilmu pengetahuan dan filsafat orang Eropa tidak akan bisa berkemmbang seperti ketika dulu mereka pertama kali mengembangkannnya. Orang-orang Arab bukanlah sebagai penyalur pikiran-pikiran Yunani, tetapi pencipta-pencipta sejati yang mempertahankan disiplin-disiplin yang telah mereka ajarkan dan meluaskannya.
Penemuan yang di Barat termasuk akuntansi tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Arab.
- Zakat dan Baitul Maal
Kewajiban zakat bagi Muslim merupakan bukti nyata betapa pentingnya peranan akuntansi bagi masyarakat, perusahaan lembaga atau perseeorangan. Dalam konteks ini akuntansi akan dapat memberikan sumbangan dalam proses perhitungan zakat yang tepat baik zakat maal, penghasilan, profesi, perdagangan, laba, dan lain sebagainya. Nilai aset yang mana yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan zakat. Bagaimana mungkin kita mengetahui beban zakat tanpa bantuan dari akuntansi? Justru dalam Islam dituntut lagi bidang-bidang khusus akuntansi seperti Akuntansi Pertanian, Akuntansi Peternakan, Akuntansi Sosial, Akuntansi Jaminan Sosial, Akuntansi Sumber Daya Manusia, dan lain-lain untuk dapat menyelesaikan kewajiban kita sebagai Muslim. Demikian juga masalah pengukuran efisiensi dan pemborosan (yang dilarang keras dalam Islam) tidak akan dapat diketahui tanpa pencatatan atau peran akuntansi.
Pengelola kekayaan negara melalui lembaga terkenal seperti Baitul Maal juga memerlukan akuntansi yang lebih teliti karena menyangkut harta masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan. Pembagian hak seperti dalam pembagian dividen, hasil likuidasi memerlukan catatan yang adil yang dapat membagi hak-hak mereka yang berkongsi atau berserikat secara adil. Semua ini mendukung hipotesis yang menyatakan akuntansi sangat mudah dalam Islam. Mustahil Islam tidak memilikinya.
Allah sendiri menjelaskan bagaimana Dia memelihara catatan tentang manusia dengan dua orang “akuntan” Malaikat Raqib dan Atid yang selalu bertugas mencatat setiap kegiatan manusia baik yang baik maupun yang jahat, sampai pada yang sekecil kecilnya, bahkan sebesar zarrah pun tidak luput dari pencatatannya. Dan di akhirat catatan ini akan menjadi bahan laporan serta pertanggungjawaban manusia dihadapan Allah dan akan menentukan apakah ia akan merasakan kebahagiaan (sorga) atau pendeeritaan (neraka).
Dari bukti-bukti ini jelaslah bahwa akuntansi sebenarnya wajib diterapkan oleh Islam baik di lembaganya, di keluarga, di perusahaan, di negaranya bahkan dalam perseorangan pun. Semua ini mendukung hipotesis yang menyatakan akuntansi sangat rnudah dalam Islam.
Kesimpulan berbagai fakta sejarah ini sudah cukup kuat untuk rnenyatakan bahwa akuntansi sudah dikenal pada masa kejayaan Islam artinya peradaban Islam tidak mungkin tidak memiliki akuntansi. Permasaalahannya adalah pemalsuan sejarah yang dilakukan beberapa oknum di Barat dan ketidakmampuan umat Muslim untuk menggali khazanah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan dua hal:
- akuntansi sudah ada sebelum Pacioli, bahkan mungkin sebelum peradaban Islam;
- mustahil sistem akuntansi Islam tidak ada semasa kejayaannya dari 610 -1250 M.
- Konsep Akuntansi Islam
Dalam menganalisis ini kita kesulitan dalam mendapatkan bahan literatur yang tersedia dalam materi pustaka. Kemungkinan besar telah termasuk dalam literatur yang dibakar oleh tentara Gengis Khan. Saat ini hanya diperoleh dari hasil penelitian arkeologi dan untuk ini juga kita belum ban yak menghasilkan hasil konkret. Pendekatan yang akan kita pakai adalah rationing atau pendekatan logika.
Akuntansi sebenarnya merupakan domain muamalah dalam kajian Islam. Artinya diserahkan pada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun, karena pentingnya permasalahan ini maka Allah Swt. bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Alquran surat AI-Baqarah ayat 282. Penempatan ayat ini juga unik dan relevan dengan sifat akuntansi itu. Ia ditempatkan dalam surat Sapi Betina sebagai lambang komoditi ekonomi. Ia ditempatkan dalam surat ke-2 yang dapat dianalogikan dengan double entry, ditempatkan di ayat 282 yang menggambarkan angka keseimbangan atau Neraca. Bahkan juga bisa dikaji relevansi ayat berikut dalam konteks double entry atau sifat berpasangannya:
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah (Al-Dzariyat: 49) .
dan juga surat Yasin ayat 36:
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.
Inilah beberapa kemungkinan yang kebenarannya hanya Allah yang Maha mengetahui,Wallahu ‘alam bishawab.
Bahkan jika dikaji sistem jagad dan manajemen alam ini ternyata peran atau fungsi akumansi sangat besar. Allah memiliki akuntan malaikat yang sangat canggih, yaitu Rakib dan Atid, malaikat yang menuliskan / menjurnal transaksi yang dilakukan manusia, yang menghasilkan buku / neraca yang nanti akan dilaporkan kepada kita (owner) di akhirat. Coba kita baca surat AI-Infithar (82) ayat 10-12 sebagai berikut.
“Padahal sesungguhnya pada kamu ada malaikat yang memonitor pekerjaanmu (10). :Yang mulia di sisi Allah dan yang mencatat pekerjaanmu itu (11). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan “(12).
Laporan ini didukung bukti(evidence) di mana satu pun tidak akan ada transaksi yang dilupakan kendatipun sebesar zarrah seperti dilihat dari surat AI-Zalzalah ayat 7-8:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun niscaya dia akan melihatnya (7). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun dia akan melihatnya” (8).
Karena akuntansi ini sifatnya urusan muamalah maka pengembangannnya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Alquran dan Sunnah hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, keadilan, kejujuran, terpercaya, bertanggung jawab, dan sebagainya.
Dalam Al Quran surat AI-Baqarah kita melihat bahwa tekanan Islam dalam kewajiban melakukan pencatatan adalah:
- menjadi bukti dilakukannya transaksi (muamalah yang menjadi dasar nantinya dalam menyelesaikan persoalan selanjutnya).
- menjaga agar tidak terjadi manipulasi, atau penipuan baik dalam transaksi maupun hasil dari transaksi itu (laba).
Penekanan ini didukung lagi oleh ratusan ayat yang dapat dijadikan sumber moral akuntansi seperti kewajiban bertakwa, berlaku adil, jujur, menyatakan yang benar, memilih yang terbaik, berguna, menghindari yang haram, jangan boros, jangan merusak, dan jangan menipu. Instrumen kualitas ini sebenarnya sudah cukup sebaga: landasan teoretis dari akunntansi Islam. Sementara itu, yang sifatnya teknis diserahkan sepenuhnya kepada umatnya untuk merumuskannya sesuai kebutuhannya.
- Pengakuan Barat terhadap Peran Akuntansi Islam
Seorang guru besar Akuntansi berkebangsaan Amerika menulis sebagai berikut: ” … the introduction of Arabic numerical greatly facilitated the growth of accounting” (lihat Hendrickson, 1992) dalam bukunya Accountting Theory. Penulis sengaja mengutip ucapan seorang penulis Barat dalam membahas topik bab ini. Hal ini dilakukan karena mengingat suatu anggapan bahwa penulis Timur khususnya yang beragama Islam hanya mencocok-cocokkan kemajuan teknologi yang dicapai sekarang dengan konsep Islam itu sendiri. Kutipan ini menandai bahwa anggapan tadi dapat kita catat bahwa penggunaan angka Arab (1,2,3, dan seterusnya) mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu akuntansi.
Dalam bab ini terdapat dua kata “akuntansi” dan “Islam.” Yang kita maksudkan dengan akuntansi dalam tulisan ini adalah comprehensive accounting yang hakibtnya adalah sistem informasi, penentuan laba, pencatatan transaksi yang sekaligus pertanggungjawaban (accountability). Sementara itu, Islam dalam konteks ini dihubungkan dengan sifat-sifat keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan yang dibawanya yang sesuai dengan ketentuan Ilahi. Antara akuntansi dan nilai Islam terdapat hubungan dan kaitan yang erat dan mempunyai tujuan dan arah yang saling mendukung atau komplementer.
