Meneropong Perseroan terbatas sebagai entitas yang populer
Tulisan ringkas ini terinspirasi dan merupakan cuplikan-cuplikan dari materi diskusi pada kls Etika dan Hukum program pascasarjana pada setiap Sabtu Pagi semester gasal 2016
Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk badan usaha yang sangat popular bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh negara didunia karena memiliki banyak kelebihan dan memiliki berbagai doktrin yang tegas diberlakukan bagi siapapun yang beraktivitas bisnis dengan naungan bentuk PT. Beberapa doktrin yang berlaku dalam Perseroan Terbatas antara lain: Piercing The Corporate Veil (menyingkap tirai perusahaan yaitu dengan membebani tanggungjawab kepada pemegang saham, direksi atau dewan komisaris atas kerugian yang terjadi), Ultra Vires (tindakan berlebihan diluar kewenangan yang diberikan), Fiduciary Duty terhadap direksi (Direksi memegang kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan itikad baik), Corporate Opportunity (Direksi harus bertindak dan mengambil keputusan yang selalu harus terbaik demi kemajuan perusahaan).
Kesemua doktrin tersebut bertujuan untuk menjadikan PT sebagai badan hukum yang selalu mengedepankan GCG sehingga dipercaya dalam aktivitas bisnis. Namun sebenarnya yang patut juga diperhatikan adalah bahwa PT tidak akan ada tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu atau dengan kata lain perjanjian yang dibuatlah yang menjadi dasar lahirnya badan hukum PT. Memang perlu disadari bahwa pendukung hak dan kewajiban bukan hanya orang/persoon tetapi juga badan hukum/rechstpersoon dan PT merupakan badan hukum yang memiliki ciri khas tertentu karena bertindak sebagai subyek hukum. Dengan demikian, jika bicara perjanjian maka pendirian PT berarti harus memenuhi syarat sahnya perjanjian baik syarat subyektif maupun syarat obyektif.
Berkaitan dengan PT sebagai subyek hukum maka hal ini menunjukkan adanya beberapa kesamaan antara PT dengan orang yang juga merupakan subyek hukum yaitu dalam hal sama-sama memiliki organ. Organ-organ yang dimiliki PT yaitu RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi dan Komisaris. Ketiga organ ini memiliki kewenangan dan kewajiban yang telah jelas diatur oleh Undang Undang No 40 Tahun 2007 yang merupakan penyempurnaan dari UU No 1/1995 serta yang sebelumnya diatur didalam KUHD (Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
Didalam menjalankan aktivitasnya, PT memiliki salah satu kewajiban yang dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility). CSR merupakan kewajiban dari perseroan yang diatur di dalam Pasal 74 UU No 40 dan ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 47 Tahun 2012 tentang tanggungjawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas, namun dalam pelaksananya CSR dirasakan seringkali tidak tepat sasaran karena tidak adanya pemetaan yang komprehensip dan koordinasi antar kementrian mengenai kebutuhan masyarakakat (Padahal selain UU PT, ada beberapa UU lain yang mengisyaratkan kewajiban melakukan CSR misalnya UU 25/2007 tentang Penanaman modal, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Selain itu, dengan tidak adanya kejelasan atas konsep “berkelanjutan” sebagaimana yang diisyaratkan oleh Undang Undang merupakan kendala pula yang menyebabkan hasil CSR masih jauh dari harapan Undang Undang. Demikian juga dengan adanya kenyataan bahwa perusahaan seringkali tidak melaksanakan CSR sebagaimana mestinya yaitu tidak menganggarkan secara khusus program CSR padahal UU mengisyaratkan perlu adanya anggaran yang secara jelas diperuntukkan bagi CSR. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan pemberian sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan CSR–pun masih menimbulkan perdebatan sekalipun Peraturan Pemerintah yang merupakan aturan main dari Pasal 74 UUPT telah ditetapkan (setelah menunggu selama 5 tahun).
Padahal gerakan CSR modern saat ini berkembang pesat akibat desakan organisasi masyarakat ditingkat global karena adanya kenyataan tentang perilaku korporasi demi memaksimalkan laba, lazim mempraktekan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis sehingga menggangu keberlangsungan kehidupan kedepan dan lahirnya CSR ini merupakan bentuk kewajiban Perseroan sebagai bentuk tanggungjwab dalam meningkatkan lingkungan sosialnya
Secara umum, PT sebagai entitas yang merupakan subyek hukum menyebabkan perseroan terbatas tidak lepas dari kemungkinan dikenakannya tanggungjawab korporasi ( corporate liability) atas tindak pidana koorporasi (corporate crime) yaitu menurut black’s law: any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g. price fixing, toxic waste dumping), often referred to as white collar crime. tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena ativitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai kejahatan kerah putih. Persolannya adalah apa yang bisa dikenakan atas tindak pidana yang dilakukannya? Hal ini mengingat regim hukum perdata dengan regim hukum pidana masih memiliki pandangan yang berbeda yaitu hukum perdata menyatakan bahwa korporasi adalah subyek hukum sebagaimana orang sehingga dengan demikian memiliki tanggung jawab, sedangkan hukum pidana didalam KUHP menganggap tindak pidana hanya bisa dilakukan oleh persorangan. Dengan demikian persoalan white collar crime ini masih terbuka ruang yang luas untuk ditelaah dengan pendekatan dan perspektif yang berbeda-beda.
Pemilihan dan penetapan sanksi atas tindak pidana yang dilakukan oleh subyek hukum tentu ditentukan dan bergantung pada bentuk tindak pidananya dan seberapa luas kerugian yang diakibatkannya, namun aplikasi atas persoalan tersebut belum jelas dan inilah yang disebut sebagai lobang-lobang didalam hukum yang dapat menjadi dasar bagi lahirnya berbagai analisa, interpretasi dan akhirnya rekomendasi. Nampaknya hukum masih sering dibangun atas dasar kebutuhan untuk menjadi alat pemenuhan kebutuhan sesaat, dan hal ini merupakan isyarat interpretasi keliru terhadap teori dari Roscoe Pound : law as a tool of social engineering, dan teori ini telah diadopsi dan dimodifikasi dengan sangat brilian oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja menjadi teori hukum pembanggunan karena hukum adalah sarana rekayasa sosial—sebagai control sosial–untuk perkembangan peradaban saat ini dan akan datang, khususnya di Negara kita tercinta karena hukum mestinya menjadi jaminan bagi ketentraman hidup manusia karena mengandung unsur keadilan, kejelasannya, kepastiannya dan dapat diberlakukan selama mungkin (lagi-lagi bersyukur dapat mengenal Hukum buatan Tuhan yang berlaku sepanjang masa tak mengenal batas dan waktu). Wallahu a’lam bishowab.