international_global_security

INTERNATIONAL GLOBAL SECURITY

 

Negara seperti juga manusia mempunyai naluri untuk selalu mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Maka lumrah jika tujuan utama sebuah negara adalah keamanan, terutama karena potensi ancaman baik internal maupun eksternal, selalu muncul meski di masa damai sekali pun. Berdasarkan itu, sebuah negara akan terus mencari cara untuk memperkuat dirinya agar bisa mempertahankan eksistensi di pergaulan internasional.

Robert Dahl mendefinisikan power atau kekuasaan sebagai kemampuan seorang aktor untuk membuat aktor lain melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukan atau membuat aktor tersebut tidak melakukan hal yang sebetulnya ingin ia lakukan. Sedangkan menurut Hans Morgenthau, seorang pemikir realis, politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpenting dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik (Morgenthau 1965: 195).[1]

Pemikiran kaum realis memang lebih memberikan penekanan pada kekuatan dan konflik. Asumsi dasarnya adalah: 1) pandangan pesimis atas sifat manusia; 2) keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; 3) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; 4) skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.[2]

Tidak seperti politik domestik, politik internasional tidak mempunyai badan pemerintahan. Tidak ada undang-undang yang mengatur tata cara pergaulan negara-negara di dunia internasional atau bahkan untuk menyelesaikan perselisihan antar mereka. Kondisi seperti ini yang dimaksud dengan lingkungan anarkis politik internasional. Kondisi anarki semacam itu yang mampu menciptakan keadaan perang (state of war). Dan karena absennya ‘badan pemerintahan dunia’ serta kondisi bahwa suatu negara tidak mungkin bergantung pada negara lain secara terus menerus, maka setiap negara harus memiliki kemampuan untuk menolong dirinya sendiri.[3]

Setiap negara yang ada di dunia internasional, mau tidak mau, saling bergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Apapun yang dilakukan suatu negara akan membawa pengaruh, baik atau buruk, menguntungkan atau tidak, terhadap negara lain. Hal ini berkaitan erat dengan persepsi yang mengakibatkan munculnya ‘dilema keamanan’,  dimana satu/beberapa negara bisa sekaligus berpotensi menjadi sumber kemananan atau ancaman bagi negara lain. Jelas bahwa tidak ada negara yang benar-benar kawan atau selamanya menjadi musuh. Contoh dilema keamanan yang paling klasik adalah saat perang dingin, yaitu dengan adanya perlombaan senjata AS dan Uni Sovyet.  Ketika itu kedua belah pihak terus meningkatkan kemampuan dan jumlah persenjataan terutama rudal nuklir. Kondisi yang berpotensi  ‘MAD’ atau Mutually Assured Destruction, yaitu kedua pihak sama-sama hancur jika senjata nuklir digunakan. Hal ini membuat baik AS dan Uni Sovyet tidak ada yang berani berinisiatif lebih dulu. Dilema keamanan disebabkan oleh dua faktor, yang pertama adalah sulitnya membedakan antara pertahanan (defensive) dengan penyerangan (offensive), dan yang kedua adalah sulitnya suatu negara untuk bisa memercayai niat damai negara lain itu akan selamanya.[4]

Jika kita kembali ke tujuan negara, dimana mempertahankan eksistensi adalah utama, maka negara harus selalu dalam kondisi waspada agar bisa mencegah atau meminimalisasi ancaman. Tidak adanya pemerintahan dunia, menyebabkan setiap negara mempunyai potensi membuat konflik dengan negara lain dengan menggunakan power yang dimiliki demi tujuan dan kepentingan negaranya sendiri.

Kini dengan adanya PBB, kondisi lingkungan internasional sepertinya tidak se-anarkis sebelumnya. Dulu ketika Belanda menduduki Indonesia, dunia internasional hanya menganggapnya sebagai kekuatan semata dan tidak ada sanksi. Tapi kini berbeda. Ketika Indonesia menduduki Timor-Timor, Indonesia mendapat sanksi internasional seperti dihentikannya bantuan militer dan nyaris dianggap sebagai negara pariah. Negara-negara di dunia, melalui PBB, kini bisa memberikan sanksi dan konsekuensi terhadap negara yang tidak mengikuti aturan main di pergaulan internasional. Tapi keberadaan PBB tidak semerta-merta bisa menjamin terciptanya perdamaian dunia. Perang konvensional memang nyaris tidak ada lagi, tetapi potensi ancaman terhadap suatu negara akan tetap ada. Belum lagi masalah terorisme yang kian marak, dimana dibutuhkan kerja sama antar negara untuk bisa memberantasnya karena aktor yang terlibat biasanya tidak terikat batas negara (non-state actor). Intinya kondisi bahwa negara-negara berdaulat hidup berdampingan, dimana masing-masing memiliki cara pandang dan kepentingan yang berbeda pada dasarnya adalah berbahaya dan berpotensi menimbulkan konflik.

 

 

 

 

 

 

[1] Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Cetakan II. Terjemahan Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. , 88.

[2] Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (2009) , Ibid. , 88.

[3] Art, Robert.J & Jervis, Robert (2009). International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues (9th ed). Pearson Education, Inc., 2.

[4] Art, Robert.J & Jervis, Robert (2009)., 3.