Akuntansi kapitalis adalah alat ideologi kapitalis untuk mencapai tujuannya khususnya mencapai kesejahteraan material yang diinginkannya. Akuntansi kapitaiis lahir dari masyarakat kapitalis dengan sistem ekonomi kapitalis dan ideologi sekuler rasional yang dianutnya. Jika awalnya sistem ekonomi kapitalisme merupakan sistem ekonomi saja, namun pada saat ini sistem ini sudah merambah ruang politik, kenegaraan dan bahkan ideologi atau tata cara kehidupan. Akuntansi kapitalis sejalan dengan ide kapitalisme untuk mengakumulasi kekayaan dan memaksima!kan kekayaan untuk kepentingan pemodal. Dengan pandangan hidup ini, kapitalis pasti memiliki perbedaan yang mencolok dengan sistem ideologi lainnya misalnya yang berbasis agama sehingga dapat dipastikan bahwa kapitalisme tidak sesuai dengan sistem ekonomi agama mana pun.
- Spirit Islam dalam Akuntansi
Kalau kita katakan Islam dalam Akuntansi maksudnya adalah apakah comprehensive accounting itu kelengkapan yang sama sesuai dengan tujuan dan hakikat Islam.Di muka telah dibatasi bahwa Islam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai yang mendorong menciptakan keadilan dan kebenaran dalam pencatatan dan menjaga keadilan dalam berbisnis dan bekerja sarna atau berutang piutang. Jadi pertanyaan kita adalah apakah dalam akuntansi itu kita temukan keadilan dan kebenaran? Untuk mennjawab pertanyaan ini tentu kita perlu membahas lebih dalam sifat dan ciri Akuntansi. Namun, dalam bab ini penulis hanya memberikan poin-poinnya saja yang merupakan dasar bagi kita untuk menjawab pertanyaan tadi.
- Transaksi yang dicatat oleh akuntansi adalah transaksi (muamalah).
Transaksi adalah the occurrence of an event or of a condition that must be recorded
atau segala sesuatu yang mengakibatkan perubahan dalam aktiva dan passiva perorangan atau perusahaan.
- Dasar pencatatan transaksi adalah bukti (evidence) atau disebut juga business paper seperti faktur, surat utang, cheque, dan kuitansi. Yang dianggap sebagai bukti adalah bukti yang didukung oleh sifat-sifat kebenaran tanpa ada penipuan. Ini menu rut Islam. Dalam akumansi ada jenis dan tingkatan bukti yang menandakan kuat-tidaknya suatu bukti, yaitu sebagai berikut.
Real evidence, yaitu bukti fisik;
Testimonial evidence, yaitu bukti yang berasal dari kesaksian pihak luar.
Indirect evidence, yaitu bukti yang diperoleh secara tidak langsung.
Bukti yang diperoleh dari luar perusahaan lebih kuat dibandingkan bukti yang diperoleh dari dalam sendiri. Bukti yang diperoleh dari sistem internal control perusahaan yang baik lebih kuat dari yang diperoleh dengan internal control yang lemah dan bukti yang diperroleh secara langsung oleh akuntan lebih kuat dari bukti yang diperoleh secara tidak langsung. Islam menginginkan bukti yang benar sejajar dengan keinginan akuntansi yang hanya mencatat bukti yang sah (valid).
- Bukti yang menjadi dasar pencatatan akan diklasifikasikan secara teratur melalui “Aturan Umum” atau General Accepted Accounting Principle (GAAP), yang di Indonesia disebut Stanciar Akuntansi Keuangan Indonesia. Standar akuntansi dilahirkan melalui suatu panitia ahli melalui berbagai tahap pengujian sampai menjadi prinsip yang diterima umum. Proses kelahiran prinsip ini teruji dan tetap didasari oleh keadilan dan objektivitas. Proses pencatatan, sampai kepada klasifikasi akan menghasilkan Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi) yang merupakan output dari manajemen. Hanya masalahnya, dalam akuntansi kadang ada tuduhan bahwa standar akuntansi selalu memerhatikan kelompok perusahaan besar.
- Akuntansi berprinsip pada substance over form. Artinya akuntansi lebih menekankan pada kenyataan atau subsistensinya bukan formulimya. Artinya kendatiipun bukti menurut form misalkan Rp1.000,00 namun nilai yang sebenarnya form Rp800,00 maka yang harus dicatat adalah Rp800,00 bukan Rp 1.000,00 berdasarkan form.
- Tahap kelahiran laporan keuangan di atas masih belum sampai pada titik “dipercaya”. Untuk sampai kepada titik dipercayai, laporan itu masih perlu diuji at au disaksikan lagi oleh pihak tertentu yang dianggap independent (tidak memihak) melalui pemeriksaan Laporan Keuangan yang disebut audit atau general audit. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Akuntan Publik Terdaftar. Akuntan pemeriksa akan memberikan laporan mengenai pemeriksaannya apakah laporan yang disajikan manajemen tadi wajar atau tidak, atau ada sesuatu pos yang tidak wajar atau sama sekali tidak wajar. Opininya ini ada empat, yaitu:
- Opini wajar (unqualified);
- Opini wajar dengan syarat (qualified);
- Opini tidak wajar (adversed opinion);
- Tidak ada opini (disclaimer of opinion).
Dasar pemberian opini ini adalah sampai di mana laporan keuangan menaati standar akuntansi, pengungkapan, konsistensi, dan syarat-syarat lainnya.
Demikianlah proses yang kita temukan dalam comprehensive accounting dalam melakukan pencatatan sampai kepada laporannya dan laporan pihak lainnya sehingga menjadi konsumsi umum. Dan jelas kita lihat bahwa “secara ideal formal” betapa ketatnya sistem itu menjaga agar output akuntansi tetap dalam sifat kebenaran, keadilan, dan kejujuran (objektivitas), sebagaimana halnya keinginan Islam. Kalau semua berjalan secara benar maka sistem akuntansi juga menciptakan kebenaran dan keadilan.
Islam adalah ideologi, pedoman dan pandangan hidup yang mengatur tata cara hidup dan merumuskan tujuan hidup pula yang berbeda dengan ideologi kapitalisme. Islam adalah satu sistem hidup yang ditentukan Tuhan untuk menghadapi semua permasalahan hidup di dunia dan juga setelahnya yaitu di akhirat. Islam memiliki aturan tentang sistem ekonomi dantentunya juga sistem bisnis, manajemen, dan akuntansiharus juga mengacu pada sistem ideologi Islam itu. Akuntansi juga harus bisa menopang dan sejalan dengan ideologi itu. Karena Islam berbeda dengan ideologi kapitalisme, sudah dapat dipastikan bahwa sistem akuntansinya juga akan berbeda dengan sistem akuntansi kapitalis kendatipun perbedaannya tentu tidak pada semua level. Barangkali dari aspek teknik tidak banyak perbedaan modalnya dalam hal melakukan pencatatan. Namun, dalam tataran filosofi dan prinsip tentu akan memiliki perbedaan mendasar.
Namun, di sinilah permasalahannya apakah internal sistem akuntansi sendiri sampai sekecil-kecilnya mampu melahirkan keadilan dan kebenaran pada kondisi di mana filsafat ilmu atau epistemologi akuntansi konvensional itu adalah value free (bebas nilai) tidak ada yang mengontrol di luar sistem itu. Jawabannya relatif. Namun, kenyataan yang kita lihat berbagai permaasalahan profesi akuntan masih selalu muncul, baik kasus pemalsuan, peniipuan, kesalahan, bahkan kerja sarna antara akuntan publik dengan kliennya yang merugikan masyarakat. Salah satu alasan kemunculan Akuntansi Islam sebagaimana yang dijelaskan Triyuwono (2000) adalah mendobrak hipotesis yang menyatakan bahwa akuntansi itu adalah bebas nilai. Menurut Triyuwono, akuntansi itu bukan bebas nilai, ia dipengaruhi oleh oknum-oknum yang ada dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan dan kebenaran hakiki seyogianya akuntansi itu harus diwarnai oleh etika, ukuran moral sehingga tercipta akuntansi dan informasi yang benar dan adil.
