Konsekuensi-Konsekuensi Negatif dari Modernisme dan Peralihan ke Posmodernisme:Bagian III
Modernisme dipahami sebagai suatu paham yang meyakini adanya kemajuan yang bersifat linier dan kebenaran yang absolut dan perencanaan yang rasional atas tatanan-tatanan sosial yang ideal, serta standarisasi pengetahuan dan produksi. Kemajuan ilmu pengetahuan di masa lalu, terutama di dalam ilmu-ilmu alam atau sains tidak dapat dilepaskan dari pengaruh paham ini. Pada gilirannya, banyak kemajuan yang dihasilkan di dalam kehidupan di abad dua puluh.
Akan tetapi, modernisme mewariskan konsekuensi-konsekuensi negatif juga. Konsekuensi-konsekuensi ini perlu disadari dan dikritisi agar masyarakat lebih siap menjalani kehidupan yang sejahtera di abad dua puluh satu.
Perubahan pola pikir mendasar tentang realitas kehidupan sosial pada akhirnya perlu dikembangkan agar mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan modernisme, bahkan mampu melampaui atau menemukan model baru yang lebih tepat untuk masyarakat masa kini dan masa depan. Ada kalangan yang menganjurkan alternatif pemahaman berupa posmodernisme.
I. Bambang Sugiharto (1996) di dalam bukunya, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat mencatat enam bentuk konsekuensi buruk dari modernisme. Konsekuensi-konsekuensi tersebut telah dikemukakan pada Bagian I ketika dibahas konsekuensi yang pertama.
Pada Bagian III ini akan dibahas tentang konsekuensi buruk ketiga. Dikemukakan bahwasannya pengacuan pada ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan wibawa–dengan konsekuensi, disorientasi–nilai-nilai moral dan religius (Sugiharto, 1996).
Tulisan ini membahas hal tersebut dengan pertama-tama mendiskusikan kemerosotan dan disorientasi nilai-nilai moral dan religius secara umum sebagai akibat dari penempatan ilmu-ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi. Selanjutnya diulas beberapa isu yang menunjukkan adanya dampak negatif dari cara pandang modernisme tersebut dan jalan keluar yang berkembang di dunia bisnis. Pemikiran kritis-kreatif-konstruktif terhadap hal-hal negatif yang diwariskan oleh modernisme telah lama disadari dan berangsur-angsur digantikan dengan sistem berpikir yang lebih maju. Meskipun begitu, upaya-upaya untuk membebaskan sistem-sistem sosial dari kungkungan pemikiran modernisme dan selanjutnya upaya menciptakan sistem-sitem sosial yang sehat dan berkelanjutan bukanlah perkara mudah. Letting go is hard to do.
Penempatan ilmu-ilmu postif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi menyebabkan kemerosotan nilai-nilai moral dan religius dalam dua hal yang akan didiskusikan di sini. Pertama, nilai-nilai moral direduksi menjadi parameter-parameter terukur sehingga membuat kehidupan menjadi monoton dan tanpa makna. Charles Handy mengulasnya di dalam bukunya The Hungry Spirit. Sebagai contoh, tindakan memberikan pertolongan kepada kaum miskin hanya dapat dikatakan berhasil jika ada peningkatan pada indikator-indikator ekonomi yang bersifat kasat mata, seperti peningkatan pendapatan. kebahagiaan dari mereka yang ditolong tidak dipandang penting sehingga pemberian bantuan serig disertai dengan rekayasa-relaya sosial yang tidak jarang justru merusak citra kemanusiaan pada kelompok yang dibantu.
Manusia moderen pada akhirnya mengalami peningkatan kemakmuran tetapi mengalami kekeringan spiritual. Perhatian di antara sesama ditunjukkan melalui benda-benda yang bersifat empiris. Sarana-sarana telekomunikasi, seperti media sosial yang dihasilkan oleh inovasi-inovasi dari ilmu-ilmu positif menujukkan modernitas. Namun ada kalanya sarana-sarana ini digunakan tanpa pertimbangan moral. Akibatnya, media sosial justru dapat menjadi sarana penyebar-luasan semangat negatif yang meracuni kehidupan bersama.
Kedua, penelitian-penelitian eksperimen ada kalanya tidak mempedulikan nilai-nilai moral. Penggunaan hewan sebagai obyek eksperimen sering dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan untuk menghargai keutuhan ciptaan. Semakin banyak juga penggunaan manusia untuk penelitian eksperimen dengan konsekuensi pada pelanggaran nilai-nilai etika dan moral.
Ketiga, empirisisme membawa manusia menyangsikan kemahakuasaan dan keterlibatan Tuhan dalam sejarah manusia. Peryataan yang melawan akal sehat yang dilontarkan astronot “Tuhan tidak ditemukan di luar angkasa” merupakan cerminan pola pikir empiris-positivis-obyektif. Penekanan pada fakta kasat mata membuat manusia tidak dapat menangkap kenyataan adanya kekuatan maha besar yang ada di balik dari semua perisiwa.
Keempat, wibawa otoritas keagamaan sering diukur dari hal-hal fisik dan lahiriah. Maka kedalam hidup spiritual ecnderung menjadi dangkal dan dikembangkan melalui jalan pintas. Kualitas dapat dikalahkan oleh kuantitas. Bentuk lebih diutamakan dari isi.
Peralihan zaman menunjukkan adanya kesadaran baru tentang pentingnya nilai-nilai intrinsik dan nilai-nilai transendental. Kehidupan manusia belakangan ini kembali mencari makna hidup yang lebih jauh dari sekadar ukuran-ukuran fisik dan jangka pendek. Kehidupan semakin diorientasikan pada kontribusi positif pada kemanusiaan dan planet bumi. Banyak perusahaan mengembangkan program-program triple P secara terpadu: Profit, People, Planet.
Secara umum. pembangunan diyakini sebagai jalan pembebasan, Development as Freedom (Amartya Sen). Dalam konteks ini, pembangunan menekankan keadilan dan demokrasi. Hak setiap orang dihargai karena kemanusiaan, bukan karena kepemilikan. Posmodernisme menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan nilai-nilai spiritual dan keabadian pada dasarnya imanen, menyatu meskipun dapat dibedakan. Alam makrokosmos ditemukan dan direfleksikan di dalam kehidupan mikrokosmos. dan di dalam alam makrokosmos ditemukan kolase mikrokosmos-mikrokosmos.
Demikianlah penekanan yang berlebihan atas kebenaran tunggal dari ilmu-ilmu positif dalam modernisme kini telah ditinggalkan dan digantikan dengan kebenaran-kebenaran yang jamak sebagaimana diklaim oleh posmodernisme. Nilai-nilai moral dan etika menjadi panduan yang semakin penting bagi pencapaian kehidupan yang bermakna. Dunia bisnis semakin menunjukkan wajah manusiawi karena kerja telah menyatu dengan ibadah. Peradaban umat manusia mengalami peningkatan karena tantangan modernisme dapat dilampaui dengan cerdas.