Learning Organization dan Abad Kemanusiaan

Learning Organization: Penanda Abad Kemanusiaan

Konsep dan praktek learing organization (LO) telah menandai suatu perubahan radikal atas haluan berpikir tentang bagaimana organisasi sebagai kreasi manusia harus ditempatkan dalam kerangka peradaban umat manusia. Pemahaman seperti ini relevan bagi kita untuk memahami mengapa perkembangan adopsi konsep LO dan penerapannya yang menyeluruh nampak masih berjalan lambat dan sporadis. Sebagaimana diketahui, konsep LO telah populer selama seperempat abad, yaitu sejak dipopulerkan oleh Peter M. Senge melalui karya The Fifth Discipline: The Art and Practice of Learning Organization.

LO merupakan nama bagi segala konsep dan praktek organisasi yang menempatkan manusia dan kemanusiaan yang utuh sebagai puncak dari segala ikhtiar penciptaan nilai tambah melalui kerjasama di antara orang-orang yang berhimpun dalam suatu komunitas. Revolusi ini diperlukan untuk mengobati “luka-luka” terhadap manusia dan kemanusiaan yang diwarisi oleh umat manusia dari masa lalu sebagai akibat dari keterbatasan-keterbatasan dalam pendekatan-pendekatan pengorganisasian.

Era nomaden telah mewariskan perasaan sakit dan semangat permusuhan di antara kelompok-kelompok kesukuan akibat perebutan-perebutan wilayah dan sumber daya alam. Berbagai perang di antara suku-suku yang mengembara mewariskan ketakutan terhadap semua pihak “yang bukan bagian dari kelompok kita.” Alam yang ganas, seperti ditunjukkan melalui wabah dan bencana alam yang mengancam eksistensi spesies manusia bahkan telah membuat leluhur kita menyembah alam sebagai yang mahakuasa. Dari hal terakhir ini, kita mewarisi dalam DNA kita semangat permusuhan dan penaklukan alam tanpa ampun. Maka, krisis lingkungan hidup terjadi sampai hari di mana-mana.

Era ketika umat manusia mulai menetap dan bertani menunjukkan posisi manusia yang mulai mendominasi alam. Tanah yang tandus dapat dikulitivasi, artinya dapat diintervensi dan tunduk pada kemampuan manusia. Binatang-binatang yang dahulu diburu kini didomestikasi, bahkan dikuasai oleh manusia. Kuda, unta, dan kerbau, misalnya, dijinakkan dan dipekerjakan sebagai faktor produksi. Dari sinilah kita mewarisi istilah manajer dan “stick and carrot.”

Manusia menjadi tuan atas alam. Pada masa ini umat manusia mulai melalukan pembagian tugas (division of labor), seperti wanita bekerja di dalam dan sekitar wilayah rumah (domestik), sedangkan kaum pria mengurusi ladang. Alam masih dipandang keras dan lebih tepat diadapi oleh kaum pria. Sedangkan wanita diyakinkan untuk menerima bahwa mereka pada dasarnya lemah dan lebih cocok berada di tugas-tugas dalam lingkup seputar rumah. Kaum tuan tanah menjadi majikan dan buruh tani menjadi penggarap yang diawasi oleh para supervisor. Seluruh kondisi ini dapat dirumuskan sebagai fase dimana ada pihak yang lebih cerdas-hebat-tangguh dan ada fihak yang terbatas secara mental-marjinal -lemah. Dalam semangat ini dapat dipahami mengapa perbudakan dan penjajahan menjadi sesuatu yang masuk akal pada masa lampau.

Situasi hubungan-hubungan yang tidak seimbang ini diperparah oleh pengorganisasian pada era industrialisasi di abad keduapuluh, yaitu birokrasi. Dari sini kita mewarisi kebiasaan-kebiasaan pembagian tugas yang kaku dan hirarki yang dipatenkan sebagai kunci sukses pengorganisasian.

Seluruh situasi masa lalu hingga abad keduapuluh mewariskan suatu cara pandang yang tidak seimbang. Dunia selalu dihadapi dengan pola pikir bipolar dengan pertarungan abadi di antara dua kutub dengan hasil akhir salah satu menjadi pemenang dan berkuasa sedangkan yang lain menjadi pihak yang kalah dan dikuasasi; situasi posisi menang-kalah dipandang sebagai kebenaran. Warisan terburuk yang dialami adalah terjadi Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Selain itu, diwarisi juga pola pikir yang selalu mempertentangkan Barat versus Timur, badan versus jiwa, pria versus wanita, kita versus mereka, dunia versus akhirat, kepentingan kantor versus kepentingan keluarga, kepentingan umum versus kepentingan pribadi.

Di penghujung akhir abad keduapuluh, umat manusia menyadari pentingnya revolusi berpikir untuk mengarus-utamakan kemanusiaan sebagai puncak dari segala ikhtiar manusia. Pengorganisasian yang berporos bipolar perlu dipuntir ke arah pendekatan yang holistik, seimbang, selaras, dan serasi. Karena kehidupan manusia pada dasarnya utuh dan satu. Maka segala sisi yang tampak bertentangan, bahkan seolah bermusuhan, perlu dikelola dalam suatu harmonisasi melalui pengelola keberagaman (diversity management); menghadapi dan mengelola paradoks-paradoks. Sejarah dunia pada fase ini ditandai oleh dekolonialisasi yang disengaja dan dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dari sinilah LO dimunculkan sebagai “antidote” atas kelemahan-kelemahan pengorganisasian di masa lalu dan akibat-akibat negatifnya. Organisasi-organisasi yang cerdas atau memiliki kemampuan pembelajaran yang lebih tinggi mampu menyatukan semua perbedaan dan melakukan sinergi guna memajukan kehidupan yang lebih luhur, adil, dan sungguh-sungguh menghargai harkat dan martabat manusia. Paling kurang, hal ini telah menjadi sebuah kesadaran universal.

Dengan demikian, penerapan LO yang ideal menuntut perubahan mendasar dalam dua arah. Pertama, perlu dilakukan “unlearning the past.” Kedua, perlu ada kecerdasan lebih tinggi untuk “inventing the future.” Hal ini hanya bisa dilakukan jika systems thinking menjadi pola dasar di dalam memahami organisasi dan pendayagunaannya.