Beberapa Pemikiran Teori dan Konsep Akuntansi Islam
Gambling dan Karim (Harahap, 1992) menarik hipotetis karena Islam memiliki syariah yang dipatuhi semua umatnya, wajarlah bahwa masyarakatnya memiliki lembaga keuangan dan akuntansinya yang diserahkan melalui pembuktian sendiri sesuai landasan agama. Mereka merumuskan tiga model antara lain Colonial Model yang menyebutkan jika masyarakatnya Islam, mestinya pemerintahnya akan menerapkan syariat Islam dan mestinya teori akuntansinya pun akan bersifat teori akuntan Islami. Mereka juga menekankan bahwa sesuai sifatnya, mestinya Islam harus memiliki akuntansi karena pentingnya penekanan pada aspek sosial dan perlunya penerapan sistem zakat dan baitul maal.
Akuntansi Islam merupakan konsep, sistem, dan teknik akuntansi yang membantu suatu lembaga atau organisasi untuk menjaga agar tujuan, fungsi dan operasionalnya berjalan sesuai dengan ketentuan syariah, clapat menjaga hak hal stakeholders yang ada di dalamnya, dan mendorong menjadi lembaga yang dapat mencapai kesejahteraan hakiki dunia dan akhirat.
- Scott (Harahap, 1993, 1995) adalah seorang penulis yang banyak memerhatikan masalah etika dan moral dalam melahirkan teori akuntansi. Ia seialu menggunakan kriteria keadilan dan kebenaran dalam merumuskan setiap teori akuntansi, model ini disebut Ethical Theory of Accounting. Menurut beliau dalam penyajian laporan keuangan, akuntan harus memerrhatikan semua pihak (user) dalam memperiakukannya secara adil dan benar. Dan memberikan data yang akurat jangan menimbulkan salah tafsir dan jangan pula bias.
Dalam buku yang sama Harahap (1991) mengemukakan bahwa akunntansi Islam itu pasti ada. Ia menggunakan metode perbandingan antara konsep syariat Islam yang relevan dengan akuntansi dengan konsep dan ciri akuntansi kontemporer (dalam nuansa komprehensif) itu sendiri, sehingga ia menimbulkan bahwa niIai-niIai Islam ada dalam akuntansi dan akuntansi ada dalam struktur hukum dan muamalat Islam. Menurutnya keduanya mengacu pada kebenaran kendatipun kadar kualitas dan dimensi clan bobot pertanggungjawabannya bisa berbeda. Dan juga penekanan pada aspek tanggung jawab dan aspek pengambilan keputusan berbeda.
Shaari Hamid, Russel Craig, dan Frank Clarke (1993) dalam artikel mereka yang berjudul Religion: A Confounding Cultural Element in the Interrnational Harmonization of Accounting mengemukakan dua hal berikut.
- Islam sebagai agama yang memiliki aturan-aturan khusus dalam sistem ekonomi keuangan (misalnya free interest banking system) pasti memerlukan teori akuntansi yang khusus pula yang dapat mengakoomodasi ketentuan syariah itu.
- Kalau dalam berbagai studi disimpulkan bahwa aspek budaya yang bersifat lokal (national boundaries) sangat banyak memengaruhi perkembangan akuntansi, Islam sebagai agama yang melampaui batas negara tidak boleh diabaikan. Islam dapat mendorong internasionalisasi dan harmonisasi akuntansi.
Dalam artikel tersebut dibahas dikemukakan bahwa etika dan perilaku bisnis didasarkan pada tradisi dan filosofi Barat. Ada penulis yang menganggap bahwa tradisi ini dipengaruhi etika Yahudi dan Kristiani, ada yang menganggap dipengaruhi oieh etika Protestan, ada yang menganggap hanya tradisi Barat. Perilaku bisnis melahirkan prinsip dan teknik akunntansi. Kalau konsep dasar bisnis berbeda, mestinya prinsip dan konsep dasar akuntansinya juga harus berbeda. Menurut penulis banyak konsep bisnis Barat yang tidak sesuai dengan syariat Islam sehingga konsep dan praktik akuntansinya juga ada yang tidak sesuai dengan Islam. Artinya akuntansi berdasarkan Islam harus ada.
Toshikabu Hayashi (1989) dalam tesisnya yang berjudul: On Islamic Accounting membahas dan mengakui keberadaan akuntansi Islam. Dalam tulisannya yang berasal dari tesisnya mengambil S2, beliau mengisahkan akuntansi barat yang dinilainya memiliki sifat yang dibuat sendiri dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme. 5ifat-sifat akuntansi Barat ini menurut dia kehilangan arah bila dihubungkan dengan aspek etika dan sosial dan bebas nilai. 5ementara itu, trendnya harus bernuansa sosial sebagaimana yang dimiliki akuntansi Islam dan diakui oleh Gambling dan Karim. Dalam akuntansi Islam dia katakan bahwa ada meta rule yang berada diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhinya, yaitu hukum syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan man usia. (Harahap, 1997)
Memirut beliau akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial. Dalam tulisannya, Hayashi menjelaskan bahwa konsep akuntansi sudah ada dalam sejarah Islam yang sangat berbeda dari konsep konvensional sekarang. Dia menunjukkan istilah muhtasib sebagai seseorang yang dibeerikan kekuasaan besar dalam masyarakat untuk memastikan setiap tindakan ekonomi berjalan sesuai syariah. Ia menerjemahkan akuntansi sebagai muhasabah. Bahkan beliau menjelaskan bahwa dalam konsep Islam ada perrtanggungjawaban di akhirat, di mana setiap orang akan mempertanggunggjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan. Dan Tuhan memiliki akuntan (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja bidang ekonomi, tetapi sosial dan pelaksanaan hukum syariah lainnya.
Dalam hal zakat ia mengemukakan bahwa dalam menghitung zakat sebagai kewajiban Muslim memiliki beberapa konsep pengukuran, penggakuan, dan pelaporan yang berbeda dari konsep akuntansi Barat, seperti penilaian persediaan yang harus menggunakan harga pasar, memakai konsep accrual basis, dan konsep time period yang tegas. Dalam kesimmpulannya beliau menyatakan sebagai berikut.
Akuntansi Islam yang memiliki makna implisit bidang ekonomi, politik, agama, memiliki kas yang besar untuk menunjukkan kunci ke arah akuntansi pasca Newtonian (pasca kemajuan Barat, pen).
Muhammad Akram Khan (Harahap, 1992) merumuskan sifat akuntansi Islam sebagai berikut:
1.Penentuan Laba Rugi yang Tepat
Walaupun penentuan laba rugi agak bersifat subjektif dan bergantung nilai, kehati-hatian harns dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (atau dalam Islam sesuai dengan syariah) dan konsisten sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua pihak pemakai laporan dilindungi.
2.Mempromosikan dan Menilai Efisiensi Kepemimpinan
Sistem akuntansi harus mampu memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijakksanaan-kebijaksanaan yang baik.
3.Ketaatan kepada Hukum Syariah
Setiap aktivitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dinilai halal haramnya. Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut tidaknya suatu organisasi.
4.Keterikatan pada Keadilan
Karena tujuan utama dalam syariah adalah penerapan keadilan dalam masyarakat seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan (selanjutnya mencegah) setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidakadilan dalam masyarakat.
5.Melaporkan dengan Baik
Telah disepakati bahwa peranan perusahaan dianggap dari pandangan yang lebih luas (pada dasarnya bertanggung jawab pada masyarakat secara keseluruhan). Nilai sosial ekonomi dari ekonomi Islam harus diikuti dan dianjurkan. Informasi akuntansi harus berada dalam posisi yang terbaik untuk meIaporkan hal ini.
6.Perubahan dalam Praktik Akuntansi
Peranan akuntansi yang demikian luas dalam kerangka Islam memerrlukan perubahan yang sesuai dan cepat dalam praktik akuntansi sekarang. Akuntansi harus mampu bekerja sarna untuk menyusun saran-saran yang tepat untuk mengikuti perubahan ini.
Iwan Triyuwono (2000), telah membuktikan bahwa ilmu akuntansi itu bukan bebas nilai. Akuntansi konvensional saat ini sudah diwarnai oleh nilai-nilai kapitalisme yang didasari oleh filsafat kapitalisme, yang materialis dan sekular. Islam sebagai suatu agama yang memiliki nilai-nilai juga memiliki akuntansi jika penganutnya memiliki organisasi yang dikelola dengan dasar-dasar syariah itu.
Profesi Akuntan Publik
Bidang akuntansi melahirkan profesi akuntan. Profesi ini lahir karena anggapan bahwa penyaji laporan keuangan, yaitu manajemen dianggap tidak akan dapat berlaku adil dan objektif dalam melaporkan hasil prestasinya. Oleh karena itu, diperlukan pihak penyaksi independen yang menilai seberapa jauh laporan yang disusun manajemen sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang ada.
