Fatwa dalam Sistem Hukum Nasional
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, fatwa berarti jawab ( Keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti (orang yang memberikan fatwa) tentang suatu masalah. Pengertian lain adalah nasihat orang alim, pelajaran baik, petuah. Berfatwa artinya memberi fatwa. Sedangkan memfatwakan berarti memberikan fatwa, menasihatkan, memberikan petuah.
Fatwa berasal dari bahasa arab, yaitu sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Dalam bahasa arab, fatwa berarti nasihat, petuah, jawaban atau pendapat.
Sejalan dengan pengertian diatas, maka fatwa biasanya diberikan atas suatu permasalahan yang “disodorkan” agar diberikan jalan keluar atau jawaban atas masalah tersebut. Sementara ijtihad adalah istinbat (usaha membuat keputusan hukum berdasarkan Al Quran dan Hadis) atas suatu masalah yang telah ada maupun yang belum ada, dan ijtihad sebagaimana fatwa juga menjadi bagian dari sumber hukum islam. Namun, perlu dicermati bahwa baik fatwa maupun ijtihad hanya bisa dilakukan oleh orang secara pribadi maupun kelompok dengan kemampuan keilmuan yang komprehensif mulai dari ilmu Al Quran dan Ilmu Hadist, memahami sejarah dan maksud keterkaitan antara ayat Al Quran dan Al Hadist, memahami pokok-pokok Hukum yang disepakati ijma para sahabat dan ulama salaf, menguasai ilmu ushuluddin, ilmu manthasa Arab (Nahwu, shorof, balaghah), memiliki pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, mengetahui tentang asbabaul nuzul ayat Al Quran dan asbabul wurud Hadis. Termasuk memahami ushul fiqih dan memahami berbagai aliran dan pengetahun-pengetahuan kontemporer serta bersifat adil, amanah dan taqwa.
Selain syarat sebagaimana diatas, didalam melahirkan fatwa terdapat beberapa metode yang harus ditempuh. Dengan demikian, jika Memperhatikan syarat diatas terlihat bahwa seorang Mufti (orang yang memberikan fatwa) dan mujtahid (orang yang memberikan ijtihad) bukanlah orang yang “sembarangan” atau tidak memiliki ilmu. Syarat yang cukup berat ini merupakan aspek pertanggungjawaban kepada Allah SWT karena fatwa atau ijtihad yang dilahirkan akan menjadi dasar hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam sejarahnya, para sahabat Nabi SAW diangkat oleh Nabi SAW sebagai mufti sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan pada suatu daerah tertentu, namun kemudian dalam perkembangannya seorang mufti kedudukannya terpisah dari tugas kenegaraan, dan saat ini tugas mufti semakin berat karena perkembangan peradaban yang menyebabkan lahirnya beragam masalah yang ada pada umat.
Jika merujuk pada pemahaman bahwa Islam terbagi menjadi tiga dimensi yaitu Aqidah, Syariah dan Akhlak. Sedangkan syariah terbagi menjadi ibadah dan muamalah maka fatwa seringkali lahir dalam bidang syariah, khususnya dalam bidang muamalah karena dalil dalam muamalah adalah “ Semua diperbolehkan kecuali yang dilarang”. Dengan demikian lingkup muamalah terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Hal lain yang perlu juga dipahami adalah, bahwa kedudukan mufti didalam Islam seperti kedudukan Nabi SAW karena mufti merupakan orang yang menggantikan Nabi SAW untuk menyelesaikan permasalahan umat dalam bidang syariat sebagaimana Hadis Nabi dalam salah satu sabdanya: “Ulama adalah ahli waris para Nabi”. Selain itu, mufti juga bertugas menggali dalil-dalil hukum melalui analisa dan kemampuan keilmuannya.
Di Indonesia, mufti tergabung dalam organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk dan didirikan pada 26 Juli 1975 di Jakarta. MUI sendiri memiliki beberapa lembaga yang bersifat otonom seperti Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional), DSN (Dewan Syariah Nasional), LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika), dan MUI dalam operasionalnya memiliki sistem yang sudah baku. Selain Indonesia, hampir semua negara memiliki lembaga yang merupakan lembaga semacam MUI (Dewan fatwa), antara lain Malaysia, Singapura, Brunei, Dubai, Pakistan, Mesir, bahkan Amerika Serikat-pun memiliki lembaga serupa. Ini menunjukkan bahwa mufti diperlukan dan ikut mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam suatu negara.
Memang fatwa yang dikeluarkan bukan merupakan hukum positif yang jelas memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warganegara. Fatwa hanya mengikat dari aspek agama dan apabila diharapkan dapat memiliki kekuatan hukum sebagaimana halnya hukum positif maka terlebih dahulu fatwa harus ditrasnformasikan kedalam hukum positif dalam bentuk berbagai peraturan perundangan-undangan . Contoh kongkrit adalah apa yang dilakukan oleh DSN, begitu banyak fatwa dalam bidang ekonomi syariah yang telah ditransformasi kedalam Peraturan Bank Indonesia sehingga memiliki kekuatan mengikat (namun, dalam kenyataanya banyak juga fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI belum ditransformasi menjadi peraturan perundang-undangan tetapi telah diterapkan secara internal didalam aktivitas bank syariah). Produk fatwa oleh DSN-MUI ini (khususnya yang telah ditransformasi menjadi peraturan perundang-undangan) tentu merupakan salah satu bentuk kontribusi nyata fatwa yang mewarnai sistem hukum Nasional. Wallahu a’lam bishowab