Konsep CSR dan berbagai sudut pandangnya

Konsep CSR didiskusikan pada berbagai forum secara amat dinamis. Makna, pendekatan dan bahkan terminologi yang digunakan senantiasa diperdebatkan. Ada berbagai istilah yang dipergunakan secara bergantian untuk menjelaskan tentang tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu: Corporate Citizenship, Sustainable Entrepreneurship, Triple Bottom Line, Business Ethics and Sustainability, Corporate Environmental Management, Business and Society, Business and Governance, Business and Globalization serta Stakeholder Management, (Panwar dkk., 2006; Matten dan Moon, 2004)

Ada berbagai definisi tentang CSR, tetapi tidak ada definisi yang diterima secara umum. Namun demikian dapat dikemukakan sebuah definisi yang dianggap mencakup semua unsur sesuai mainstream saat ini tentang CSR yang diajukan oleh World Bank Group (Kiroyan, 2006), yaitu: “CSR adalah komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara-cara yang bermanfaat baik bagi dunia usaha maupun untuk pembangunan”.

Menurut Carroll (dalam Maignan dan Ferrell, 2004) topik CSR telah ditulis sejak tahun 1930an antara lain oleh Chester Barnard pada tahun 1938 dengan judul The Functions of the Executive, J.M. Clark pada tahun 1939 dengan judul Social Control of Business serta Theodore Krep pada tahun 1940 dengan judul Measurement of the Social Performance of Business. Majalah Fortune pernah membuat polling tentang tanggung jawab sosial pada tahun 1946.

Buku Howard R. Bowen yang diterbitkan tahun 1953 berjudul Social Responsibilities of the Businessman merupakan awal periode penulisan ilmiah tentang CSR (Carroll, 1999; Panwar et. al, 2006; Ostas dan Loeb, 2002; Harribey, 2006; Balabanis, 1998, Maignan dan Ferrell, 2004). Buku Bowen tersebut dinilai telah menjelaskan tentang doktrin dari tanggung jawab sosial yang menandai awal dari diskusi yang serius tentang CSR pada era modern, yang menyebabkan Bowen diakui sebagai “Father of Corporate Social Responsibility” (Maignan dan Ferrell, 2004).

Berikut ini disajikan berbagai sudut pandang konseptual terhadap CSR (Maignan dan Ferrell, 2004):

1. CSR sebagai kewajiban sosial
Perspektif ini dikemukakan pertama kali oleh Bowen yang mendefinisikan CSR sebagai kewajiban bagi pengusaha untuk menjalankan kebijakan, membuat keputusan atau mengikuti segala aturan yang sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki oleh masyarakat. Menurut Carroll (dalam Maignan dan Ferrell, 2004) kewajiban sosial itu dapat dibedakan menjadi: (a) kewajiban ekonomi (agar menjadi produktif dan secara ekonomis dapat terus berlangsung), (b) kewajiban hukum dan etika (patuh terhadap hukum serta terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku), (c) kewajiban filantropis (secara proaktif menyumbang kepada masyarakat).

2. CSR sebagai kewajiban terhadap pemangku kepentingan
Sejak pertengahan 1990an sejumlah pakar berpendapat bahwa istilah kewajiban sosial itu terlalu luas. Mereka berpandangan bahwa dunia usaha bukan bertanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan namun bertanggungjawab terhadap pihak-pihak yang secara langusung maupun tidak langsung terkena dampak dari kegiatan perusahaan. Pihak-pihak tersebut disebut dengan pemangku kepentingan (stakeholder), yang dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok: (a) kelompok yang bersifat organisasional (misalnya pegawai, pelanggan, pemegang saham dan pemasok), (b) masyarakat (misalnya penduduk lokal, kelompok kepentingan), (c) kelompok yang berhubungan dengan peraturan (misalnya pemerintah daerah, kekuasaan kehakiman) dan (d) media massa (Maignan dan Ferrell, 2004).