Dalam konteks inilah maka Alquran (Al-Nisa’: 135) memberikan pedoman yang diberikan kepada para akuntan publik sebagai pelaku attest function sebagai berikut.
Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapakmu, kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini jelas menerangkan kualitas penyaksian yang diinginkan yaitu independen dan objektif.
Tren Akuntansi
Pada tahun 1994 di Adelaide, Australia dilaksanakan International Conference dengan topik menarik dan sangat conform dengan Akuntansi Islam, topiknya adalah Accountability: Our Challenge. Salah satu artikel yang menjawab topik ini adalah tulisan Prof. Lee D. Parker dengan judul Here’s to an Accountable Future. Isu ini sebenarnya sudah dikenal pada tahun 1972 Melalui Trueblood Report yang membahas tentang Tujuan Laporan Keuangan (Harahap, 1994). Dalam satu babnya dijelaskan bahwa salah satu tujuan laporan keuangan adalah sebagai berikut.
Laporan Keuangan bertujuan memberikan informasi yang berguna untuk menilaikernampuan manajemen menggunakan kekayaan perusahaan secara efektif (accountability) dalam mencapai tujuan utama perusahaan.
Tujuan ini mengharuskan laporan keuangan menyajikan aspek accountability manajemen dalam mengelola perusahaan. Namun, dalam laporan ini porsi accountability masih sedikit.
Pada konferensi tersebut aspek accountability ini menjadi sorotan dan topik utama. Dalam artikel tersebut Parker mengemukakan bahwa ternyata akuntansi konvensional dengan berbagai penambahan standar tetapi problema crash, bankruptcy, depresi terjadi juga. Bahkan Ahmed Belkaoui (1989) dalam bukunya yang menyentak, berjudul: The Coming Crisis in Accounting mengemukakan betapa besarnya masalah yang dihadapi profesi akuntan khususnya dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap fungsi dan profesinya. Ia menjelaskan berbagai penyelewengan dan peristiwa yang merusak kepercayaan masyarakat, menurunnya proses kerja dalam akuntansi, iklim dalam organisasi kantor akuntan, dan problema produksi ilmu pengetahuan daIam akuntansi.
Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana mengatasinya? Dan jawaban yang diberikan Parker (1984) adalah perlunya laporan akuntansi:
- menyajikan informasi yang bersifat non-accounting data;
- menyajikan proyeksi anggaran;
- c. lebih berdimensi sosial;
- mengemukakan kepatuhannya pada aturan yang berlaku;
- agar lebih mengurangi porsi penimbangan subjektif, harus lebih ilmiah;
- harus menyajikan informasi apakah manajemen melakukan penyelewengan;
- harus menggunakan bahasa yang biasa yang lebih dimengerti publik.
Untuk mencapai ini, akuntan masa depan harus akuntan yang beretika dan bertanggung jawab, jujur, membela kebenaran, dan dipercaya.
Konsep ini ternyata sejalan dengan mega accounting trendnya Enthoven (1985), yaitu sebagai berikut.
- Mengidentifikasi, mengukur, dan melaporkan informasi yang relevan.
Informasi yang dibutuhkan para pemakai tidak hanya menyangkut finansial, tetapi menyangkut yang dibutuhkan oleh pemakai sesuai tujuannya.
- Mengukur efisiensi dan produktivitas. Akuntansi bukan hanya mengukur earningpower (kemampuan) perusahaan menciptakan laba, tetapi juga kemampuan perusahaan atau lembaga lainnya dalam hal efisiensi dan produktivitas.
- Akuntansi harus lebih terpadu dan saling terkait dengan disiplin lain seperti budaya, agama, atau kepercayaan, psikologi, politik, ilmu penggambilan keputusan, dan lain-lain.
Demikian uraian yang dikutif dari Harahap (2007:350-376) yang menggambarkan
secara jelas mengenai apa itu akuntansi dalam Islam, beberapa pemikiran, teori dan
konsepnya serta bagaimana profesi akuntan publik dan bagaimana Tren akuntansi itu
sendiri.
Akuntansi Sosial Ekonomi dalam Konteks Saat ini (masa sekarang).
Akuntansi Sosial Ekonomi
Berikut ini saya nukilkan bagaimana Harahap (2007: 389-401) dalam bukunya Teori akuntansi, Edisi Revisi mengenai Akuntansi Sosial Ekonomi:
Menurut Harahap (2007) selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memmberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Ia bisa memberikan kesempatan kerja, menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat untuk dikonsumsi, ia membayar pajak, memberikan sumbangan, dan lain-lain. Karenanya perusahaan mendapat legitimasi bergerak leluasa melaksanakan kegiatannya. Namun, lama kelamaan karena memang perusahaan ini dikenal juga sebagai “binatang ekonomi” yang mencari keuntungan sebesar-besarnya, akhirnya semakin disadari bahwa dampak yang dilakukannya terhadap masyarakat cukup besar dan semakin lama semakin besar yang sukar dikendalikan seperti polusi, keracunan, kebisingan, diskriminasi, pemaksaan, kesewenang-wenangan, produksi makanan haram, dan sebagainya. Bahkan gempa bumi, banjir, Tsunami dinilai disebabkan oleh kegiatan manusia khususnya korporasi yang mengeksploitasi bumi secara besar-besaran hanya untuk mengejar target ROI, ROA dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dampak luar ini disebut externalities.
Karena besarnya dampak externalities terhadap kehidupan masyarakat, masyarakat pun menginginkan agar dampak ini dikontrol sehingga dampak negatif, external diseconomy atau social cost yang ditimbulkannya tidak semakin besar. Dari sini berkembanglah ilmu akuntansi yang selama ini dikenal hanya memberikan informasi tentang kegiatan perusahaan dengan pihak kedua. Dengan adanya tuntutan ini, akuntansi bukan hanya merangkum informasi tentang hubungan perusahaan dengan pihak kedua (partner bisnisnya), tetapi juga dengan Iingkungannya pihak ketiga.
Hubungan perusahaan dengan lingkungannya bersifat non-reciprocal artinya transaksi itu tidak menimbulkan prestasi timbal-balik dari pihak yang berhubungan. Ilmu akuntansi yang mencatat, mengukur, melaporkan externalities ini disebut dengan Socio Economic Accounting (SEA). Istilah lain bisa juga dipakai misalnya Environmental Accounting, Social Responsibility Accounting, dan lain sebagainya.
Dalam akuntansi konvensional yang menjadi fokus perhatiannya adalah pencatatan dan pengukuran terhadap kegiatan atau dampak yang timbul akibat hubungan antara perusahaan dengan pelanggan atau lembaga lainnya. Sedangkan Socio Economic Accounting menyoroti aspek sosial atau dampak (externalities) dari kegiatan pemerintah dan perusahaan. Bidang ini terasa penting saat ini khususnya bagi kita di Indonesia karena banyaknya kegiatan pemerintah maupun perusahaan yang justru ada yang menimbulkan penyakit sosial seperti kerusakan ekosistem, polusi, kriminal, monopoii, keterbelakangan desa, meningkatnya utang, diskriminasi, kemiskinan, dan lain-lain. Dan hal ini sangat disadari dan diperhatikan sekarang khususnya oleh gerakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) seperti Greenpeace di Eropa dan Amerika.
Ilmu Socio Economic Accounting (SEA) ini merupakan bidang ilmu akuntansi yang berfungsi dan mencoba mengidentifikasi, mengukur, menilai, melaporkan aspek-aspek social benefit dan social cost yang ditimbulkan oleh lembaga. Pengukuran ini pada akhirnya akan diupayakan sebagai informasi yang dijadikan dasar dalam proses pengambilan kepuutusan untuk meningkatkan peran lembaga, baik perusahaan atau yang lain untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan.
Timbulnya Socio Economic Accounting
Kemajuan industri setelah Perang Dunia II dan munculnya negara sebagai aktor dalam peningkatan kualitas hidup menimbulkan berbagai macam isu yang justru dapat juga merusak kualitas hidup. Hal ini menjadi sorotan para ahli dan para pengambil keputusan. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam menilai penyakit sosial ini adalah ketiadaan media pengukur arithmetic of quality. Hal ini tergambar dari pernyataan A.W. Clausen, bekas direktur World Bank sebagai berikut.
Saya sampaikan bahwa salah satu alasan yang paling kuat atas ketiadaan respon, kita terhadap isu penyakit sosial itu dan penyebab kebingungan kita terhadap penyelesaiannya adalah ketiadaan ukuran kualitas (Belkaoui, SEA, hIm. 3).
