Konflik dan damai?
Terjadi dialog antara Allah SWT dengan malaikat yang digambarkan di dalam QS 2: 30 yang artinya:” ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. “mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan berfirman “ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia memiliki kecenderungan berkonflik dan melakukan kerusakan.
Manusia cenderung berkonflik, namun manusia akan berusaha menyelesaikan konflik tersebut. Prinsip penyelesaian konflik di dalam ajaran Islam telah dipandu oleh Tuhan di dalam Al Quran dan diwujudkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bentuk seperti negosiasi, rekonsiliasi, mediasi, arbitrase dan litigasi (baik secara adjudikasi maupun mediasi).
Dari berbagai pola penyelesaian atas konflik yang terjadi, pola mediasi (perdamaian) baik yang dilakukan diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan menjadi alternative yang saat ini tengah didorong untuk dikembangkan (sebagaimana halnya Al Quran mengisyaratkan bahwa mediasi atau perdamaian lebih utama) dan menjadi pilihan bagi pihak-pihak yang mengalami konflik (dalam bidang keperdataan atau muamalat– jika menurut pandangan hukum islam). Salah satu dasar hukum mediasi atau perdamaian atau ash shulhu di dalam Al Quran disebutkan secara tegas di dalam QS Al Hujarat ayat 9, demikian juga yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika menghadapi konflik, serta apa yang diucapkan oleh Umar ra: “tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan ( al qadha) mengembangkan kedengkian diantara mereka (diantara pihak-pihak yang bersengketa)”.
Sedangkan jika melihat dari kacamata hukum positif dan aspek bisnis, semangat untuk melakukan mediasi dalam rangka menyelesaikan konflik terlihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut mulai dari Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung sampai dengan tingkatan Undang Undang yaitu antara lain UU No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa, UU No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Selain peraturan perundangan-undangan, semangat tersebut terlihat pula dari banyaknya lembaga mediasi seperti PMN (Pusat Mediasi Nasional) yang diberi kewenangan oleh Mahkamah Agung untuk melakukan sertifikasi bagi orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi mediator. Selain itu, PMN juga melakukan berbagai mediasi dalam berbagai bidang karena di PMN sendiri ada sekitar 100 orang yang menjadi mediator dengan latar belakang disiplin ilmu yang beragam, selain PMN, ada banyak lembaga mediasi yang tersebar seperti BANI, Basyarnas, BAMES dan mediasi-mediasi yang dilakukan melalui jalur institusi resmi seperti Bank Indonesia atau lembaga mediasi pada Perguruan Tinggi. Sedangkan di dalam pengadilan-pun upaya untuk melakukan mediasi telah menjadi kewajiban sebelum berkas perkara ditangani oleh hakim secara formal dan hal ini diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung.
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa upaya mediasi merupakan salah satu alternative yang harus dipertimbangkan dan dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik dengan harapan konflik dapat diselesaikan dengan cara perdamaian. Beberapa keunggulan mediasi sebagaimana dikemukakan oleh Syarif Bastaman dalam makalahnya diFH Unpad, antara lain:
1. umumnya lebih luwes dan hasilnya tidak terlalu bermusuhan;
2. relative lebih cepat atau murah daripada penyelesaian sengketa melalui litigasi;
3. memungkinkan dibahasnya banyak masalah yang relevan karena tidak dibatasi oleh hukum acara;
4. memungkinkan hubungan baik dipelihara;
5. dapat melibatkan sebanyak mungkin para pihak yang berkepentingan;
6. memungkinkan mengambil keputusan oleh orang yang ahli dalam bidangnya;
7. jika para pihak menghendaki, memungkinkan penyelesaian sengketa secara confidential (dijaga kerahasiaannya);
Wallahu a’lam bishowab