3. CSR sebagai dorongan etika (ethics-driven)
Pandangan bahwa CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial maupun tanggung jawab terhadap para pemangku kepentingan menunjukkan bahwa praktek CSR dimotivasi oleh kepentingan pribadi agar dunia usaha mendapatkan legitimasi diantara konstituen-konstituennya. Pendekatan seperti itu menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki komitmen yang positif dan tanpa pamrih. Dengan memberikan sumbangan yang bersifat filantropis semata maka perusahaan dinilai hanya menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dan hal ini dapat dipandang sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan perusahaan secara paternalistik. Oleh karena itu beberapa pakar mengusulkan pandangan yang berlandaskan etika (ethics-driven view) terhadap CSR yang menilai baik-buruknya kegiatan perusahaan bukan berdasarkan kewajiban sosial maupun kewajiban terhadap pemangku kepentingan. Misalnya dalam proses pengambilan keputusan dan prosedur, perusahaan harus memberikan peluang kepada semua pihak yang ada hubungannya dengan perusahaan dengan didasarkan atas nilai-nilai persamaan, kebebasan dan keadilan.

4. CSR sebagai proses manajerial
Ketiga perspektif tersebut menjelaskan faktor-faktor yang mendorong dunia usaha untuk melaksanakan CSR. Disisi lain, sejumlah pakar menjelaskan CSR dengan menggunakan proses organisasi yang konkrit dan seringkali diistilahkan sebagai corporate social responsiveness. Misalnya, Ackerman (Maignan dan Ferrell, 2004) menerangkan tiga aktivitas utama dalam corporate social responsiveness: (a) memonitor dan menilai keadaan lingkungan, (b) memahami permintaan para pemangku kepentingan, dan (c) membuat rancangan dan kebijakan untuk meningkatkan dampak positif terhadap perusahaan.

Maignan dan Ferrell (2004) mengemukakan kesulitan membandingkan dan memadukan berbagai sudut pandang karena masing-masing pakar mempertimbangkan tanggung jawab sosial dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda, yang meliputi (a) dunia usaha secara umum, (b) perusahaan secara individual serta (c) pengambil keputusan. Berbagai penelitian tentang CSR menggunakan berbagai sudut pandang seperti sudut pandang normatif (dengan memperhatikan kewajiban dunia usaha terhadap masyarakat secara keseluruhan), pendekatan manajerial (bagaimana perusahaan bisa berhasil dalam mengelola CSR?) ataupun perspektif instrumental (bagaimana CSR dapat bermanfaat bagi perusahaan?).

Namun Gardiner dan Lacy (2005) berpandangan bahwa perhatian dunia usaha terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan memang mulanya dipicu oleh berbagai skandal serta bermacam-macam tekanan dari lembaga swadaya masyarakat, para pengambil kebijakan, konsumen dan media. Belakangan tanggung jawab dunia usaha terhadap masyarakat telah dipandang sebagai peluang bagi dunia usaha tidak hanya untuk melindungi diri dari berbagai risiko maupun untuk mempertahankan reputasi, tetapi juga memperkuat hubungan dengan para pemangku kepentingan, memperbaiki strategi perusahaan serta manajemen internal.

Daftar pustaka

Balabanis, George, Hugh C Phillips,. & Jonathan Lyall. (1998). Corporate social responsibility and economic performance in the top British companies: are they linked? European Business Review. Bradford. Vol.98, Iss. 1; pg. 25

Gardiner, Louise, & Peter Lacy. (2005). Lead, respond, partner or ignore: the role of business schools on corporate responsibility. Corporate Governance. Bradford. Vol. 5, Iss. 2; pg. 174, 12 pgs

Kiroyan, Noke. (September-Desember 2006). Good corporate governance dan corporate social responsibility. adakah kaitan diantara keduanya? eBAR (economics Business Accounting Review). Edisi 3.

Maignan, Isabelle, & O C Ferrell. (2004). Corporate social responsibility and marketing: An integrative framework. academy of marketing science. Journal. Greenvale. Winter .Vol.32, Iss. 1; pg. 3.

Matten, Dirk & Jeremy Moon. (2004). Corporate social responsibility education in europe. Journal of Business Ethics 54: 323–337, _ 2 004 Kluwer Academic Publishers.

Ostas, Daniel T, & Stephen E Loeb. (2002). Teaching corporate social responsibility in business law and business ethics classrooms. Journal of Legal Studies Education. Bloomington: Winter .Vol.20, Iss. 1; pg. 61, 28 pgs

Panwar, Rajat, Tomi Rinne, Eric Hansen, & Heikki Juslin. (Feb 2006).Corporate Responsibility. Forest Products Journal. Madison. Vol.56, Iss. 2; pg. 4, 9 pgs