Ukuran itu penting sehingga setiap unit pemerintah maupun peruusahaan mengetahui berapa jauh efek kegiatan lembaganya memengaruhi kualitas hidup manusia, apakah berdampak positif atau negatif. Berapa kontribusi perusahaan untuk meningkatkan pendidikan pegawainya ataupun masyarakat? Berapa jauh pengaruh polusi, pengrusakan lingkungan yang ditimbulkannya? Hal-hal inilah mestinya yang diukur oleh SEA sebagai salah satu ukuran kualitas.
Definisi SEA
SEA masih merupakan fenomena baru dalam ilmu akuntansi, dan sering ditafsirkan sama dengan Social Accounting yang dihubungkan dengan National Income Accounting. Para ahli juga telah banyak memberikan definisi dan dalam tulisan ini saya akan kutip definisi dari Ahmed Belkaoui, dalam bukunya tentang Socio Economic Accounting. Beliau menyatakan sebagai berikut:
SEA timbul dari penerapan akuntansi dalam ilmu sosial, ini menyangkut pengaturan, pengukuran analisis, dan pengungkapan pengaruh ekonomi dan sosial dari kegiatan pemerintah dan perusahaan. Hal ini termasuk kegiatan yang bersifat mikro dan makro. Pada tingkat makro bertujuan untuk mengukur dan mengungkapkan kegiatan ekonomi dan sosial negara mencakup social accounting dan reporting peranan akuntansi dalam pemmbangunan ekonomi. Pada tingkat mikro bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap lingkungannya, mencakup: financial dan managerial social accounting, social auditing.
Ada juga yang menyebutkan Socio Economic Accounting sebagai Social Responsibility Accounting. SEA ini tidak sarna dengan Social Accounting yang pengertiannya adalah pengukuran mengenai bagaimana efisiensi suatu sistem ekonomi berfungsi dan memberikan data periodik yang menyangkut indikasi posisi suatu negara menyangkut ukuran externalities itu. Social Accounting ini sering juga disebut National Income Accounting atau Macro Socio Economic Accounting.
Dalam kaitannya dengan sistem ekonomi, SEA sangat diperlukan clalam Suatu sistem ekonomi yang bercirikan sintese, dari sistem ekonomi antara
Social Economy dan Institutional Economy. Social Economy mempunyai komitmen yang dalam terhadap kesejahteraan manusia dan keadilan, sedangkan institutionalis mempunyai komitmen yang besar terhadap pragmatisme dalam menganalisis sosial ekonomi masyarakat. Negara kita adalah negara yang memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya, karena itu SEA ini penting diterapkan bahkan diharuskan untuk diterapkan oleh semua perusahaan dan lembaga di negara kita.
Pendorong Munculnya SEA
Literatur dalam ilmu sosial, ilmu sosiologi, dan khususnya kegiatan-kegiatan sosial merupakan saksi dan penyebab yang mendorong timbulnya SEA. Seperti perubahan sikap para ahli dan pengambil keputusan terhadap peranan bisnisdan unit pemerintahan dalam kaitannya dengan efek sosial yang ditimbulkannya. Adanya kecenderungan beralihnya perhatian pada kesejahteraan individu ke arah kesejateraan sosial. Kecenderungan yang bergerak dari kegiatan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa melihat efek sampingnya ke arah mencari lab a yang berwawasan lingkungan. Timbulnya departemen (unit) pemerintahan yang mengurus lingkungan hidup, juga sejalan dengan kemunculan SEA. Kecenderungan ini sernua dapat kita lihat dari beberapa paradigma berikut ini.
- Kecenderungan terhadap Kesejahteraan Sosial
Sejarah menunjukkan bahwa kelangsungan hidup manusia, kesejahteeraan masyarakat yang sebenarnya hanya dapat lahir dari sikap kerja sama antar unit-unit masyarakat itu sendiri. Negara tidak bisa hidup sendiri tanpa partisipasi rakyatnya, perusahaan juga tidak akan maju tanpa dukungan langganannya maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan ini semakin disadari dan semakin dibutuhkan pertanggungjawabannya. Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang keterkaitan saling pengaruh memengaruhi antara negara dan rakyatnya, antara perusahaan dan masyarakatnya, SEA ini sangat berperan.
- Kecenderungan terhadap Kesadaran Lingkungan
Dalam literatur paradigma ini dikenal dengan the human exceptionalism paradigm menuju the new environment paradigm. Paradigma yang pertama menganggap bahwa manusia adalah makhluk unik di bumi ini yang rnemiliki kebudayaan sendiri yang tidak dapat dibatasi oleh kepentingan makhluk lain. Sebaliknya, paradigma yang terakhir menganggap bahwa manusia adalah makhluk di antara bermacam-macam makhluk yang mendiami bumi yang saling mempunyai keterkaitan dan sebab-akibat, dan dibatasi oleh sifat keterbatasan dunia itu sendiri, baik sosial, ekonomi, atau politik. Sekarang manusia semakin menyadari bahwa paradigma yang belakangganlah yang benar dan yang menjadi pedoman sehingga perhatian kepada lingkungan semakin besar. Namun sayangnya, ada juga kita lihat gejala baru yang justru akan mengganggu kesejahteraan sosial, yaitu perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan binatang peliharaan dan kesayangan, dan mengabaikan kesejahteraan makhluk manusia sendiri. Kesadaran akan kebenaran environment paradigm merupakan salah satu pendorong munculnya SEA.
- Perspektif Ekosistem
Orientasi yang terlalu diarahkan kepada pembangunan ekonomi, efisiensi, profit maximization menimbulkan krisis ekosistem. Gejala ini menaruh perhatian para ahli sehingga muncul kelompok-kelompok yang menamakan dirinya penyelamat lingkungan seperti Greenpeace, lembaga konsumen, dan lain-lain. Salah satu kelompok tingkat dunia yang menaruh perhatian terhadap ekosistem ini adalah Club of Rome yang terkenal dengan pendapatnya Limits to Growth, salah satu putra terbaik kita, Almarhum Dr. Soedjatmoko, mantan Rektor Universitas PBB di ]epang, termasuk salah satu anggotanya. Walaupun pendapat Club of Rome ini dikeluarkan tahun 1975, namun hal ini masih segar dan relevan buat kita masa kini. Beberapa sarannya yang penting adalah stabilisasi antara kelahiran dan kematian, stabilisasi investasi dengan penyusutan barang modal, penguurangan konsumsi sumber-sumber alam, pengutamaan pendidikan dan konsumerisme, penurunan polusi industri, dan lain-lain. Tanpa pembatasan terhadap tingkah laku manusia tampaknya yang timbul hanya kehancuran dan kekacauan termasuk gempa bumi dan tsunami. Perspektif terhadap ekosistem ini mendorong SEA.
- Ekonomisasi vs Sosialisasi
Ekonomisasi mengarahkan perhatian hanya kepada kepuasan indiviidual sebagai suatu unit yang selalu mempertimbangkan cost dan benefit tanpa memperbatikan kepentingan masyarakat. Sebaliknya sosialisasi memfokuskan perhatiannya terhadap kepentingan sosial dan selalu mempertimbangkan efek sosial yang ditimbulkan oleh kegiatannya. Walaupun sosialisasi ini belum tampak nyata, namun pengaruh pemeerintah dan tekanan sosial cenderung menguntungkan kepentingan sosial. Akhirnya, perlu alat ukur sampai seberapa jauh pengaruh perusahaan terhadap masyarakat.
Sikap Mengatasi Penyakit Sosial
Penyakit sosial yang ditimbulkan oleh pengaruh kegiatan negara dan business perlu ditanggulangi secara tepat dan terarah, salah satu upaya ke arah itu adalah perlunya standar atau ukuran tentang kualitas pengaruh kegiatan itu. Di samping itu tentunya sikap baru yang muncul belakangan ini yang cenderung ke arah memperhatikan kesejahteraan sosial perlu didukung dan dimantapkan, bahkan perlu diratifikasi dan diinstitusionalisasi. Hubungan perusahaan masyarakat perlu diserasikan dengan jalan keterlibatan perusahaan untuk memperbaiki ketimpangan sosial masyarakat. Hal ini sudah banyak dimulai oleh banyak perusahaan di Indonesia, antara lain keterlibatan perusahaan dalam pembersihan air limbah akibat industrinya, keterlibatannya dalam kegiatan olahraga, dakwah, pendidikan, bantuan terhadap bencana alam, memberikan beasiswa, dan sebagainya. Dan hal ini telah diatur oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup yang sudah diberlakukan itu.
