Himbauan Tanpa Harmoni oleh Edy Sukarno

Jika kita mencermati kondisi pasar saat ini dan rajin mendengar berita, terdengar dan terkesan ada upaya-upaya pemerintah mengintervensi pasar. Spontan sayapun terkesima gamang.  Betapa tidak?  Sebab apa yang saya pernah pelajari selama ini tentang dasar-dasar ekonomi, khususnya mengenai mekanisme pasar, terbukti itu hanya teori yang “tidak relevan” dengan arah kebijakan atau himbauan yang dicetuskan oleh pemerintah sekarang (baca Jokowi !).  Di saat saya termenung diam dan seakan lunglai harapan, terbayang sosok malaikat jatuh dari surga turun ke dunia dan menyapa saya: “Manakah isu yang tidak relevan itu Ed ?”  Nah, narasi berikut ini intinya merupakan hasil obrolan saya dengannya sebelum dia terbang balik ke surga.

Teman-temanku yang baik…, seperti apa yang sempat kuutarakan di Raker tempo hari bahwa yuuk kita bentuk or ada semacam roundtable discussion sebagai wadah aspirasi kita yang ditujukan ke pemerintah melalui obrolan-obrolan ringan namun punya makna konkret dan kondusif.  Kali ini saya memulainya di blog ini yaa.. dan tolong nan mohon jangan dinilai sebagai corong luapan emosi atau protes terhadap politisi atau rezim yang tengah berkuasa.  Namun, anggaplah sebagai bentuk kepedulian sosok dosen Perbanas untuk berjuang dengan pendekatan pragmatis logis bagi upaya menggapai ketentraman jiwa kita semua di bulan suci Ramadhan ini.  Dambaan saya, ke depannya akan disusul oleh teman-teman yang lain mengkritisi  perekonomian Nusantara sesuai perspektif dan peminatannya.  Ilmu ekonomi kan kental dengan asumsi, tidak usah merisaukan ketajaman analisis, yang penting jangan terlalu menyimpang dari pakem pengetahuan ekonomi yang secara konvensional sudah diterima.

Dua komoditas yang belakangan ini saya amati adalah daging dan minyak.  Sayangnya apa yang saya sampaikan ini belum sepenuhnya didukung oleh data yang 100% valid, sebab sebatas berasal dari liputan di harian Kompas dan Bisnis Indonesia.  Pemerintah berupaya via operasi pasar agar harga daging di bawah Rp 80.000,-  Kala itu Sang Malaikat juga sempat bertanya, “bisakah itu tercapai ?” kujawab: ” wallahualam!” Yang lebih kutekankan dan kukatakan padanya kenapa Pak Jokowi mudah bilang: “negara lain, bisa kok kita nggak bisa !”.  Hemat saya, pola pikir seperti itu (membandingkan dengan negeri lain) kurang pas atau terlalu menyederhanakan berbagai variabel pembentuk harga. Dengan kata lain, itu hanya menghimbau tanpa menelaah variabel bebas lainnya yang sangat berpengaruh terhadap terciptanya harga pada suatu komoditas. Janganlah kita mencari “pembanding” atau benchmark secara serabutan untuk tata niaga pasar rakyat.  Di Singapura importir bebas mendatangkan daging, di NKRI importir dibatasi dengan dalih kita juga harus memproteksi peternak sapi.  Di samping itu, Rakyat Singapore jelas punya pola makan dan selera yang berbeda dengan kita.  Oleh karena itu perilaku harga daging di Singapore tentu berbeda sekali dengan di sini.  Menghimbau supaya harga daging di sini semurah di Singapore, itu jelas himbauan tanpa harmoni alias tak selaras dengan berbagai variabel ekonomi makro !

Indonesia konon sebagai eksportir terbesar Crude Palm Oil (CPO).  Tapi mengapa harga minyak kini merangkak naik di bulan suci ini?  Bukankah petani kelapa sawit sudah cukup mengikuti semua rekomendasi pemerintah?  Yang sekarang mencuat isunya tentang minyak ini,  ternyata begitu complicatednya rantai pasokan atau rantai distribusi di negeri ini yang itu semua lebih banyak dinikmati oleh pengusaha kakap ketimbang para petani di desa-desa. Yang membuat miris Sang malaikat (termasuk saya) adalah bahwa para petani tetap saja merasa tidak ada rejeki yang nomplok baginya sehubungan dengan lonjakan harga minyak di bulan Ramadhan ini.  Yang dapat berkat nomplok itu pengusah-pengusaha besar.  Dengan demikian tata niaga kita dewasa ini masih jauh dari semangat sila ke lima Pancasila – keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saya dan malaikat pun akhirnya menyudahi pertemuan dan berkesimpulan bahwa:

  1. Pemerintah perlu belajar keras bagaimana cara menata perekonomian yang profesional, jangan sembarang bikin parameter tanpa kajian dan jangan segan mendengar pemikir-pemikir dari IKPI Perbanas yang mau berpikir tanpa pamrih.  Ingat setiap kebijakan hendaknya terkait dan terukur dengan potensi ekonomi yang ada di bumi pertiwi ini.
  2. Mutiara kata “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin” harus mampu dicerna cermat oleh rezim yang berkuasa,  lantas bikin langkah perbaikan yang akomodatif bagi petani, peternak, pengusaha dan konsumen yang semuanya specnya tergolong rakyat jelata bukan politisi !

Demikianlah wahai sobat, terimakasih kalian sudah sudi membaca tulisan ini.  Maklumi saja secara ikhlas apabila kedapatan hal-hal yang kurang berkenan.

 

Wassalam,

 

Edy Sukarno