Faktor Penentu Penerimaan Pajak 2016
Realisasi penerimaan pajak dalam APBN 2015 meskipun menembus angka 1.000 trilliun namun capaiannya hanya sekitar 80-82% dari yang ditargetkan sebesar 1.201,7 Trilliun. Dalam APBN 2016 pemerintah tetap mengandalkan penerimaan dari hasil pungutan pajak yang jumlahnya mencapai 1.360 trilliun. Target ini naik sekitar 36% dari realiasi penerimaan pajak 2015. Di tengah perekonomian global yang masih melemah dan belum kondusif sementara perekonomian nasional tidak dapat lepas dari pengaruh perekonomian global, menjadi pertanyaannya mungkinkah pemerintah melalui direktorat jendral pajak dapat mencapai penerimaan pajak sesuai dengan target yang ditetapkan?
Dengan mengabaikan kondisi ekonmi makro bail global ataupun nasional, terdapat tiga cara yang dilakukan oleh ditjen pajak untuk mencapai target penerimaan pajaka tahun 2016. Tiga cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan meminmumkan biaya kepatuhan pajak (cost of compliance tax), menegakkan fungsi pemeriksaan, sebagai konsekuensi self assessment dalam sistem perpajakan yang dianut oleh Indonesia, dan dalam bentuk kebijakan.
Saat ini tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi masih sekitar 56-60% sementara kepatuhan wajib pajak badan belum mencapai 50%. Kondisi ini masih memiliki peluang untuk ditingkatkan, sehingga kepatuhan wajib pajak dapat menjadi salah satu faktor penentu pencapaian target penerimaan pajak 2016. Beberapa kualitas pelayanan terus dijalankan oleh pemerintah, diantaranya penerapan e-Filling, e-billing dan e-Faktur merupakan upaya yang dilakukan ditjen pajak untuk menurunkan biaya kepatuhan pajak. e-filling telah dilaksanakan sejak tahun 2011 sedangkan e-Faktur baru akan dilakukan pada pertengahan tahun ini. Pemerintah masih perlu melakukan edukasi penggunaan sistem pelaporan berbasis digital kepada masyarakat, dan masalah jaringan juga perlu mendapat perhatian terutama pada tanggal-tanggal terakhir penyerahan laporan.
Meningkatkan fungsi pemeriksaan pajak melalui peningkatkan sistem adminstrasi pemeriksaan yang lebih baik. Dalam menjalankan fungsi pemeriksaan ditjen pajak masih belum sistematis, merata, dan kontinyu, sehingga wajib pajak tidak merasa takut akan ada pemeriksaan atas dirinya. Hal ini menunjukkan fungsi pemeriksaan belum mempengaruhi wajib pajak untuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan perpajakan. Keadaan ini dapat dipahami karena ratio antara wajib pajak dan pemeriksa pajak masih rendah. Ditjen pajak masih perlu untuk meningkatkan ratio antara jumalah wajib pajak dan pemeriksa pajak.
Kebijakan pajak yang akan dilakukan pemerintah tahun ini adalah pemberlakukan tax amnesty. Dari kebijakan ini pemerintah berharap dapat menerima dana sampai dengan 100 trilliun. Dana ini diperkirakan berasal dari rupiah yang tersimpan di luar negeri. Selain itu dana yang bedar dari underground economy akan masuk dalam transaksi ekonomi yang normal, sehingga transaksinya dapat tersentuh dengan ketentuan-ketentuan perpajakan. Permasalahannya tax amnesty sampai saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR.
Dengan fokus pertama, meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui optimalisasi dan sosialisasi penggunaan teknologi informasi yang berdampak pada cost of compliance tax yang minimal. Kedua melakukan reformasi administrasi , yang membuat wajib pajak merasa terawasi dalam menjalankan ketentuan perpajakan, mulai dari penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Ketiga, mendesakkan DPR untuk mengesahkan UU pelaksanaan tax amnesty. Maka target penerimaan pajak sebesar 1.360 trilliun tidak mustahil dapat tercapai.