Memang masih banyak lagi yang belum terlibat bahkan masih meIaahirkan kerusakan lingkungan. Sayangnya ukuran untuk menilai mana yang paling banyak memberikan kontribusi positif ataa dampak negatif terhadap sosial atas kegiatan ini belum ada. Disinilah peranan SEA dan social responsibility perusahaan diharapkan untuk baik melakukan kegiatan sosial yang mempunyai pengaruh social economy maupun melaporkan, mengukur, dan menilai kontribusi perusahaannya terhadap sosial yang bersifat diseconomy. Berapa social cost yang ditimbulkan industrinya, dan berapa pula keuntungan yang telah ditimbulkannya. Dengan adanya ukuran semacam ini perusahaan dan pemerintah akan dapat mengambil kebiijaksanaan, keputllsan terhadap dampak externalities ini. Penilaian terhadap variabel ini semua merupakan bidang dari social auditing.
Konsep Pengukuran SEA
Konsep pengukuran, penilaian dalam SEA ini masih dalam proses pembahasan para ahli. Dan FSAB sendiri pun belum mengambil sikap yang tegas dalam persoalan ini. Namun SEA, khususnya tentang polusi telah mewajibkan perusahaan untuk menyajikan pengungkapan. Di pihak lain AAA, AICPA telah membentuk komite dan telah mengeluarkan laporan yang lumayan lengkap tentang SEA. Di USA kantor akuntan Ernst & Ernst telah melakukan penelitian sejak 1971 tentang keterlibatan sosial perusahaan yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Beberapa hal yang diungkapkan adalah sebagai berikut.
Lingkungan:
-polusi
-pencegahan kerusakan lingkungan, konservasi sumber-sumber alam, dan lain-lain
Energi:
-konservasi energi penghematan, dan lain-lain
Praktik usaha yang fair:
-merekrut pegawai dari minoritas dan peningkatan kemampuannya penggunaan
tenaga wanita sebagai karyawan
-pembukaan unit usaha di luar negeri, dan lain-lain
Sumber tenaga manusia:
-Kesehatan dan keamanan pegawai training, dan lain-lain
-Keterlibatan terhadap masyarakat: kegiatan masyarakat sekitar bantuan kesehatan
-pendidikan
-seni, dan lain-lain
Produksi:
-Keamanan produksi mengurangi polusi keracunan, dan lain-lain
Di samping variabel di atas, penulis lain banyak lagi yang menyinggung antara lain:
Keterlibatan dengan kegiatan pemerintah, kejujuran terhadap konsumen, meningkatkan informasi mengenai perusahaan dan produk, peningkatan pendidikan masyarakat, menghargai hak asasi, pembangunan prasarana kota/desa, pembangunan tempat rekreasi, peningkatan perhatian terhadap kebudayaan dan seni, dan lain-lain.
Hal ini semua dapat kita manfaatkan untuk mengukur keterlibatan perusahaan dalam kegiatan masyarakat dan tentu dapat ditambah Iagi sesuai keadaan kita di Indonesia, seperti peningkatan prestasi olahraga, kegiatan keagamaan dan dakwah, pendirian lembaga sosial dan pendidikan, dan sebagainya.
Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Pertanyaan yang selalu muneul dalam debat ilmiah tentang peran bisnis adalah apakah perusahaan sebagai suatu lembaga unik yang tujuannya menncari laba dan kadang disebut sebagai “binatang ekonomi” wajib memiliki etika dan tanggung jawab sosial sebagaimana manusia yang beragama; bagaimana menurut paham kapitalis; dan bagaimana pula paham kita sebagai negara Pancasila? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan suatu hal yang akan menentukan kemungkinan eksistensi SEA dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, dalam masyarakat yang berpaham bahwa perusahaan tidak perIu memiliki etika dan tanggung jawab sosial, maka SEA relatif tidak perIu. Sebaliknya, paham yang menganggap perusahaan memiliki etika dan tanggung jawab sosial berpendapat bahwa SEA mempunyai peranan yang cukup penting. SEA sebagaimana dijelaskan di muka, merupakan penerapan akuntansi dalam ilmu sosial yang menyangkul pengaturan, pengukuran, analisis, dan pengungkapan pengaruh ekonomi dan sosial dari kegiatan pemerintah dan perusahaan. Apabila perusahaan tidak mau tahu dengan sosial dan dari akibat tindakannya serta tidak ada kemauannya untuk mengobati penyakit sosial, maka SEA relatif tidak perIu. Walaupun secara konsepsional paham yang demikian masih ada, kecenderungan menunjukkan sekalipun di negara kapitalis, perusahaan masih dianggap punya etika dan tanggung jawab sosial.
Perusahaan dan Keterlibatan Perusahaan
Ada beberapa model dan kecenderungan tentang keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial. Sepanjang penelitian kepustakaan ada 3 pandangan atau model yang menggambarkan keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial. Ketiga model itu adalah sbb.:
- Model Klasik
Pendapat ini, yang berkembang pada abad ke-19, bertitik-tolak pada konsep persaingan sempurna, di mana perilaku ekonomi terpisah dan berbeda dengan bentuk dan jenis perilaku yang lain. Tujuan perusahaan hanya untuk mencari untung yang sebesar-besarnya. Kriteria keberhasilan perusahaan diukur oleh daya guna dan pertumbuhan. Menurut pendapat ini, usaha yang dilakukan perusahaan semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan pasar dan mencari untung yang akan dipersembahkan kepada pemilik modal. Seorang fundamentalis di bidang ini, Milton Friedman menyatakan:
Ada satu dan hanya satu tanggung jawab perusahaan, yaitu mengggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk meningkatkan laba sepanjang sesuai dengan aturan main yang berlaku dalam suatu sistem persaingan bebas tanpa penipuan dan kecurangan (Milton Friedman, Capitalism and Freedom, 1962).
Jelasnya perusahaan, menurut pendapat ini, tidak perlu memikirkan efek sosial yang ditimbulkan perusahaannya dan tidak perlu memikirkan usaha untuk memperbaiki penyakit sosial itu bukan urusan bisnis, tetapi urusan pemerintah.
- Model Manajemen
Pendapat ini timbul sekitar tahun 1930, setelah muncul tantangan baru dari perusahaan yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan keadaan sebelumnya yang diwarnai oleh pemikiran model klasik. Menurut pendapat ini perusahaan dianggap sebagai lembaga permanen yang hidup dan punya tujuan tersendiri. Manajer sebagai orang yang dipercayai oleh pemilik modal menjalankan perusahaan untuk kepentingan bukan saja pemilik modal, tetapi juga mereka yang terlibat langsung dengan hidup matinya pernsahaan seperti karyawan, langganan, supplier, dan pihak lain yang ada kaitannya dengan perusahaan yang tidak semata-mata didasarkan atas adanya hubuungan kontrak perjanjian (Frank X. Suttin et. al. 1956). Dengan demikian, manajer sebagai tim yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup perusahaan terpaksa memilih kebijakan yang harus mempertimbangkan tanggung jawab sosial perusahaan mengingat ketergantungannyadengan pihak lain (masyarakat) yang juga punya andil dalam pencapaian tujuan perusahaan yang tidak hanya memikirkan setoran buat pemilik modal.
- Model Lingkungan Sosial
Model ini menekankan bahwa perusahaan meyakini bahwa kekuasaan ekonomi dan politik yang dimilikinya mempunyai hubungan dengan ke. pentingan (bersumber) dari lingkungan sosial dan bukan hanya semata dari pasar sesuai dengan teori atau model klasik. Konsekuensinya perusa. haan harus berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan penyakit sosial yang berada di lingkungannya seperti sistem pendidikan yang tidak bermutu, pengangguran, polusi, perumahan kumuh, transportasi yang tidak teratur, keamanan, dan lain-lain. Kalau model klasik punya tujuan utama untuk menyejahterakan pemilik modal dan model manajemen menyejahterakan manajemen, dalam model ini perusahaan harus memperluas tujuan yang harus dicapainya yaitu yang menyangkut kesejahteraan sosial secara umum (Ahmed Belkaoui, 1980). Dengan demikian, dalam memilih proyek yang akan dibangun, di samping memerhatikan persentasi laba, juga harus memperhatikan keuntungannya dan kerugian yang mungkin akan diderita oleh masyarakat. Berdasarkan pengamatan sepintas, baik karena pengaruh tuntutan masyarakat melalui tangan pemerintah maupun perubahan sikap manusia dalam perusahaan saat ini. Hal ini berlaku, baik di negara kapitalis, sosialis, apalagi di negara kita.
- Ke Arah Eksistensi Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Dalam literatur telah banyak dibahas tentang sikap perusahaan terhadap etika dan tanggung jawab sosial. Mulai dari tanpa keterlibatan, keterlibatan terbatas, sampai kepada keterlibatan total terhadap lingkungan sosialnya. Ahmed Belkaoui dengan cara sistematis mengelompokkan batasan ini dalam lima kategori yang seirama dengan ketiga model yang disajikan di atas (Ahmed Belkaoui, SEA, 1984). Berikut ini kita sajikan berturut-turut.
Pertama: Tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada usaha mencari laba yang maksimal. Jika perusahaan clapat mengumpulkan laba yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan efek sosialnya, berarti perusahaan sudah memenuhi panggilan tugasnya sebagai badan usaha. Menurut kategori ini, apabila perusahaan diwajibkan
untuk memerhatikan lingkungan sosial masyarakatnya, maka akan merusak sendi-sendi ekonomi persaingan bebas. Keadaan ini sarna dengan model klasik di atas.
Kedua: Di samping tujuan mencari untung, perusahaan juga harus memperhatikan pihak-pihak tertentu dengan siapa ia mempunyai kepentingan. Hal ini dicontohkan dengan perbaikan kesejahteraan karyawan, manajemen, menjalin hubungan baik dengan kelompok masyarakat tertentu, dan lain-lain.
Ketiga: Perusahaan melepaskan diri dari tujuan hanya mencari laba dengan memperluas tanggung jawab manajemen, McGuire menggambarkan potret perusahaan sebagai berikut:
Ide tanggung jawab sosial di sini dimaksudkan bahwa perusahaan tidak hanya punya tanggung jawab ekonomi dan hukum, tetapi juga tanggung jawab tertentu terhadap sosial di luar kewajiban utamanya. Perusahaan harus punya perhatian terhadap politik, dalam mensejahterakan masyarakatnya, dalam memperbaiki pendidikan, dalam mensejahterakan karyawan, dan hallain yang bersangkut-paut dengan itu. Rasanya hal ini berarti bahwa perusahaan harus berperilaku sebagaimana seorang penduduk yang baik. (Joseph W. McGuire, Business and Society, 1963). Sebagai penduduk yang baik maka perusahaan mestinya juga bertindak seperti penduduk yang memperhatikan etika sosial.
Keempat: Dalam kelompok ini, tanggung jawab sosial perusahaan mencakupi hal yang bersifat ekonomi dan nonekonomi Dalam kategori ini dikenal tiga pusat lingkaran:
Lingkaran dalam, mencakup tanggung jawab dasar dalam melaksanakan fungsinya dengan efisien, seperti fungsi produksi, penyediaan job, dan pertumbuhan ekonomi.
Lingkaran tengah, mencakup tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomisnya dengan penuh kesadaran akan perubahan nilai dan prioritas yang berlaku dalam masyarakat, seperti konservasi lingkungan, perbaikan kualitas hidup, hubungan dengan karyawan dan lingkungan perusahaan.
Lingkaran luar, mencakup tanggung jawab yang baru muncul dan masih berkembang, di mana perusahaan harus secara luas terlibat secara aktif untuk memperbaiki lingkungan sosial (Gacobi, Corporate Power and Social Responsibility, 1973).
Kelima: Tanggung jawab sosial diperluas melewati batas tanggung jawab dan mencakupi keterlibatan total terhadap tugas-tugas sosial. Prakash Sethi merumuskan bentuk ini dalam tiga dimensi:
Social obligation, merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap permintaan pasar sesuai dengan ketentuan hukum.
Social responsibility menggerakkan perusahaan sehingga segala tindakannya sesuai dengan norma, nilai, dan harapan masyarakat yang berlaku.
Social responsiveness merupakan respon perusahaan untuk menjawab isu yang akan timbul di masa datang (S. Prakash Sethi, Academy of Management Review, 1979).
Keenam: Kategori keenam ini merupakan variasi semua pengertian yang diliput oleh literatur tentang bentuk dan batasan tanggung jawab sosial perusahaan di atas. Kita di Indonesia tentu belum punya batasan yang jelas tentang tanggung jawab sosial ini yang mestinya perlu dipikirkan. Namun yang jelas, tampaknya terlepas apa motifnya, di Indonesia sudah banyak perusahaan yang punya perhatian dan keterlibatan dengan lingkungan sosialnya. Hal ini tentu perlu dipupuk, dimonitor, dan bila perlu ditunjang dengan insentif dan penghargaan yang berarti. Ketentuan perpajakan baru yang tertuang dalam UU Perpajakan yang tidak mengakui sumbangan sosial sebagai sesuatu yang dapat mengurangi pajak sebenarnya, bertentangan dengan sikap kita sebagai negara yang memperhatikan aspek sosial yang sebenarnya tidak hanya monopoli pemerintah. Anehnya di negara kapitalis umumnya seperti USA, sumbangan kepada kepentingan sosial, agama, seni, dan lain-lain diakui sebagai yang dapat mengurangi (tax deductible) pendapatan kena pajak.
Bradshaw mengemukakan ada tiga bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yaitu sebagai berikut.
- Corporate philanthropy, di sini tanggung jawab perusahaan itu berada sebatas kedermawanan atau kerelaan belum sampai pada tanggung jawabnya. Bentuk tanggung jawab ini bisa merupakan kegiatan amal, sumbangan atau kegiatan lain yang mungkin saja tidak langsung berhubungan dengan kegiatan perusahaan.
- Corporate responsibility, di sini kegiatan pertanggungjawaban itu sudah merupakan bagian dari tanggung jawab perusahaan bisa karena ketentuan UU atau bagian dari kemauan atau kesediaan perusahaan.
- Corporate policy, di sini tanggung jawab sosial perusahaan itu sudah merupakan bagian dari kebijakannya.
Di Indonesia menurut beberapa UU perusahaan ikut bertanggung jawab mensejahterakan masyarakat.
Pro-Kontra TanggungJawab Sosial Perusahaan
Persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggung jawab sosial atau tidak, masih terus merupakan perdebatan ilmiah. Masing-masing mengemukakan pendapat dan dukungannya dan mengklaim bahwa idenyalah yang benar. Berikut ini adalah alasan para pendukung agar perusahaan memiliki etika dan tanggung jawab sosial.
- Keterlibatan sosial merupakan respon terhadap keinginan dan harapan masyarakat terhadap peranan perusahaan. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menguntungkan perusahaan.
- Keterlibatan sosial mungkin akan mempengaruhi perbaikan lingkungan, masyarakat, yang mungkin akan menurunkan biaya produksi.
- Meningkatkan nama baik perusahaan, akan menimbulkan simpati langganan, simpati karyawan, investor, dan lain-lain.
- Menghindari campur tangan pemerintah dalam melindungi masyarakat.
Campur tangan pemerintah cenderung membatasi peran perusahaan. Sehingga jika perusahaan memiliki tanggung jawab sosial mungkin dapat menghindari pembatasan kegiatan perusahaan.
- Dapat menunjukkan respon positif perusahaan terhadap norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sehingga mendapat simpati masyarakat.
- Sesuai dengan keinginan para pemegang saham, dalam hal ini publik.
- Mengurangi tensi kebencian masyarakat kepada perusahaan yang kadang-kadang suatu kegiatan yang dibenci masyarakat tidak mungkin dihindari.
- Membantu kepentingan nasional, seperti konservasi alam, pemeliharaan barang seni budaya, peningkatan pendidikan rakyat, lapangan kerja, dan lain-lain.
Demikian uraian yang diuraikan Harahap dalam bukunya Teori Akuntansi, Edisi Revisi (2007:389-401).
Kesimpulan
Corporate Social Responsibilty dengan segala bentuk teori dan praktek perkembangannya sebagaimana telah dibahas di muka, ditambah lagi konsep socio economic accounting merupakan suatu hal yang positif dari sudut pandang akuntansi Islam walupun itu semua timbul dari perkembangan konsep ilmu pengetahuan dan prakteknya yang terjadi di dunia konvensional, tetapi selama itu masih bersesuaian, dan tidak bertentangan maka mengapa harus kita tolak?. Dalam zaman Nabi SAW sendiri semua praktek kebiasaan yang ada di masyarakat Arab jahiliah, segala hal yang bersifat positif, seperti nama-nama orang, kebiasaan berkhitan, kebiasaan berpoligami, dll.nya selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW masih diteruskan sampai saat ini dan dianggap merupakan bagian dari ajaran Islam. Untuk nama-nama orang seperti: Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, tidak dirubah oleh Nabi SAW, dan sekarang ini nama-nama tersebut oleh kita semua dianggap sebagai nama-nama orang Islam padahal mereka memiliki nama tesebut dapat dikatakan sejak zaman mereka belum memeluk Islam, kalau tidak mau dusebut sebagai Warisan zaman jahiliah.
Begitu juga kebiasaan berkhitan, hal ini bukan hanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetapi sangat mendukung praktek pelaksanaan ajaran Islam lainnya, misalnya seseorang berkhitan akan lebih mudah untuk berthoharoh, jika dia mudah bersuci atau berthoharoh, maka akan mudah pula baginya untuk berwudhu dan bersholat, dan seterusnya. Begitu juga kebiasaan berpoligami, ternyata hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW, cuma saja oleh Nabi dibatasi, jumlahnya menjadi maksimal empat saja untu suatu waktu yang bersamaan.
Begitu juga nama-nama hanya boleh yang tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, jadi untuk nama seperti: Abdul Uzza, Abdul Lata atau Abdul Manat tentu dilarang.
Dalam konteks pembahasan ini CSR dan Socio Economic accounting tidak hanya sekedar tidak bertentangan tetapi juga besesuaian dengan ajaran Islam.
Akuntansi Islam yang kita tengah kembangkan bersama saat ini dapatlah diartikan sebagai akuntansi dalam perspektif Islam yang diharapkan agar mampu menjawab bagaimana seharusnya profil akuntansi Islam dalam situasi saat ini dimana system yang berlaku di berbagai bidang kehidupan di dunia ini semuanya masih berada di bawah hegemoni Barat yaitu system kapitalis yang dasar filosofinya berbeda, karena pada dasarnya mereka bersumber pada thoghut jadi sudah pasti bertentangan dengan sistem nilai Islam yang bersumber kepada Allah SWT.
Akutansi Islam saat ini mau tidak mau harus memakai struktur ilmu akuntansi yang ada, karena untuk merubah strutktur yang sudah terbentuk selama ini kita juga terpaksa mengadopsi berbagai jargon kapitalis untuk sekedar menyamakan bahasa agar dalam proses perubahan (yang bersifat bertahap ini) menjadi dapat dikomunikasikan dengan bahasa yang juga dapat difahami oleh mereka yang selama ini sudah menekuni bidang akuntansi ini.
Sehingga setelah akuntansi konvensional dikonversi dengan teknik dan prinsip nilai Islam sekemampuan yang kita dapat disampaikan kembali kepada mereka setelah disesuaikan dengan konteksnya.
Dalam konteks saat ini respons kita terhadap Akuntansi Sosial Ekonomi adalah bukan hanya menyetujuii tetapi juga bersifat menerima dan memberi dukungan untuk diterapkan sehingga pada suatu saat oleh semua pihak dapat disadari keterbatasan dan berbagai kekurangan akuntansi kapitalis ini dan pada akhirnya dapat diterapkan Akuntansi Islam secara totalitas dan bersifat integrative.
Berbagai perkembangan saat ini dapat dianggap terjadinya suatu konvergensi yang semakin mengarah dan mengerucut ke arah akuntansi Islam, terutama setelah adanya akuntasi sosial ekonomi di Barat.
Proyeksi ke depan.
Dengan adanya konsep CSR maka pengungkapan kinerja CSR sejalan dengan konsep akuntansi sosial ekonomi dimana hal ini bersesuaian dengan kosep Islamic Accounting reporting yaitu ada tiga:
- Laporan Ketaatan pada Syariah.
- Laporan Kinerja Keuangan.
- Laporan Tanggung Jawab Sosial yang dalam CSR ada yang disebut sebagai Laporan Bekelanjutan (Sustainability Report), yang di dalam prakteknya misalnya berupa (Darwin, 2006):
- CSR Report
- Social Report
- Environmental report
- Social & Environmental Report
Jadi Konsep CSR sangat sejalan dengan konsep Akutansi Islam yang semua ini secara konvergen masih melalui proses dalam rangka menuju akutansi Islam yang sesungguhnya dimana semua elemn yang ada harus berfungsi membantu penegakkan syariah.
Dalam konteks Akuntansi Islam isu yang diangkat oleh konsep CSR dan konsep Akuntansi Sosial Ekonomi sangat relevan. Hal ini bisa dilihat dari definisi Muhasabah (akuntansi) dan fungsi lembaga Muhtasib (Akuntan Pemerintah) yang sangat luas yang mencakup etika dan kepatuhan terhadap syariah Islam. Akuntansi Islam harus bisa mencakup semua aspeknya terutama aspek sosial dan keadilan bahkan semua ketentuan lainnya yang diperntahkan oleh Allah SWT dalam Al Quran yang berdimensi ganda yanitu dunia-akhirat, dimana dalam prakteknya tidak ada dikhotomi atau pemisahan sebagaimana pihak atau golongan yang selama ini mengikuti faham-faham sekuler. Namun dalam konteks sekarang, Akuntansi Islam harus juga mampu menyesuaikan diri untuk kepentingan yang lebih besar dan bersifat jangka panjang.
Daftar Pustaka
Ali Darwin Ak., MSc. (Ketua IAI-KAM) Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR Bagi Perusahaan Di Indonesia. EBAR, Edisi III. September-Desember 2006
Dwi Hartanti (Staf Pengajar FEUI). Makna Corporate Social Responsibility: Sejarah dan Perkembangannya. EBAR, Edisi III. September-Desember 2006
Elvia Sunityo-Shauki (Staf Pengajar FEUI) Stakeholders Pressure Of Long Term Sutainability Of Drinking Water Company, EBAR, Edisi III. September-Desember 2006
Harahap, Sotyan Syafri (1991), Akuntansi, Pengawasan, Manajemen Dalam Perspektif Islam, FE Trisakti, Jakarta.
Harahap, Sofyan S (2001), Kritik Terhadap Pendekatan Kajian Ekonomi Islam, Media Ekonomi, Vol 78 No 1 April 2001, pp 73-83
Harahap, Sotyan S (2001a), Akuntansi Islam: munculnya era Baru Epistomologi Islam, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol 1 No 2 Agustus, pp 93-102.
Harahap, Sotyan S (2002), Perfectual Revolution, Media Akuntansi, Edisi 27 Juli-Agustus 2002.
Harahap, Sofyan Syafri (1997), Akuntansi Islam, Bumi aksara, Jakarta.
Harahap. Sotyan Syafri (2001 b), “Menuju Perumusan TeoriAkuntansi Islam- Penerbit quantum, Jakarta.
Harahap, Sofyan Syafri (2007), Krisis Akuntansi Kapitalis. Penerbit Quantum, Jakarta.
Harahap, Sotyan Syafri (2007), TeoriAkuntansi, Edisi Revisi.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Harahap, Sotyan Syafri (1994b), TeoriAkuntansi. Jakarta: Radjawali Press
Harahap, Sofyan Syafri (1989), On Islamic Accounting, its Future Impact on western Accounting, Working Papers # 18, the Institute of Middle.
IAI (2002) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No 59, Jakarta
Lucien Karsten (Profesor Fakultas Manajemen dan Organisasi, Rijksuniversiteit, Groningen, Belanda) Corporate Social Responsibility: A Popular Management Concept. EBAR, Edisi III. September-Desember 2006
Noke Kiroyan (Presiden Direktur PT Newmont Pacific Nusantara) Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR): Adakah Kaitan di Antara Keduanya? EBAR, Edisi III. September-Desember 2006
Omerold, Paul (1994) “The death of Economics” London.
Petersen John L (1994), The Road to 2015, Profil of he Future, waite Group Press, Carte Madera, California.
Peter, Thomas J and Waterman Jr, Robert H (1984) “In Search of Excellent”, Harper and Row Publisher, New York.
Peters, Tom (1985), A Passion for Excellence, the Leadership Diffference, Random House.
Peter, Thomas J (1994) “Tom Peters Seminar”. Crazy Time for Crazy Organizations MacMillan London.
Rahendrawan (Penulis Majalah LEAD Indonesia) Corporate Social Responsibility: A Mere Charity Cost For Company. EBAR, Edisi III. September-Desember 2006
Riahi-Belkaoui, Ahmed (1994), International and Multinational Acccounting, The Dryden Press, HBJ co, London.
Setiabudi, Hendry Y dan Iwan Triwiyono (2002), Akuntansi Ekuitas Dalam Narasi Kapitalisme, Sosialisme dan Islam, Jakarta Penerbit SaJemba.